Bab 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Januari 2019

"Kamar 3E atas nama Tuan Arion Hadinata pasien dokter Rio dengan diagnosa pre operasi abses manus sinistra, rencana operasi jam delapan nanti. Profilaksis ceftriaxone dua gram sudah masuk pukul enam tadi," lapor Dita saat sedang mengoperkan hasil kerja dinas malam ke dinas pagi. "Surat persetujuan operasi dan pembiusan sudah terlampir, hasil lab terlampir, vital sign normal. Pasiennya mengeluh kesakitan sejak kemarin malam jam sepuluh. Aku telepon dokter Rio dapet advice ekstra injeksi ketorolac satu ampul kemarin malam dan subuh tadi. Jadi, kalau pasiennya minta injeksi lagi suruh dia untuk relaksasi aja."

"Emang parah?" tanyaku menatap Dita.

Gadis sawo matang itu mengangguk. "Iya, tangannya bengkak, kemerahan terus kelihatan nanah yang nggak bisa keluar gitu. Tapi vital sign pasiennya normal, tensi 120/80. Eh iya, tadi subuh demam 39 derajat, sekarang udah turun jadi 37,5."

"Leukositnya?" sahut Rangga yang masih sibuk mencatat di lembar kertas.

Dita membuka lembaran yang menunjukkan hasil lab. "Agak tinggi, 16500. Pokoknya, kalian harus sabar ya sama pasien satu ini," ujar Dita sambil terkekeh lalu memelankan suara, "agak rewel dia."

"Kenapa rewel?" tanyaku lagi dengan kening berkerut. Tapi bukan hal baru lagi kalau ada pasien yang sedikit ceriwis. Entah masalah obat, keluhan sakit tak tertahankan, sampai menanyakan kapan dokter datang padahal jadwal tiap dokter berbeda-beda. Namun, sebagai perawat, aku sudah dilatih kesabaran untuk menghadapi pasien seperti Arion ini. "Apa karena kesakitan?"

Dita mangut-mangut lalu mendecak seperti kehabisan stok sabar. "Entar juga tahu sendiri, Mel. Pokoknya legowo aja sama dia." Dia mengedipkan sebelah mata bagai menyuguhkan sesuatu kepadaku.

Oke, kita lihat seberapa cerewet pasien satu ini, batinku penasaran.

Kubaca lagi catatan daftar pasien hari ini, banyak tugas berbaris di depan mata contohnya harus rawat luka, cek ulang kadar gula darah pasien yang baru dioperasi kemarin, memulangkan dua pasien, dan mengantar empat orang yang dijadwalkan operasi pagi. Beberapa hari ini banyak pasien mengalami luka diabetes di kaki, bahkan ada yang sampai dibungkus kantong plastik hitam karena tak kunjung dibawa ke rumah sakit. Untungnya ruang khusus penderita gangren ada tersendiri sehingga aroma-aroma yang dihasilkan luka tersebut tidak mengganggu pasien lain.

Selesai operan jaga, kami berkeliling untuk melihat satu-persatu pasien sembari mengonfirmasi ulang keluhan yang dirasakan. Kadang pula kami memberi edukasi di mana ada beberapa pasien bebal tidak patuh diet yang sudah direkomendasikan oleh ahli gizi. Ya ... meski ada saja yang mengelak dengan alasan ngidam atau lupa. Oke, aku tahu bahwa semua makanan itu enak, tapi ketika sakit dan memiliki riwayat penyakit tentu saja harus dibatasi kan?

Kamar terakhir yang didatangi dan berada di ujung lorong ruang Seroja adalah kamar tiga di mana pasien yang katanya ceriwis itu berada. Sorot mataku langsung mengarah ke bed E di sisi kiri ruangan dan bertemu pandang dengan Arion tengah bertelanjang dada. Dia tampak merintih kesakitan sampai kulitnya yang kuning langsat berpeluh keringat. Bahkan irama napas lelaki itu pun naik turun begitu cepat seakan-akan nyeri yang dirasakan sudah mencapai skala enam.

Masih tertanam jelas di benak kalau Dita sudah menyuntikkan ekstra anti nyeri kepada Arion sesuai instruksi. Apakah efeknya hanya sesaat? Padahal seharusnya obat tersebut masih bekerja di dalam darah Arion hingga beberapa jam ke depan.

"Ini Tuan Arion yang akan operasi jam delapan ya," ujar Dita agak ketakutan meski bibirnya mengukir senyum ramah. "Sabar ya Mas, obat anti nyerinya kan udah masuk kemarin malam. Tadi pagi juga kan? Masih ingat cara relaksasi pakai napas dalam?"

Pria bertubuh bongsor itu menggeleng, masih meringis kesakitan sampai tercetak jelas urat nadi di leher. Dia menatap tajam Dita dan berkata ketus, "Napas dalam aja nggak bisa, Mbak! Saya sudah kesakitan ini. Kapan sih operasinya? Masa obatnya tadi pagi aja? Nggak ngefek sama sekali juga!"

"Sabar, Mas, setengah jam lagi kan dioperasi," sahut Mbak Eka menangkap gelagat Dita yang makin ketakutan. "Nanti kalau sudah ada panggilan dari OK, kami antar." Selanjutnya, Mbak Eka berbalik dan menyiratkan kami agar segera keluar ruangan daripada menanggapi pasien itu terus.

Samar-samar aku mendengar Arion mengumpat dan mengutuki kami bukan perawat profesional. Refleks saja kepalaku memutar ke arahnya dengan kesal. Ini masih pagi loh! batinku tidak ingin suasana hati makin memburuk. Dalam hati, aku mencibir seolah-olah dia adalah manusia paling menderita di dunia. Lagi pula kami sebagai perawat sudah memberikan tindakan keperawatan maupun advice dokter sesuai arahan. Tentu saja obat yang diberikan ada dosis, bukan semena-mena disuntikkan sesuai keinginannya. Bukan!

Dia mau mual-mual apa kalau kebanyakan injeksi ketorolac!

"Emang dia kenapa sih awalnya kok bisa gitu? Nyebelin banget," bisikku kepada Dita.

Dita menyeretku menuju nurse station lebih cepat. "Ceritanya dua minggu lalu dia sedang pull up. Biasalah bocil tentara. Lah terus, nggak sengaja dia jatuh karena besi tempatnya latihan ternyata sudah berkarat. Eh nggak sengaja kena tangannya. Makanya jadi abses segede itu."

"Nggak sampai tetanus, kan?" tanyaku.

Dita menggeleng cepat. "Nggak. Udah dikasih anti tetanus di UGD pas awal-awal tangannya terluka di UGD. Sempat dirawat luka biasa di sana, eh malah bengkak kayak gitu. Ya udah deh, dia datang ke poli terus sama dokter Rio disuruh rawat inap buat ngeluarin nanahnya. Udahlah, pokoknya sabar aja kalau ngomong sama dia."

"Oke. Makasih ya."

Dita beserta timnya berpamitan pulang. Sekarang giliran timku bekerja dan pembagian tugas seperti biasa. Hendak mencuci tangan sebelum melepas infus pasien yang akan pulang, tiba-tiba telepon ruangan berdering. Buru-buru mengangkat ganggang telepon sementara Rangga mengambil alih untuk memulangkan pasien.

"Makasih," ucapku kepada Rangga bersamaan mendengar suara berat yang menyebut dirinya dari perawat kamar operasi.

"Mel, pasiennya dokter Rio yang mau operasi jam delapan ditunda sampai jam dua siang. Beliau lagi ada urusan mendadak di rumah sakit lain, kayaknya kasus CITO. Tolong sampaikan ke pasien buat makan sedikit terus lanjut puasa sampai nanti. Sekarang kamu bisa kirim pasien yang appendicitis, dokter Anwar sudah datang."

"Ya ampun ... padahal pasiennya sudah tanya dari tadi loh, Bang," keluhku memutar otak bagaimana menyampaikan kepada Arion tanpa membuat dirinya naik darah.

"Mau gimana lagi, Mel. Tadi sudah dapat injeksi anti nyeri kan?"

"Sudah, tapi ... ya gitu, masih kesakitan. Bengkak banget tangannya," tandasku melirik Mbak Eka yang menulis rekam medis lain kemudian menyiratkan kalau dokter Rio menunda operasi. "Ya sudah deh, Bang, makasih infonya."

"Dokter Rio kenapa?" tanya Mbak Eka.

"Lagi ada CITO di rumah sakit lain," jawabku lalu bergegas menemui Arion untuk memberi kabar.

Begitu masuk ke kamar tiga, semua pandangan pasien-pasien tersebut tertuju padaku, termasuk Arion dan seorang pria eksotis berambut cepak yang duduk di sisi kiri lelaki itu. Seperti mendapatkan secercah harapan, Arion mengekori setiap langkahku selagi menahan rasa sakit yang tercetak jelas di wajahnya yang berkeringat sebesar biji jagung. Untuk beberapa saat, aku merasa kasihan pada lelaki ini karena harus merasakan nyeri luar biasa akibat sayatan besi berkarat.

"Apa saya sudah boleh masuk ruang operasi?" tanya Arion berintonasi cepat. Bola matanya tak berkedip menanti-nanti jawaban dari bibirku.

Aku menggeleng lemah. "Maaf, baru saja saya ditelepon ruang operasi kalau dokter Rio ada urusan mendadak sehingga jadwal operasinya diundur sampai jam dua siang."

Sontak pria bertelanjang dada itu menganga tak percaya. "Diundur?" teriaknya membuatku berjingkat kaget. "Dokternya nggak tahu apa saya kesakitan sampai nggak bisa tidur. Ah! Persetan! Urusan apa sih!"

"Kemungkinan ada operasi darurat di rumah sakit lain. Maaf, saya cuma bisa menyampaikan saja," ujarku merasa bersalah. Tapi, mau bagaimana lagi kalau ada tindakan yang memerlukan penanganan lebih cepat. Mau tidak mau harus mengalah juga kan.

"Operasi darurat?" Arion mengulang kalimatku. "Dikira sakit saya ini mainan apa! Orang tadi janjinya jam delapan kok malah mundur!" omelnya masih tak terima.

"Maaf, tapi pasiennya dokter Rio nggak di sini saja," balasku sembari menahan emosi mendengar keluhannya. "Nanti kalau ditelepon lagi, akan saya kabari."

"Bangsat! Perawat macam apa kamu, Mbak! Saya kesakitan sampai mau mati!" seru Arion membuat seisi pasien di ruangan itu menoleh kepadaku termasuk Eko yang berbaring di sebelah kanan kasur Arion. "Persetan sama perawat di sini! Saya kesakitan malah diundur!"

Kalau bukan di rumah sakit, sudah pasti tanganku akan menampar mulutnya yang kurang ajar dia seorang abdi negara. Bisa-bisanya Arion melontarkan hinaan terhadap profesiku hanya karena jadwal operasi yang tertunda. Memangnya siapa yang mau hal ini terjadi? Yang berwenang adalah dokter Rio, aku hanya sebatas perantara di ruang inap dan bukan berarti aku diam saja melihat pasienku tidak segera ditangani. Namun, aku juga paham bahwa pasien dokter Rio tidak hanya Arion saja. Tidak etis bukan jikalau menghubungi dokter Rio hanya karena satu orang ceriwis yang tidak punya kesabaran.

Tanpa sadar tanganku mengepal kuat, gigiku gemeletuk menghalang semburan umpatan dari bibir untuk tidak mengolok Arion sebagai pria cengeng. "Maaf, nanti saya kabari lagi. Sementara makan dulu habis itu lanjut puasa lagi."

"Saya nggak nafsu makan kalau tangan saya sakit kayak gini!" bentak Arion menunjuk tangannya yang bengkak. Sedangkan temannya berusaha menenangkan lelaki itu kemudian mengalihkan pandangan ke arahku begitu tajam seolah-olah tidak terima atas kabar buruk ini. Wajah mereka berdua seperti ingin menjejaliku dengan batu bahwa perubahan jadwal operasi adalah sesuatu yang disengaja. "Apa perlu saya lapor ke komandan, biar dokter itu mau mengoperasi saya?" cecarnya lagi.

"Maaf...." ucapku.

Sabar, Mel ... sabar ...

"Saya nggak perlu ucapan kayak gitu dari kamu, Mbak!" pekik Arion menjadi-jadi. "Emang ngomong maaf kayak gitu bisa bikin tangan saya sembuh, hah!"

Tanganku makin terkepal kuat, bibirku makin terkatup rapat menerima kalimat-kalimat kasar Arion seperti itu. Hatiku rasanya seperti diiris-iris mendapat gertakan seperti ini. Sekeras apa pun manusia dibentak pasti akan menangis juga. Begitu juga denganku. Sudut mataku terasa perih menghadang bulir kristal bening yang akan jatuh. Tidak! Aku tidak boleh menangis hanya karena ucapannya. Itu bukan kesalahanku. Aku tidak bersalah. Aku hanya melakukan apa yang diperintah oleh rekan kerja.

Dari ekor mata, aku bisa merasakan keprihatinan Eko dan semua orang yang ada di sini. Seorang perempuan dibentak pria namun mereka tak bisa berbuat apa-apa selain menyuruh Arion bersabar karena jadwal dokter memang padat dan tidak bisa ditebak. Lelaki itu mendengus tapi bisa kudengar dia masih mengumpat meski tidak sekeras tadi.

Tak perlu berlama-lama berhadapan dengan Arion, aku bergegas pergi ke toilet untuk menenangkan diri ketika air mata mengucur tanpa permisi. Ah sial! Aku tidak boleh menangis di saat-saat seperti ini. Aku harus kuat, bukankah perawat memang sudah terbiasa mendapat perlakuan tak menyenangkan dari mereka yang tak sabar mendapat perawatan?

Tapi, kenapa harus aku yang kena getahnya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro