Bab 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Januari 2019

Ini kenapa sih? Ada apa?

Kutepuk dada sembari bergegas menuju ruang perawatan bedah Seroja setelah apel pagi yang dijalani secara rutin di tempat kerja. Maklum saja, rumah sakit tempatku mengabdi selama lima tahun ini masih di bawah kepemilikan sekaligus dikelola oleh instansi militer. Jadi, mau tak mau harus menjalani rutinitas yang berbeda dibanding rumah sakit lain.

Ah, di sisi lain, sedari tadi malam perasaanku mendadak tak enak seolah-olah sesuatu yang buruk bakal terjadi. Jantungku berdetak kencang seperti melompat-lompat ingin keluar dari rongga dada. Saat berangkat ke sini pun tidak ada hal yang tertinggal, pun tidak ada tugas spesifik yang diberikan senior untuk persiapan akreditasi rumah sakit.

Masa iya aku punya penyakit jantung? Yang benar saja!

Tarik napas. Embuskan. Tarik napas. Embuskan.

Ini trik psikologi yang biasanya dilakukan banyak orang ketika gelisah. Tapi, sampai masuk ke dalam ruangan berpintu kaca tebal saja keresahan tersebut tak kunjung hilang. Malah makin menjadi-jadi menimbulkan rasa panik.

Aku nggak ulang tahun juga kok bulan ini. Duh! Kenapa sih kamu Mel?

Berusaha mengukir senyum paksa di bibir kala bertemu tatap dengan rekan kerja shift pagi. Setiap satu shift terdiri dari empat perawat termasuk kepala tim, lain halnya kepala ruangan yang memang kewajibannya standby di pagi hari. Setiap perawat akan dibagi tugas secara adil, entah itu pendokumentasian atau melakukan tindakan ke pasien.

Salah satu dari mereka yang mengenakan cepol rambut dan lipstik merah menyala menangkap gelagatku dan bertanya, "Kamu kenapa? Pucat gitu, Mel."

Aku mengambil baju sergam berwarna merah bata dari lemari ruang ganti perawat lalu membuka kulkas dan mengambil botol minumanku. Mungkin seteguk atau dua teguk air dingin mampu meredakan debaran-debaran aneh dalam diri ini.

"Dadaku nggak enak, Mil," jawabku.

"Sakit?" tanya perempuan yang kupanggil Mila. Nama sebenarnya Jamila, tapi sering kali Mila malu karena dirasa sematan yang diberi kedua orang tuanya tersebut terlalu menjurus ke laki-laki. Padahal menurutku namanya cukup unik.

Aku menggeleng pelan. "Nggak. Kayak apa ya, kamu tahu kan kalau orang mau mendapatkan firasat?"

"Hah?" Mila menganga sebentar lalu terkekeh. "Oh, mau ada cairan mungkin. Alhamdulillah ... lumayan buat beli skincare," candanya tanpa memedulikan ekspresi kesalku.

"Duit jasa pelayanan kan baru dibagi minggu kemaren, Mil, masa iya cair lagi," ketusku menaruh botol ke dalam kulkas lantas menepuk-nepuk dada. "Ya ampun, masa iya aku kena serangan jantung?"

"Hus, ngawur awakmu!" seru Mila melempar gulungan tisu ke arahku. "Udah berdoa aja yang baik-baik, jangan mikir aneh-aneh."

(Ngawur kamu)

"Ya, semoga saja," lirihku tak yakin lalu pergi ke toilet untuk ganti pakaian.

###

Demi mengalihkan perasaan yang masih mengganjal, aku mencoba fokus ke barisan nama pasien di papan selagi mendengarkan operan dari jaga malam ke jaga pagi. Meski rumah sakit kami masih terbilang kecil, tidak dipungkiri kalau pasien bedah selalu ramai. Salah satu pemasukan rumah sakit terbesar. Hari ini saja jumlahnya cukup banyak dengan berbagai macam diagnosa, termasuk mereka yang akan operasi hari ini.

Telepon ruangan berdering nyaring memecah konsentrasi kami, dengan sigap tanganku meraih ganggang telepon dan menjawab panggilan tersebut. Ternyata panggilan dari kamar operasi yang meminta agar pasien yang dijadwalkan operasi segera dikirim.

"Pasien atas nama Pak Hendra masuk OK," kataku pada tim jaga malam selagi kami masih timbang terima. "Itu yang mau operasi hemorroid grade empat ya?" Kubuka catatanku lagi, semua data persiapan operasi lengkap termasuk vital sign pagi ini terbilang bagus.

Seniorku yang bernama Pak Sardjito, pria paruh baya bertubuh tinggi kurus dan beruban, segera mengambil file rekam medis dan kursi roda untuk mengantar pasien tersebut ke kamar operasi. Beruntungnya ruang Seroja tidak seberapa jauh dari ruang OK, sehingga tidak perlu capek-capek mengerahkan tenaga.

Setelah timbang terima selesai, kami langsung berbagi tugas. Ada yang bagian pendokumentasian yang biasanya dilakukan oleh ketua tim sedangkan sisanya sebagai perawat pelaksana termasuk aku.

"Oh ya, aku ambil hasil lab dulu," pamitku kepada Mbak Eka. Dia adalah ketua timku yang dikenal sebagai mak-mak ceriwis, tapi positifnya dia benar-benar teliti dalam hal pencatatan segala tindakan keperawatan dan paling sigap bila ada sesuatu yang gawat. Bukan berarti yang lainnya tidak mahir, hanya saja mereka yang ditunjuk sebagai ketua tim dinilai lebih dari sekadar bisa dalam pengambilan keputusan sulit. Selain itu, mereka yang dipilih biasanya tidak jauh dari posisi sebagai PNS atau militer.

Aku? Jangan kaget, aku masih pegawai kontrak.

Perempuan paruh baya itu mengangguk lalu berkata, "Nanti hasil lab-nya Pak Jatmiko kamu laporkan ke dokter Bambang ya. Rencana operasi nanti sore sih, tapi tadi kadar gulanya masih tinggi. Mungkin mau di-RCI ulang. Feeling-ku kok dirujuk, Mel."

"Ih, Mbak ..." protesku tak terima. "Kok doanya gitu sih!"

"Abses punggung gede banget itu, Mel, masa dari kemarin masuk gulanya lima ratus terus? Demam tinggi juga kan pasiennya? Padahal udah dikasih antrain. Dokter Bambang nggak bakal ACC kalau kondisinya begitu. Dokter Elok juga nggak bakal nyaranin yang sama," bela Mbak Eka.

"Misal dipasang insulin pump gimana, Mbak? Dokter Bambang bakal mau nggak ya?" saranku daripada harus dirujuk ke rumah sakit lain.

"Ya nanti kamu bilang aja, misal beliaunya nggak bersedia, mau nggak mau harus kirim ke rumah sakit lain daripada ada apa-apa kan," ujar Mbak Eka tidak ingin mengambil risiko besar. "Lapor ke penyakit dalam dulu aja nanti, Mel, baru terusin ke dokter Bambang."

"Oke, Mbak," kataku lalu melangkah pergi menuju ruang laboratorium.

Menyusuri lorong rumah sakit dalam diam, jantungku berdebar semakin bertalu-talu seperti seseorang tengah menabuh genderang dari jarak dekat. Aku menarik napas dan mengembuskan perlahan melalui mulut sambil meremas tangan yang mendadak terasa dingin padahal cuaca di Surabaya bisa dikatakan terasa panas membakar kulit.

Pandangan mataku beredar kala ruang laboratorium yang berdekatan dengan ruang pelayanan poli dan ruang tunggu pasien. Mencari-cari sesuatu seraya berharap rasa gugup tak berujung ini segera berakhir. Apalagi semua manusia di sini tampak asing dan sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Entah menanti giliran masuk ke ruang pemeriksaan dokter ataupun menunggu hasil laboratorium.

Lalu, ada apa dengan jantungmu, Mel? Perlu EKG?

Detik berikutnya, tak sengaja bola mataku menangkap sesosok lelaki berjaket denim dan berpotongan sedikit gondrong berdiri di seberang. Tepatnya di depan instalasi farmasi. Bagai dihantam batu sebesar bola, kepalaku tiba-tiba diserang sensasi pening luar biasa. Jantungku luruh ke lantai bersamaan gelenyar aneh tersebut lenyap tanpa bekas. Sisanya, tungkaiku sekonyong-konyong lemas.

Apakah rotasi di sekeliling kami ikut berhenti? Kenapa telingaku berdengung begitu nyaring meninggalkan nyeri menembus hati? Kenapa pula ingatan-ingatan bersamanya yang sempat terkubur dalam-dalam kini menyeruak tanpa permisi? Inikah firasat yang membebani sejak malam kemarin? Inikah jawaban atas kegelisahan yang menyerang sampai tidak mampu membuatku fokus bekerja? Namun, bukankah sejauh apa pun manusia berpisah pasti akan dipertemukan dengan keadaan berbeda. Benar kan?

Tarik napas. Embuskan. Tarik napas. Embuskan.

Untuk beberapa saat, jujur saja aku lupa bagaimana cara bernapas dan berkedip secara normal tanpa meninggalkan kesan kalau pria di sana masih menimbulkan efek yang sama. Gelombang yang dulu membawaku melayang. Bila ditilik lebih dekat, wajahnya tak banyak berubah di balik penampilan sederhana itu. Rambut hitam tebal memajang sebatas daun telinga, kulitnya eksotis nan berkilauan diterpa terik matahari, sementara guratan nadi di punggung tangan begitu jelas seolah-olah waktu telah memecutnya untuk bekerja terus-menerus. Sayang, dibanding dulu, dia terlihat kurus namun tidak menghilangkan caranya menatapku.

Tatapan yang dulu menjadi favoritku.

Kutelan air liur sambil menggeleng berusaha membuyarkan serpihan kenanganku bersamanya. Bukan waktu yang tepat untuk berkubang kembali ke dalam sana. Bahkan aku berharap sosok di sana hanyalah sebagain kecil halusinasi akibat banyak pasien. Toh, aku adalah Amelia yang jauh berbeda daripada empat tahun lalu. Tidak ada air mata. Tidak ada jerit kekecewaan. Tidak!

Sialnya, kenapa dia malah tersenyum sambil melambai pelan ke arahku? Senyum yang menunjukkan bahwa dia adalah nyata. Apa maksudnya? Dia mendekat seolah-olah menyodorkan kembali lembaran demi lembaran kisah yang pernah membuat kami gila. Ingin menghindar, namun kedua telapak kakiku seperti diberi perekat hingga bergerak pun rasanya tak kuat.

"Amel."

Suaranya...

Pria bergigi gingsul itu mengulurkan tangan kanannya. "Apa kabar?"

Aku tidak baik setelah bertemu hari ini.

"A-aku ... baik," jawabku gugup dan merutuki diri sendiri mengapa harus seperti ini di hadapannya. "Aku harus ambil hasil lab."

Dengan langkah cepat, kutinggalkan dirinya meski sejuta pertanyaan muncul dalam pikiran. Sedang apa dia di sini? Siapa yang sakit? Kenapa dia harus datang ke rumah sakit ini? Kenapa bukan rumah sakit lain?

Berhentilah peduli dan terus bekerja, Mel! Kisah kalian sudah berakhir!

***

RCI : regulasi cepat insulin

Antrain : obat penurun demam dan anti nyeri

Insulin pump : pemberian obat insulin melalui pompa yang bertujuan memberikan terapi secara terus-menerus dan dipantau ketat

EKG : rekam jantung

Abses : pembengkakan berisi nanah

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro