Bab 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Oktober 2013

"Argh, sialan!" rutukku kesal manakala seorang pengendara melaju cepat saat dia melalui jalanan berlubang. Alhasil, rokku terkena cipratan air bercampur pasir jalanan.

Mungkin sebagian besar musim hujan adalah pembawa berkah karena bisa mendinginkan cuaca panas yang selalu menaungi Surabaya. Walau beberapa tahun belakangan, hujan tak lagi sama seperti dulu. Sekarang lebih sering disertai petir yang menggelar dan angin kencang sampai-sampai beberapa pohon di pinggir jalan tumbang mengakibatkan lumpuhnya arus jalan. Di sisi lain, dampak pembangunan besar-besaran turut memperkeruh keadaan. Seperti yang kalian tebak, banjir ada di mana-mana hingga mencapai paha orang dewasa.

Kota besar tak selamanya indah.

Sialnya lagi, mantel hujan yang kukenakan robek di bagian ketiak sehingga air hujan menyelinap dan membasahi seragam kuliah. Ditambah pengendara barbar yang seenak jidat melaju dengan kecepatan tinggi tanpa takut tergelincir. Kadang aku berteriak tuk memaki, jikalau mereka sedang tergesa-gesa kenapa tidak berangkat dari kemarin saja? Kenapa harus menganggu ketenangan pengendara lain?

Membelokkan motor matic merah ke kiri selepas menyalakan lampu sein yang mengarah ke latar sebuah toko obat bernama Apotek Ayo Sehat. Banner yang memamerkan salah satu aktor Indonesia sedang mengacungkan obat di tangan kiri dan acungan jempol di tangan kanan melambai-lambai gelisah seperti tak sanggup lagi melawan angin kencang yang menyapa paksa. Bangunan tak seberapa besar yang didominasi cat putih tersebut dihiasi lampu warna-warni untuk menarik perhatian orang. Sementara di balik etalase berisi deretan obat-obat bebas, ada seorang perempuan berjilbab merah mencolok melambaikan tangan dan melempar senyum seolah-olah cuaca mengerikan ini tidak berarti di matanya.

"Sorry, telat," ucapku setelah memarkirkan motor, mengibas-ngibaskan rok basah akibat pengendara tadi. Ah! Badanku benar-benar basah kuyup dan mantel hujan rasanya tak berguna lagi. Apa perlu aku memakai mantel dobel besok?

"Kok bisa basah semua?" tanya Septi sambil membenarkan jilbab segitiga yang dimodel seperti anak pesantren.

Dia adalah adik bos yang usianya sama namun berbeda bulan lahir denganku. Kami dibedakan tinggi dan proporsi badan juga jurusan kuliah. Septi lebih tinggi dan berisi seperti kakaknya, kulitnya kuning langsat dan memiliki lesung pipit yang selalu muncul saat tersenyum. Karena dia calon penerus bisnis obat-obatan ini, Septi dipaksa sang kakak mengambil jurusan farmasi yang sejujurnya tidak disukai.

Sementara aku? Bisa kamu bayangkan saja, aku lebih ramping dan lebih mungil darinya, kecuali bagian lesung pipit itu. Tuhan tidak memberiku jatah lesung pipit, hanya kulit lebih putih dan mata bulat seperti boneka, katanya. Kalau Septi dipaksa menjadi seorang apoteker, lain halnya aku yang terpaksa menempuh pendidikan perawat sebab tak ada biaya lebih untuk kuliah farmasi.

Setidaknya aku patut bersyukur. Toh ilmu farmasi juga diajarkan di kuliah keperawatan. Di satu sisi, aku masih punya lisensi sebagai Asisten Apoteker yang saat ini sudah tidak bisa didapatkan mereka yang lulus SMK saja. Beruntungnya kalian wahai lulusan 2009!

Ya meskipun masa berlaku STR-ku tujuh bulan lagi bakal expired. Setidaknya lisensi langka ini harus kumanfaatkan baik-baik kan?

"Udah tahu hujan, masih tanya," ketusku kesal seraya berjalan masuk ke dalam apotek.

"Ih, judesnya," goda Septi tak merasa tersinggung.

Aku hanya mengangkat bahu begitu malas menanggapi candaan yang lebih pantas terdengar seperti sindiran. Jujur saja aku lelah luar biasa harus bagi waktu antara kuliah dan bekerja. Namun, ini adalah keinginanku sendiri jadi segala risikonya pun harus diterima secara lapang dada.

Oke, aku harus mandi. Setidaknya itu salah satu ritual untuk menaikkan mood dalam menghadapi pasien. Mana mungkin aku melayani mereka dengan wajah cemberut seperti anak-anak yang tidak diberi uang saku. Bukan sebuah kebiasaan pula membawa masalah ke dalam pekerjaan, terutama cuaca sialan ini.

Sebenarnya, bekerja di sini awalnya sebatas part time untuk mengisi liburan kuliah semester lima. Kemudian aku mengamati jadwal kuliahku tidak seberapa padat seperti awal semester satu, jadi aku nekat meneruskan pekerjaan sambilan ini.

Tanpa ijin orang tua.

Tapi, sepintar apa pun kita menyembunyikan sesuatu, orang tua pasti tahu. Awalnya, ibu merasa tak suka bahkan marah-marah karena tidak ingin aku terlalu kecapekan seperti awal semester satu dulu. Sering terkena flu dan sariawan hingga pusing yang berputar menjadi penyakit langganan. Biaya kuliah yang semakin mahal, sedangkan aku hanya diberi uang saku seratus ribu untuk seminggu benar-benar tidak cukup untuk mahasiswa. Maka tidak salah, kan jika aku bekerja tanpa ijin?

Benar kan?

Lagi pula, aku juga membutuhkan uang tambahan untuk biaya skripsi dan wisuda tahun depan yang jumlahnya tidak sedikit. Aku tidak mungkin meminta uang lagi untuk penelitian skripsi, selagi orang tuaku bekerja keras membanting tulang untuk membiayai kuliah. Selama ada bakat terpendam dan ijasah yang menganggur di rumah, aku mau melakukan apa saja yang penting halal.

Selesai mandi dan berpakaian seragam batik berwarna merah maroon serta memakai make up tipis. Aku dan Septi bertukar informasi dari shift pagi ke shift sore seputar pendapatan pagi, pengeluaran uang kasir, hingga barang-barang baru datang yang belum diberi label harga. Apotek Ayo Sehat hanya memiliki empat karyawan yang otomatis dalam satu kali jaga, hanya ada satu orang. Untung saja, tempat ini tidak terlalu ramai seperti toko obat ternama lainnya, setidaknya kami tidak pernah kewalahan. Usai Septi pergi dan suasana apotek yang sepi, dengan cekatan aku pun memberi label serta memasukkan data barang masuk ke dalam komputer.

"Mbak...."

Menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang lelaki bertubuh sedikit berisi, berkaos abu-abu, dan berambut hitam tebal yang sedikit basah sedang menggendong anak laki-laki. Usia anak yang menangis itu mungkin tiga tahun. Dia meletakkan payung bercorak bunga di atas kursi kayu di sisi kanan, kursi yang biasanya digunakan orang-orang untuk menunggu obat racikan.

"Iya, ada yang bisa dibantu?" tanyaku ramah seraya berdiri dari kursi dan mendekati pelanggan.

"Saya cari tablet vitamin yang bentuknya hewan-hewan ada?" tanya lelaki itu lalu memandang anak lelaki yang digendongnya. "Yang mana? Maman nggak tahu lho bentuknya vitaminmu?"

Aku terdiam merasa canggung tiap kali ada bapak dan anak atau ibu dan anak berdebat seperti ini. Apalagi sampai si anak menangis histeris karena tidak dituruti keinginannya. Tanpa menunggu lama, kukeluarkan beberapa merk tablet vitamin dengan aneka rasa. Kujelaskan pada anak lelaki itu bentuk-bentuk tablet tanpa membuka kemasannya. Dia pun terdiam lalu menunjuk salah satu merk dengan rasa anggur.

"Empat belas ribu, Pak," ucapku.

Lelaki itu menaikkan sebelah alis tebalnya memandangku dengan ekspresi terheran-heran. Sebelah tangan kanannya, mengambil dompet hitam yang sudah lusuh lalu mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu.

"Terima kasih, Pak," kataku seraya menyerahkan uang kembalian.

Dia tersenyum sekilas lalu pergi seraya memegang payung, namun kurasakan dirinya sesekali memandangiku saat mengembalikan botol vitamin ke etalase semula. Ketika tubuh lelaki itu berada di seberang jalanan yang basah akibat hujan yang masih enggan untuk berhenti, barulah giliranku memandangi si pemilik payung bunga dengan tatapan aneh. Agak risih jika ada orang asing yang memandang perempuan tiada henti, apalagi dia menggendong anak-anak. Seperti tidak ada pemandangan lain, batinku.

####

"Mel, dapat salam dari Ardan," sahut Septi saat aku datang ke apotek di hari Sabtu siang.

Kulengkungkan sebelah alis lalu bertanya, "Ardan? Siapa?"

"Ck, pura-pura nggak tahu," cibir Septi sambil menyalakan komputer kasir.

"Aku memang nggak tahu. Udahlah, aku mau rekap laporan resep BPJS dokter Sapto," ujarku sedikit kesal.

Beberapa hari ini memang cukup aneh, tidak sekali dua kali, lelaki bernama Ardan sering menitipkan salam melalui teman kerjaku hingga dua minggu berturut-turut. Aku sungguh tidak tahu siapa Ardan, bagaimana wujudnya, dan apakah aku pernah bertemu dengannya. Dan perempuan mana yang tidak besar kepala jika ada pemuja rahasia yang misterius seperti ini? Sungguh dia benar-benar sukses membuat penasaran sekaligus mendebarkan jantung yang sudah lama tidak seperti ini.

Ah, dasar jomlo!

"Ardan bilang, kamu jahat kalau nggak tahu dia, Mel." Kali ini Ares yang mengejekku saat kami bertemu untuk operan jaga sore di hari Rabu.

Aku mendecak. "Kalau dia memang jantan kenapa nggak langsung saja? Jangan main asal nitip salam dong! Bikin kesel tahu!"

Ares terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Dia menimpali kalimatku bahwa aku akan terkejut begitu mengetahui siapa Ardan. Perempuan bermata bulat itu berjanji akan menyampaikan unek-unekku pada sosok Ardan.

Bibirku mengerucut, aku sudah tidak peduli, toh seorang lelaki memang harus jantan jika ingin mendekati perempuan bukannya menitip salam dan bersembunyi di balik batu seperti pecundang.

Ekspektasi di kepala ternyata tidak sesuai dengan realita. Hingga tiga hari setelah menatang Ardan melalui Ares, nyatanya lelaki yang selalu bilang titip salam itu tak juga muncul. Sudah bisa kutebak, tidak semua laki-laki mau memberikan bukti, hanya janji yang sulit ditepati. Pada akhirnya, kebanyakan makhluk jantan seperti Ardan akan berakhir ghosting saja.

Kutopang dagu sambil menatap layar komputer dan mengerjakan tumpukan faktur penjualan dari PBF* dengan pikiran hampa. Di luar ini semua, sebenarnya aku penasaran kenapa ada lelaki yang mau sekadar titip salam padaku. Padahal jika diingat-ingat penampilanku tidak menarik perhatian, apalagi aku selalu datang dengan mengenakan seragam mirip SMP dari kampus.

"Mbak..."

Aku menoleh sambil berdiri ketika lelaki tempo hari datang seorang diri tanpa anak kecil yang digendongnya. Aku tersenyum lalu berkata,

"Ada yang bisa saya bantu?"

Dia tersenyum malu-malu sambil menggaruk kepalanya yang berambut cukup lebat dan menyentuh kerah baju hitamnya.

"Ngg ... saya ... cari..." Kedua matanya menyusuri obat di etalase di belakangku.

"Vitamin lagi?" tanyaku tak sabaran.

Dia menjetikkan tangan kanannya. "Iya itu. Saya lupa, hehehe..."

Kuambil botol vitamin dengan merk sama. "Empat belas ribu, Pak."

Ekspresi itu datang lagi. Dia melihatku seraya menaikkan sebelah alis. "Emang saya keliatan kayak bapak-bapak?" tanya lelaki itu tak suka sambil memberiku selembar uang dua puluh ribu yang sedikit kotor.

Aku tidak menjawab karena takut salah meski dalam hati bertanya-tanya memangnya ada yang salah dengan ucapanku? Bukannya dia bapak beranak satu yang lebih pantas dipanggil 'Pak' daripada panggilan lain?

Lihat saja sekarang, dia memakai sarung kotak-kotak berwarna coklat tua, kaos oblong hitam, rambutnya berantakan, dan itu sudah diperjelas saat dia menggendong anak laki-laki. Kupikir mungkin dia menikah muda, makanya tidak mau dipanggil bapak-bapak.

Kuserahkan uang kembalian kepadanya. "Terima kasih."

Sebelum aku kembali ke meja komputer, lelaki itu kembali memanggilku lagi. Aku menoleh namun sedikit terkejut saat wajahnya merona seperti anak perempuan yang baru saja bertemu kekasihnya.

"Saya boleh...."

Aku mendekat ke etalase, menatap kedua matanya lurus. Hal itu justru membuatnya menunduk malu sambil sesekali menggaruk kepala. Keningku mengerut tak paham memerhatikan gerak-geriknya. Apa dia sudah mandi? Kenapa dia terus-terusan garuk-garuk kepala?

"Saya boleh minta nomernya?" pintanya dengan intonasi cepat.

Tubuhku membeku. Beberapa detik kugunakan untuk menelaah ucapan lelaki bersarung ini. Mengerjapkan mata tak percaya atas apa yang kudengar barusan. Sedangkan dia mengamati penuh harap.

"Untuk nambah teman," tambahnya sambil meringis memperlihatkan gigi gingsulnya.

Dia beneran bapak-bapak, kan? Kenapa minta nomerku? Kok aku jadi takut? Mana Septi beli nasgor lama sekali pula.

Aku menimang. Sudah lama aku tidak membagikan nomerku kepada lelaki lain kecuali teman sekolah dan kuliah. Lagi pula untuk apa dia meminta nomerku? Alasan menambah teman terdengar sangat klise apalagi dia sudah punya anak. Pikiran menjadi selingkuhan bergentayangan di otakku. Ingin menolak tapi ... tiba-tiba muncul ide lain.

"Punya aplikasi Line?"

Dia mengangguk. "Punya."

"Scan aja barcode punyaku." Kuambil ponsel dan membuka barcode di aplikasi berwarna hijau itu.

Kami berdua bertukar barcode. Dia tersenyum saat Line kami sudah terhubung.

"Maaf ya mbak," kata lelaki itu. "Nggak apa-apa kan kalo saya nge-chat?"

Klise sekali!

Aku tersenyum paksa. "Nggak apa-apa."

Dia mengulurkan sebelah tangan kanannya. "Aku Ardan. Kamu?"

Seketika itu juga tubuhku bagai disiram satu ton es batu. Aku terkejut bukan main mendengar dia menyebutkan kata Ardan. Suaranya yang baru saja terdengar kini menggema di kedua telinga, seluruh aliran darah di tubuh mendadak mengalir cepat dengan jantung yang dipompa kekuatan penuh. Begitu pula keringat dingin yang membasahi kedua tangan, rasanya tempat ini mendadak membekap udara di sekitarku hingga tak bisa bernapas bebas. Sialan, rutukku ingin menghilang merasakan kakiku terasa lemas tak bertulang.

"Ardan. Kamu?" Dia mengulang kalimatnya lagi.

Bibirku tidak bisa membuka malah terkatup rapat. Lidahku pun bernasib sama padahal seharusnya mudah mengucapkan satu nama. Sayang, pikiranku mendadak tidak berfungsi. Hatiku meronta-ronta mengutuk diri agar segera sadar bahwa di hadapanku bukanlah orang lain.

"Amel." Kubalas uluran tangannya cepat lalu mengalihkan pandangan ke arah barisan obat di etalase yang jadi saksi bisu kami.

Tapi, sedikit-sedikit aku curi-curi pandang manakala senyum begitu manis terbit di bibirnya. Ah, sial! Jantungku berdebar-debar lagi hanya karena bertemu secara langsung orang yang selalu menitip salam tak jelas. Entah kenapa otakku memerintah secara tak sadar ke bibirku untuk membalas senyuman itu juga. Senyum hangat di tengah derasnya hujan.

Tapi, dia bapak-bapak, Mel! batinku berteriak tak rela.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro