Bab 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Januari 2019

Apakah benang yang sempat terputus bisa disatukan kembali?

Apakah ada jalan lain untuk dua manusia yang pernah terikat rasa?

Segala pertanyaan-pertanyaan yang tadinya berkecamuk dalam kepala kini terjawab sudah. Ada ketakutan berbaur kelegaan menimbulkan dilema. Keresahan yang sempat lenyap kini datang dan makin menjadi-jadi kala dia muncul lagi. Ke ruanganku lebih tepatnya. Ternyata dia tengah mengantar temannya yang mengalami kecelakaan sepeda motor dan dijadwalkan operasi nanti sore akibat patah tulang bagian betis dan lengan.

Bagai masuk ke dalam kandang predator, aku menemui temannya untuk melakukan pengkajian sekaligus memberi edukasi dan meminta persetujuan operasi. Hanya dia satu-satunya kerabat yang bisa dihubungi karena seingatku pasien tersebut hidup sebatang kara. Aku menghela napas, mencoba rileks meski rasanya berat di dada. Atmosfer di antara kami berdua benar-benar kaku seolah-olah dalam satu hirup bisa membawa ke dalam kenangan menyakitkan di masa lalu. Kenangan yang sama-sama tidak ingin kami ingat lagi.

Setelah membubuhkan tanda tangan di lembar persetujuan anestesi, dia berpamitan pergi ke temannya tanpa menatapku. Dari sudut mata, aku mengamati punggungnya hilang di balik pintu ruang rawat inap lantas kembali mengembuskan napas panjang. Jika dipikir-pikir, dulu kami begitu dekat seperti insan yang tak terpisahkan.

"Kalian seperti musuh," ujar pria yang terbaring dengan bidai di lengan dan kaki kanan. Dia bernama Eko dan usianya terpaut tiga tahun lebih tua dariku dan kami pernah bertemu ketika dia membeli obat di apotek Ayo Sehat. Di sisi lain, Eko juga satu tempat kerja dan menjalin pertemanan semenjak bangku sekolah dengan pria itu. "Diam, saling tatap, lalu pergi," lanjutnya menerbitkan senyum kecut.

"Mau gimana lagi. Masa iya mau tanya kabar, sekarang sama siapa, udah nikah apa belum. Gitu?" cibirku memasang manset di lengan kirinya untuk mengukur tekanan darah lantas menyelipkan diaphgram untuk mendengar denyut nadi. Kemudian tanganku memompa sementara tangan kiri menekannya. "Aku juga nggak ingin kayak gini suasananya, Mas."

"Waktu yang menginginkan kalian berdua, Mel. Kamu dan Ardan. Aku tahu kalian berdua masih saling--"

Aku tersenyum nanar lalu memotong kalimatnya dan berkata, "Kami sudah tidak memiliki harapan. Tensinya 110/80. Oh iya, nanti rencana operasi sekitar pukul empat sore dengan dokter Maya. Sekarang puasa dulu sampai ada panggilan dari ruang operasi."

"Makasih," kata Eko.

"Sama-sama," balasku membereskan tensimeter dan stetoskop.

"Mel," panggil Eko menghentikan langkahku. "Mungkin kamu bakal bilang aku sok tahu. Tapi ... Ardan nggak pernah berubah sejak perpisahan kalian. Maksudku ... nggak ada orang lain--"

"Itu bukan urusanku lagi, Mas. Kami sudah putus dan segalanya sudah usai," potongku kemudian bergegas pergi.

Tidak ada ruang lagi untuk kami lebih tepatnya.

###

November 2013

Pepatah pernah bilang, kehadiran satu orang bisa membuat hidupmu berwarna. Kali ini aku akan setuju dan mengacungkan sepuluh jempol jikalau punya. Itu adalah hal yang benar semenjak mengenal Ardan. Ternyata banyak kesamaan di antara kami berdua sehingga banyak topik pembicaraan yang langsung menyambung tanpa perlu koneksi Wi-Fi speedy. Makanan, film, musik, obrolan receh seperti bagaimana upil bisa terbentuk di lubang hidung manusia, komentar pedasnya mengenai motorku yang tidak pernah diservis atau jarang dicuci, hingga cibiranku terhadap suara knalpot motornya yang memekakkan telinga.

Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah dia bukan bapak-bapak beranak satu. Dia bujang! Masih perjaka ting-ting. Awanya aku tidak percaya sampai Ardan menunjukkan KTP dengan raut wajah kesal.

Aku terbahak-bahak. Salah tingkah mengira selama ini dia telah dipersunting perempuan lain. Ternyata jarak kami hanya setahun yang artinya dia sebaya denganku. Astaga! Tapi aku tidak salah kan? Kalian pasti ingat bagaimana penampilannya datang ke apotek mengenakan sarung kotak-kotak seraya menggendong anak.

"Aku ini masih perawan, Mel. Masa kamu panggil aku bapak sih!" sembur Ardan masih tak terima.

"Lha, salah sendiri tampangmu kayak bapak-bapak, hahaha... " ejekku mengembalikan KTP-nya.

Mulut Ardan mengerucut lalu mengacak rambutku gemas. "Anak itu ponakanku. Namanya Raka dan dia emang suka ngikutin aku ke mana-mana. Udah kayak buntut sendiri juga sih! Hahaha ..."

"Nah, nggak salah kan aku? Kamu sendiri yang bilang loh!" tunjukku ke arah hidungnya. "Terus, kenapa dia manggil kamu Maman? Jangan-jangan namamu bukan Ardan lagi."

"Ya ampun, nggak lah!" elaknya. "Dulu pas dia masih usia berapa ya ... mungkin tiga tahun atau dua tahun aku lupa, dia manggil Maman. Kata Ibuku artinya paman. Maklum aku belum khatam bahasa bayi," candanya kembali terbahak-bahak.

Selain itu kami memiliki panggilan tersendiri akibat kejahilan Ardan yang memanggilku penyu. Alasannya karena tubuhku pendek tapi wajahku lucu alias unyu walau usia tidak bisa dibilang seperti anak SMP. Sebagai balasan, kupanggil Ardan sebagai Om Bebek karena dua minggu setelah percakapan kami di Line, dia memanggilku dengan sebutan 'beb'.

"Bab beb bab beb, emang aku bebek," protesku kesal saat dia membawakanku makanan ke apotek.

"Bisa jadi. Bebek juga cebol kayak kamu," ledeknya mencolek puncak hidungku.

"Sialan!"

Puncak hubungan pertemanan kami di pertengahan Oktober malam manakala dia mengajakku kencan. Kencan dengan huruf kapital. Entah angin mana mendadak Ardan memberi usulan bermalam minggu di salah satu taman di sudut kota Surabaya dengan nada agak serius.

Tentu saja sikapnya yang berubah seperti itu menimbulkan rasa gugup. Dia bukan seperti Ardan yang kukenal sebagai lelaki humoris yang tidak pernah serius. Sekarang dia Ardan yang ingin membicarakan sesuatu penting dan rahasia. Akhirnya aku mengiyakan dan dijemput di apotek selesai shift pagi.

Mengenakan celana denim dan kemeja polos serta jaket karena mendung mulai berdatangan, aku menyambut Ardan dengan sebuah senyuman. Dia membalas senyumanku sampai gigi gingsul andalannya tampak jelas.

"Bisa naik nggak?" tanyanya dengan nada mengejek karena posisi jok motornya agak tinggi. "Pendek sih," ledeknya seraya menurunkan pijakan di belakang kaki kirinya lalu mengulurkan tangan kiri padaku. "Ayo aku bantu naik!"

"Lain kali naik matic lebih enak!" ketusku menerima uluran tangannya lalu kakiku menumpu di pijakan tersebut. "Buset, asli nih motormu curi-curi kesempatan!"

"Kok tahu?" candanya mencairkan suasana.

Aku memukul helmnya cukup keras. Ardan mengaduh kesakitan.

"Bercanda doang gitu aja langsung KDRT," cibirnya sembari menyalakan sepeda motor kemudian melaju cepat meliuk-liuk dan menerobos beberapa pengendara lain.

Seperti kebanyakan anak muda pada umumnya yang ingin unjuk gigi dalam hal mengendarai motor, Ardan benar-benar memutar setang tuk menembus dinginnya malam sampai kaca helmku naik-turun diterpa angin. Jujur saja, meski posisi jok belakang lebih tinggi yang memudahkan perempuan bisa merangkul pinggang laki-laki, aku tidak memiliki keberanian untuk melakukannya. Aku tidak ingin dinilai sebagai perempuan tak sopan atau ambil kesempatan di saat-saat seperti ini. Alhasil, tanganku berpegangan ke besi di belakang pantat.

Pertama, kami berhenti di sebuah warung tempe penyet khas Blitar yang ada di jalan Bendul Merisi untuk makan malam. Dia sengaja merekomendasikannya karena tempat tersebut yang paling enak sekaligus menunjuk salah satu tempat dirinya bekerja dulu. Sebuah tempat servis motor resmi yang katanya masih ramai dikunjungi orang.

Ditemani sepiring nasi mengepul panas dan lauk mujaer goreng dengan sambal tomat yang pedas. Ardan mengunyah makanannya lalu berkata, "Awal aku kenal rokok ya di sana. Gara-gara sering disuruh beli rokok sama temen-temen. Lagian kata mereka, kerja memperbaiki motor tanpa rokok rasanya nggak enak. Kayak kurang penyedap."

"Dih! Jangan merokok di depanku loh ya!" pintaku tegas. "Aku agak sesak karena asapnya."

Dia mengangguk seraya meraih segelas teh hangat di sisi kanan. Diteguk sebentar teh tersebut lalu berkata, "Makanya hidung tuh mancung kayak aku biar nggak sesak. Hidung pesek terlalu hemat oksigen sih."

Refleks kuinjak kakinya benar-benar kesal. Kadang ingin rasanya aku menyumpal mulut Ardan dengan kaus kaki bau jika menyinggung hidung atau tinggi badan. Tidak segan-segan pula aku memberengut sampai tak mau diajak bicara, namun Ardan selalu berhasil menaikkan mood-ku ketika dia mengusap rambutku penuh kasih sayang.

####

Januari 2019

Semua ingatan yang terjadi di antara aku dan Ardan rasanya seperti baru kemarin terjadi. Nyatanya, sekarang berbanding terbalik dan tidak ada yang berani membahasnya. Kini kami berdua duduk berhadapan di kantin rumah sakit di jam makan siang dalam keheningan dan atmosfer yang begitu pekat hingga bernapas pun rasanya tak nyaman. Entah dorongan dari mana, tiba-tiba Ardan mengajakku sekadar makan siang sembari bertukar kabar.

Aku menunduk sambil mengaduk semangkuk soto ayam yang masih mengepul panas dengan tak minat. Kedua mataku tidak sanggup membalas tatapan dirinya. Bukan karena malu melainkan setiap kali kami saling memandang pasti ada luka yang dulu membuat kami sama-sama hancur. Luka yang dulu menguras air mata tanpa tahu bagaimana cara menyembuhkannya. Bahkan setelah enam tahun berlalu, luka itu masih tetap ada.

"Gimana pekerjaanmu?" tanya Ardan membuka obrolan. "Baik-baik saja kah?"

Kenapa harus pertanyaan itu?

Tanganku meremas lutut seperti tidak menemukan jawaban pas atas pertanyaan yang diajukan Ardan. Jika boleh, rasanya aku ingin menulikan telinga sekarang karena paham makna tersirat di balik dua kalimat itu. Dia masih seperti dulu. Perhatian bagai seorang kakak dan kekasih dalam waktu bersamaan. Namun, kali ini aku ingin menolak untuk menjawab. Aku tidak ingin ada secuil kepedulian yang bisa saja menghancurkan dinding pertahanan yang susah-susah kubangun selama empat tahun ini.

Hanya anggukan kepala yang bisa kuberikan kepadanya. "Kamu?" tanyaku melirik sekilas Ardan dari balik bulu mataku.

"Aku masih seperti ini," jawabnya singkat.

Refleks alisku naik sebelah merasa jawaban itu tidak melegakan lawan bicara. Terlalu abstrak. Terlalu mengambang. Seperti apa maksudnya? Apa dia ingin bilang kalau belum bisa melupakanku? Melupakan hubungan kami?

"Kamu sudah lebih baik dari terakhir yang aku lihat, Mel," katanya menarik sudut bibir. Senyum hambar penuh luka yang menusuk relung dadaku.

Lebih baik? Tidak!

Sontak kepalaku mendongak melayangkan pandangan tak suka. Jika bisa, aku ingin mengeluarkan semua unek-unek perasaanku padanya. Bagaimana hancurnya diriku setelah kami berpisah. Bagaimana aku berusaha berdiri di antara puing-puing kebersamaan kami. Bagaimana aku mencoba tidak terbangun di malam hari akibat serpihan mimpi di masa depan bersamanya. Butuh waktu lama hingga aku benar-benar seperti sekarang dengan memasang topeng di depan semua orang agar terlihat baik-baik saja. Tidak. Nyatanya aku tidak pernah baik-baik saja.

Namun apa daya, saat batin dan otakku saling melempar umpatan mana yang lebih pantas diucapkan kepada Ardan. Hingga hanya anggukan kepala yang bisa kulakukan. Lagi.

Aku pengecut.

"Apa kamu ..." Ardan menggantungkan kalimat sejenak sambil melahap soto ayamnya. "Apa kamu ... nggak keberatan kalau aku mengajakmu pergi keluar nanti malam atau saat kamu libur kerja?"

"Untuk apa?" tanyaku sedikit meninggi. Dia seperti sedang menodongku sebilah pisau di depan bola mata.

Aku mulai gelisah. Aku tahu dia sedang mempermainkan dinding pertahananku sekarang. Walhasil, kuletakkan sendok dengan frustrasi. Selera makanku seketika hilang. Pikiranku sedang diajak bergelut bersama Ardan sembari menerka-nerka apa yang akan terjadi nanti.

Terutama ke mana hubungan ini akan berakhir.

"Aku ingin kita berteman, Mel. Nggak enak kalau kita ketemu jatuhnya kayak orang asing," kilahnya berusaha meyakinkan diri sementara aku bisa menangkap semburat keraguan di matanya. Sangat jelas.

"Memang. Bukankah kamu bilang lebih baik menjadi orang asing yang nggak saling menaruh harapan? Nggak saling kenal? Itu kan yang kamu katakan dulu?" balasku emosi.

Ardan terdiam cukup lama menatap biji mataku. Bibirnya terbuka seolah-olah ada kalimat sanggahan untukku tapi tak kunjung diucapkan melainkan usapan di wajah penuh kegusaran. Akhirnya dia menerbitkan senyum kecut yang menandakan kalau Ardan tidak pernah melupakan apa yang pernah dilontarkannya padaku.

"Aku tahu. Hanya saja ... ini berbeda. Aku murni ingin berteman denganmu," tandasnya.

Ternyata dia masih sama. Suka menarik ulur perasaan seorang perempuan. Aku ingin menolak tegas namun hatiku memberontak ingin mengiyakan ajakannya akibat ada secuil rindu yang masih tersimpan. Lain halnya dengan otakku yang menyuruh untuk segera hengkang dari ajakan tersebut karena paham kalau aku bakal disakiti lagi.

Aku terdiam menimang kedua pilihan ini. Melihat Ardan membuatku ingin mengulang apa yang dulu kami lakukan. Tapi di sisi lain, aku tidak ingin kami berdua tersakiti dan saling menghancurkan seperti dulu. Kedua mata Ardan menatapku menanti jawaban sedangkan bibirnya menggumam sesuatu yang tak jelas.

Apakah dia berharap juga?

Apakah waktu memang menginginkan kami kembali bersama?

"Aku ... mau."

Aku pasti gila bilang gitu.

Tak lama seulas senyum tipis terukir di bibir Ardan yang membuatku ikut tersenyum. Sisi lain dalam diriku mengejek bahwa pilihanku kali ini salah. Benar-benar salah.

Kamu bodoh Amelia!

"Tapi, aku hanya mencoba menjadi teman. Dan teman nggak harus menjadi pasangan kan?" gumamku sepelan mungkin.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro