02.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam itu Moreno hanya mondar-mandir di kamarnya. Ia yakin, ada yang tak beres.
Siapa sebenarnya cewek tersebut? Mengaku-ngaku pacarnya, mengaku teman sepermainannya, mengaku cinta mati dengannya, busyet, nangis-nangis lagi.

Ingin diabaikan, tapi telpon iseng tersebut seperti tak berhenti mengganggunya. Terjadi lagi, lagi dan lagi. Dan sungguh, Moreno terganggu.

Cowok itu sempat menduga, mungkin saja ini ulah salah satu cewek yang sakit hati karena cintanya ia tolak.
Masalahnya, cewek yang pernah ia tolak cintanya tak cuma satu atau dua, tapi seabrek!

Jadi, bagaimana mungkin ia bisa mengingatnya satu persatu?

~ * ~

Moreno menyusuri lorong kelas dengan perlahan. Sekolah sudah mulai lengang karena pelajaran sudah berakhir sekitar satu jam yang lalu. Namun begitu masih ada beberapa siswa yang duduk-duduk di teras dan juga taman sekolah. Macam-macam yang mereka lakukan. Ada yang mengobrol, berdiskusi, bercanda atau hanya duduk-duduk saja.

Cowok itu melangkah dengan santai tanpa melihat ke arah mereka. Ia memang tak biasa menyapa mereka atau bahkan mengumbar senyum pada sembarang orang. Terang saja, julukannya ‘kan Si Belagu, akan kelihatan aneh kalau tiba-tiba ia berubah jadi friendly.

Moreno nyaris saja menabrak Malika yang tiba-tiba nongol dari pertigaan lorong kelas. Cowok itu menatap Malika dengan tatapan sebal.

“Bisa nggak sih kamu jalan hati-hati?” gerutunya. Malika juga menatap cowok tersebut dengan tatapan tak ramah.

“Aku juga mau bilang gitu. Bisa nggak sih kamu jalan hati-hati?” Kalimatnya tak kalah ketus.

Moreno menatapnya sesaat.
“Oh, kamu yang dapet nilai empat kemarin, kan?”

Kedua bola mata Malika yang bulat indah membelalak.
"Makasih ya udah diingetin. Tapi asal kamu tahu, mau dapat nilai empat ataupun delapan, itu bukan urusanmu!” jawabnya.

Moreno menatapnya sinis.
“Ow, maaf banget ya kalo kamu pikir aku bakalan kepo sama kamu. Please, jangan ge-er karena aku juga nggak mau capek-capek ngurusin urusan orang lain. Tapi jika boleh, aku pengen ngasih saran sama kamu. Rajin-rajinlah belajar, oke?” Setelah berkata begitu, Moreno beranjak.

Malika menatapnya dengan kesal. “Tunggu,” panggilnya.

Moreno menoleh. “What? Pengen minta  maaf? Nggak perlu. Aku nggak marah, walau kamu udah mencoba menabrakku dengan sengaja, sama seperti yang dilakuin cewek-cewek lain padaku,” jawabnya.

Dieng!
Sekali lagi Malika membelalak mendengar ucapan Moreno.

Busyet, nih orang cakep-cakep tapi  mulutnya tak punya adat istiadat banget sih!

“Hah? Sengaja nabrak kamu?! Kamu pikir aku cewek apaan? Jangan samakan aku dengan mereka yang mau jungkir balik ngejar-ngejar kamu! Aku nggak tertarik!!” teriaknya.

Moreno menatapnya dengan tatapan dingin. “Basi deh,” ucapnya. Ia kembali berbalik dan melangkahkan kakinya.

“Dengerin woi! Aku nggak tertarik sama kamu!” Malika kembali berteriak – tak kalah senewen - sementara Moreno tetap melangkahkan kakinya dengan cuek.

~ * ~

Setelah sampai rumah, Malika masih uring-uringan ...

Ia melemparkan tas-nya ke meja dengan jengkel.
“Dasar orang sinting. Kenapa orang arogan macam dia masih juga dikejar-kejar sih? Apa di dunia ini udah nggak ada lagi cowok yang lebih baik, lebih manis, lebih cute, lebih ramah, dan lebih nyenengin gitu?” Ia menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur.
"Cakep apaan?" Napasnya naik turun menahan amarah. Sesaat kemudian ia kembali bangkit seraya memukul-mukul bantal dengan gemas.

“Orang macam dia mestinya tuh dibanting-banting, diajak adu jotos. Lebih bagus lagi kalau dia digebugin orang sekampung sampai babak belur. Suatu saat nanti, aku pasti bisa memeluknya kemudian meremukkan tulang-tulangnya,” gerutunya lagi.

Cewek itu mendelik sesaat, teringat sesuatu. Ew, kok pakai kata ‘memeluk’?

“Ah, lupain kata memeluk. Pokoknya, aku ingin meremukkan tulang-tulangnya, titik,” ia dongkol. Sesaat ia bangkit, mondar-mandir, marah-marah, mondar-mandir lagi, dan marah-marah lagi.

~*~

Moreno mendesah kesal.

“Kamu lagi rupanya?” gerutunya.

Si penelpon tertawa.

"Ya, ini aku. Dewi Cinta, pacarmu," jawab dari seberang sana.

“Mau apa lagi?”

"Sudah makan apa belum, Sayang?"

“Apa pentingnya kamu tahu aku udah makan atau belum?” Moreno menjawab ketus.

Terdengar tawa renyah.

"Aku cuma pengen tahu keadaanmu aja."

“Gak penting banget sih.”

"Tentu aja penting buat aku. Kita ‘kan sepasang kekasih."

“Kekasih your head! Sampai kapan kamu akan terus menggangguku?” Suara Moreno meninggi.

"Mengganggumu? Aduh, jangan berlebihan begitu dong, Sayaaang. Aku ‘kan cuma pengen tahu kabarmu, apa iya itu mengganggu?"

“Identitasmu yang nggak jelaslah yang membuatku terganggu.”

Si Dewi Cinta kembali tertawa.

"Identitas? Aku ini Dewi Cinta, pacarmu. Identitas apa lagi yang pengen kamu tahu?"

Moreno mendesah kesal.  “Sebenarnya maumu apa sih?” tanyanya gemas.

"Cintamu."

“Omong kosong,” bibir Moreno berdecih.

"Aku bener-bener nggak bisa hidup tanpamu, Moreno. Aku lebih baik mati jika kamu berani ninggalin aku."

“YA UDAH, MATI SAJA SANA!!”

Brakk! Moreno menutup telpon dengan kesal. Cowok itu mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.

~ * ~

Hari selanjutnya…

Moreno membelalak. Jarum jam di dinding menunjukkan tepat pukul 2 malam. Tadinya ia sempat ogah mengangkat telpon tersebut. Tapi, feelingnya mengatakan kalau ada yang menelpon dini hari, pasti ada kabar buruk. Akhirnya, ia menjawab juga telpon dari nomor yang tak  ia kenali tersebut.

Dan baru saja ia menempelkan telpon itu di telinga, terdengar suara cempreng dari seberang sana.

"Sayaaaaang ...."

Moreno melotot.

“Kamu ....?”

"Iya, ini Dewi Cinta, pacarmu."

“Duh Gusti, untuk apa kamu menelponku tengah malam begini?”

Suara dari seberang sana tertawa kecil.

"Cuma pengen denger suaramu aja," jawabnya.

“Tapi ini jam 2 malam?!” Moreno nyaris menjerit.

"Bodo amat, yang penting ‘kan aku bisa dengar suaramu. Moreno, I miss you. Jangan marah, please. Sama pacar sendiri dilarang marah-marah lho."

“Persetan!” teriak Moreno.

Dewi Cinta kembali tertawa.

"Harus gimana lagi aku meyakinkanmu bahwa di hatiku cuma ada dirimu seorang?"

“Bodo amat.”

"Sayaaang ..."

“SAYANG DARI HONGKONG?! JANGAN PANGGIL AKU SAYANG, AKU BUKAN PACARMU!! DASAR ORANG GILA!!” Moreno kembali menjerit, kali ini frustrasi.

"Aku orang gila yang tergila-gila sama kamu."

“What??”

"Aku lagi syantik, tapi bukan sok syantik. Pengen berduaan, dengan dirimu, Sayang..."

Moreno ternganga. Lah, dinyanyiin lagunya Sibad?!

"Oh, Moreno, Sayangku, Cintaku, Kekasihku, I Love You. Mmmuuuaacchh ...."

Moreno nyaris tersedak ludahnya sendiri.

“K-Kamu memberikanku ... ciuman?!” Ia menggigit bibirnya.

Tega sekali anak ini? Ia bahkan belum pernah punya pacar dan cewek keparat ini memberikan... ciuman jarak jauh?
Ia meratap dalam hati.

" Tentu saja, Sa-yaaaang. Kamu mau lagi? Oh Moreno Kekasihku, Sayangku, Cintaku, Mmmuuaachh ...."

Moreno meradang. Tangannya mengepal hingga buku-buku jemarinya memutih. Raut mukanya merah padam menahan amarah.

“Berani-beraninya kamu ....” Ia mendesis.

Terdengar cekikikan dari seberang sana.

Dan amarah Moreno meledak. Ia bangkit seketika.

“WOII!! SINI KAMU KALO BERANI?!” Dan ia berteriak, tumpah sudah amarahnya. Ia mondar-mandir dengan gusar seraya menjambak rambutnya sendiri.

“WOAAH, BOSAN HIDUP KAMU RUPANYA?! SINI KALO BERANI? JANGAN BERANINYA CUMA LEWAT TELPON!” Cowok itu bahkan belum selesai berbicara ketika tiba-tiba pembicaraan putus.

“Dia memutuskan telepon?” desisnya tak percaya. Selama ini tak pernah ada yang bersikap tak sopan padanya? Tak.ada.

Dan gadis gila ini baru saja melakukannya!

"DASAR SETAN!!”

Dan ia hanya mampu berteriak pada layar ponsel yang sudah mati.

~ * ~

Sementara itu di tempat lain...

Malika melirik jam di dinding. Ia tertawa cekikikan.
“Rasain. Semoga aja kamu nggak bisa tidur. Semoga aja kamu bangun kesiangan, kamu terlambat ke sekolah, dan kamu dihukum,” gumamnya. Ia meraih selimutnya lalu kembali terlelap.

~ * ~

“Gimana tugasnya?” Susi mencubit pipi Malika dengan gemas. Yang dicubit pipinya tersenyum seraya menunjukkan jempolnya. Mulutnya penuh dengan roti isi.

“Kalo gitu, ini buatmu. Yang lainnya menyusul, oke?” Susi dan Anna mengeluarkan DVD Film  dari dalam tas lalu menyerahkannya pada Malika.

Mata Malika segera jelalatan. “Whoaa, sangkyu,” ucapnya dengan tergopoh-gopoh, masih dengan mulut yang penuh makanan, sehingga tak ayal, beberapa muncrat ke tubuh Susi dan Anna. Duo sahabatnya itu cuma nyengir. Ah, terkena semburan naga dari mulut Malika mah sudah biasa.

“Kamu pulang dulu aja. Kami masih ada latihan basket,” ujar Anna kemudian.

“Ikut, boleh?” tanya Malika kemudian.

“Ikut latihan basket?”

Malika menggeleng. “Cuma pengen lihat saja.”

Anna dan Susi mengangguk tanpa ragu.
“Oke, yuk.”

Dan mereka pun menuju lapangan basket.

Ini untuk pertama kalinya Malika menemani Anna dan Susi latihan basket. Biasanya kalau mereka lagi latihan basket, Malika selalu memilih untuk pulang dulu, atau menunggu mereka di ruang musik.

Eit, jangan salah. Dia tidak ikut kelas musik kok. Dia juga cuma nonton anak-anak lain latihan musik. Buat dia, itu lebih menyenangkan daripada nonton basket. Haha ...

Sebenarnya Malika juga ingin seperti teman-temannya yang lain. Ikut banyak extrakurikuler untuk mengasah kemampuan. Tapi sayangnya ia tak bisa.

Kadang ia sempat bingung dan bertanya pada dirinya sendiri, sebenarnya ia berbakat di bidang apa? Karena selama ini ia merasa tak pintar di banyak hal.

Jujur, kemampuannya di bidang akademik biasa-biasa saja, dan ia sadari betul tentang hal itu. Ia juga tak mahir di bidang olah raga, terutama basket dan berenang, meskipun ia anak yang tomboy. Ia juga tak bisa main musik sama sekali. Jangankan main musik, membaca not saja ia sering salah.

Ingin ikut kelas memasak? Duh, apalagiiii... Yang bisa ia lakukan ‘kan cuma masak air sama mie instan. Wkwkwk.
Kalau ikut kelas tata busana, lah, apalagi itu!? Ia tak mengerti soal jahit menjahit ataupun sulam menyulam.
Jadi terkadang ia merenung, bakatnya di bidang apa?

Ah, ia sendiri juga tak tahu. Ia hanya tahu bahwa ia anak yang suka nonton tv, nonton film action, baca komik, dan main game. Sudah.

Oh, ada lagi! Kalo digali, ia masih punya bakat : baca puisi. Tapi itupun jarang sekali ia tunjukkan. Ia ingat bahwa selama ia sekolah di sini, ia hanya pernah menunjukkannya sekali ketika ada festival seni di sekolah tahun lalu.

~ * ~

Malika duduk di tribun penonton.

Ia asyik memperhatikan dengan saksama anak-anak yang tengah berlatih dengan keras. Raut muka mereka tampak begitu serius. Peluh yang membanjiri tubuh mereka seakan tak mereka pedulikan. Gurat-gurat kelelahan nampak dengan jelas di wajah mereka, tapi toh mereka tetap berlatih dengan penuh semangat. Menyaksikan mereka yang berlatih dengan penuh semangat, tiba-tiba saja Malika ikut semangat.

Dan tanpa sadar, tatapan matanya juga ikut memperhatikan... dia!

Ya, sosok jangkung itu! Makhluk  yang tampak begitu mencolok dan berbeda di antara yang lainnya!

Moreno.

Ah... dia. Dan tanpa sadar Malika terus memperhatikannya.
Terus ... dan terus ....

Memperhatikan ketika ia memberi instruksi pada rekan-rekannya yang lain, mendribble bola, melakukan tembakan, bergerak dengan lincah, dan berlari kesana-kemari dengan gesit.

Sebagian rambutnya tampak basah karena keringat. Peluh membanjiri wajah dan juga tubuh.
Tubuhnya? Astaga! Tubuhnya... bagus!

Sesaat Malika terkesiap. Ah, tidak. Tepatnya, ia terpesona!
Ini untuk pertama kalinya ia melihat Moreno beraksi di tengah lapangan. Dan untuk pertama kalinya pula ia sadar bahwa ia makhluk yang luar biasa tampan!

Tubuhnya tinggi dan atletis. Matanya yang bening indah tampak begitu tajam dan fokus. Ia punya rahang kokoh dan bentuk wajah aristokrat, semakin kelihatan kalau ia orang yang keras kepala. Ia juga punya tangan-tangan yang kekar, yang seakan menunjukkan betapa kuat tangannya, betapa hangat sentuhannya, betapa ....

Astaga, Malika!! Tunggu!!!

Cewek berlesung pipit itu membuyarkan lamunannya sendiri. Dan sejurus kemudian ia mulai menggerutu tak karuan ketika ia menyadari bahwa barusan saja ia mengagumi dan memuji Moreno!
Eww, enggak banget.

“Aku pasti udah gila. Aku pasti udah gila.” Ia mengomel, menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri dan tanpa alasan yang jelas, ia jadi sewot.
Dengan segera ia bangkit dari tempat duduknya.

“Ka, mau kemana?!” Suara Susi terdengar dari tengah lapangan.

“Pulang!” jawab Malika ketus tanpa menoleh sedikitpun. Anna dan Susi berpandangan.

“Dia kenapa sih?” tanya Susi. Anna hanya mengangkat bahu.

Malika terus melangkah tanpa menghiraukan sahabatnya. Ia sama sekali tak menyadari bahwa sepasang mata bening milik Moreno tengah menatapnya dengan lekat hingga tubuhnya yang mungil itu lenyap di balik pintu ruang olah raga.

Sesampainya di rumah, bayangan Moreno tetap tak bisa hilang dari kepala Malika.

Mungkin, sikapnya yang angkuh dan dingin itu merupakan daya tarik tersendiri baginya.
Mungkin...

Jika mau jujur, Moreno sosok yang berbeda sekaligus misterius. Ia sulit ditebak, sulit pula didekati. Sorot matanya yang bening teduh nan misterius terkadang membuat tatapannya terkesan angker.

Malika mendelik ketika menyadari bahwa hatinya masih saja mendebatkan tentang Moreno. Ia menyadari bahwa Moreno sosok belagu. Tapi di sisi lain, ia menyadari bahwa cowok itu punya daya tarik tersendiri. Atau, dia saja yang telat menyadarinya?

Cewek lincah tersebut menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur dan menindih kepalanya dengan bantal, berharap agar bayangan Moreno lenyap dari kepalanya.

Meskipun ia tahu bahwa cara itu tak mempan.

~ * ~

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro