Hujan Mendewasa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Bening, rekapan santri kamar Fathimah 5 yang kena takzir mana? Mau kueksekusi.” Aku menoleh dan mendapati Fadya tengah berdiri di depan pintu.

“Oh iya, sekarang malam jumat ya? Bentar aku cari dulu.” Aku membuka lemari umum, mencari catatan santri-santri yang terkena hukuman mingguan. Setelah menemukannya, aku segera menghampiri Fadya dan memberikan catatan itu.

“Ini si Hilma kabur nonton konser di tugu pahlawan? Gila, ketahuan siapa? Gak pinter amat cari celah.” Fadya menggelengkan kepala sembari tertawa. Aku yang mendengar seketika ikut tertawa. Sejatinya, hukuman atau yang biasa kita sebut takzir tidak berlaku untuk semua santri, tapi hanya berlaku untuk santri-santri yang tak pandai mencari celah ketika melakukan pelanggaran.

“Ketahuan ama Sabrina. Kan temennya Hilma bikin story di whatsapp, pas banget temennya itu nyimpen nomernya si Sabrina. Sejurusan kan mereka. Sabrina auto nyecreenshot story adik kelasnya itu dong. Pas pagi, Sabrina bangunin solat subuh sekalian ngecek ke Fathimah 5. Beneran, si Hilma gak ada. Langsung sidang deh siangnya.” Aku menjelaskan sembari terkekeh.

“Yang nyidang Sabrina?” Fadya menatapku dengan ekspresi takjub.

“Iya lah, siapa lagi? Kan, Sabrina yang tau dan punya bukti.” Aku menjawab pertanyaan Fadya sembari terkekeh lagi.

“Gila, aku langsung bayangin wajahnya Hilma. Pasti merah mau nangis gitu. Sabrina kan kalo udah nyidang tanduk setannya keluar.” Fadya terbahak, aku juga. Sabrina memang terkenal sebagai pengurus keamanan pesantren yang paling sadis. Suaranya yang lantang dan wajah yang terlihat galak sempurna membuat para santri angkatan bawah takut.

“Sabrina sadis ke mereka aja. Coba ke kita, gilanya kambuh.” Aku masih tertawa.

“Aku denger loh ya, dosa kalian ghibahin aku.” Sabrina yag tengah membaca buku sembari berbaring menatapku dan Fadya yang masih tertawa.

“Eh, ada Sabrina di kamar ternyata. Gak jadi dosa kalo kamu udah tau, Sab.” Fadya tak kunjung menghentikan tawanya. Sabrina hanya mengerucutkan bibir, pura-pura merasa sebal.

“Udah udah, sana buruan kasih takzir ke anak-anak. Malah kelamaan di sini kamu.” Aku mendorong tubuh Fadya ke luar kamar.

“Haha, iya iya. Eh, berarti ini si Hilma gak ikut takzir baca solawat, kan?” Fadya keluar kamar sembari mengibaskan kertas.

“Gak. Hilma takzir bersihin kamar mandi 1-5 besok Ahad.” Sebelum aku menjawab, Sabrina telah berteriak lantang dari dalam kamar.

“Oke-oke siap. Aku ke asrama Fathimah dulu. Jangan galak-galak, Sab. Ntar Cak Santri pada takut.” Aku tertawa. Cak Santri adalah sebutan kepada para santri putra yang usianya lebih tua dari kami.

“Bodo amat, gak cari Cak Santri aku, cari Gus.” Sabrina lagi-lagi berteriak dengan suara lantangnya. Fadya hanya terbahak sembari berlalu.

“Suaramu itu loh, Sab. Kedengeran sampek asrama putra ntar.” Aku menutup pintu kamar sembari menggelengkan kepala, gemas pada Sabrina.

“Biarin.” Sabrina mengendikkan bahu cuek, kemudian kembali sibuk membaca.

Aku berjalan ke arah ranjang, lanjut merekap data santri-santri yang terkena hukuman berat bulan ini. Ada yang karena ketahuan menginap di luar pesantren tanpa ijin, ada yang ketahuan keluar berdua dengan lawan jenis, ada yang ketahuan mengambil barang temannya. Banyak sekali macam pelanggaran berat di pesantren ini. Alhamdulillah, aku belum pernah terdaftar menjadi santri yang terkena hukuman atas alasan itu.

Aku tersenyum. Waktu berputar begitu cepat. Tak terasa, 2,5 tahun sudah aku hidup di Surabaya, hidup di pesantren ini. Banyak perubahan yang sudah kualami, beberapa perubahan membuat aku bahagia, sisanya membuat aku meneteskan airmata. Namun, terlepas dari apapun alasan perubahan itu, aku tetap mensyukurinya. Bukankah dalam hidup, perubahan itu wajib? Kita tak mungkin stagnan pada satu hal. Satu-satunya hal yang tetap di hidup ini adalah perubahan itu sendiri, bukan?

2,5 tahun yang merubah segalanya. Aku menjadi pengurus pesantren bagian keamanan sekarang. Aku juga tidak lagi tinggal di kamar Zaenab 3 bersama Laila, Ima, Mita, dan Fina. Sekarang, aku tinggal di kamar pengurus bersama teman-teman pengurus keamanan pesantren yang berjumlah delapan orang. Aku dipilih menjadi pengurus keamanan karena tegas, itu kata Mbak Cici beberapa bulan lalu. Aku hanya tertawa. Mereka tak tahu saja, aku adalah orang paling tak tegaan jika dibanding dengan ketujuh temanku yang ada di kamar ini. Apalagi jika dibandingkan dengan Sabrina. Ketegasanku tak ada apa-apanya.

Ima dan Laila tinggal di kamar pengurus kesehatan pesantren, mereka berdua memang telaten sekali merawat orang sakit. Sebenarnya bukan hanya karena telaten. Mereka dipilih di bagian itu karena dapat membedakan mana santri yang benar-benar sakit, dan mana yang pura-pura sakit. Banyak sekali santri yang berpura-pura sakit hanya demi tak mengikuti kegiatan pesantren. Dan entah feeling dari mana, Ima dan Laila selalu mampu membedakan.

Mita dan Fina tinggal di kamar pengurus bagian kebersihan. Dulu, di kamar Zaenab 3, aku, Ima, dan Laila menjuluki mereka berdua manusia sapu. Setiap memasuki kamar, ada saja yang mereka bersihkan. Mereka benar-benar mencintai kebersihan. Itulah mengapa pengurus periode sebelumnya memasukkan mereka di bagian kebersihan pesantren.

Kuliahku baik-baik saja. Aku semester lima sekarang. Semakin banyak tugas, memang. Namun, aku selalu merasa baik-baik saja. Tak ada tugas yang benar-benar repot bagiku. Bukan karena aku pintar, tapi karena aku punya Kak Aga. Abangku yang sekarang telah menjadi dosen psikologi di Malang itu selalu siap sedia membantuku. Gelar magisternya benar-benar tak sia-sia.

Ah ya, sejak kejadian di kafe 1,5 tahun yang lalu, hubunganku dengan Kak Aga membaik. Maksudku, kami kembali menjadi pasangan abang-adik seperti sebelumnya. Kak Aga tetap menjadi Abang terhebatku, aku tetap menjadi adik menyebalkannya. Kami tak lagi saling menghindar seperti beberapa waktu yang lalu. Kak Aga tetap tak tinggal di pesantren Buya. Tapi, ia sudah tak mengontrak sekarang. Kak Aga sudah memiliki rumah sendiri, enam bulan yang lalu. Buya dan Bunda tersenyum bangga ketika untuk pertama kali Kak Aga mengajak beliau berdua ke rumahnya. Ah, Kak Agaku memang selalu membanggakan.

Bulan sudah mau ujian kelulusan. Ia tengah sibuk dengan berbagai, les, tryout, dan segala tetek bengek ujian yang lain. Ia telah tumbuh menjadi remaja yang cantik dan pintar. Sekarang, tingginya sudah hampir sejajar denganku. Kutebak, dua tahun yang akan datang, tingginya sudah pasti melampauiku.

Dan terakhir, Gus Dewa. Dia melanjutkan S2 di luar kota, Semarang lebih tepatnya. 1,5 tahun yang lalu sebelum berangkat, ia masih mengirimkan pesan padaku, berpamitan dan meminta doa. Aku membalas pesannya dengan kalimat sesederhana mungkin. Masa-masa itu aku sungguh tengah berjuang. Berjuang untuk menghapus perasaanku dan mengabaikannya. Ku tebak, ia sengaja mengambil S2 ke luar kota demi menghindariku. Ia memang tak berkata seperti itu padaku, tapi aku terlalu memahami jalan pikirnya. Hati kami masih saling terpaut kala itu. 

Sebenarnya, Semarang-Surabaya bukan tempat yang terlalu jauh. Banyak sekali transportasi yang ada. Travel, bus, kereta, atau pesawat terbang. Sayangnya, Gus Dewa memang berniat menghindariku. Ia hanya pulang satu tahun sekali, itupun saat liburan pesantren. Kami benar-benar tak lagi punya kesempatan untuk bertemu. Jangan tanya perasaanku kala itu. Aku menangis hampir setiap malam, merasa rindu dengan pesan-pesan yang pernah ada. Namun, Kak Aga selalu ada. Ia yang selalu memberiku semangat lewat kalimatnya yang meneduhkan. Dan benar saja, aku telah baik-baik saja sekarang. Tak pernah ada yang mudah dalam sebuah proses. Itulah mengapa kita tak boleh menatap orang hanya dari puncak suksesnya saja. Undzur fil bidayah wa laa tandzur fi nihayah. Lihatlah perjuangannya sejak awal, jangan hanya melihat hasilnya.

Kak Aga benar, hidupku masih panjang. Jodoh adalah perkara kesekian, banyak hal yang lebih pantas kuutamakan. Tentang bagaimana aku menjadi putri yang baik untuk Buya dan Bunda. Tentang bagaimana aku menjadi kakak yang menyenangkan bagi Bulan. Tentang bagaimana aku menjadi mahasiswa yang benar-benar mengemban amanah pendidikan. Tentang bagaimana aku menjadi santri yang takzim pada guru. Tentang bagaimana aku yang harus menjadi semakin baik di setiap detik yang bertambah.

Buya juga tak pernah mengungkit masalah perjodohan. Mungkin Bunda yang melarang Buya untuk merecoki hidupku perihal perjodohan itu. Bunda selalu ingin putri-putrinya merasa nyaman dengan hidup. Ah, Bunda adalah wanita terhebatku.

“Bening, ada panggilan dari Cak Ghofur. Kamu disuruh ke ndalem katanya.” Suara Khanza membuatku tergagap dari lamunan. Kepalanya menyembul dari pintu kamar yang terbuka separuh.

“Eh, sekarang?” Aku menatap jam dinding. Pukul 20:30 wib. Untuk apa ndalem memanggilku di malam hari seperti ini? Aku memang sering membantu kegiatan di ndalem. Namun, itu jika siang atau sore hari. Tak pernah semalam ini.

“Besok abis lebaran. Yaiyalah sekarang.” Khanza menatapku gemas.

“Ngapain ya jam segini aku disuruh ke ndalem?” Aku menatap Khanza dengan raut bingung.

“Ya mana kutahu, Ning. Kata Cak Ghofur Ummi yang nyuruh. Buruan gih, gak sopan bikin Ummi nunggu.” Khanza menyuruhku bergegas.

“Oh, iya iya. Makasih ya, Za.” Aku segera menyambar jilbab, memakainya dengan rapi dan keluar kamar dengan langkah tergesa.

Untuk apa pula Ummi memanggilku malam-malam begini?

*****
Hayolohh.
Ngapain, Rain? Ngapain malem-malem dipanggil ke ndalem?

Btw, ada yang pernah mondok? Atau masih mondok? Baca part ini auto inget takziran gak? Kalo Naya iya, haha.

Naya baik kan ya, aplud mulu. Kasih hadiah apaan nih, haha.

Jangan lupa!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 😘.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro