Bab 22 Ketika Dewa bercerita

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kapas terbang itu berarak-arakan mengikuti kemana angin berhembus. Putih biru serta kuningnya mentari menghiasi pagi ini.

Hari yang cerah untuk memulai hari, tapi hari yang cerah ini tidak berlaku bagi seorang gadis yang terus bersembunyi dari balik selimutnya dengan tetesan bening dari sudut mata yang tak berhenti dari semalam.

"Wi, kamu gak kuliah? Makan dulu yuk." Suara Dayanti terdengar jelas dari balik pintu kamar, ada sarat kekhawatiran yang terlihat jelas pada wajahnya.

Dewi tidak menyahut, kejadian semalam seperti kaset rusak bagi Dewi, dan kejadian beberapa tahun lalu menimbulkan trauma yang sangat mendalam bagi Dewi.

Tubuhnya bergetar, bibirnya bahkan memerah ada seperti bekas gigitan karena menahan tangis dan juga mata yang bengkak serta kering, membuat Dewi benar-benar takut, menemui ibunya saja ia tak sanggup. Dewi sungguh tak kuat melihat wajah sedih orang tuanya.

"Sudahlah, Bu. Biarkan saja dulu, Dewi perlu waktu," ucap Pak Prapto menyusul istrinya yang berdiri di depan pintu kamar Dewi.

"Tapi, Pak..."

Prapto memegang bahu istrinya menguatkan, mereka sama-sama takut. Kejadian beberapa tahun kemudian tidaklah mudah dilupakan, kini mereka berusaha untuk percaya kepada putri mereka, bahwa Dewi tak akan menyakiti dirinya sendiri.

Pagi itu, meja makan sepi, ayam goreng serundeng buatan Dayanti tak tersentuh hingga Prapto pamit berangkat kerja, hingga siang tak sejengkal pun Dewi keluar dari sarangnya.

Dayanti makin gelisah, beberapa kali ia mengetuk pintu kamar putrinya, dan ketukan dan panggilan sekian kali barulah Dewi keluar. Entah semesta merencanakan apa, bertepatan dengan Dewi yang baru saja keluar dari rumah, bel rumah berbunyi. Segera Dayanti ke ruang depan untuk melihat siapa tamu yang datang, sedangkan Dewi pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya, sudah lama ia menangis dan kini ia sudah lelah.

"Masuk, Nak. Silakan jangan sungkan, tapi maaf kalau Dewi sedang dalam keadaan tidak baik sekarang," ucap Dayanti sungkan kepada pemuda dihadapannya ini.

Dewa datang ke rumah Dewi, awalnya ia ditolak oleh ibunya untuk bertamu karena kondisi mental Dewi yang lagi tak baik, tapi setelah Dewa mengatakan kejadian semalam yang berkaitan dengannya barulah ia diizinkan masuk.

Aroma Apel hijau dari pewangi lantai mengapa Indra penciuman Dewa saat masuk ke rumah yang asri itu. Dewa duduk di ruang tamu, selagi menunggu ibu Dewi memanggil Dewi, yang mana Dayanti tak yakin ingin menemui seseorang sekarang.

Namun, sebelum ibu Dewi memanggil Dewi di kamar mandi, Dewi sudah berdiri di dekat ruang tamu. Matanya terpaku pada sosok netra coklat yang menampilkan senyum tipis kepadanya kali ini.

Dewi tak tau harus berekspresi apa.

"Hai."

Sapaan canggung itu mengudara pada ruang kubus yang bernuansa warna cream tersebut. Dewi tak bisa berkat-kata, disatu sisi ia tak ingin bertemu dengan siapapun sekarang, tapi disisi lain ia merasakan lega bahwa Dewa yang ada disini sekarang.

Dayanti yang berada di dapur, melihat Dewi yang tak kunjung membalas sapaan pemuda yang baru ia ketahui bernama Dewa itu, cukup ketar-ketir. Karena, Dayanti akan merasa tidak enak pada tamu yang datang, terutama tak pernah sekali pun teman Dewi yang berkunjung. Apalagi Dewa adalah seorang lelaki, tentu seorang ibu tidak buta dengan kisah asmara putrinya.

Dewi tak pernah menceritakan tentang sosok lelaki yang ia kagumi atau perasaan semacam anak remaja perempuan pada umumnya, tapi melihat Dewa yang dengan berani datang kesini setelah kejadian malam itu, membuat Dayanti yakin bahwa mereka ada sesuatu hubungan. Cuma, Dayanti tidak tau saja menyebut mereka apa.

Dewa terus menatap ke arah Dewi yang masih saja berdiri tak bergerak, celana pendek di bawah lutut serta kaos oblong yang warnanya sudah kusam dan rambut yang diikat asal, membuat Dewa bisa menebak bahwa Dewi tidak keluar kamar dalam waktu yang cukup lama.

Air yang menetes dari wajahnya akibat cuci muka tadi, sebagai tanda juga bahwa Dewi baru bangun dari tidur.

"Gue boleh bicara?" tanya Dewa dengan hati-hati, perasaan kalut semalam membuat Dewa ingin sekali untuk membantu gadis dihadapannya ini.

Setelah Dewa memecahkan hening pada ruangan persegi itu, Dewi berjalan ke arah dapur untuk mengambil tisu yang ada di meja untuk mengelap wajahnya, lalu duduk di ruang tamu bersama Dewa. Sungguh, pergerakan itu bukanlah kemauan Dewi, tapi tak tau mengapa tubuhnya seperti bergerak sendiri, seolah-olah suara Dewa berbicara lebih ingin ia dengar daripada berdiam diri lagi di kamarnya.

Dayanti yang melihat itu sungguh takjub, ia cukup kaget dengan reaksi Dewi. Tak pelak lagi, putrinya mulai jatuh cinta. Segera Dayanti menyiapkan minum untuk Dewa, minuman yang akan menjadi penawar luka bagi kisah mereka berdua.

"Silakan dinikmati ya, Nak Dewa." Dayanti menyuguhkan dua gelas teh dingin serta roti Roma kelapa yang ada di dalam toples kecil.

"Aduh, makasih banget, Tan. Maaf Ngerepotin," ucap Dewa sungkan.

Dayanti terkekeh, "Gak usah panggil Tante ih, panggil ibu aja, soalnya ibu gak sekaya itu dipanggil Tante," ucap Dayanti.

Memang benar, panggilan 'Tante' itu hanyalah untuk mereka yang berada di kelas menengah atas, untuk keluarga Dewi yang sederhana sebutan itu tak pantas disematkan pada Dayanti, lagi pula tempat tinggal mereka bukanlah di perumahan elit Jakarta pusat sana, hanya perumahan biasa, jadi sangat jarang seseorang memanggil Dayanti sebagai sebutan Tante.

"Ah, ya, Buk. Makasih minumannya."

"Iya, sama-sama. Ibu ke belakang dulu ya, yang nyaman ya."

Dayanti pergi ke dapur, Dewa meminum es teh yang disuguhkan, sedangkan Dewi hanya diam seperti patung.

"Mau ikut gue ke suatu tempat gak?" tawar Dewa setelah menyeruput es tehnya.

"Kemana?" tanya Dewi pada akhirnya, ia cukup mengerutkan kening mendengar Dewa tiba mengajaknya pergi.

Sejujurnya Dewa bingung harus menghibur dengan cara yang bagaimana, tapi mungkin ia akan mengajak Dewi ke suatu tempat yang ia merasakan pulang di sana, di suatu tempat dimana Gangga ada disana.

***

Aroma bunga melati yang pertama kali tercium oleh hidung Dewi, tanah yang luas dengan banyak nisan di hadapannya ini, membuat Dewi begitu hati-hati untuk melangkah. Karena sedari kecil, Dewi pernah mengikuti ayahnya menguburkan tetangga yang meninggal dan saat itu Dewi tak bisa diam hingga tanpa sengaja kaki Dewi masuk lubang yang dimana membuat Dewi kecil menangis.

Setiap lubang yang ada di pemakaman selalu meng sugesti Dewi bahwa ada tangan yang menangkap kakinya jika masuk lubang tersebut, entah itu fakta atau mitos untuk menakuti Dewi kecil saat itu, tapi pikiran itu selalu terbawa di kepala Dewi hingga sekarang.

Dewa melangkah perlahan, menunggu Dewi yang melangkah dengan sangat teliti supaya kakinya tidak masuk lubang dari setiap nisan yang mereka lewati.

Yeah, akhirnya Dewa berhasil membawa Dewi ke tempat ini, walau cukup susah untuk meyakinkan gadis itu, tapi akhirnya luluh juga. Dan Dewa bertemu dengan Gangga lagi.

"Assalamualaikum, Dek. Abang datang lagi."

Dewi cukup kaget saat Dewa bersuara memanggil kata 'dek' pada nisan di hadapannya ini.

Gangga Putri Dewi.

Nama yang terlukis indah pada Nisan itu.

"Kenalin, Wi. Gangga adik gue," ucap Dewa memecahkan keheningan.

"Halo Gangga, salam kenal aku Dewi," sapa Dewi pada Nisan yang dihadapannya itu.

Dewa berpikir jika saja Gangga masih bernapas hingga sekarang, mungkin mereka bisa berteman akrab, apalagi pembawaan Gangga yang heboh, pasti Gangga bakalan mengejek nama mereka yang sama.

"Yeah, Abang tau kamu akan bereaksi apa sekarang," ucap Dewa seolah-olah apa yang ia tebak adalah benar, seolah-olah Gangga ada di hadapan mereka sekarang.

"Benar emang, nama kami sama Dewa dan Dewi, yang dulu kamu pengen punya nama itu, kamu yang kekeuh untuk di panggil Dewi supaya bisa samaan kayak kembar, padahal Gangga adalah nama yang tak kalah cantik juga, sama kayak kamu yang selalu cantik dari dulu."

Cantik.

Satu kata berjuta makna, satu kata berjuta penjelasan dan satu kata berjuta penasaran.

Sebenarnya apa cantik itu sendiri?

Apakah memiliki kulit yang mulus di sebut cantik?

Memiliki postur tubuh yang tinggi adalah cantik?

Atau bahkan memiliki rambut lurus panjang juga standar kecantikan?

Apa cantik itu?

Pertanyaan yang tak ada sudahnya, jika kita hanya mengukur dari yang tampak saja, padahal cantik itu tercipta dari hatinya sendiri.

"Gangga meninggal dua tahun lalu, saat ia pikir menjadi buruk rupa dan memiliki postur tubuh yang begitu pendek, menjadi tolak ukur kecantikan," jelas Dewa menatap sendu ke Arah Dewi.

Kejadian itu benar-benar tak bisa terlupakan dan kalimat itu membuat Dewi tertegun begitu lama.

"Jadi, untuk lo jangan seperti dia, hilangnya bukannya gak berdampak sama orang sekitar, bahkan hilangnya lo di dunia bisa merubah hidup orang yang paling lo sayang, jadi Wi. Bertahan ya, gue gak mau ada yang hilang lagi."

Dewa, kenapa dia amat begitu ingin membuat Dewi ingin menangis terharu. Pemuda itu berhasil membuat Dewi merasa begitu berharga.

***






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro