Bab 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Januari 2019

Ardan : aku dengar kamu dibentak pasien.

Ardan : kamu gpp?

Seulas senyum haru muncul begitu saja seperti ingin mengobati sakit hati akibat sikap kasar Arion. Ardan mengirimiku pesan saat jam makan siang. Pasti dari Eko, batinku. Ah, Ardan ... kenapa dia selalu peduli meski kami tak lagi bersama? Bahkan setelah empat tahun putus, dia masih menjadi Ardan yang dulu. Lelaki yang sangat peduli orang lain daripada dirinya sendiri.

Amelia : aku baik-baik saja

Ardan : aku tahu kamu. Fine isn't always fine.

Menengadahkan kepala memandangi langit-langit ruangan kerja seraya mengambil udara untuk memenuhi dada yang masih terasa sesak. Ucapan-ucapan Arion bagaikan ribuan duri yang ditanam paksa. Nyerinya tak bisa hilang begitu saja. Bahkan semakin kuabaikan, suara menghardik dan tatapan tajam Arion makin membayangi benak. Aku tidak ingin menangis diam-diam seperti tadi, toh ini memang risiko pekerjaan sebagai pemberi pelayanan kesehatan.

Tapi, dia keterlaluan, Mel!

Dewi batinku bersedekap tak terima. Iya, aku tahu dia memang keterlaluan. Lalu aku harus apa? Membalasnya dengan sumpah serapah yang sama? Jikalau begitu sama saja melanggar sumpah perawat juga kode etik. Aku tidak akan berani berlagak seperti itu. Apalagi kami berada di bawah institusi yang sama dan segalanya akan rumit bila bersinggungan dengan perwira-perwira.

Aku meletakkan kembali ponsel ke dalam loker setelah memasok energi dengan segelas es teh yang mampu mendinginkan emosi meletup-letup di hati. Di sisi lain, aku juga memilih tidak membalas pesan Ardan. Semakin dia tahu apa yang kurasakan sekarang, maka semakin hancur pertahananku untuk move on. Meski kami memutuskan pertemanan biasa, aku harus memasang batas agar hubungan tersebut tidak perlu menelusuk jauh.

Kulirik jam keperakan di tangan kiri yang sudah menunjukkan pukul dua belas. Waktunya melakukan tindakan injeksi kepada beberapa pasien sesuai jadwal. Selepas mencuci tangan dan memasang sarung tangan, aku membawa bak instrumen berukuran sedang yang sudah berisi beberapa suntikan yang diberi label nama dan obat pasien. Salah satu di antara suntikan tersebut tertera ruang tiga. Mendadak sepatuku rasanya berat bila harus memasuki kamar itu lagi.

"Oke, masuk ke sana dan abaikan," gumamku mengumpulkan sisa-sisa kesabaran lalu bergegas menginjeksi pasien.

Begitu waktunya injeksi terakhir, aku menggigit bibir bawah selagi memaksa alam bawah sadarku untuk tidak menoleh sedikit pun ke arah bed E. Begitu melangkah masuk, aku segera berjalan cepat ke pojok kanan di mana seorang pria paruh baya menyambutku ramah. Namun, telinga ini memang tidak bisa menghiraukan rintihan juga makian dari bibir Arion. Sampai-sampai pasien yang sedang kuberi suntikan anti mual ini berkusu-kusu kalau dia merasa terganggu sekaligus kasihan.

"Saya hanya menyampaikan pesan dari dokter, Pak," belaku membenarkan aliran infusnya yang agak macet. "Masa iya saya operasi sendiri?"

Pasien paruh baya itu terkekeh sambil geleng-geleng kepala. "Tapi, kamu yang sabar ya, Suster."

"Terima kasih," jawabku menarik senyum simpul. "Baik, saya pergi dulu ya, Pak."

Lalu aku berjalan ke arah Eko yang terbaring dengan balutan perban elastis usai menjalani pemasangan pen di betis dan lengan kanan. Begitu mendekat, aku mengeluarkan suntikan anti nyeri dan antibiotik yang sudah dimasukkan ke dalam infus kecil.

"Ardan bilang, dia khawatir sama kamu," bisik Eko memandangi tanganku yang sedang memasukkan obat ke selang infusnya. "Kamu nggak apa-apa?"

"Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Ini emang risiko pekerjaan kami. Kadang dipuji kadang dicaci," balasku meliriknya sekilas.

"Iya gimana nggak dicaci, orang kayak kamu kerjanya lambat!" sahut Arion cukup keras dan pedas.

Aku dan Eko menoleh pada tirai pembatas pasien. Tidak disangka pendengaran pria itu tajam meski kami sudah memelankan suara. Apakah dia sedang mengalami menstruasi? Kenapa dia selalu marah-marah seperti itu? Sialnya pula, sindiran Arion kembali memunculkan serbuan emosi di hati seperti seseorang baru saja menyiram air panas.

Andai waktu bisa dihentikan sebentar saja, aku ingin menampar mulutnya dengan sandal atau membenturkan kepalanya ke tembok. Sayang, angan-angan itu hanyalah sebatas imajinasi yang tidak akan menjadi kenyataan.

"Sabar, Mel," ucap Eko sembari meringis.

Aku mengangguk lalu meninggalkan Eko dengan melewati Arion yang menatap nyalang bagai harimau kelaparan.

Lewati dan abaikan dia, Mel!

"Hei, Infus saya macet!" seru Arion saat kakiku mencapai ambang pintu.

Memutar bola mata benar-benar jengah, aku terpaksa mendatangi bed miliknya untuk membenarkan selang infus yang macet. Tak menunjukkan wajah simpati dan memilih membungkam bibir, tangan kananku menurunkan roll infus lalu memelintir selang dan menariknya sedikit sekadar memberi tekanan agar area yang terhambat kembali lancar. Hal ini sering kali terjadi akibat pasien menekuk tangan sebagai penyangga badan ketika duduk atau tak sengaja mengangkat tangan saat membawa botol infus ke kamar mandi. Alhasil, darah bisa naik dan menjadi gumpalan. Begitu menurunkan roll, cairan bening berisi elektrolit kembali lancar. Jemariku mengatur kecepatannya sesuai terapi yang diberikan dokter Rio.

"Sampai kapan saya seperti ini? Dokternya mana sih? Saya sudah mau mati ini," keluhnya sambil mendesis. "Kamu mau membunuh saya pelan-pelan?"

"Teman saya kasihan loh, Sus. Masa dari tadi pagi nggak segera dioperasi sih!" sahut teman Arion memandangku kesal.

"Maaf, kami belum dapat panggilan lebih lanjut dari kamar operasi. Jika nanti dokternya datang bakal saya kabari. Lagipula dua jam lagi pasiennya juga masuk ruang operasi, kan?" kataku kesal.

"Dua jam ndasmu! Tangan saya nyeri setengah mati dan saya harus sabar bagaimana lagi! Lebih baik saya dicambuk sama pelatih saya daripada sakit kayak gini!" bentak Arion menatapku tajam.

"Mohon bersabar menunggu ya," kataku lantas pergi meninggalkan mereka berdua tanpa memedulikan ejekan menyakitkan itu lagi.

Tuhan, tolong beri aku kesabaran menghadapi pria seperti dia.

"Usianya sudah 28 tapi tingkahnya seperti anak SD," gumamku dongkol bukan main seraya mengentak-entakkan kaki ke nurse station.

Mila yang baru saja menerima telepon menangkap gelagatku dan berkata, "Kenapa kamu?"

"Pasien 3E pengen aku lempar ke laut rasanya, nyebelin banget sumpah!" gerutuku menaruh bak instrumen di atas troli dan membuang suntikan ke dalam sampah khusus. "Bawaannya marah-marah terus, Mil! Dikira pasien itu cuma dia kali ya! Heran aku!"

"Nggak kamu doang tahu, aku juga tadi kena semprot dia. Rangga juga," ujar Mila. "Mana anak OK belum ngasih kabar lagi."

"Kupingku sampai merah ini loh, kamu nggak lihat?" tunjukku membuat Mila tergelak. "Jangan ketawa deh!"

"Lucu tahu. Awas jangan terlalu benci sama orang nanti jadi suka, Mel," goda Mila.

"Dih, amit-amit jabang bayi punya cowok kayak dia. Ogah dah meski ganteng kayak oppa-oppa Korea," ejekku bergidik ngeri sembari mencuci tangan di wastafel.

###

Waktu sepertinya tidak sedang berpihak kepadaku ketika jarum jam berdetak begitu lamat dari biasanya. Manalagi setiap kali ada bel panggilan di kamar tiga, Rangga maupun Mila bahkan Mbak Eka sebagai kepala tim tidak standby di nurse station. Alhasil, bolak-balik akulah yang harus ke sana, entah untuk mengganti botol infus atau mendampingi dokter melakukan pemeriksaan di pasien lain. Tentu saja, kalian bisa menebak dengan begitu tepat kalau Arion dan temannya tersebut melontarkan pertanyaan yang sama meski sudah diberi tahu kalau belum ada panggilan dari kamar operasi.

"Sampai bosan saya denger jawabanmu, Mbak!" ketus Arion.

Mataku mengamati ganggang telepon sementara Rangga masih mengoperkan tugas dan kondisi terbaru pasien ke dinas siang. Mila dan Mbak Eka sesekali menyahut hasil kunjungan dokter hari ini. Jangan tanya aku. Mereka tahu suasana hatiku benar-benar kacau setelah menerima cecaran Arion sehingga membiarkan diriku menjadi pendengar.

Tak berapa lama, telepon berdering seperti bunyi surga di telinga. Buru-buru kujawab panggilan tersebut dan seketika senyum mengembang di bibir kala mendengar perawat ruang operasi menginformasikan bahwa Arion boleh masuk. Mungkin terdengar seperti orang gila, tapi aku bahagia bukan main membayangkan Arion dibius beberapa jam supaya mulutnya tidak berkata kasar lagi.

"Pasien Arion masuk operasi," kataku sambil berseri-seri layaknya menerima undian.

Mila mengambil alih operan jaga sedangkan Rangga langsung meraih rekam medis milik Arion. Kubantu dirinya untuk mengecek surat persetujuan operasi, vital sign terakhir, serta kolf infus yang sudah masuk. Rangga pun mengambil kursi roda lalu pergi menjemput Arion di kamar tiga.

Suara derit kursi roda berbunyi, refleks kepalaku mendongak ke arah sosok bongsor menyebalkan itu. Sejenak kami saling bertemu tatap dalam diam lantas aku membuang muka karena terlalu malas mengamati pria kasar seperti dia. Aku berharap, Arion segera pulang setelah dioperasi sehingga telingaku tidak perlu susah-susah mendengar kalimat tidak sopan darinya.

Kuharap nggak bakal ketemu dia lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro