Bab 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Januari 2019

+628xx

Ternyata senior lebih ramah drpd junior.

Dahiku mengerut dalam mendapat sebuah pesan Whatsapp yang rasa-rasanya memiliki nada yang sama dengan lelaki di kamar tiga. Aku mengerjapkan mata sebentar, berharap bahwa nomor asing dan kalimat sindiran tersebut hanyalah halusinasi saja. Tidak! Rangkaian kata tersebut masih di sana dan kini mulai tersemat di kepala menimbulkan gumpalan-gumpalan emosi di hati.

Bolehkah aku mengumpat kasar dan memakinya sebagai pria tak tahu diri? Kutatap Mbak Eka yang memandangku balik tanpa ada rasa bersalah saat kami akan mengakhiri shift malam. Dia malah meringis seolah-olah membagikan privasi kepada orang lain bukanlah hal yang patut dipermasalahkan. Aku mendecih dalam hati, meremas bolpoin yang kupegang sembari merutuk diri sendiri telah meremehkannya. Kupikir ancaman Arion kemarin hanyalah sekadar omong kosong. Nyatanya tidak.

"Aku melakukan ini sebagai teman yang mau kamu bahagia," ujar Mbak Eka tampak iba seolah-olah aku wanita yang butuh lelaki.

Ah, sorot mata penuh belas kasihan itu. Aku membencinya setengah mati. Memangnya ada yang salahkah bila seorang perempuan memutuskan menjadi single dan memfokuskan karier? Apakah ada yang aneh dan menyedihkankah dari kami sebagai orang yang tidak memedulikan urusan cinta? Apakah manusia hanya memandang tujuan hidup sekadar beranak pinak dan hidup bersama pasangan dalam satu atap? Apakah mereka tidak memikirkan bahwa roda kehidupan selalu berputar begitu juga dengan sifat manusia?

Tanpa pria atau cinta pun, aku tidak akan mati begitu saja.

"Tapi aku nggak suka dia, Mbak!" tegasku kesal. "Dia pria kasar banget loh sama aku kemarin. Mentang-mentang dia tentara terus bisa seenaknya sama orang?"

"Mungkin karena posisi lagi sakit, Amelia. Kamu belum kenal dia lebih jauh," ucap Mbak Eka seperti berpihak ke Arion.

"Tabiat orang akan selalu sama entah lagi sakit atau nggak, Mbak," elakku. "Jangan ngasih nomorku ke orang lain tanpa ijin, Mbak, aku nggak suka meski niatnya Mbak Eka baik. Itu privasiku!"

"Apa karena kejadian itu kamu anti banget sama cowok?" terka Mbak Eka.

Tubuhku membeku beberapa saat, tapi sorot di balik kaca minus yang dikenakan perempuan paru baya itu seperti sedang mengorek-orek isi kepala. Dia tahu bahwa hubunganku pernah kandas di tengah jalan. Dia tahu luka di hatiku karena patah hati terhebat tidak bisa hilang begitu saja.

"Sampai kapan kamu kayak gini terus, Mel?" sambung Mbak Eka. "Usiamu sudah tiga puluh tahun, apa kamu nggak takut--"

"Perawan tua?" selaku lalu tersenyum kecut. "Emang kenapa sih Mbak? Salah?"

"Kamu nggak selamanya bisa menutup diri, Amelia. Nggak kasihan sama orang tuamu? Mereka pasti ingin putri mereka mengarungi rumah tangga dan punya anak."

"Tapi itu bukan tujuan utama manusia, Mbak," balasku makin kesal. "Yang menjalani hidup itu Amelia, bukan Mbak Eka, orang tua Amelia bahkan ... Arion sendiri. Kalau aku memang belum siap buka hati lantas bagaimana lagi? Daripada aku membuat mereka jadi pelampiasan, bukannya malah dosa ya?"

"Mel ... Mbak gini karena sayang sama kamu."

"Mbak Eka kayak gitu karena nggak mengerti betul perasaan Amelia, Mbak. Kalau Mbak masih ingat, tentu Mbak nggak akan memaksa seperti ini," tegasku sembari membereskan meja kerja dan menata ulang file rekam medis dan alat tulis kembali ke tempatnya.

Sepertinya aku butuh mandi untuk mendinginkan emosi yang mendidih di ubun-ubun. Arion. Mbak Eka. Aku tidak paham dengan mereka berdua berlagak seperti memahamiku tapi kenyataannya berbanding terbalik. Aku tidak salah kan bila marah karena Mbak Eka telah menjamah privasiku?

Tak lama gawaiku berbunyi lagi dan muncul notifikasi pesan dari orang yang sama. Ah, aku malas! Tidak tahukah dia, bahwa aku sedang bekerja?

+628xxx

Hari ini kan saya pulang. Kamu mau nggak rawat luka saya dulu? Setidaknya, saya ingin berkenalan dengan cara jantan.

Memilih menghapus pesan tersebut kemudian mematikan sambungan internet. Aku terlalu lelah bila harus memulai segalanya bersama pria lain lagi. Luka yang pernah ditorehkan akibat hubungan empat tahun lalu saja belum benar-benar pulih. Aku tidak yakin ada orang mau menerima diri ini sementara masa laluku begitu banyak luka. Terlebih Arion. Aku tidak pernah percaya dengan lelaki berseragam seperti dirinya.

Guyuran air dingin membasahi kulit bagai berusaha meluruhkan segala masalah yang mulai berdatangan. Entah karena pertemuan keduaku bersama Ardan. Arion yang tiba-tiba berubah. Atau kemauan seniorku yang ingin aku menggandeng seorang lelaki.

Jujur saja, bertemu dengan Ardan memunculkan secuil harapan apakah masih ada jalan untuk kami berdua? Di sisi lain, harapan itu berlawanan dengan rasa takut yang mengobrak-abrik di hati bahwa takdir tidak akan pernah salah. Kami tidak pernah bisa bersatu. Di masa lalu, sekarang, dan masa depan. Lantas, mengapa kami harus berjumpa? Mengapa aku tidak mampu melupakannya?

Tuhan, adakah cara lain dari melupakan seseorang selain membencinya? Atau adakah cara lain untuk tidak tenggelam dalam harapan yang semu ini?

Aku merindukan Ardan.

###

Pukul tujuh tepat, aku membantu Mbak Eka melalukan timbang terima ke dinas pagi dilanjut berkeliling untuk menjelaskan ulang tentang tugas-tugas yang harus dilaporkan atau dilakukan. Hari ini tidak terlalu banyak pasien yang akan direncanakan operasi karena beberapa di antara mereka harus diobservasi ketat akibat gula darah dan tekanan darah yang belum stabil. Ada satu di antara yang harus mendapatkan transfusi akibat hemoglobinnya di bawah normal.

"Ini Pak Hendra yang akan direncanakan operasi siang ini, benjolannya sekitar tiga senti ya di bagian belakang telinga kanan. Tadi aku sudah laporan ke dokter penyakit dalam masalah tensi dan gula darah. Injeksi levemir enam unit kemarin malam sudah masuk, tadi pagi sudah aku cek ulang kadar gula darah puasa hasilnya 120. Sudah bagus cuma tensinya masih tinggi 160/110. Tunggu balasan Whatsapp dari dokternya ya."

"Operasi jam berapa, Mel?" tanya Dita.

"Jam satu siang. Mungkin nanti dikasih amlodipin sama dokternya, Dit."

Selanjutnya kami masuk ke kamar tiga yang terasa lebih panas dibanding malam-malam sebelumnya. Padahal mesin pendingin masih berfungsi normal. Apakah ini efek dari kehadiran Arion yang belum hilang? Aku berusaha tidak meliriknya namun otakku refleks tertuju ke arah pria tersebut. Ah sial! Jantungku langsung berdetak kencang manakala iris mata kami bertemu.

"I-ini, tuan A-arion," kataku gugup. "Hari ini sudah boleh pulang. Nanti dirawat luka dulu ya. Kontrolnya hari rabu, resep obat pulang sudah aku siapkan tinggal ngasih ke pasiennya."

Suaraku lebih terdengar seperti cicitan. Aku tidak tahu kenapa harus gugup di depan Arion bahkan saat dia senyum-senyum tidak jelas kepada kami. Mbak Eka sempat membisikiku bahwa dia senang jika Arion bisa menjadi pacarku.

"Mbak, udah deh jangan mulai. Lagi pula bukan usiaku jika harus berpacaran ala anak remaja," bisikku jengkel.

Mbak Eka terkikik tanpa merasa tersinggung lantas berkata, "Kalau dia serius, aku yakin dia akan berusaha membuatmu percaya. Kamu hanya harus membuka pintu hatimu, Mel. Kesalahannya kemarin anggap saja dia sedang kerasukan dedemit."

"Mbak ..." aku menggertak pelan malu.

Arion bisa mendengar percakapan kami dan hal tersebut bisa saja membuat kepalanya membesar. Aku tidak mau dia terlalu percaya diri. Dia memang salah dan aku tidak akan dengan mudah mengampuninya. Sial sungguh sial, debaran dalam dada masih enggan berhenti justru makin meningkat seperti bom yang siap meledak. Bahkan untuk beberapa saat, aku lupa bagaimana caranya bernapas akibat terhipnotis oleh kedua mata sipit nan tajam itu.

Sadar, Mel!

"Aku sudah pernah merasakan. Mereka hanya berjuang di awal, Mbak. Namun mereka membuangku seperti sepah," lirihku.

"Kamu yakin? Aku rasa dia pengecualian."

Aku mengangkat bahu. "Jika memang seperti itu, boleh dibuktikan sekarang juga."

Sontak kedua mata Mbak Eka berbinar. "Jadi kamu membuka hatimu?"

Aku menggeleng sambil tertawa. "Hatiku hanya untuk satu orang yang tidak dapat kupanggil sebagai milikku."

Karena aku hanyalah sebuah masa lalu.

###

Kesialan berlanjut lagi, Mbak Eka dan teman-temanku seolah sedang menceburkan diriku ke dalam pesona Arion. Mereka berpura-pura sibuk dan tidak bisa merawat luka, sedangkan Mbak Eka harus pulang lebih cepat dan beralasan anaknya akan pergi berenang. Aku ingin menolak, tapi mereka justru menyodorkanku satu set rawat steril luka yang dibungkus kain hijau. Aku mendecak benar-benar dongkol dan tidak ikhlas bila harus dihadapkan dengan Arion lagi.

"Please, Mel. Kamu besok kan libur panjang," pinta Dita mengedip-ngedipkan mata. "Dia jinaknya sama kamu doang. Ya ... kumohon."

"Kan pasiennya nggak banyak, Dit. Aku malas banget loh!"

"Aku takut sama dia, Mel, serius. Cuma kamu yang berani sama dia," ucap Dita. "Besok kalau kamu jaga, aku beliin bakso tetelan Kodam."

Mau tak mau, terpaksa aku mendorong troli ke ruang tiga. Melirik sinis ke arah kamar tiga dan bersumpah dalam hati bahwa ini percakapan terakhir. Rasa-rasanya hidupku tidak akan tenang jika orang-orang terus-terusan mengusik kehidupanku. Termasuk Arion. Lihat saja dia! Arion sudah duduk bersandarkan bantal dan tersenyum begitu sumringah seraya mengangkat tangan dibalut perban.

"Ck, kemarin aja marah-marah kayak orang kesetanan," desisku mendekatinya. "Sekarang senyum-senyum kayak orang gila.

"Selamat pagi, Suster Cantik," sapa Arion membuat bulu kudukku merinding tanpa rasa sungkan bahwa bukan dirinya seorang di kamar tiga. "Saya kira kamu nggak akan mau merawat luka."

Emang nggak mau!

Oke, diam. Aku harus diam daripada adu mulut bersama pria gila satu ini. Kubuka bungkusan kain set rawat luka lalu membersihkan tangan dengan hand sanitizer dilanjut memakai sarung tangan bersih. Setelah itu, memulai membuka balutan kasa di tangan kiri Arion.

"Duduk aja daripada punggung kamu capek," pinta Arion mengamatiku membungkuk dan masih membuka balutan perbannya. Tapi aku hanya diam saja sambil menggeleng menolak penawarannya. "Eh, Ded, ambilin kursi sana! Kasian cewek cantik kalau capek."

Dedi--lelaki yang kemarin juga ikutan mengomel tergelak mengolok Arion sebagai buaya. Dia meraih kursi di sisi kanan dan menaruhnya tepat di belakangku. Kepalaku menoleh, kursi plastik bercat merah sudah menunggu untuk kududuki. Terpaksa kuikuti permintaan pasien menyebalkan ini.

Usai perbannya terlepas, kulihat luka jahitan yang telah dikerjakan oleh dokter Rio. Tidak ada nanah, tidak ada kemerahan yang menandakan infeksi lanjutan, lukanya pun kering. Setidaknya pemberian antibiotik secara intens kemarin terhitung berhasil. Leukosit dalam darah Arion pun kembali normal tidak seperti waktu awal datang sampai dia demam tinggi.

"Kok diem aja sih? Saya ingin dengar suara kamu," ucap Arion memandangi wajahku lekat. "Eh, Ded, kamu keluar dulu sana! Nanti ada yang salah tingkah!"

"Siap Bang!" ujar Dedi menuruti perintah Arion.

Bibirku memang bungkam, tapi hatiku benar-benar mencak-mencak menangkap kalimat yang terkesan seperti godaan itu. Tidak ingatkah dirinya kalau beberapa hari lalu sempat menghinaku? Apa obat bius yang diberikan dokter anestesi telah melenyapkan sikap kasarnya kemarin?

Mengganti sarung tangan kotor tadi dengan sarung tangan lain dilanjut membuka set rawat luka lantas menuangkan cairan saline ke dalam com kecil. Aku mengambil lipatan kasa steril lalu mencelupkannya ke dalam com dan memeras sebentar sebelum membersihkan jahitan luka Arion.

Refleks dia mendesis menahan perih berbarengan tatapan kami berserobok. Pantulan diriku di dalam iris mata tajam itu langsung menciptakan atmosfer lain yang makin terasa panas dibanding tadi. Ada jeda cukup lama terbentang antara posisiku sekarang dengan dunia. Memerhatikan garis wajah Arion yang tegas dibingkai rahang menawan, sementara bibir merah mudanya terbuka, dan bulu matanya tampak teduh memantulkan cerminan diriku yang tersipu malu.

"Kenapa kamu benci saya?" tanya Arion lirih.

"Siapa bilang?" balasku membuyarkan lamunan.

"Saya jahat ya," ucapnya lagi.

"Saya nggak perlu menjawabnya kan?" Aku mencerling ke arahnya sebentar sembari membuang kasa kotor ke nierbeken.

Sudut bibir Arion naik, masih tak mengindahkan tatapannya dari wajahku. Aku tak mau mendongak akibat jantungku sudah tak karuan sekarang. Entah kenapa aku takut dia bisa mendengar dentuman keras dalam dada.

Kubersihkan luka tersebut sekali lagi sebelum mengeringkannya dan memberi potongan kasa antibiotik supaya penyembuhannya lebih cepat. Kemudian menutup jahitannya dengan beberapa tumpukan kasa lalu membalut dengan perban dalam diam.

"Kenapa saya nggak boleh berkenalan? Apa saya nggak cukup memikat?" tanyanya.

Astaga ....

"Saya nggak tertarik," ketusku.

"Kenapa? Saya cukup ganteng kok. Tinggi, badan berotot, kerjaan saya mapan. Cewek lain nggak ada yang nggak terpikat," tandasnya penuh percaya diri. "Kecuali kamu."

Memangnya semua orang harus suka sama dia?

Kuembuskan napas kasar dan mengira kalau dia benar-benar di luar batas. Oke, tidak perlu dijawab daripada percakapan ini semakin panjang. Aku pun harus pulang karena tubuhku butuh istirahat.Bahkan dari Arion.

Selesai membebat luka, aku langsung membereskan peralatan rawat luka ke dalam nierbeken. Sementara Arion masih saja mengoceh tentang kejadian semalam di mana aku selalu diam setiap kali ditanya olehnya.

"Saya minta maaf," ucapnya lagi ketika aku beranjak pergi. "Saya minta maaf membuatmu marah kepada saya."

Arion menjulurkan tangan kanan seraya menyunggingkan senyum tipis. "Saya ingin dekat denganmu. Jujur. Lagi pula ... kita kan sama-sama jomlo."

cih!

Aku memutar bola mata tak langsung percaya dengan ucapannya. "Saya nggak punya waktu. Permisi."

"Nanti aku Whatsapp ya, Mbak Amel!" serunya kala kakiku melangkah ke luar.

Kayaknya dia pantang menyerah!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro