03.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


“Sus, hari ini ada latihan basket lagi, kan? Ikut ya?” ujar Malika pada Susi.

“Sejak kapan kamu jadi suka sama basket?” tanya Susi heran.

“Baru baru ini aja,” jawab Malika sambil nyengir.

“Wah, bagus deh. Ini termasuk kemajuan buat kamu. Kenapa nggak sekalian aja kamu gabung sama Klub Basket?” Susi menyarankan.

Malika langsung bergidik. “Ogah,” jawabnya cepat.

Susi mencibir. “Asal kamu tahu aja ya. Nilai olahragamu tuh paling jelek di antara kami. Masak ujian olah raga  remidi terus sih? Itu nggak cocok sama kepribadianmu yang tomboy, dan kebiasaanmu yang ceplas ceplos. Malu-maluin tahu?"

Malika mendelik pada Susi.
“Iya, iya, tahu kok kalo permainan basketku payah.”

“Nggak cuma basket. Volley juga, renang juga, atletik apalagi, memang olah raga apa sih yang kamu bisa? Makan sama tidur?”

Bibir Malika mengerucut sebal mendengar semua omelan sahabatnya.

Perdebatan di antara mereka terhenti ketika Anna muncul.
“Ayo pulang,” ajaknya. Malika dan Susi mengernyitkan dahinya.

“Nggak latihan basket?” tanya Susi.

Anna menggeleng.

“Kenapa?” Kali ini Susi dan Malika bertanya bersamaan.

“Moreno nggak masuk hari ini.”

“Trenggiling itu nggak masuk?” seru Malika.

Anna dan Susi melotot.
“JANGAN PANGGIL DIA TRENGGILING! DIA ITU COWOK PALING KEREN DI SEKOLAH KITA, TEGA-TEGANYA KAMU PANGGIL DIA TRENGGILING?!!” Mereka protes hampir bersamaan.

Malika menyeringai seraya mundur beberapa langkah.

“Jadiii-TRENGGILING-itu-nggak-masuk!?” Ia kembali mengulangi kalimatnya, kali ini dengan aksen kentara dan penekanan pada setiap kata.

Anna dan Susi menarik napas putus asa.
“Iya, si KEREN itu nggak masuk sekolah hari ini. Si KEREN itu lagi sakit.”

“Sakit?!” Malika dan Susi berseru hampir bersamaan.
Anna kembali mengangguk.

“Ayo pulang. Jadi nggak semangat kalo Moreno nggak ada.” Anna berlalu diikuti Susi.

“Memang Trenggiling bisa sakit ya?” ujar Malika lagi ketika mereka keluar dari gerbang sekolah.

Anna dan Susi melotot.
“Malikaaaaaaa....!!”

Dan yang dipanggil namanya sudah kabur duluan ke arah kendaraan umum, sebelum kedua sahabatnya itu bisa menyubit lengannya.

~ * ~

"Selamat malam, Sayaang."

“Ya, Dewi Cinta, kan?” Moreno menebak cepat.
Suara dari seberang sana tertawa.
"Hebat, aku baru bilang selamat malam, kamu langsung tahu siapa aku."

“Tentu aja, aku toh udah hafal setiap lekuk dari nada suaramu,” jawab Moreno lagi.

Dan hanya kau satu-satunya perempuan yang berani-beraninya memanggilku ‘Sayang’ dan juga memberikanku ciuman jarak jauh, gerutunya dalam hati.

"Wah, sepertinya aku sudah mulai mencuri perhatianmu ya." Suara dari seberang sana kembali tertawa lirih.

“Oh, please. Jangan ge-er dan berhentilah bermain-main denganku.” Moreno menjawab ketus.

"Main-main? Aku bukan anak kecil yang suka main-main, Sayang."

“Lantas?”

"Aku cuma pengen tahu keadaanmu aja."

“Keadaanku baik, apalagi yang ingin kamu tahu?” Moreno makin ketus.

"Hei, jangan ketus gitu dong. Kamu ini lagi ngomong sama pacarmu."

“SUDAH KUBILANG AKU BUKAN PACARMU!” teriak cowok tersebut. Suara dari seberang sana tergelak.

"Hari ini kamu nggak masuk sekolah dan mereka bilang kamu sakit. Parahkah,  Sayang?"

Sesaat Moreno terdiam. Ia mengangkat alis.
“Kamu tahu kalo hari ini aku nggak masuk sekolah. Jadi benar kita berada di sekolah yang sama, kan?”

Dewi Cinta tertawa.
"Yup."  Ia menjawab pendek.
Rahang Moreno mengeras. Ia memaki dalam hati.

“Astaga, sebenarnya kamu ini siapa? Apa tujuanmu? Apa kamu salah satu cewek yang cintanya kutolak sehingga kamu harus menerorku dengan cara kayak gini?”

Dewi Cinta kembali tertawa.
"Kamu nggak bisa menolakku, Sayang. Aku dewi paling cantik sejagad raya dan aku sudah resmi jadi pacarmu."

Moreno mendesis. “Dengar, Dewi Cinta atau siapapun namamu, kelak jika aku menemukanmu, akan kujewer telingamu.”

"Jewerlah dengan mesra, aku ikhlas. Sambil dielus-elus juga bagus. Hehe." Dewi Cinta terkikik.

“Sinting!”

"Catch me if you can, Darling."

“I will! I promise!”

"I love you, Moreno. Sayangkuuu... Cintakuuu... Mmmuuuaaaachh..."

"JANGAN NGASIH CIUM JAUH LAGI?"

"Lalu apa kamu mau ciuman yang asli?"

Gubraakk!
Moreno nyaris saja terjungkal dari tempatnya.
Gadis ini... sengaja menggodanya!

"KAMPRET!"
Ia menutup telpon dengan geram.

***

Moreno menatap para sahabatnya silih berganti. Ada si David yang ayahnya orang pemerintahan. Ada si Boy, putra tunggal pengusaha terkenal. Ada pula si Charlie yang wajahnya sering nampang di majalah remaja sebagai foto model.

Malika pernah menjuluki mereka sebagai perkumpulan orang-orang senewen. Trenggiling-trenggiling senewen! Semuanya senewen!

“Mungkin aja pelakunya adalah cewek yang patah hati karena cintanya kamu tolak.” Charlie membuka suara. Moreno sudah menceritakan pada mereka perihal terror yang dilakukan Dewi Cinta.
“Ya, aku juga berpikir begitu,” jawabnya.

“Yang jelas, dia juga dari sekolah yang sama dengan kita karena dia hafal dengan semua gerak-gerikku.” Ia menambahkan.

“Masalahnya, cewek di sekolah kita tuh ratusan, dan cewek yang pernah patah hati karenamu juga nggak cuman satu atau dua orang. Jadi, mau mulai penyelidikan dari mana?” ucap Boy.

“Kenapa nggak kamu ganti aja nomor telponmu?” David menyarankan.

“Tadinya aku juga berniat menggantinya. Tapi nggak sekarang. Enggak dalam waktu dekat ini,” jawab Moreno. “Akan kuikuti aja permainan si Dewi Cinta ini sampai aku punya kesempatan untuk menangkapnya,” ucapnya lagi, geram.

“Mungkin kamu mulai curiga sama seseorang gitu?” tanya Charlie lagi.

Moreno tak menjawab.
Perlahan ia menggeleng.
Putus asa.

~ * ~

Nyaris pukul sembilan malam dan Moreno sudah bersiap hendak tidur ketika pesan singkat itu ia terima secara beruntun, hanya jeda beberapa menit saja.

Dari nomor asing, lagi.
Dan sudah bisa dipastikan, pelakunya pasti Dewi Cinta.

[Hallauuuu]

[Selamat malam]

[Sedang apa?]

[Sudah mau bobok ya?]

[Pasti sudah]

[Sudah cuci muka? Sudah gosok gigi? Sudah cuci kaki? Sudah berdoa? Minum susu?]

[Sudah pipis?]

[Sudah mikirin aku?]

[Halauuu]

[Beib...]

[Ayank Beib...]

[Balas dong!]

[Cie cieeee... Nggak punya pulsa ya?]

Jahanam!

Moreno mengumpat setelah membaca semua pesan-pesan itu.
Menatap layar ponsel dengan geram, ia sudah bersumpah, demi Tuhan Yang Maha Esa, cewek tengil ini harus ia dapatkan!

~*~

Susi menghampiri Anna.
“Malika mana?” tanyanya.
“Di lapangan basket,” jawab Anna.
“Buat apa? Hari ini ‘kan nggak ada latihan basket.” Susi tampak heran.
“Ya untuk latihan basket dong.” Anna kembali menjawab cuek.
“Sendirian?”
“He-eh.”
“Tumben dia mau latihan basket? Kesambet dari mana tuh anak?”
“Nggak tau, tapi termasuk kemajuan, kan?” Anna mengangkat bahu.

“Iya, kemajuan banget. Dan akhir-akhir ini pun ia sering nonton anak-anak klub basket latihan. Sungguh aku heran.”

Mereka berdua manggut-manggut sambil terus berjalan menyusuri lorong kelas.

“Eh, tadi pagi aku ngelihat Moreno dan teman-teman akrabnya di ruang kesenian. Sepertinya mereka sedang membicarakan hal yang teramat serius. Kelihatan banget dari raut muka mereka yang serius-serius. Bicaranya pun bisik-bisik.” Susi merendahkan suaranya.

“Kamu yakin?” Anna juga ikut-ikutan merendahkan suaranya.
Susi mengangguk.
“Jangan-jangan mereka sedang membicarakan soal terornya Malika?”
“Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan,” sergah Anna.
“Bisa aja, kan? Siapa tahu si Moreno dan teman-temannya lagi menyusun rencana untuk mencari tahu identitas si Dewi Cinta?”

“Gawat, berarti kita harus bilang ke Malika untuk lebih hati-hati.” Keduanya manggut-manggut.

“Teror apaan? Dewi Cinta siapa?”

Anna dan Susi terlonjak. Mereka menoleh. Tampak Yeri sudah berdiri di belakang mereka.

Yeri adalah siswi paling populer di sekolah. Dia cantik dengan tubuh semampai bak model. Tapi sayang, meskipun ia populer dan terkenal tetap saja ia juga jadi korban Moreno.

Ya, dia juga salah satu cewek yang jungkir balik mengejar-ngejar cinta pemuda tersebut. Tapi sayang, ia juga ditolak.

“Yeri, sejak kapan kamu ada di sini?” Anna nyaris menjerit.

“Sejak tadi.” Yeri menjawab enteng.

“Hah?” Anna dan Susi berteriak hampir bersamaan.

“Kenapa?” Yeri kembali bertanya ingin tahu.

“Kamu denger apa aja tentang pembicaraan kami?” Susi langsung menodong dengan pertanyaan.

Yeri terdiam sesaat.
“Mm, teror, Dewi Cinta, ah, entahlah,” jawabnya.

Anna dan Susi berpandangan.

“Emang teror apaan? Dewi Cinta siapa? Apa hubungannya sama Malika dan ayank Moreno?”

Anna dan Susi menggeleng cepat. “Oh, t-tidak. Kita sedang nggak membicarakan Malika sama Moreno kok,” jawab Susi. Anne manggut-manggut.

“Kami pergi dulu ya, bye.” Anna menyeret tangan Susi dan segera mengajaknya menyingkir dari hadapan Yeri.

~ * ~

Sementara itu di lapangan basket ...

Malika menyeka peluh di keningnya. Seluruh tubuhnya sudah bermandikan keringat. Napasnya naik turun karena lelah. Namun biarpun begitu, Ia masih terus berusaha berlatih basket dengan penuh semangat. Meskipun tak jarang ia harus jatuh bangun, jungkir balik, bahkan nyaris cedera.

Meskipun tidak mahir, setidaknya ia ingin bisa mendribble bola tanpa harus membuat hidungnya luka. Lho, kok bisa?
Terang saja, waktu didribble, tuh bola ‘kan langsung mental ke mukanya dia!

Cewek manis itu terus berlatih dengan keras tanpa ia sadari bahwa tak jauh darinya, sepasang mata tengah memperhatikannya dengan saksama.

“Apa sih yang nggak bisa dipelajari? Aku emang nggak berbakat, tapi setidaknya, aku masih bisa berusaha,” gerutunya.

Tiba-tiba__bug! Ia kembali terpeleset dan jatuh terjerembab.

But, it’s okay. Ini toh bukan yang pertama kalinya.

Sedari tadi 'kan ia memang sudah berkali-kali jatuh bangun dan jungkir balik tak karuan. Kalau masalah kepala kejedot lantai, atau lantai yang kejedot kepalanya, itu sih sudah biasa. (Eh?)
Toh ia masih baik-baik aja.

“Ini lagi latihn basket atau lagi apaan sih?”

Malika tersentak mendengar suara itu. Ia menoleh. Seorang cowok jangkung berdiri di pinggir lapangan.

“Moreno?” gumamnya heran. Ia bangkit. Cowok itu sudah berdiri tak jauh darinya.

“Baru kali ini aku ngelihat permainan basket seburuk ini. Kamu benar-benar payah,” ucapnya lagi.

Malika melotot.

“Apa urusanmu? Asal kamu tahu, sejak dulu aku emang nggak suka basket. Aku mempelajarinya dengan terpaksa. Jadi jika kemampuanku jauh di bawahmu, ya wajar aja. Syirik,” kata-kata Malika ketus.

“Kalo kamu emang nggak menyukainya, kenapa kamu latihan?” balas Moreno.

“Ya itu juga bukan urusanmu, kan?” teriak Malika lagi.

Cewek itu meraih bola yang berada tak jauh darinya.
“Aku mau latihan lagi, sendirian. Jika kamu nggak ada urusan, menyingkirlah dari sini,” perintahnya.

Moreno hanya mengangkat bahu lalu beranjak ke pinggir lapangan dan kembali menatap Malika yang telah berlatih kembali. Sesaat cewek itu mendelik dan menghentikan latihannya. Ia kembali menatap Moreno, kesal.

“Hei, aku 'kan udah bilang. Aku pengen latihan sendirian. Sen-di-ri-an!” Ia berteriak.

Moreno menarik napas panjang. Bukannya menjauh, ia malah beranjak dan mendekati Malika lagi. Dan dengan gerakan yang gesit, ia merebut bola dari tangan Malika, mendribble-nya lalu melakukan tembakan. Dan, masuk ke keranjang dengan sempurna! Cowok itu menatap Malika yang nampak bengong.

“Kalau kamu mau, aku bisa kok ngajarin kamu tanpa kamu harus gabung dengan klub basket,” suara Moreno terdengar melunak dan lembut.

Dan, cowok itu tersenyum ke arah Malika!

Deg, Malika terkesiap.

Bongkahan batu seakan menghantam dadanya hingga membuatnya sulit bernapas.

Moreno tersenyum padanya? Astaga, baru kali ini ia melihat senyuman ... seindah itu!

Ia bahkan baru menyadari bahwa Moreno punya bibir yang tipis dan merona cantik.
Dan senyumnya...

Ah, kenapa senyumnya bisa seindah itu? Bisa sehangat itu? Bisa ...

Ah, Enggak! Jangan tersenyum seperti itu lagi padaku! Atau aku benar-benar akan jatuh cinta padamu!
Malika menggerutu dalam hati.

“Hei, kamu baik-baik aja, kan?” Moreno mencondongkan tubuhnya ke arah Malika.

Malika seakan terbangun dari lamunannya. “A-Apa?” Ia tergagap.

“Kamu setuju dengan ideku? Bukankah berlatih bersama lebih menyenangkan ketimbang sendirian?”

Malika melongo. Lalat nyaris saja masuk ke mulutnya karena mulutnya terbuka, lebar!

Menyenangkan?
Dia bilang ... menyenangkan?
Tunggu!
Dia masih Moreno, kan?
Moreno yang itu, kan?
Yang belagu, yang sombong, yang arogan ...

Kenapa tiba-tiba dia ramah?

Menawarkan  latihan bersama?

Dan sempat bilang ... menyenangkan?

Apa cowok ini kesurupan?

Merasa bingung, tiba-tiba saja Malika limbung dan ___brukk! Ia jatuh tak sadarkan diri.

***

to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro