Bab 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Februari 2019

Selepas kau pergi ....

Tinggallah di sini, kusendiri ...

Musik Laluna mengalun merdu memenuhi kamar manakala aku sibuk membereskan sekaligus menata ulang beberapa barang. Hari libur kerja memang sering kugunakan sebagai jadwal bersih-bersih kamar atau rumah. Bila orang lain biasanya bersenang-senang ke mall atau ke kafe sekadar merelaksasikan batin, lain halnya denganku. Aku tidak seberapa suka bila harus terjebak di tengah-tengah keramaian seperti orang tersesat. Menghubungi teman terdekat pun kebanyakan mereka sudah memiliki anak sehingga susah untuk diajak bertemu walau sebentar saja.

Aku membongkar rak berisi buku-buku semasa kuliah yang mulai berdebu seperti buku keperawatan medikal bedah, buku keperawatan anak, buku diagnosa keperawatan, hingga dua jilid skripsi yang menjadi saksi bisu perjuangan mendapatkan gelar sarjana. Selain itu, ada juga novel-novel yang kubeli di Kampung Ilmu di jalan Semarang. Sudut bibirku tertarik ke atas meraba salah satu novel favorit yang ditulis oleh Ilana Tan atau novel teenlit karya Esti Kinasih. Cinta yang diukir oleh mereka begitu indah sampai-sampai aku pernah bermimpi andai saja mengalami hal serupa. Dicintai oleh pria tanpa pamrih.

Jangan bermimpi di siang bolong, Amelia!

Tak sengaja sorot mataku menangkap sebuah kotak sepatu bermerek Nevada tengah bersembunyi di bawah tumpukan novel-novel lain. Lantas tanganku memindahkan lima novel J.K. Rowling ke tempat lain setelah membersihkannya kemudian menarik benda yang agak peyot itu.

Kotak berwarna oranye yang sudah kusam ini terlilit plester hitam di keempat sisi seakan-akan dunia tidak boleh mengetahui isinya. Senyum masam terbit begitu saja di bibir menyadari waktu telah bergulir begitu cepat selepas perpisahanku bersama Ardan. Di dalam kotak ini banyak hal yang telah kulewatkan bersamanya menimbulkan gelombang emosi dalam dada. Entah kenapa setiap kali bersinggungan dengan hal-hal yang berkaitan tentang pria tersebut, mataku selalu berkaca-kaca.

Itu sudah bertahun-tahun lalu, Mel. Seharusnya kamu bisa mengontrol perasaanmu.

Sisi lain dalam diriku meragu apakah menepis bayangan Ardan semudah yang diucapkan. Bahkan setelah pertemuan kami pun, segenap lapisan-lapisan tentang pria itu makin menancap kuat dalam benak. Takdir memang aneh. Dia yang menyuruhku untuk pergi darinya, namun takdir pula yang mempertemukanku dengan Ardan.

Sebuah dorongan yang mendadak datang, menggerakkan jemariku untuk membuka paksa plester yang menutup kotak bekas sepatu itu. Setelah berhasil, bibirku menganga beberapa saat mendapati sebuah buku harian, beberapa foto kami yang memudar, gantungan kunci, flashdisk 128 giga, serta sebuah amplop berwarna putih dengan tulisan yang luntur terkena air.

Kristal bening langsung bercucuran begitu saja tanpa permisi saat tangan kananku mengambil foto-foto tersebut. Aku tertawa nanar mengingat-ingat potongan kenangan kami berdua ketika kencan di salah satu mall dan berfoto berdua untuk pertama kali. Ekspresi bahagia tergambar jelas tanpa tahu bahwa akhir dari kisah tersebut sangat pedih untuk dikenang kembali.

Kemudian ada salah satu foto di mana aku sedang makan di salah satu warung seafood di daerah Genteng Kali bersama Ardan dan kedua temannya. Ardan berdiri di belakangku mengenakan kaus putih, celana hitam longgar selutut, dan rambut sedikit berantakan serta peluh keringat membanjiri dahi akibat bumbu cabai menguasai mulutnya. Bola matanya membesar, mulutnya terbuka lebar, kedua tangannya mengacungkan capit kepiting. Ekspresinya begitu lucu membuatku tertawa sumbang memutar kembali masa-masa tersebut.

Hatiku sakit bukan main kala rindu yang kupendam seorang diri membuncah tanpa bisa dikendalikan. Aku sadar kalau rindu ini tak akan bisa terbayar sekali pun kami bertatap muka. Segala yang terjadi antara aku dan Ardan tidak akan bisa sama. Harapan kami tidak akan pernah menjadi nyata.

Ah, sial! Jangan nangis Amelia!

Aku mengamati foto lain di mana proporsi tubuh Ardan mulai berubah dibanding saat pertama kali kami berkenalan. Dia lebih tambun, perutnya sedikit membuncit, tapi tidak menghilangkan ketampanan yang tercetak sejak lahir. Dulu, aku dan kedua temannya sering meledek Ardan hingga dia jengkel.

"Meski gendut, kamu juga sayang sama aku kan?" bela Ardan sambil menepuk-nepuk perut buncitnya persis wanita hamil. "Aku gendut juga gara-gara sering kamu bawain makanan, Amelia!" ketusnya mengerucutkan bibir.

Ah iya! Aku ingat kalau semenjak resmi menjalin asmara bersamanya, Ardan sering menjadi kelinci percobaan hasil masakanku. Namun, tidak pernah sekalipun dia marah atau kapok mencicipi rasa makanan yang kadang enak kadang tidak. Sebaliknya, Ardan sering memberiku saran terhadap apa yang kumasak.

"Aku bikin ayam asam manis sama omelet telur," kataku saat Ardan pulang kerja dan mampir di apotek. "Rasanya lumayan sih cuma...."

"Pasti enak kok," sahut Ardan memotong ucapanku sambil membuka kotak makan Tupperware merah. Dia menyendok nasi dan memotong sedikit ayam juga telur lantas melahap sembari memejamkan mata. "Enak lho ini! Ini udah pas daripada kemarin," komentarnya seraya menyendok lagi.

"Serius?"

Dia mengangguk. "Iya, udah ya. Aku habisin aja makanannya. Laper. Makasih, Penyu."

Kuhapus genangan air mata yang masih membasahi pipi lantas beralih pada flashdisk putih dan berhias gantungan Doraemon usang. Aku berdiri mengambil laptop dan menyalakan mesinnya sembari bertanya-tanya isi dari tempat penyimpanan data yang dulu kugunakan semasa kuliah. Seingatku, Ardan pernah pinjam beberapa hari sebelum kami putus.

Setelah berhasil menyambungkan USB, puluhan folder dengan nama-nama berbeda langsung muncul. Sesaat aku seperti masuk ke dalam lorong waktu mengamati satu persatu folder tersebut dan membuka salah satu file berisi foto-fotoku bersama teman-teman satu kampus. Ah, rasanya baru kemarin kami memasuki kelas baru bagai anak ingusan yang tidak tahu ilmu keperawatan. Sekarang, mereka telah menjalani kehidupan masing-masing, mengejar karier, membina keluarga, bahkan ada yang asyik menempuh ilmu di Jakarta.

Jujur saja aku iri dengan pencapaian teman-temanku. Hanya saja aku disadarkan kalau manusia memiliki jalan yang tidak sama untuk menggapai cita-cita. Ada yang harus terseok-seok dan ada yang lancar tanpa hambatan. Keluar dari folder foto, iris mataku tak sengaja menangkap satu file di barisan bawah bertuliskan 'Untuk Amel'. Dahiku seketika mengerut namun jemariku mengeklik ikon kuning tersebut dan muncullah sebuah video pendek.

Jantungku rasanya berhenti berdetak saat layar laptop menampilkan wajah Ardan tengah duduk bersila sembari memeluk gitar di dalam kamarnya. Seakan-akan kami berhadapan seperti dulu dan dia akan memainkan gitar kesayangannya sambil bercerita tentang masa depan. Sesaat dia tersenyum-senyum sendiri seraya membenarkan tatanan rambut tebal yang agak berantakan lalu bersiul dan mengerlingkan mata. Kemudian jemarinya mulai memetik gitar dan bibirnya menggumamkan lagu. Entah apa.

Tak lama, arah pandang Ardan beralih padaku lantas berkata, "Hai, Amel. Sayangku. Masa depanku. Calon ibu anak-anak kembarku. Hahaha.... " Ardan tertawa memperlihatkan gigi gingsul dan pipinya yang sedikit chubby. Kedua mataku berkaca-kaca kembali merasakan keceriaan dirinya yang sekarang sirna. Begitu kejamkah masa-masa kami berpisah?

Aku merindukannya.

"Aku ... sebenarnya aku nggak mau berharap lebih pada hubungan ini. Semenjak Mama kamu ... ya kamu tahu kan, mereka nggak menerimaku." Ardan terkekeh seolah-olah sedang menertawakan diri sendiri. Tawa kecut dibarengi sorot mata muram. "Aku sadar diri sih, mel. Aku nggak kaya, aku nggak kuliah kayak kamu, keluargaku broken home, pekerjaanku nggak kayak Papa kamu. Aku cuma pegawai outsourcing yang kapan saja bisa di PHK. Gajiku cuma tiga juta yang ... kata Mama kamu nggak bisa bikin kamu bahagia."

Air mataku mengucur deras. Tidak! Aku mengelak apa yang dilontarkannya di video ini. Dia sudah membuatku bahagia! Orang tuakulah yang terlalu gelap mata dan selalu memandang rendah Ardan. Aku tidak peduli latar belakang keluarganya seperti apa karena tahu kalau hatinya tulus kepadaku.

Ardan mengatupkan bibir rapat seperti menahan isi hati lalu menghembuskan napas panjang dan mengusap wajah seakan-akan berusaha menghapus rasa sedih.

Oh, Ardan, aku tahu kamu pasti menderita waktu itu. Menderita karena mencintaiku.

"Aku mencintaimu Amelia Yuniarmahisa," tuturnya lirih. "Sejak awal melihatmu, nggak terbersit di kepala kalau kamu gadis dari keluarga terpandang. Maaf sudah membuatmu mencintaiku dengan jalan seperti ini, Mel. Aku mencintaimu, tapi aku juga nggak ingin lihat kamu menangis terus. Aku semakin terluka saat orang tuamu menghinamu karena kamu memilihku."

Aku semakin menangis menjadi-jadi manakala kilasan Ardan mendapat perkataan kasar dari kedua orang tuaku. Rasanya begitu hina. Dadaku sesak karena semua tekanan batin ini ingin meledak. Kujambak rambutku sendiri merasa tersiksa. Tidak! Aku yang salah Ardan! Aku yang salah sudah membuatmu jatuh cinta padaku! Aku salah!

Beberapa detik kemudian, terdengar petikan gitar dan nada lagu yang sangat kuhapal. Ardan memetik gitarnya dan menyanyikan sebuah lagu dari band favoritnya. Lagu kesukaan kami. Lagu yang mewakilkan hati kami akan sebuah arti mencintai dan memiliki.

Kulepas semua yang kuinginkan
Tak akan ku ulangi
Maafkan jika kau ku sayangi
Dan bila ku menanti
Pernahkah engkau coba mengerti
Lihatlah ku disini
Mungkinkah jika aku bermimpi
Salahkah tuk menanti

Tak kan lelah aku menanti
Tak kan hilang cinta ku ini
Hingga saat kau tak kembali
Kan ku kenang dihati saja
Kau telah tinggalkan hati yang terdalam
Hingga tiada cinta yang tersisa di jiwa

"Maaf ..." lirihku dengan bibir gemetar. "Maaf, sudah membuatmu terluka."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro