Telaga Muara Hujan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Telaga

Aku mengusap peluh. Surabaya terlalu panas hari ini. Lihatlah, sekarang masih pukul 10:10 wib, namun matahari sudah terlalu terik rasanya. Entah Surabaya yang terlalu panas, atau kulitku yang terbiasa disentuh oleh udara dingin Malang. Yang jelas, aku merasa tenggorokanku kering meski baru saja menghabiskan semangkuk es buah. 10:10 wib di Surabaya setara dengan 12:00 wib di Malang.

“Makasih udah hadir ya, Ga. Meskipun telat dari jadwal undangan sih.” Aku menoleh, mendapati Khoirul -rekan kuliahku- yang kini tengah terkekeh.

“Haha, maaf ya, Rul. Sempetnya baru hari ini.” Aku ikut terkekeh menyahuti ucapan Khoirul.

“Iya, Ga, gakpapa. Kamu dateng aja aku udah seneng.” Khoirul menepuk pundakku. Di sampingnya, seseorang yang sehari lalu baru saja ia halalkan tersenyum.

“Halah, gombalmu, Rul.” Aku tertawa. Khoirul dan istrinya sontak ikut tertawa.

“Yaudah, aku langsungan aja ya, Rul.” Aku meraih tangan Khoirul, bersalaman sembari menyelipkan amplop di sana.

“Beneran langsung aja ni, Mas Aga? Gak mau makan-makan dulu? Masak jauh-jauh dari Malang cuma minum es buah?” Fatiya, istri Khoirul membujukku untuk tinggal sedikit lebih lama.

“Iya loh, Ga. Beneran gak mau makan dulu?” Khoirul ikut membujukku, meniru istrinya.

“Gak usah, langsungan aja. Masih kenyang aku.” Aku menggelengkan kepala, menolak tawaran sepasang pengantin baru itu.

“Owalah, ya udah. Sekali lagi makasih udah dateng. Semoga cepet ketularan ya.” Khoirul sekali lagi menepuk pundakku, kali ini dibarengi dengan tawa.

“Aminn, udah ah aku duluan. Assalamualaikum.” Aku tertawa sembari menjabat tangan Khoirul sekali lagi. Setelah pasangan itu menjawab salamku dan kami saling menganggukkan kepala, aku segera berlari kecil menuju mobil. Surabaya benar-benar panas, kulitku terlihat memerah, itu artinya aku harus segera memasuki mobil.

Aku menghidupkan mesin kemudian melajukan mobil, keluar dari halaman rumah Khoirul. Kemarin, Khoirul menyelanggarakan walimatul ‘urusy. Ia menyunting tetangga kampungnya, gadis manis yang juga kawannya semasa SMA. Sayangnya, kemarin aku harus menghadiri rapat koordinasi bersama kepengurusan MI di tempatku mengajar. Jadilah hari ini aku baru bisa memenuhi undangan Khoirul. Itulah sebabnya aku datang ke rumahnya, bukan ke gedung yang tertulis di undangan.

250 meter lagi Libreria Cafe.

Aku menelan ludah. Membaca plang penunjuk sebuah kafe membuat hausku semakin terasa. Aku memutuskan untuk mengikuti petunjuk arah dan berhenti di sebuah kafe bertuliskan ‘Libreria Cafe’. Kafe itu terlihat nyaman. Pengunjungnya tak begitu ramai, namun juga tak sepi. Sewajarnya saja.

Aku segera memasuki halaman kafe dan memarkirkan mobil. Sejenak, aku melirik jam tangan, pukul 10:20 wib dan Surabaya semakin terasa panas. Aku melangkahkan kaki memasuki kafe, memilih sebuah kursi kemudian duduk dan memesan minuman.

Aku memilih kursi yang ada di teras kafe. Meskipun berada di area luar dan tak tersentuh AC, kursi pilihanku tetap terasa sejuk. Tanaman-tanaman hijau yang sengaja ditanam di luar kafe lah penyebabnya. Aku benar-benar tak menyangka jika di Surabaya masih terdapat tempat yang teduh.

Sembari menunggu pesanan, aku mengedarkan pandangan. Kafe ini terlihat menyenangkan. Selain karena penataan tempatnya yang rapi, kulihat ada buku-buku yang berjajar di rak. Sepertinya, kafe ini menyediakan fasilitas perpustakaan. Benar-benar tempat yang nyaman, khususnya untuk anak-anak muda.

“Pesmisi, Mas. Ini pesanannya.” Seorang pegawai kafe menghampiriku sembari membawa nampan. Begitu aku mengangguk dan mengucapkan terimakasih, pegawai itu segera undur diri.

“Hujan dan Dewa?” Aku bergumam lirih sembari meluruskan pandangan.

Di dalam sana, aku melihat sosok Hujan dan Dewa. Mereka tengah mengobrol serius sepertinya. Hujan menunduk meski bibirnya terlihat bergerak. Ah, jelas saja menunduk. Padaku yang sejak kecil ada di sekelilingnya saja ia tak pernah menatap, apalagi pada Dewa yang baru beberapa bulan ini ia kenal. Dan di depannya, Dewa menatap segelas minuman di hadapannya dengan ekspresi frustrasi. Mendadak, aku merasa penasaran. Apa yang sedang mereka bicarakan?

Aku masih terus mengamati mereka sembari menikmati pesananku. Tiba-tiba, Hujan terlihat mengusap pipi. Apakah ia menangis? Mengapa? Aku sungguh ingin menghampiri mereka berdua, bertanya tentang apa yang tengah mereka obrolkan. Bertanya tentang mengapa Dewa terlihat begitu frustrasi. Bertanya tentang mengapa raut Hujanku terlihat mendung hingga ia benar-benar meneteskan air. Namun, aku berusaha membatasi diriku sendiri. Hujan telah dewasa. Ia tentu paham bagaimana cara menyelesaikan masalahnya sendiri. Ia bukan lagi gadis berkepang dua yang selalu berlari padaku sembari menangis ketika terjatuh, atau ketika barangnya menghilang karena lupa meletakkan. Ia telah tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik dan membanggakan. Gadis dewasa yang tak hanya bisa merubah kepribadiannya menjadi lebih anggun, namun juga bisa merubah perasaanku menjadi lebih dari sekedar kagum.

Aku masih terus mengamati mereka. Kali ini, Hujan terlihat menegakkan kepala. Tak menatap Dewa, memang. Ia hanya meluruskan pandangan sembari terus berbicara, entah apa yang ia bicarakan. Setelahnya, kulihat ia tersenyum tipis kemudian berdiri dan meninggalkan Dewa. Ia melangkah ke arah pintu kafe dengan wajah yang benar-benar mendung. Di matanya, ribuan tetes air seolah hendak turun.

Ia membuka pintu kafe dan berjalan lurus, masih dengan raut mendungnya. Ia tak menoleh ke mana pun, apalagi ke arahku. Ia seperti tengah enggan menatap siapa pun.

“Hujan...” Aku memutuskan untuk memanggilnya. Rasa penasaranku telah berada di ubun-ubun. Ia menghentikan langkah, namun tak menoleh. Mungkin tengah menimbang-nimbang, apakah sebuah panggilan yang baru saja masuk dalam ruang dengarnya memang ditujukan untuknya.

“Hujan, Hujannya Kak Aga, noleh coba.” Aku kembali memanggilnya. Aku benar-benar ingin mendengar ceritanya. Rasanya telah lama ia tak berbagi banyak hal denganku. Aku rindu, tapi entah mengapa aku juga merasa tak mau menghubungi lebih dahulu. Akhir-akhir ini ia terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri. Aku yang biasanya paham dengan jalan pikirnya juga kali ini merasa tak mampu membaca. Entahlah, ia terlihat beda. Atau sebenarnya, aku yang beda?

“Ini beneran Kak Aga?” Kali ini tak hanya menoleh, ia berjalan menghampiriku. Wajahnya benar-benar terlihat kacau. Antara raut terkejut dengan sendu yang dikolaborasikan. Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaannya. Dan seketika, ia terduduk sembari terisak hebat. Aku sungguh bingung dengan keadaan ini.

“Hujannya Kak Aga kenapa?” Akhirnya, hanya kalimat itulah yang keluar dari bibirku.

Ia menunduk dan terisak hebat, masih enggan menjawab pertanyaanku. Cara menangisnya masih saja sama sejak bertahun-tahun yang lalu. Menunduk -dulu waktu kecil sembari memeluk lutut, kini sembari menangkupkan telapak tangan di wajah-, terisak hebat sampai beberapa saat hingga isakannya melemah, kemudian minum segelas air putih, barulah ia akan bercerita apa masalahnya. Namun, ini hari Kamis. Aku paham ia selalu berpuasa Senin-Kamis jika tak ada uzur yang benar-benar syar’i. Maka, sengaja aku tak memesankan minum untuknya, hanya menunggu tangisnya reda.

“Hiks, Kak Aga kenapa ada di sini? Hiks.” Ia mengangkat kepala setelah beberapa saat. Menatap gelas di hadapanku sembari bertanya dengan suara sesenggukan.

“Kakak abis dari rumah temen.” Aku menjawab singkat. Ia terlihat mengangguk-anggukan kepala. Hidungnya memerah.

“Jadi, kenapa?” Aku menatap kepalanya yang kali ini kembali tertunduk.

Ia terlihat mengangkat kepala sejenak, kemudian kembali menunduk. Bibirnya mulai bergerak menceritakan banyak hal. Tentang mengapa aku terlihat begitu jauh darinya, tentang Buya yang menjodohkannya dengan putra Kyai Kediri -aku sedikit terkejut. Ternyata ia telah mengetahui rahasia perjodohan ini-, tentang Ummi yang begitu prihatin dengan nasibnya, tentang hatinya yang ternyata telat terpaut pada Dewa, tentang ia yang berusaha menghapus perasanya pada Dewa, tentang ia yang baru saja menutup seluruh cerita perihal Dewa padahal seharusnya cerita itu baru akan ia mulai.
Aku terdiam, khusyu’ mendengar ceritanya. Jujur dalam hati terdalam, aku sedikit bahagia mendengar bagian ia menutup kisah tentang Dewa. Namun di sisi lain, aku juga merasa sedih. Jika pada Dewa yang hatinya telah terpaut saja ia tutup cerita, apalagi padaku yang hatinya sama sekali tak terpaut? Ia dijodohkan oleh Buya. Seharusnya itu wajar saja di kalangan keluarga pesantren. Namun, khusus untuk seorang Raina Putri Bening, entah mengapa hal sewajar itu justru terlihat begitu rumit. Hujanku terlanjur jatuh hati pada orang lain, dan aku terlanjur jatuh hati padanya. Jadi intinya, kerumitan ini bukan hanya milik Hujan, namun juga milik Dewa dan milikku.

*****
Hujan

“Kak? Yang Hujan lakuin udah bener belum?” Kak Aga sedari tadi hanya terdiam mendengar ceritaku. Ia sama sekali tak berkomentar apapun.

“Benar dan salah itu relatif, Hujan. Apa yang kamu anggap benar belum tentu sama dengan anggapan orang lain, begitu pula sebaiknya. Itulah mengapa kita harus mendengarkan kata hati diri sendiri. Kalo bagi kamu yang tadi kamu lakuin itu bener, ya udah. Kamu gak perlu tanya ke Kakak. Kamu cukup percaya kalo tadi udah bener.” Kak Aga akhirnya bersuara. Ah, aku lupa. Kak Aga adalah pendengar yang baik. Ia tak pernah menyela ceritaku sedikit pun, selalu memberi solusi ketika ceritaku telah selesai.

“Tapi Hujan ragu.” Aku masih menunduk sembari meremas jemari di bawah meja.

Al-yaqiin laa yuzaalu bi syakkin. Keyakinan menghapuskan seluruh keraguan. Kamu cukup yakin dan percaya pada diri kamu sendiri. Kamu yang menjalani, kamu yang merasakan. Selagi kamu masih di jalan Allah, selagi kamu tidak merugikan siapa pun, selagi kamu merasa nyaman dengan apa yang kamu lakukan, semua hal bukan masalah. Kamu sudah dewasa, Hujan. Kamu sudah tumbuh dengan mengagumkan. Kalo Ummi saja percaya kamu bisa menyelesaikan masalah, apalagi Kakak? Kakak jelas lebih percaya.” Aku merasa menemukan muara. Kak Aga masih sama seperti dulu, selalu menenangkan. Rasanya lama sekali tak menemukan wejangan seperti ini.

“Gimana kalo misal Hujan cerita ke temen-temen tentang ini, terus temen-temen gak paham ama perasaan Hujan. Gimana kalo mereka malah nyalahin Hujan yang buru-buru nolak niat baiknya Gus Dewa?” Sejujurnya ini bukan perihal pendapat kawan-kawanku, aku saja tak berniat menceritakan apapun pada mereka. Ini justru tentang perasaanku. Aku yang belum benar-benar rela menolak niat baik Gus Dewa.

“Hujan, berhenti meminta orang lain untuk memahami kamu. Kamu yang harus memahami diri kamu sendiri. Selagi kamu mampu memahami diri kamu sendiri, memahami apa saja yang kamu butuhkan, memahami apa saja yang harus kamu tinggalkan, hidup kamu akan baik-baik saja.”

“Jalan kamu masih panjang, Hujan. Kuliah yang benar, mengaji yang rajin. Seimbangkan antara belajar dengan ibadah. Allah selalu paham mana yang terbaik. Jangan cuma fokus sama masalah ini. Jodoh bukan satu-satunya perkara yang ada di hidup kamu. Banyak hal yang masih harus kamu tekuni.” Kak Aga sungguh mempesona. Mempesona sebagai seorang kakak maksudku. Aku benar-benar mengaguminya dari sisi mana pun.

“Kak, makasih. Hujan seneng banget bisa denger nasihat-nasihat Kak Aga. Jangan pernah kemana-mana lagi ya, Kak. Hujan gak tau cari tempat nyaman di mana lagi kalo gak ke Kak Aga.” Kak Aga kulihat tersenyum dan mengangguk.

“Kak Aga gak pernah ke mana-mana. Kapan pun dan di mana pun, Kak Aga selalu jadi miliknya Hujan. Hujan boleh cerita apapun ke Kak Aga dan selagi Kakak bisa kasih solusi, Kakak akan kasih.” Kak Aga masih tersenyum. Aku mengangguk mantap. Kelak, siapa pun yang menjadi istri Kak Aga, aku yakin seratus persen jika hidupnya akan membahagiakan. Kak Aga selalu membuat siapa pun nyaman. Wajar jika semua manusia dari berbagai kalangan menyukai Kak Aga. Buya dan Bunda yang seumuran orangtua, anak-anak didiknya yang masih kecil, Bulan yang remaja, aku yang dewasa, semua orang menyukai Kak Aga. Jadi kelak, siapa pun wanita beruntung itu, kuharap ia yang terbaik untuk Kak Agaku.

*****
Nak Agaaaa, lupyuuu. Sini Mamak peluk. Kamu bijaknya diajarin siapa sih, Nak? 😘.

Hai, rindu Aga? Tuh Aga muncul. Jangan diapa-apain pokoknya 😂.

Oh ya, Naya sadar diri kalo lama gak up. Ini Naya kasih bonus up panjangggg banget. Jangan tanya kapan next, doain aja semoga Naya istiqomah hehe.

Jangan lupa!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 💖.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro