Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dhormy menatap langit malam melalui jendela kamarnya dengan pandangan lesu. Angin malam yang menyapu seluruh wajahnya, ia biarkan begitu saja. Memang anginnya sedikit membuat tenang, tapi Dhormy tak bisa benar-benar tenang.

Semua hal yang telah dilaluinya sampai saat ini, menjadi topik utama di dalam pikirannya. Seolah tak ingin membagi fokus Dhormy, mereka selalu saja menghantui.

Tentang apa yang selama ini ia sembunyikan dari mereka. Juga tentang mulut buas mereka yang selama ini tak bosan mencercanya. Hanya karena satu keanehan.

Dhormy dan jaketnya yang tak pernah terpisahkan.

Selama ini, Dhormy hanya bisa berdiam diri di rumah. Dilarang keluar saat pagi bersinar dan hanya boleh keluar saat mentari tak lagi terang. Sedari kecil, ia tak pernah bisa merasakan rasanya bermain di luar. Panas adalah pantangan terbesarnya. Tubuhnya tak pernah bisa menerima panas. Apalagi panas matahari. Alergi yang diturunkan oleh sang ibu. Sialnya, hanya ia dan ibu di keluarganya yang memiliki alergi seperti ini.

Dhormy sadar akan kekurangannya. Dan sampai sekarang, ia tak pernah bisa menerima dengan ikhlas kekurangannya itu. Selalu terngiang-ngiang dalam benak, kata-kata yang keluar dari mulut buas manusia berkedok teman sekolahnya itu. Yang mengatakannya Vampir, Si kulit pucat, atau banci sekalipun sebenarnya Dhormy tak pernah bisa menerima.

Dan hal itu membuatnya terkadang tak bisa mengendalikan emosi. Ia terlalu banyak memendam. Terlalu banyak menyimpan. Hingga apa yang ia pendam lama, keluar menjadi emosi yang begitu kuat. Dhormy tak bisa menerima ini semua. Ia ingin hidup normal. Ingin bisa berkeliaran bebas tanpa takut adanya sinar matahari yang bisa melepuhkan kulitnya kapan saja.

Tapi lagi-lagi kenyataan menamparnya keras. Ia tak akan pernah bisa melakukan hal yang ingin ia lakukan. Dhormy berbeda. Ia aneh. Ia bukan manusia normal. Dan jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Dhormy berharap ia adalah anak yang normal. Anak yang sama seperti anak lainnya.

Perlahan, tangannya bergerak menutup jendela. Berniat ingin tidur saja. Sembari berharap ketika esok datang, suasana hatinya kembali tenang. Ia bisa menjalani hari-harinya dengan damai. Namun sayang, ketika matanya tak sengaja menangkap lengan putih bersihnya, semua niat Dhormy seolah menguap begitu saja.

Ia memandangi lengannya dengan tatapan nanar. Seolah lengan itulah penyebab semua kekacauan yang terjadi padanya hampir setahun belakangan.

Bergegas Dhormy menutup jendelanya, kemudian melangkah ke depan lemarinya. Di sana terdapat sebuah kaca besar yang membuat Dhormy dapat melihat dirinya utuh. Hal yang paling jarang ia lakukan. Dhormy tak suka kaca. Ia tak suka bercermin. Karena ketika ia bercermin, semua kebencian seolah langsung tertuju padanya. Hanya dengan meliat cermin, Dhormy merasa membenci dirinya.

Ia benci dirinya yang tak bisa menikmati sinar mentari. Ia benci dirinya yang begitu mudah menerima olokan yang lain. Ia benci dirinya yang tak pernah bisa mengontrol emosi, sampai terkadang membuat adiknya ketakutan begitu melihatnya.

Namun kali ini, Dhormy berusaha untuk menekan rasa itu. Ia ingin bercermin. Ingin melihat seberapa buruk dirinya sampai-sampai mereka mengucilkannya.

Mata Dhormy bisa melihat semuanya sekarang. Mulai dari rambutnya yang berwarna kecoklatan, kulitnya yang putih bersih seperti tak pernah terkena sinar matahari, yang sialnya itu merupakan fakta. Dhormy bisa melihat dirinya yang aneh.

Mana ada lelaki seputih dirinya?

Satu kalimat yang pernah mereka ucapkan, kini menari-nari di benak Dhormy. Membuatnya perlahan mengiakan kalimat itu. Bahkan tokoh Edward Cullen pun kalah putih dibanding dirinya. Setidaknya Dhormy bukanlah manusia Albino. Hanya itu yang dapat Dhormy syukuri. Selebihnya, tidak.

Helaan napas terdengar setelah beberapa menit Dhormy terdiam di sana. Matanya menatap nanar dirinya di dalam kaca. Berbagai umpatan yang pernah ditujukan padanya, kini memenuhi otak. Tangan Dhormy bergetar. Sedetik kemudian, ia luruh. Jatuh terduduk di lantai dengan posisi tangan menyumpal telinga. Berusaha menghalau kalimat-kalimat menyakitkan yang kini datang silih berganti.

Dhormy berteriak. Berusaha sekuat mungkin untuk meredam semua kalimat meyakitkan itu.

Teriakan Dhormy memicu anggota keluarganya untuk datang. Yang pertama kali melihatnya seperti itu adalah sang kakak yang kebetulan baru saja tiba. Disusul ibu, juga Marsha. Mereka mendekat. Namun Dhormy kembali berteriak tak kalah keras dari yang sebelumnya. Menyuruh mereka untuk segera menyingkir.

Dhormy tak ingin terlihat lemah. Dhormy benci saat-saat ia seperti ini.

Seolah tak mendengar apa pun, kakak Dhormy--Theo-- menyuruh ibunya untuk keluar. Dhormy pastinya tak ingin banyak orang melihatnya dengan keadaan seperti ini. Oleh karenanya, Theo menyuruh ibu dan juga adiknya keluar. Ia bisa menangani Dhormy sendiri.

Langkah kaki panjang Theo membawanya mendekat kepada sang adik. Sedetik kemudian, ia merengkuh Dhormy dalam dekapan. Tak peduli kali ini Dhormy akan melukainya atau tidak, yang ia mau hanyalah satu. Dhormy kembali tenang.

"Hei! Dengerin gue," katanya sambil berbisik.

"Gue mohon pergi, Kak." Dhormy mulai bisa tenang. Ia tak lagi berteriak seperti sebelumnya.

"Dengerin gue. Jangan pernah kayak gini. Jangan pernah benci diri lo sendiri. Itu bukan salah lo. Mereka begitu karena mereka nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi sama lo. Mereka cuma nggak tahu. Dan ketika mereka tahu, semua ini pasti hilang. Percaya sama gue."

Beberapa saat kemudian, Dhormy kembali tenang. Meski napasnya masih terlihat memburu, ia terlihat jauh lebih baik. Membuat Theo tersenyum menatapnya.

"Inget, jangan pernah benci diri lo sendiri."

Dhormy menggeleng. "Nggak bisa."

"Harus bisa. Hanya karena lo nggak kayak orang lain, lo jadi begini. Harusnya nggak. Itu sudah keputusan lo buat milih sekolah umum. Dan lo harus terima konsekuensinya. Berkali-kali gue bilang, lo harus kasih tau mereka apa yang terjadi. Bukannya malah diam waktu mereka bully, lo."

"Tapi Ayah bilang kalau gue harus diam."

"Gue enggak pernah setuju apa kata Ayah. Karena kalau lo tetap diam, lo nggak bakal pernah bisa tenang. Sesekali lo lawan mereka."

Dhormy kembali menggeleng. "Lo nggak tahu, Kak. Semakin gue lawan, mereka semakin beringas. Apalagi Toni."

"Percaya sama gue. Mereka cuma iri. Mereka iri liat warna kulit lo yang bagus. Mereka juga nggak tahu kalau lo itu alergi matahari."

"Gue emang nggak niat ngasih tau."

"Harusnya dari awal lo kasih tahu mereka."

"Gue enggak mau kelihatan cemen, Kak."

"Justru ketika lo diam, mereka nganggep lo cemen. Lo nggak bisa ngelawan. Itu masalahnya."

Dhormy diam. Apa yang kakaknya katakan, Dhormy benarkan dalam hati. Namun untuk berniat memberitahu mereka, Dhormy ragu. Ini sudah terlambat. Kalau pun Dhormy bilang, mereka pasti tak akan percaya. Dan bully-an tetap menjadi hidupnya. Jadi Dhormy harus diam dan berusaha menahan emosinya agar kejadian tadi tidak terulang. Harusnya begitu. Tapi Dhormy sendiri ragu apakah ia bisa atau tidak.

Jika tahu akan seperti ini akhirnya, Dhormy tak akan memilih untuk sekolah umum. Harusnya ia tetap homeschooling. Tetap berada di rumah tanpa tahu dunia luar. Namun keinginannya untuk menjadi manusia normal begitu besar saat itu. Sayang, konsekuensi yang harus ia tanggung tak seringan apa yang ia inginkan.

Bersambung...

050219

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro