Bab 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Desember 2013

Akhir tahun memang identik dengan intensitas hujan tinggi dan deras. Surabaya sebagai kota besar tidak luput dari yang namanya banjir di beberapa titik sampai lumpuh. Kadang bila disertai petir menggelegar seolah-olah langit tengah murka, ada saja pohon-pohon yang tumbang menutupi jalan.

Tapi, hal itu tidak mengurungkan niat sebagian besar orang tuk menghabiskan malam minggu bersama keluarga, teman, bahkan ... pasangan. Oke, yang terakhir aku tidak akan menyebutnya keras-keras karena takut Ardan akan besar kepala. Toh kedekatan kami memang masih sebatas teman bukan sesuatu yang lain meski dia mengajak berkencan.

Di saat-saat seperti ini, paling enak memang makan. Ya, makan, mengenyangkan perut, menghangatkan badan dengan seporsi nasi tempe penyet dan segelas teh hangat nan manis. Kami duduk cukup lama di warung pinggir jalan area Ketabang selagi menanti hujan memberi jeda. Aku baru selesai cuci tangan dan mendekati Ardan yang sedang menyulut rokok. Dia tampak begitu asyik mengisap batang tembakau memabukkan itu sambil sesekali mengepulkan asap tipis dari hidung dan mulut. Sontak saja kupukul pundaknya hingga dia berjingkat kaget dan buru-buru mematikan rokok.

"Bisa-bisanya," cibirku kesal mendudukkan diri di sisi kanannya.

"Sepat, Mel," timpal Ardan tanpa merasa bersalah. "Cowok kalau nggak ngerokok sehari saja rasanya asam-asam gimana gitu."

"Ya udah telan asam Jawa sekilo beres," semburku memberi ide gila padanya. Tapi, benar kan?

Ardan tergelak sembari mangut-mangut tak menanggapi ucapanku lagi. Tak berapa lama, hujan mendadak berhenti seperti seseorang tengah merapal doa kuat-kuat agar pengendara jalanan yang ingin pergi ke tempat tujuan bisa segera sampai. Tak menunggu lama, kami melanjutkan acara malam minggu ini ke taman prestasi di pusat kota. Taman publik di pinggir sungai Kalimas yang selalu ramai dikunjungi. Jika tidak hujan.

Sungai yang dulunya menjadi tempat transportasi air menuju gerbang ibu kota kerajaan Majapahit di Trowulan sampai dikuasai VOC di jaman penjajahan Belanda, kini disulap menjadi salah satu ikon wisata Surabaya. Sepanjang sungai dihias lampion warna-warni beraneka bentuk yang menggantung manis dan membentang seolah-olah masuk ke dalam lorong buatan. Andai cuaca cerah, biasanya akan ada perahu naga yang membawa beberapa penumpang tuk menyusuri sungai. Selain itu kadang ada acara kesenian, barisan stan UMKM di pasar apung, dan live musik entah dangdut atau saksofon yang membuat suasana makin romantis di panggung hiburan.

Mendadak gerimis kembali turun bergulir menjadi hujan lebat sehingga mau tak mau motor Ardan harus berhenti di emperan toko. Padahal lokasi taman prestasi tinggal lima ratus meter lagi, namun jika kami berdua menerobos hujan mungkin besok kami berdua akan flu. Aku memukuli bahunya kesal, kenapa di saat seperti ini dirinya malah tidak membawa mantel yang bisa mempermudah perjalanan.

Begitu mematikan mesin motor, Ardan membalas omelanku dengan alasan konyol kalau tak sengaja membawa mantel hujan agar bisa memelukku di tengah-tengah rasa dingin. Refleks kulempari kepala Ardan dengan tas selempang tak peduli dia mengaduh kesakitan atau pandangan orang-orang yang ikut berteduh.

"Maaf ya, Nyu, gitu aja ngambek. Kan aku bercanda, doang," ujar Ardan mengembalikan tasku. "Nih tasnya, kasihan dia nggak bersalah."

"Pret! Awas ya modus lagi! Aku kempesin ban motor kamu!" ancamku sambil menerima tas dan menyampirkannya ke bahu.

Ardan mendongak lalu mengulurkan tangan kanan ketika tetes hujan yang melewati genting toko bangunan jatuh terhempas ke tanah. Tiba-tiba, dia melemparkan air yang ada di tangannya ke wajahku. Refleks aku menjerit tapi Ardan justru tertawa terbahak-bahak, mengabaikan orang-orang yang terganggu dengan kejahilannya.

"Ardan ih ... habis makan apa sih nyebelin banget anak orang!" Kutarik dirinya yang memakai jaket hitam dan mengusapkan wajahku di sana. "Syukurin!"

"Eh, Nyu," panggilnya mendadak serius.

"Apaan sih Om bebek!"

Sekarang dia membisu sembari menerawang langit malam yang sungguh tidak bisa diajak kerja sama. Beberapa kali terdengar suara guntur diiringi petir menyambar-nyambar. Sialan! Aku merangkul lenganku sendiri benar-benar takut dengan kilatnya yang menakutkan. Dulu sewaktu kecil, ada tetangga sebelah rumah yang tersambar di sawah dan tewas seketika. Maka dari itu, aku setiap kali ada guruh seperti ini lebih baik aku meringkuk di dalam kamar.

"Kamu takut?" terka Ardan.

Aku mengangguk dalam diam kemudian berjongkok. Ardan ikut-ikuat lalu melipat kedua tangannya di atas lutut dan memandangku lekat. "Nggak usah takut. Aku di sini kok." Tangan besarnya mengelus puncak kepalaku yang basah.

"Dan ..."

"Hm ... "

Sorot mataku mengarah ke iris cokelatnya yang menggelap dan entah mengapa di saat seperti ini lelaki itu mendadak terlihat memesona. Kugigit bibir bawah, baru menyadari kalau aku sama sekali belum membuka identitasku yang sebenarnya. Dia hanya tahu nama dan kegiatanku selama di apotek atau di mana aku berkuliah, tapi tidak dengan latar belakang keluargaku. Sesaat ada keraguan menjalar apakah dia akan meneruskan pertemanan ini atau malah menjauh.

Seperti orang-orang yang mendekatiku sebelumnya.

"Aku belum cerita tentang keluargaku ya?"

Lelaki itu menggeleng pelan. "Kamu bukan anak mafia kayak di film kan?"

Refleks tanganku mencubit lengannya. "Bukan tahu, astaga!"

"Terus?"

Sebelum membuka diri, aku menarik napas dalam-dalam seperti memutar kunci kotak rahasia yang tidak pernah kubagi bersama orang lain. Mungkin orang melihat Amelia adalah gadis ceria, pintar, dan bisa membaur begitu mudah. Tapi, sebetulnya tidak. Ada kalanya aku merasa berbeda dan kadang dibedakan hanya karena statusku sebagai anak seorang anggota militer. Ya ... meskipun jabatan di pundak ayahku tidak setinggi orang-orang karena dulunya dia seorang bintara.

Di satu sisi, laki-laki yang datang dan pergi di kehidupanku semata-mata karena Amelia seorang anak tentara. Jikalau mereka tidak tahu, sejauh ini tidak akan ada yang mendekat karena kalian tahu sendirilah. Aku tidak semenarik perempuan lain. Bahkan dengan Septi pun, aku jauh dari kata cantik. Setidaknya itu pendapatku mengingat ada satu anak laki-laki di masa putih abu-abu memberi kalimat menohok yang tidak akan bisa dilupakan.

"Kalau bukan karena anaknya anggota dan otaknya encer, mana mau aku deketin dia. Udah nggak tinggi, badannya kurus, mukanya juga nggak cantik-cantik amat. Matanya besar pula, hahaha ..."

"Ya ampun ... mereka buta nggak bisa lihat kecantikanmu, Mel," tutur Ardan ikutan sendu. "Itu cowok mulutnya licin banget kayak kebanyakan pelumas motor."

Aku tersenyum kecut. "Makanya aku nggak ingin orang lain berteman denganku karena aku memiliki semua ini, Dan," kataku padanya sembari memandangi air hujan yang turun dari genting toko. "Karena aku pernah didekati seseorang dan ... pada akhirnya aku tahu dia memanfaatkan keadaan."

"Memanfaatkan apa? Kepintaranmu?" Ardan menelengkan kepala mengamati raut wajahku.

Hatiku mendadak ngilu setiap kali lapisan rahasia itu terkuak lagi dan lagi. Bibirku tersenyum masam jika mengenang kebodohan yang pernah kubuat hanya karena ada seorang pria yang terang-terangan menunjukkan ketertarikan nyatanya berakhir sama. Dicampakkan.

"Bukan. Kayak ... apa ya. Dihipnotis tapi bukan tapi kesannya aku goblok banget, Dan. Bayangin deh, aku jauh-jauh naik motor dari rumah ke rumah sakit di daerah Ujung sampai perjalanan satu jam lebih karena macet, ada kecelakaan waktu itu, aku juga basah kuyup."

"Tuh kan kamu sendiri nggak bawa mantel," ledek Ardan berusaha mencairkan suasana.

Refleks bibirku mengumpat pelan, Ardan tertawa lalu menyiratkan untuk meneruskan cerita.

"Jadi, waktu dia sembuh setelah perawatan selama dua minggu, aku juga yang menjemputnya dari rumah sakit ke asramanya. Untuk kencan pun aku juga menjemputnya dengan alasan dia nggak punya motor. Terus dia sering ngomong dan janji-janji manis gitu masalah menikah dan ada rencana mau ngenalin aku ke keluarganya yang ada di Pontianak. Waktu itu sih, aku iya-iya aja dong, orang niatnya kan baik. Eh ... ternyata ... semua omong kosong."

"Dia meninggalkanmu?" Ardan menaikkan sebelah alisnya.

Aku mengangguk sambil tersenyum kecut. Sedangkan Ardan lebih memilih mengusap ujung kepalaku dengan lembut. "Saat dia bilang itu semua, dia juga menyatakan perasaannya padaku. Eh, besoknya aku melihat dia mengunggah postingan di Facebook lagi tunangan sama cewek. Selama ini dia mengaku masih jomlo."

Ardan menganga cukup lama tanpa ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Siapa pun yang mendengar masa laluku pasti akan tercengang dan mengataiku tidak berakal mau begitu saja dipermainkan pria yang jelas-jelas tidak memberikan harapan.

"Kamu bodoh," komentarnya.

Aku tidak tersinggung juga tidak terkejut. "Memang. Tapi dari sana, aku nggak begitu menyesal meski ada satu waktu pengen nyelupin kepalanya ke selokan. Pada akhirnya, aku belajar kalau dia bukan orang baik."

"Kadang manusia dipertemukan untuk dipersatukan. Kadang pula manusia dipertemukan untuk dipisahkan. Karena Tuhan sedang menunjukkan padamu mana yang tulus mana yang sekadar modus," kata Ardan dengan tatapan penuh arti.

###

Motor sport putih milik Ardan berhenti di parkiran Taman Prestasi selepas hujan menyatakan dirinya menyerah membasahi kota. Kulepas jaket yang cukup basah lalu merapikan rambut panjangku yang berantakan seraya mengedarkan pandangan. Sepertinya bukan hanya kami yang ingin datang ke sini walau hujan sempat mengguyur tadi. Beberapa orang mulai berdatangan sambil merapatkan jaket penghangat badan.

"Duh ... kasihan anak orang aku ajak basah-basahan. Nih, pakai punyaku yang anti air," ujar Ardan melepas jaket merahnya lalu menyampirkan ke bahuku. "Udah nggak usah protes, sini jaketmu dan tasmu." Dia merebut jaket dan tas selempang milikku sebelum aku mengeluarkan kalimat.

Dia melangkah mendahului sambil memakai tas selempangku tanpa malu. Entah harus terpesona atau terharu dengan sikap Ardan yang benar-benar memperlakukan wanita begitu baik. Sejenak pria itu berhenti dan menoleh ke arahku.

"Ayo!" teriaknya. "Kamu nggak pengen liat belut kawin?"

Sontak aku tertawa saat beberapa orang yang melewati pria itu menoleh dengan ekspresi terkejut. Bahkan kami berdua bisa mendengar, salah satu dari mereka mengolok Ardan gila. Sambil berlari kecil, kuhampiri dirinya lalu berkata,

"Dasar gila!"

Kami berdua melangkah menyusuri jalan setapak berhias dedaunan merambat membentuk lorong. Tetes air sisa hujan tadi berjatuhan ke tanah melalui helai daun maupun mahkota bunga yang bermekaran. Aroma tanah lembap menggelitik indra penciuman menciptakan ketenangan dan suasana hati mendadak menjadi melankolis. Meskipun aku membenci hujan, tidak disangkal kalau aku suka aroma tanah yang basah. Seolah-olah masalah yang menyesakkan dada menguap begitu saja ke udara berganti harapan-harapan kecil kalau besok hidup pasti lebih baik lagi.

Sembari mengomentari perubahan kota Surabaya yang semakin maju dari tahun ke tahun serta penataan taman yang dipercantik oleh pemerintah, kami bergandengan erat lalu mengayunkannya ke udara. Di sela pembicaraan, sesekali Ardan mengomentari pasangan sejoli yang duduk memojokkan diri di bawah pohon walau lampu-lampu menyala terang dan tidak memedulikan bangku yang masih becek karena air.

"Awas tangannya, Mbak," celetuk Ardan kepadaku saat kami melewati pasangan remaja yang sedang asyik bermesraan. Refleks remaja tersebut gelagapan seperti terciduk petugas Satpol PP.

Kami berdua tertawa sambil berlari menjauhi pasangan dimabuk asmara itu lalu Ardan melihatku dan berkata, "Eh, kamu jangan jauh-jauh."

Aku mendekat dengan wajah bingung. "Kenapa?"

Tangan kanan Ardan menarik tangan kiriku dan menggenggamnya erat dan ditempel di dada bidangnya. "Anak orang jangan sampai hilang, apalagi perasaannya nanti dibawa orang. Abang nggak kuat."

Kucubit lengan berototnya cukup keras. "Apaan sih. Lebay banget."

Namun, dia tidak kunjung melepas genggaman tangannya. Lalu kami berdua terdiam sambil terus menyusuri taman yang penuh dengan replika penghargaan kota pahlawan, di antaranya replika Kota Raya Terbersih 1992 hingga monumen pesawat Bomber b-26 Interluder yang merupakan saksi sejarah penumpasan gerakan pemberontakan di Indonesia. Selain itu, beberapa macam arena permainan anak-anak pun tersedia, termasuk jungkat-jungkit yang sangat kusukai sejak kecil.

Ardan mendudukkan diri ke salah satu bangku kosong yang menghadap ke sungai Kalimas. Aku mengikuti dirinya duduk di sisi kanan sembari melihat sungai bercahayakan temaram lampu hias yang melintang begitu cantik. Sayup-sayup terdengar suara pengamen mendendangkan lagu dari Tompi membuat diriku merona.

Segenap hatiku selalu memujamu
Seluruh jiwa kupersembahkan untukmu
Sepenuh cintaku merindukan dirimu
Seutuh gejolak membakar hatiku

"Ck, tahu banget sih tuh anak kalau aku mau nembak kamu, Nyu," kata Ardan tiba-tiba membuatku menoleh dengan mulut menganga.

Butuh beberapa saat untuk menafsirkan apa yang dikatakan oleh pemilik mata lentik itu. Lidahku begitu kelu, bahkan rasanya otakku ikut membeku dan terhipnotis oleh kalimat Ardan. Sejenak jantungku berpacu cepat tuk mengedarkan darah panas dan tersadar kalau wajahku pasti merah bak tomat. Refleks aku memalingkan muka dan melepas tangan dari genggaman tangan Ardan. Sungguh tubuhku dibuat bergetar karena ucapannya.

"Nyu," panggil Ardan dengan panggilan kesayangannya padaku. Aku tidak menjawab karena masih berusaha menetralisir detak jantung. "Penyu ... Pendek tapi unyu," panggil Ardan lagi namun lebih terdengar seperti mengejek daripada panggilan biasa.

Aku menoleh memandangi wajah Ardan yang ternyata sama gugupnya denganku. Bedanya sekarang perutku rasanya seperti diaduk-aduk berbarengan sensasi pening menjalari kepala. Bulu kudukku meremang entah kenapa. Apa di dekat kami ada hantu yang sedang menguping?

"Aku suka kamu."

Gerakan mulut Ardan cepat namun suaranya begitu jelas di telinga membuat jantungku berpacu semakin keras. Bertalu-talu hingga kedua telingaku berdengung kencang. Kutahan napas, ada sesuatu yang menggelitiki perutku tapi tidak tahu apa.

Sejenak Ardan terdiam sambil menunduk memilin jaketku. Lalu dia memandangku dengan senyum tipisnya lalu berkata,

"Aku nggak tahu apakah aku pantas. Tapi, berkenalan denganmu dari awal sampai detik ini bikin ... aku tertarik untuk memilikimu. Jika boleh diberi kesempatan, kamu mau nggak jadi pacar aku?"

Tak sanggup menjawab permintaannya yang mendadak, aku berlari secepat kilat ke tempat sampah terdekat untuk mengeluarkan isi perut.

Ya Tuhan, inikah rasanya ditembak langsung sampai aku masuk angin seperti ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro