Bab 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Januari 2019

Ada gelenyar lain yang menjalar di dada manakala mataku bertemu pandangan dengan Ardan. Ketika dia menyapa kami di nurse station, Ardan melempar senyum tipis yang hanya kubalas anggukan singkat. Kemarin dia memberi kabar bahwa akan datang menjenguk Eko sekaligus menjemputnya pulang hari ini. Selain Ardan, ada pria lain berperawakan tinggi kurus dengan rambut undercut.

Meski sudah lama tak berjumpa, aku masih mengingat betul siapa dia. Wawan. Ya, Wawan dan Eko adalah teman lama Ardan sejak 2006. Ketika masih bekerja di apotek, sering kali aku memanggil mereka dengan sebutan trio kwek-kwek mengingat sepak terjang persahabatannya yang begitu awet.

Saat melewati nurse station, Wawan agak terkejut melihatku tapi bibirnya mengukir senyum kaku sementara dari ekspresi wajahnya yang datar menyiratkan bahwa pertemuan ini memang tidak akan pernah disangka-sangka oleh manusia.

Aku juga nggak tahu ke mana takdir akan membawa pertemuan kedua ini.

"Apa semua baik-baik saja?" tanya Ardan kepadaku saat melepas infus Eko.

Sebelum menjawab, Eko menyela diriku dengan berkata, "Yang baik-baik saja itu aku atau Amel?"

Semburat rona merah tercetak jelas di kedua pipi pria bergigi gingsul itu. Dia menatapku seperti mengirimkan isyarat bahwa dia khawatir. Mungkin Ardan khawatir tentang perasaanku yang cukup sensitif setelah mendengar ada pasien gila yang mencaciku tanpa mengerti kondisi dan situasi atau mungkin dia khawatir tentang keadaan Eko meski tulangnya dipasang pen. Aku tidak tahu.

"Aku nggak apa-apa kok." Kubereskan bekas selang infus dan botol cairan ke dalam nierbeken. "Tunggu surat kontrol dan obat pulangnya ya, aku siapin dulu," pamitku lalu bergegas keluar.

"Akrab banget sih!" sahut Arion saat aku melewatinya. "Sama saya galaknya minta ampun!"

Sabar Mel, sabar ...

Rasanya kemarin hidupku agak tenang setelah tidak mendengar ocehannya lagi. Lantas kenapa dia mulai berulah? Apakah aku perlu meminta rekanku di ruang operasi memberi suntikan lagi supaya mulutnya bisa lebih mengontrol kalimat yang tidak penting? Lagi pula untuk apa dia mengurusi sesuatu yang bukan urusannya?

Dasar aneh!

Selain itu, kenapa dia suka sekali menguping saat aku bicara dengan Eko? Tuhan ... kenapa juga dokter Rio tidak segera menyuruh dia pulang agar tidak menggangguku? Aku benar-benar benci Arion!

Bola mataku membesar seperti menemukan jackpot mendapati dokter Rio masuk ke ruang Seroja masih mengenakan scrub hijau bertuliskan dokter spesialis bedah di dada kanan. Ah, syukurlah kalau Tuhan mau mendengar doaku. Buru-buru aku membuang sampah ke tempat sampah medis.

Dokter Rio mengambil rekam medis dari atas meja yang sudah dipisah-pisahkan menurut DPJP sehingga tidak perlu membongkar ulang. Dia bertanya kepadaku siapa saja yang perlu dipulangkan karena sering kali lupa pasiennya sendiri.

Setelah cuci tangan, aku menghampiri dokter Rio lalu menjelaskan hasil perkembangan pasien post operasi termasuk luka-luka yang telah kubersihkan bersama Rangga. Tidak ada tanda-tanda yang mengarah ke infeksi pun pasien sudah bisa mobilisasi mandiri meski ada beberapa yang harus dibantu keluarga.

"Yang Tuan Arion masih mengeluh kesakitan?" tanya dokter Rio.

"Kemarin sekitar jam sembilan malam, Dok, tapi sama teman-teman yang jaga langsung dimajukan obat anti nyerinya," kataku. "Padahal jam empat sore sudah masuk obatnya."

"Iya, itu kemarin saya lihat nanahnya cukup banyak dan lukanya memang agak dalam, Mbak," ujar dokter Rio. "Maish demam nggak?"

"Tidak, Dok. Suhu terakhir 36,8 derajat," jawabku.

"Oke, dia pulang lusa aja ya. Mau saya evaluasi leukositnya setelah dikasih antibiotik," tutur dokter Rio. "Ya udah, ayo ke pasien."

Aku mendampingi dokter Rio memeriksa pasien satu ke pasien lain sambil memberi edukasi kepada mereka yang akan menjalankan perawatan lanjutan di rumah. Meski terkesan sepele, luka pasca operasi kalau tidak diperhatikan kebersihan atau asupan makanan bisa menjadi pemicu adanya infeksi. Tentu saja peran keluarga di rumah sangat penting, mengingat pasien-pasien itu kadang bebalnya minta ampun.

Dua bulan lalu, ada satu pasien yang benar-benar tak bisa kulupakan. Pasien tersebut sudah dioperasi bagian kaki karena mengalami luka gangren yang cukup parah. Dokter Rio berkolaborasi dengan penyakit dalam dan hasilnya gula bisa dikontrol selama perawatan di rumah sakit. Saat pulang pun, dokter Rio sudah mewanti-wanti agar pasien bisa memerhatikan semua makanan termasuk membatasi gula dan karbohidrat. Nyatanya, dua minggu kemudian, pasien tersebut kembali ke UGD dengan hiperglikemi dan luka yang tak kunjung kering-kering.

Kini, kami berjalan menuju kamar terakhir. Kamar tiga di mana aku harus menghadapi Arion. Tanpa disadari dokter Rio, aku menghela napas panjang dan melirik sekilas si pria menyebalkan sambil berharap lelaki itu bisa dipulangkan secepatnya.

Semoga saja.

"Gimana masih nyeri nggak?" tanya dokter Rio. "Kemarin nyeri lagi ya kata perawatnya?"

"Ya, kemarin nyeri sekali sampai saya nggak bisa tidur, Dok. Tapi, sekarang sudah berkurang kok. Saya cuma ingin pulang saja."

Iya mending pulang daripada bikin aku nggak mood! batinku menjulurkan lidah ke arahnya.

"Lusa saya pulangkan ya, soalnya kemarin leukositnya memang tinggi karena ada infeksi. Saya mau evaluasi ulang besok. Terus ... sebelum pulang nanti dirawat luka dulu lalu ... kontrol di poli hari rabu jam delapan pagi," titah dokter Rio. "Mbak, resep obat untuk pulang sudah saya tulis belum ya?"

"Oh, sudah dokter. Tuan Arion dapat antibiotik yang cefixim dan anti nyeri," jawabku.

"Jadi, Pak Arion saya kasih dua obat untuk perawat di rumah. Nanti itu diminum rutin ya biar lukanya cepet kering, sementara nggak ada pantangan makanan. Cuma alangkah lebih baik makan tinggi protein kayak ayam, daging, telur biar proses penyembuhan lebih cepat," ujar dokter Rio. "Jangan marah-marah lagi ya, harus sabar," sambungnya sambil tertawa.

Arion mengangguk malu dan sorot matanya mengarah padaku penuh arti. "Siap, terima kasih, Dokter."

"Oke, sudah selesai pasien saya?" tanya dokter Rio berjalan ke luar ruangan.

Aku melenggut. "Siap sudah, dok."

"Oh iya, kebetulan lusa kan yang pulang dua. Tolong rawat luka dulu ya pasien Arion sama yang ganglion leher," titah dokter Rio.

Mampus aku.

"S-siap dokter."

Kuhela napas pasrah. Kenapa aku harus melayani Arion yang jelas-jelas sedang kuhindari?

###

Karma akan datang, apa pun yang telah manusia lakukan.

Mungkin kalimat itu memang pantas disematkan kepadaku setelah membalas perbuatannya dengan sikap jutek. Sebuah tindakan yang tidak seharusnya ditunjukkan kepada pasien apalagi yang modelnya seperti Arion. Dia memang tidak mengomel-omel seperti beberapa hari lalu, namun kali ini dia benar-benar melatih kesabaran.

Pria berpangkat sertu itu berulang kali memanggil perawat hanya sekadar membenarkan infus macet padahal sebenarnya tidak, meminta tuk meninggikan kepala bed, atau sekadar memberitahu infusnya yang habis padahal masih ada setengah. Yang paling konyol, dia membunyikan bel dan saat dihampiri dia berpura-pura tidak menekan bel. Tidak hanya aku saja, tetapi rekan kerja di tim lain harus menahan kesal terhadap tingkah kekanakan pria 28 tahun tersebut.

Kenapa hari minggu terasa lama Tuhan? Kenapa dia tidak diijinkan pulang lebih cepat? Kenapa dokter Rio malah menahan Arion seolah-olah dia ingin menyuguhkan pria menjengkelkan kepadaku?

Aku menatap detak jarum jam di dinding merasakan pergerakannya lebih lambat dari dugaan. Manalagi ini hari Jumat di mana tidak banyak pasien yang dirawat dibanding hari biasanya sehingga lorong ruangan terlihat jauh lebih sunyi dan menenangkan. Aku tidak berdoa supaya pasien masuk ke sini, hanya saja aku ingin Arion segera hengkang dari penglihatan.

Selesai menyiapkan injeksi malam dan mengeluarkan beberapa botol infus di atas meja, tiba-tiba terdengar bel kamar tiga. Aku mendengus melihat lampu hijau menyala pada bed 3E.

Memangnya dia tidak memiliki pekerjaan lain selain menganggu?

Sambil membawa injeksi untuknya yang terdiri dari injeksi ranitidin, ketorolac, dan drip ceftriaxon dalam infus kecil 100cc, aku masuk ke kamar horor itu. Kedua iris mataku bertatapan dengan Arion yang tersenyum lebar seperti memenangkan permainan ini.

Abaikan, Mel, abaikan bocah itu!

"Gitu dong ... pelayanan itu harus cepet," cibirnya sembari menarik sudut bibir ke atas. "Infusku macet nih!"

Aku hanya mengangguk tanpa membalas permintaan yang terkesan memerintah itu lantas menaik-turunkan roll infus. Lalu menurunkannya sebentar sebelum menarik selang untuk memberi tekanan. Sayang tindakanku ini membuat Arion merintih kesakitan.

"Katanya tentara itu tahan sakit. Gini doang udah kesakitan," sindirku tanpa memandang wajahnya.

Sekakmat!

Infus pun mengalir kembali dilanjut memasukkan suntikan secara berurutan mulai dari ranitidin, ketorolac, dan terakhir drip ceftriaxon. Saat memasukkan obat ketorolac, dia kembali mengaduh menahan sakit. Aku tertawa dalam hati melihat ekspresinya yang sudah meringis bahkan dia hampir meneteskan air mata buayanya.

"Pasti kamu sengaja ya nyakitin saya," protesnya seraya mengusap tangan kiri dengan tangan kanan. "Ternyata perawat di mana-mana itu jahat. Mereka bisanya menyakiti. Mana yang katanya mereka itu peduli terhadap pasiennya?"

Kupicingkan kedua mataku merasa kesal. "Kami bekerja sesuai prosedur. Jika selang tadi tidak saya benarkan, mungkin besok atau tiga jam ke depan Anda akan mengalami peningkatan suhu atau bisa jadi nanti tangannya bengkak. Obat ketorolac tadi memang sakit maka dari itu saya encerkan sampai lima cc. Bukankah kami sudah peduli dengan kesembuhan kalian? Lagipula jika kami menyakiti kenapa kalian para tentara suka mencari perempuan berlatar pendidikan kesehatan seperti kami? Bukankah sama saja kalian munafik?"

Pria itu terdiam menelan mentah-mentah kalimatku yang dirasa kasar. Mungkin. Tapi, siapa yang terima jika pekerjaannya dipandang sebelah mata? Selama ini perawat selalu menjadi tempatnya salah di saat mereka adalah penolong pertama bila ada pasien darurat. Perawat selalu direndahkan dan selalu dianggap babu padahal sudah jelas-jelas kami adalah rekan kerja yang tidak bisa dipisahkan dengan dokter atau tenaga kesehatan lain.

Tak perlu menunggu tanggapannya, aku bergegas meninggalkan Arion. Sayang, tidak sampai satu jam lampu di bed 3E kembali menyala. Seniorku, Mbak Eka sampai harus turun tangan menangani pasien satu itu. Beberapa saat dia kembali dari kamar tiga sambil memanggilku yang sedang asyik menulis laporan di rekam medis.

"Pasang infus, Mel. Plebitis tuh kayaknya," ujar Mbak Eka geleng-geleng kepala.

Sudah kuduga.

Dibantu Mbak Eka, kami menyiapkan selang infus baru. Kukatakan kepada seniorku tentang sikap Arion yang tidak menyenangkan dan kenapa harus selalu aku yang menangani dirinya seakan-akan semesta tidak mengizinkan orang lain menghadapinya. Mbak Eka menatapku keheranan sebelum tawanya meledak.

"Tapi, Mbak Eka ke sana dia malah pengen sama kamu," katanya.

Jika bisa mengeluarkan isi lambung akibat mendengar omongan Arion, dengan sukarela akan kulakukan. Kutatap Mbak Eka sambil mencibir, "Itu hanya bualan tentara kayak dia. Mereka itu sama aja manis di depan tragis di belakang."

Seniorku kembali terbahak-bahak sambil mendorong troli menuju kamar tiga. Kuikuti perempuan bertubuh bongsor itu dari belakang dengan harap cemas. Entah kenapa tiba-tiba dadaku begitu deg-degan. Arion tidak akan membual seperti yang diucapkan Mbak Eka kan?

"Mau dipasang sama saya atau Amel?" tanya Mbak Eka terang-terangan.

Sebelum aku menolak, Arion terlebih dahulu menyela sembari menunjukku dengan dagunya, "Saya mau sama dia."

Sialan!

Mau tak mau, aku maju dan menarik kursi untuk mencari posisi nyaman selama pemasangan infus. Membersihkan tangan dengan handsanitizer sebelum memasang sarung tangan bersih, kemudian melepas infusnya sembari mencari-cari pembuluh vena lain di tangan yang sama. Tak mungkin aku memasangnya di tangan kiri di mana di sana ada balutan perban.

Apa perlu kupasang di kepala biar dia nggak asal bicara?

"Kalau dipegang gini saya pasti cepet sembuh. Mana tangannya halus banget lagi. Tangan masa depan saya," goda Arion membuatku refleks melepas tangannya kasar.

Cih! Apaan sih!

Mbak Eka cekikikan mendapatiku salah tingkah. Tidak! Aku tidak salah tingkah hanya kesal dengan bualan tidak berfaedah dari mulut Arion. Siapa juga yang bakal kena rayuan murahannya?

"Udah, terusin aja," sahut Mbak Eka. "Lagian kamu udah jomlo lama, Mel. Masa nggak mau ngasih kesempatan yang lain?"

Sontak aku menoleh ke arah Mbak Eka dengan mata melotot untuk mengisyaratkan agar tidak membocorkan statusku pada Arion. Lagi pula, kenapa sih Mbak Eka harus ikut campur? Aku jomlo atau bukan, itu urusanku bukan orang lain. Aku juga tidak perlu dikasihani di saat orang seumuranku memiliki pasangan dan anak.

"Oalah ... kemarin katanya sudah nikah dan punya anak satu. Wah pembohong kamu," sindir Arion berlagak kecewa.

"Meski saya single, itu nggak ada urusannya sama Anda," ketusku menusuk abocath ke vena miliknya yang cukup besar di pergelangan tangan. Dia merintih. Aku tidak peduli. "Oke, udah masuk."

Mbak Eka membantuku menyambungkan selang infus dan menempel beberapa plester agar tidak goyang. Setelah selesai dia pergi meninggalkanku dahulu karena mendengar telepon berdering.

"Saya boleh minta nomor teleponnya?" pinta Arion tiba-tiba saat aku membereskan ke dalam nierbeken.

Aku terdiam hanya meliriknya sekilas. "Maaf, nggak bisa."

"Pelit. Padahal saya pengen kenalan sama kamu. Siapa tahu ... kita cocok," ucapnya masih penuh harap.

"Cocok? Setelah perkataan kasar Anda pada saya? Saya rasa kita nggak akan pernah cocok," tandasku emosi mengapa sikapnya mendadak berubah begitu cepat. Gemuruh emosi langsung menerjang dadaku hingga terasa sesak. Dia pikir aku ini perempuan yang bisa dirayu setelah menghina kemarin? Dia pikir aku ini perempuan yang mudah digaet hanya karena dia berseragam loreng?

Cukup sudah berhadapan dengannya, aku langsung melengang pergi begitu saja sembari membawa alat-alat dan sampah. Aku tidak akan pernah menggubris pria gila itu.

Jangan harap!

"Saya akan memintanya dari seniormu!" teriak lelaki itu penuh percaya diri.

***

Pen tulang : alat yang terbuat dari logam buat menyangga tulang yg patah parah agar posisinya tidak bergeser selama penyembuhan.

Dpjp : Dokter penanggung jawab pasien. Satu pasien biasanya dipegang satu DPJP, kecuali ada penyakit penyerta DPJP akan berkolaborasi dg dokter di bidang lain.

Gangren : jaringan mati (biasanya warna kehitaman) akibat kurangnya aliran darah. Biasa terjadi pada orang yg menderita diabetes.

Abocath : jarum infus

Plebitis : peradangan di pembuluh darah area penusukan jarum infus.

Hiperglikemi : gula darah di atas 200mg/dl

Ranitidin : obat untuk melapisi lambung agar tidak pedih saat diberi obat lain yg merangsang naiknya asam lambung.

Ketorolac : obat anti nyeri

Ceftriaxon : antibiotik

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro