Bab 21 Dia yang hidup di masa lalu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Rembulan semakin redup, begitupula gemintang yang tak berpihak pada gulitanya malam. Seperti malam ini, dibalik tangis yang gemetar dan hawa panas yang mulai menyergap, seseorang datang begitu saja merengkuh Dewi.

Kepalanya sudah berdengung karena ia terdorong terkena sesuatu benda akibat melawan tadi.
Kini Dewi tak lagi mendengar suara Shinta dan teman yang lenyap entah kemana. Perlahan ikatan matanya terbuka dan hal yang pertama Dewi lihat adalah tatapan cemas yang tampak pada pemuda memiliki netra coklat yang belakangan ini selalu menghantui hidupnya.

Air mata Dewi mengalir lagi, ia mulai merengek dan menangis kencang dengan ucapan syukur yang terus terucap pada hatinya.

Dewa paham perasaan Dewi, ia mengelus punggung gadis itu perlahan dengan tidak melepas rengkuhannya, seolah olah jika dilepas akan hancur lebur seperti cangkang telur yang sudah terkelupas.

Kebetulan yang entah seperti apa, tiba-tiba saja Dewa melihat segerombolan gadis seperti sedang memarahi seorang gadis yang sedang mengambil jajanan yang jatuh ke aspal. Awalnya, Dewa tak begitu menggubris, ia kembali ke kegiatannya yang ingin pulang setelah membeli titipan minyak goreng ibunya di supermarket terdekat. Namun, sesuatu hal mengejutkan Dewa, ia melihat gadis itu di seret secara paksa dan sekilas ia melihat Dewi.

Sungguh, melihat itu sesaat Dewa ingin salah melihat saja, trauma beberapa tahun lalu membuat Dewa begitu terpuruk, bagaimana ia tak bisa menjaga orang yang sangat ia sayangi. Tanpa berpikir lagi, segera Dewa mengikuti segerombol gadis itu yang menyeret Dewi dan setelah beberapa lama bersembunyi, barulah ia keluar dari persembunyiannya dan menyelamatkan Dewi di waktu yang tepat.

“Lo gapapa?” tanya Dewa setelah rengkuhannya terlepas.
Dewi tak menjawab, pandangannya hanya kosong.

“Gue mau pulang.” Satu kata yang terlontar dari mulut Dewi dan dengan sigap Dewa membantu Dewi, ia harus memastikan bahwa Dewi harus sampai rumah dengan selamat, hingga lupa ibunya menunggu minyak goreng di rumah.
Entahlah Dewa sudah tak memikirkannya lagi.

***

Malam yang kelam, kini rembulan redup, seperti lampu pijar yang rusak cahaya rembulan berpendar-pendar.

Selangkah demi selangkah, Dewi berjalan menuju rumahnya. Jika saja ada karpet ajaib Aladin yang bisa mengantarkannya ke rumah tanpa harus berjalan kaki, mungkin sangat membantu Dewi saat ini.

Dewa mengikuti Dewi dari belakang, setelah rengkuhan yang singkat itu, Dewa tak berkuasa lagi untuk menenangkan hati gadis itu. Mengantarnya ke rumah dengan aman ialah yang Dewa lakukan sekarang, Demi menjaga Dewi. 

Beruntungnya tak terlalu jauh jarak rumah Dewi ke tempat tadi dan bisa ditempuh dengan jalan kaki.

"Ya, Ampun, Wi. Darimana saja kamu, katanya beli ciki-ciki di supermarket depan, kok lama banget." Ibu Dewi menghampiri Dewi yang berdiri di depan pintu rumah saat mengetukkan pintu.

Dewi terus saja menunduk, ia sungguh tak berani menatap wajah khawatir ibunya, hingga air mata itu menetes begitu saja dan jatuh mengenai kakinya dan ibunya yang berdiri di depan Dewi.

"Eh, kamu kenapa?" tanya Dayanti memegang dagu Dewi, supaya ia bisa melihat wajah anak gadisnya itu.

"Ibuu!" Tangis Dewi pecah, ia merengek seperti anak kecil, luka di hatinya sudah terlampau busuk.

"Eh, kenapa, toh." Ibu Dewi segera memeluk Dewi, ia sungguh cemas sekarang. Di pandangnya Dewa yang berdiri di belakang Dewi dengan wajah yang juga sendu.

Dayanti tidak mengenal pemuda yang bersama Dewi ini, kini ia hanya fokus menenangkan hati Dewi dulu, sungguh Dewi adalah tipe gadis yang jarang sekali merengek, menangis saja Dayanti jarang melihatnya. Dewi adalah tipikal seseorang yang menggunakan jurus 'gapapa' saat ditanya tapi ia akan menangis sejadinya saat sendirian. Melihat Dewi yang menangis dan merengek seperti ini membuat Dayanti heran sekaligus khawatir.

"Sakit, Bu. Sakit..," rintih Dewi dibalik dekapan ibunya.

"Iya, Sayang. Nangis aja kalau sakit." Dayanti menepuk punggung Dewi pelan dan mengelus kepala Dewi dengan lembut.

Dewi terus saja menangis, tepukan punggung itu dan elusan yang ia rasakan membuat Dewi tak mau keluar kemana-mana. Tak mau melihat siapa pun kecuali ibunya, ya bahkan tak mau melepas pelukan ini jika cahaya yang terlampau terang yang menyapanya dan membuat ia terpuruk.

Dewa merasa Dejavu dengan keadaan Dewi sekarang, ia merasa Gangga ada di hadapannya sekarang, merengek meminta es krim dan menangis karena Dewa menjahilinya dan ibunya yang menenangkan gadis itu persis apa yang ibu Dewi lakukan sekarang.

Dewa menengadahkan kepalanya melihat ke langit hitam di atas sana, upaya supaya air matanya tidak jatuh ke bumi. Perasaan rindu itu terus saja menusuk Dewa, perasaan bersalah yang begitu mencekik Dewa yang hampir mati.

"Abang, rindu kamu, Dek." batin Dewa. 

Mendengar suara tangisan di pintu depan, membuat Pak Prapto penasaran, ia tak lagi menghiraukan siaran debat di salah satu siaran nasional.

"Kenapa ini?" tanya Prapto melihat Dewi yang berada di pelukan ibunya. Kehadiran Dewa di antara mereka pada jam segini membuat Prapto semakin bertanya-tanya.

Dewi melepas pelukannya, dan mengusap air matanya menggunakan kedua kaos ujungnya.

"Kamu siapa?" tanya Prapto beralih memandang ke arah Dewa.

Dewa maju ke depan, dan menyalim tangan ayah Dewi.

"Dewa, Om. Temennya Dewi, tadi saya hanya berniat untuk mengantarkan Dewi pulang karena hari sudah malam, Om."

Prapto manggut-manggut dan menelisik penampilan Dewa dari ujung kepala sampai kaki.

"Iya, dia temen Dewi, Pak. Tadi Dewi mau ke supermarket gak sengaja ketemu dia, jadi ya dianterin karena sudah malam," ucap Dewi bantu menjelaskan dengan suara khas baru nangis.

Melihat Dewi yang tampak sedih, Prapto tidak lagi bertanya lebih lanjut. Ia menyuruh Dewa untuk pulang dengan cara halus, karena sekarang bukan waktunya untuk bertamu. Dewi masuk ke dalam menuju kamarnya.

"Baik, saya permisi dulu, Om, Tante. Maaf menganggu waktunya, assalamualaikum," pamit Dewa pergi meninggalkan rumah Dewi.

"Waalaikumsalam, hati-hati ya," ucap Dayanti kepada Dewa dan Dewa membalasnya dengan ucapan terima kasih.

***

Roda berputa begitu cepat, berlomba dengan waktu yang juga berlari dengan cepat tapi tepat.

Sebelum benar-benar pulang Dewa membeli minyak goreng titipan ibunya, beruntung ia memiliki ingatan yang kuat jika tidak mungkin pulang-pulang Dewa dihadiahi omelan ibunya sebagai pengantar tidur malam ini.

Selain membeli minyak goreng, Dewa juga membeli es krim stik rasa mangga dan jeruk. Dewa tak pernah merubah kegiatannya untuk membeli es stik rasa jeruk meski tidak ada lagi yang memakannya.

Air mata Dewa merembes begitu saja, membuat petugas kasir Indomaret cemas melihat seorang pemuda tanggung yang meneteskan air matanya.

"Mas?" panggil petugas supermarket itu.

Dewa tersadar dan segera ia merogoh saku celananya dan mengusap air matanya, segera ia membayar belanjanya dan keluar dari Supermarket. Petugas kasir supermarket begitu cemas, mengira Dewa tidak membawa uang untuk membayar barang yang ia ambil.

"Ah, lo kenapa sih, Wa," rutuk Dewa pada dirinya sendiri.

Kejadian tahun lalu begitu membekas kepada Dewa, segalanya tentang Gangga masih tak bisa Dewa lupakan. Es stik rasa jeruk, tawa bocah itu dan tangis Gangga karena Dewa menjahilinya membuat Dewa sangat merindukannya hingga begitu sesak.

"Abang... Jangan ganggu aku ih, Abang bau." Gangga menggeser tubuh Dewa yang baru saja pulang dari rapat OSIS.

"Abang, pulang nanti beliin es krim rasa jeruk ya, awas aja lupa!"

"Abang, sana ih, sempit tau aku mau belajar. Abang ganggu!"

"Abang, jadi jemput aku?"

"Abang, dimana?"

"Abang, sakit... Aku salah apa, Bang?"

"Selamat tinggal, Bang Dewa."

Akhh!

Kepala Dewa beneran mau meledak, suara itu begitu menggema di kepala Dewa. Segera ia masuk rumah saat sudah nyampai dan langsung saja masuk kamar setelah meletakkan pesanan ibunya serta es krim tergeletak di atas meja.

Dewa menangis dalam diam, berkali-kali ia mengacak rambutnya dan juga menepuk dadanya.

"Andaikan... Andaikan hari itu gue gak sibuk, andaikan hari itu bukan hari pertama gue ospek, andaikan hari itu gue bisa jemput, Gangga."

"Bodoh, Wa. Bodoh."

Dewa terus saja memarahi dirinya, ia benar-benar sangat memarahi dirinya sendiri, Gangga Putri Dewi adiknya satu-satunya yang sangat ia sayangi itu di bully oleh teman sekelasnya dengan alasan klise, hanya karena tubuh Gangga lebih mungil dari teman sekelasnya.

Dewa mengambil foto ia berdua bersama Gangga, saat hari kelulusannya. Kolase foto itu terlihat bagaimana Dewa menggunakan jas hitam dengan gagahnya merangkul Gangga yang mengenakan seragam SMA.

Bagaimana bisa waktu berjalan begitu cepat dan mengambil orang yang tersayang tanpa pandang bulu, dan bagaimana bisa Dewa tak pernah sekalipun mengetahui tentang masalah adiknya dan bagaimana bisa Dewa tak ada saat Gangga butuh pelukan darinya, yang ia tau hanya pada hari Gangga meninggalkan Dewa untuk selamanya tanpa pernah pamitan sekali pun.

Dewa sangat menyesali itu.

***



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro