Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dhormy keluar dari mobil yang dikemudikan ayahnya setelah berpamitan. Ia lantas menunduk. Menyembunyikan wajahnya pada tudung hodie. Dan memasukkan tangannya ke dalam saku jaket hobie abu-abunya, lantas berlari menuju kelas.

Tanpa Dhormy melihat pun, ia sudah tahu, pasti anak-anak lain tengah menatapnya. Beberapa detik kemudian, tawa berderai. Persis seperti apa yang ia perkirakan. Semua menertawakan Dhormy. Dhormy paham itu. Oleh karenanya, ia semakin cepat berlari. Tak ingin panas matahari membuat kulitnya melepuh. Juga tak ingin membuat hatinya panas karena tawa itu.

Awalnya Dhormy mengira apa yang ia lakukan adalah hal yang benar. Berlari tanpa melihat ke depan adalah hal yang benar, lagi-lagi salah. Tanpa sengaja, Dhormy menabrak seseorang hingga membuatnya terjungkal. Untungnya ia telah berada di koridor kelasnya. Masih aman dari jangkauan sinar matahari.

"Heh?! Lo punya mata? Kalau punya, tu mata jangan dipake buat lihat batu! Lihat depan juga! Dasar Vampir!"

Dhormy mendongakkan kepala. Menatap seseorang yang baru saja memanggilnya ... Vampir. Dhormy tersenyum samar ketika yang ada di depannya adalah Toni. Si penguasa sekolah. Bukan karena ia adalah anak kepala sekolah atau yayasan, Toni hanyalah seorang siswa biasa. Ingatkan sekolahnya yang merupakan sekolah negeri.

Toni hanya seorang siswa yang mempunyai tinggi di atas rata-rata juga badan yang besar. Oleh karena itu, ia dijuluki penguasa sekolah. Karena siapa pun yang berhadapan dengannya, nyalinya seketika ciut. Siapa yang tidak takut dengan seseorang yang tinggi dan besar sepertinya?

Dhormy yang saat itu masih berusaha menulikan pendengarannya, memutuskan untuk bangkit. Lalu melewati Toni begitu saja. Namun sayang, Toni tak semudah itu untuk dilewati. Sebenarnya Dhormy tahu persis apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi ia memilih diam.

Jangan lupakan prinsipnya satu itu.

"Lo mau apa hah?! Enak banget main lewat gitu aja! Bersihin sepatu gue yang udah lo injak tadi!" Dhormy mengangguk.

Ia dan Toni sudah mulai mencuri perhatian yang lain. Bahkan Dhormy mendengar namanya disebut-sebut dalam bisikan. Namun sekali lagi, Dhormy berusaha menulikan pendengarannya. Dan kembali menganggap bahwa bisikan itu hanyalah angin belaka.

Sebenarnya ia tak mau melakukan itu. Kalau bukan karena ia terpaksa, dan ingin segera memasuki kelas, makanya ia memilih untuk mengiyakan saja apa kata Toni. Toh, sebentar lagi, jika guru datang, Toni akan segera berhenti. Jadi Dhormy harus tunduk terlebih dahulu.

Dan benar, seorang guru melihat Dhormy sedang menunduk di depan Toni, lalu menghampirinya. Toni gelapan. Ia segera menyuruh Dhormy untuk bangkit berdiri. Dhormy pun lantas berdiri dengan sepenuh hati.

See, diam adalah emasnya terbukti ampuh. Ya, meskipun ia harus bersabar sedikit untuk memperoleh hasilnya.

Guru berkacamata dengan tubuh proporsional itu berhenti tepat di depan Dhormy.

"Toni ... kamu apakan dia?!" sentak guru bahasa Inggris itu pada Toni. Yang ditatap pun segera menunduk.

"Jangan mentang-mentang kamu tinggi besar, kamu bebas melakukan hal yang kamu mau. Termasuk membully Dhormy. Kamu pun sudah berkali-kali kena hukum akibat ketahuan membully murid lain. Apa kamu belum puas?"

"Saya nggak lagi bully dia kok, Bu. Ya kan Dhor?" Toni mengedipkan matanya yang terlihat sedang mengancam. Terpaksa Dhormy menangguk.

Sebenarnya ia sudah ketar-ketir. Takut hal ini kembali membuatnya harus berada dalam kurungan Toni. Sungguh, Toni adalah orang yang nekat. Seberapa leganya ia saat guru itu hadir, tetap saja Dhormy merasa waswas.

"Benar begitu, Dhormy?" Dan lagi-lagi Dhormy hanya bisa mengangguk.

"Iya, Bu. Saya nggak sengaja nabrak Toni, jadi uang recehan yang saya pegang jatuh, makanya tadi saya di bawah." Guru itu terlihat percaya. Lantas mengiyakan apa kata Dhormy.

"Awas kalau kau lagi-lagi ketahuan membully." Guru wanita itu berlalu.

"Kau!" Toni menggeram. "Awas saja! Masalah kita belum berakhir sampai di sini." Tak lama, Toni berlalu.

Kini giliran Dhormy menghela napas. Tak ada gunanya mengharap belasan dari guru, jika pada akhirnya tetap begini. Untuk kesekian kali, ia harus berhadapan dengan Toni.

Jika seperti ini, Dhormy sudah tak bisa berbuat apa-apa. Ia merasa serba salah. Diam salah, melawan juga salah. Entah apa yang benar, Dhormy tak tahu.

Dengan embusan napas kasar, Dhormy kembali melangkah menuju kelasnya yang hanya tinggal beberapa meter di depan. Dhormy menyiapkan hatinya untuk menghadapi cobaan yang kadang lebih mengerikan dibanding Toni.

Dan benar. Desas-desus kembali terdengar begitu ia menginjakkan kakinya di kelas. Dhormy lagi-lagi menghiraukan saat teman-temannya berbisik.

"Heran, sih. Masih ada ternyata cowok yang takut banget sama matahari. Bisa dibilang banci, nggak tuh?"

"Si Vampir punya jaket berapa ya? Gue tebak, paling puluhan."

"Nggak tahu lagi dah, gue. Gue yang cewek aja masih berani ada di luar, panas-panasan tapi dia enggak? Duh, kasihan deh kalau dia punya cewek nantinya."

Dhormy mengembuskan napasnya pelan. Ia harus sabar. Harus diam. Tak boleh gegabah dengan marah. Karena ketika marah, Dhormy akan mendapat perlakuan yang lebih buruk. Kini saatnya ia harus menutup mulut, menutup telinga dan berharap semuanya cepat selesai.

Ya, walaupun nantinya ia harus kembali bungkam ketika sampai di rumah. Bukannya apa, Dhormy hanya tak ingin menambah beban kedua orang tuanya. Ia akan bilang bahwa semua baik-baik saja setelah kesepakatan itu. Dan mulai mengarang bahwa temannya sudah mulai berubah.

Dhormy tertawa dalam hati. Teman katanya? Teman yang mana? Bahkan sampah seperti mereka, tak pernah bisa Dhormy sebut teman.

.

Dhormy sampai di rumah dengan selamat. Meski dengan ruam merah kembali mendatangi kulit putih bersihnya. Dhormy perlahan melangkah menuju kotak obat di ruang keluarga. Kedatangannya disambut si kecil. Adiknya yang paling bungsu, tak lupa juga adiknya yang lain.

"Aa." Bocah gembung itu menghampirinya. Memeluk kakinya.

Dan entah mengapa, rumah menjadi tempat ternyaman Dhormy untuk menyalurkan ketakutannya, emosinya dan segalanya. Dhormy merasa begitu terlindungi ketika berada di rumah.

Dhormy mengambil bocah berusia dua tahun itu, lantas menggendongnya. Cowok itu bahkan lupa tujuan awalnya ia kemari. Ia menaruh tasnya sembarangan dan mendudukkan tubuhnya di samping Marsha, adiknya yang pertama.

"Capek, Bang?" Marsha bertanya saat Dhormy menidurkan kepalanya ke sandaran sofa.

"Heeh." Ia bahkan tak memedulikan Arsya yang kini memintanya untuk bermain bersama.

"Sya, Abangnya capek. Mainnya nanti-nanti, ya." Dengan wajah lesu Arsya mengangguk. Bocah kecil itu pada akhirnya kembali bermain sendiri.

"Tangan Abang ruam nih. Merah-merah. Marsha ambilkan obat dulu." Tanpa persetujuan dari Dhormy, Marsha berlari mengambil salep serta obat dan vitaminnya.

Mendapat perlakuan seperti itu, mau tak mau membuat Dhormy tersenyum. Hal yang tak pernah ia dapat dari sekolah, selalu tersedia di rumah. Dan Dhormy bersyukur akan hal itu.

"Abang, ini kok bisa merah?" tanyanya ketika telah kembali.

"Kena matahari tadi pas masuk mobil."

"Pasti perih."

Marsha mengoleskan salep di kulit sang kakak hati-hati. Matanya berkaca-kaca. Selama ini, ia tak pernah bisa melihat sang kakak seperti ini. Meski umurnya baru 13 tahun, Marsha sedikit banyak paham akan sesuatu yang ada dalam tubuh kakaknya.

"Marsha sayang Abang. Jangan pernah berusaha nyelakain diri sendiri lagi."

Dhormy tak dapat berkata-kata. Ia terharu. Sontak memeluk marsha. Hal kecil yang tak akan pernah bisa ia lakukan di luar sana.

Bersambung...

Masih jelek. Wkwkwk.

030219

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro