Bab 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Januari 2014

Dahiku mengerut mendapati Ardan tengah duduk di depan bengkel miliknya dengan tatapan kosong. Beberapa orang berdiri di sekitar lelaki itu sembari berbicara sesuatu yang tidak kumengerti. Aku baru saja memarkirkan motor di samping apotek lalu memanggil dirinya. Tidak ada sahutan, melainkan tatapan pria paruh baya ke arahku lalu mereka kembali berkusu-kusu. 

Dirundung rasa penasaran, aku menghampiri Septi yang sedang membersihkan kaca etalase. "Kenapa sepupumu?"

Septi berpaling lalu mengembuskan napas. Raut wajahnya tampak muram seperti ada hal besar baru saja terjadi. 

"Kenapa sih?" tanyaku lagi memaksa Septi agar segera menjawab.

"Bengkelnya baru dirampok orang," jawab Septi.

"Hah?" Buru-buru aku melepaskan tas ranselku dan menyuruhnya menceritakan kronologi bagaimana usaha kecil milik Ardan dirampok. Padahal bangunan tersebut berada di pinggir jalan besar dan sering dilalui motor maupun pengendara lain. Bagiku aneh kalau mereka bisa dengan mudah membobol dan meraup barang-barang yang ada di sana. 

Sembari duduk bersila di lantai, Septi menjelaskan kalau bengkel Ardan yang posisinya tak jauh dari apotek dibobol orang tak dikenal subuh tadi. Sepupunya baru tahu ketika hendak membuka bengkel sekitar pukul tujuh dan histeris mendapati barang-barang di dalam sana raib termasuk tabungan.

"Astaga," ucapku menutup mulut. "Emang nggak dikunci atau digembok?" 

Septi mengedikkan bahu tak tahu. "Kalau setahuku, bengkelnya dia tipikal bangunan lama. Penutupnya aja nggak pakai pintu besi, malah dari kayu. Sudah kuberi saran sejak dulu tapi nggak didengerin katanya tunggu duit banyak baru renovasi."

"Kenapa nggak ditabung di bank?"

"Nggak tahu tuh si Ardan," ujar Septi. "Kalau kayak gini yang rugi dia juga. Apalagi barang-barang buat motor kan mahal, Mel. Tahu ah, ikutan pusing aku!" Dia beranjak dan kembali melanjutkan acara bersih-bersih kaca sambil sesekali menggerutu menyalahi kebodohan Ardan. 

Aku meraih ponsel dari dalam saku lalu mengiriminya pesan singkat sekadar turut berduka atas kejadian yang menimpa Ardan. Kemudian aku beranjak, mencuri-curi pandang ke arahnya tapi dia tetap terpaku di tempat seperti orang linglung. Mataku jadi berkaca-kaca seolah-olah ikut merasakan bagaimana uang jerih payah raib tanpa sisa. 

Andai diberi kesempatan, ingin sekali aku merengkuhnya dalam dekapan dan berbisik bahwa musibah ini bisa dia lalui. Namun, aku hanya bisa memberinya doa dalam hati dan berharap pencuri yang meraup habis semua barangnya mendapat karma. Di sisi lain, aku bertanya-tanya mengapa dia tidak langsung melapor ke polisi? Bukankah di dekat sini ada kantor polres yang bisa dihubungi?

"Kenapa nggak laporan ke polisi?" kataku kepada Septi dan terus mengamati Ardan dari apotek. "Bapaknya ke mana?"

"Pertama, lapor polisi ribet dan pasti prosesnya nggak bakal mudah, Amelia. Kedua, Ardan tipikal orang yang nggak mau nyusahin orang lain, termasuk bapaknya," ujar Septi. "Ah, kamu tahu kan sejarah keluarganya gimana. Bapaknya nggak bakal peduli juga kalau Ardan kena musibah, Mel."

Oh iya, dia bersitegang dengan ayahnya.

"Ibunya sudah tahu?" tanyaku.

"Sudah," jawab Septi. "Nanti kamu hibur dia aja deh, Mel. Nggak tega aku lihat dia melas kayak gitu."

Aku mengangguk mencoba mencari ide untuk membantunya sebisaku. Aku tidak mau melihatnyaterus-menerus dilanda sendu. Aku ingin Ardan kembali ceria seperti biasanya dan menebar bahagia kepada orang di sekitarnya. 

Semoga usahaku bisa membantu.

###

Mungkin bisa kalian bilang kalau aku adalah perempuan bodoh yang mau saja mencarikan pekerjaan untuk seorang lelaki yang belum tentu menjadi suami di masa depan. Kalian juga bisa mencemooh diriku yang terlalu bekerja keras mendapatkan sebuah pekerjaan untuk kekasihnya. Oke, terserah. Itu hak kalian. Tapi, bagiku, selama aku mencintai seseorang aku rela membantu apa saja asal dia bahagia.

Karena segalanya tidak selalu harus dinilai dengan uang.

Berselancar di internet dan membuka berbagai situs lowongan kerja terbaru yang cocok dengan latar pendidikan Ardan membuatku harus begadang selama dua hari. Berbekal mesin printer dan scanner, aku menggandakan ijazah Ardan dan mengirimnya ke beberapa tempat yang membutuhkan karyawan. Mulai dari pendaftaran pegawai BUMN, non-BUMN, perusahaan Persero, hingga posisi mekanik di beberapa merk perusahaan terkenal.

Awalnya Ardan menolak karena tidak ingin merepotkanku. Tapi, siapa yang bakal tega melihatnya duduk termangu tanpa berbuat apa-apa sementara waktu terus bergulir cepat. Apalagi dia harus memulai usahanya dari nol yang berarti akan membutuhkan banyak biaya. 

"Udah nurut deh sama aku, biar aku yang ngurus semuanya kamu tinggal terima jadi," tandasku. "Mana ijazahmu?"

"Aku bisa melakukannya sendiri, Amelia. Aku cuma butuh waktu."

"Sampai kapan? Ini hampir seminggu dan kamu nggak melakukan apa-apa kecuali berdiam diri meratapi bengkelmu yang nyaris kosong, Ardan!" seruku kesal. 

"Nggak semua harus terburu-buru, Amelia! Aku perlu berpikir dan menata hati setelah kejadian kemarin! Kamu kok memaksa sih!" balasnya ikutan emosi. 

"Biar aku minta ibumu buat nyari ijazah," ujarku meninggalkannya daripada tersulut amarah juga. 

Semua ini kulakukan agar Ardan tidak dipandang sebelah mata oleh tetangganya. Mereka tidak membantu malah mencibir pengamanan di bengkel Ardan yang dinilai terlalu berisiko dibobol orang lain. Selain itu, semenjak tempat tersebut dirampok hingga tabungannya ludes. Ardan memilih menutup bengkel dan berdiam diri di sana. Kebiasaan tidurnya pun menjadi berantakan. Pagi digunakan tidur, malam digunakan begadang. Dia kembali merokok aktif setelah tiga bulan kularang merokok.

Bahkan ketika aku datang ke bengkel yang menjadi tempatnya menyendiri, dia tengah berbaring sembari menatap langit-langit. Kami bertengkar kembali dan makin sering bertengkar hanya karena masa kecil, termasuk keinginanku agar dia segera mencari lowongan pekerjaan atau melakukan sesuatu yang lain daripada duduk diam seperti orang bodoh. 

"Kalau kamu terus seperti ini silakan!" seruku marah mengetahui begitu banyak sisa putung rokok berserakan di lantai. "Aku udah usahain kamu buat kerja. Tapi apa! Kamu nggak menghargai usahaku!"

Ardan mendecak lalu berkata, "Aku hargai, Mel! Tapi, kamu nggak tahu rasanya kehilangan uang dua puluh juta yang aku tabung lima tahun ini. Kamu nggak tahu betapa susahnya aku membangun usahaku sampai harus hutang ke sana kemari. Kamu nggak bakal tahu, Mel!"

"Mau kamu apa?" tanyaku bersedekap dan duduk di sampingnya.

"Aku nggak tahu. Tapi, aku paham kamu sudah bersusah payah mencari pekerjaan buat aku, biar kamu nggak malu dengan usahaku yang masih kecil, kan?" balas Ardan terkesan merendahkan dirinya sendiri.

Refleks aku menoleh ke arahnya tak percaya atas ucapan tak masuk akal tersebut. "Astaga, apa yang kamu omongin? Aku nggak pernah berpikiran seperti itu!"

Lelaki itu mendecak dan menertawakan diri sendiri. "Masa? Jadi, kamu nggak malu walau aku sekarang pengangguran dan usahaku bangkrut? Kamu nggak malu kalau kita pergi berdua dan kamu yang bayarin makan?"

Sekali lagi aku menganga. Kukepalkan kedua tangan menahan geram lalu berdiri. Kulangkahkan kaki meninggalkan dirinya dengan amarah yang sudah di ubun-ubun. Saat berada di depan pintu, aku berbalik menatap Ardan yang menunduk sambil menyalakan putung rokok.

"Kamu tahu? Sekali pun aku nggak pernah malu meski kamu punya usaha kecil, Dan. Aku melakukan ini semua karena aku sayang sama kamu. Aku nggak ingin kamu terpuruk terus-menerus dan membebani ibu. Aku pun nggak keberatan kalau kita bergantian bayar makan atau minum karena pada dasarnya kamu cuma pacar bukan suami yang punya kewajiban memberiku uang!"

Dadaku bergemuruh seolah-olah ombak besar tengah menerjang dan menghanyutkanku ke dalam gelombang emosi. Seumur-umur aku tidak pernah memandang orang sebelah mata dan tidak menyangka bila Ardan meragukan kesetiaanku padanya. Sembari menghela napas, Aku berdiri dari tempat dudukku lalu mengambil sebuah kertas pengumuman yang sudah kucetak dari warnet. Kuletakkan surat itu di atas meja bersanding botol minuman. 

"Kalau kamu ingin putus, silakan. Tapi, asal kamu tahu usahaku berhari-hari mengirim banyak email nggak sia-sia," ujarku membuatnya mendongak tak mengerti. 

"Apa maksudmu?" tanya Ardan. 

Aku menyiratkannya untuk mengambil surat di atas meja. "Aku pulang dulu. Besok kamu harus datang ke sana buat wawancara."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro