Bab 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Februari 2019

Sial!

Dunia rasanya berhenti berputar sejenak saat iris mataku menangkap pria menyebalkan itu tengah duduk di bangku panjang depan deretan poli rawat jalan. Jikalau tidak sedang mengantar pasien ke radiologi, sepertinya aku lebih memilih memutar jalan dibanding bertemu Arion. Sesaat kemudian, aku baru ingat jikalau hari ini adalah rabu. Hari di mana Arion harus kembali memeriksakan lukanya di poli bedah selepas operasi minggu lalu. Ah, sepertinya prasangka tentang dunia itu sesempit daun kelor memang benar adanya. Apalagi rumah sakit tempatku bekerja menjadi lokasi pertama bagi mereka--orang berseragam seperti Arion--untuk berobat sebelum mendapat rujukan yang lebih bagus bila diperlukan.

Diam-diam aku memindai penampilan pria yang melempar senyum manis di bibir. Wajahnya berseri-seri seakan-akan kejadian minggu lalu bukanlah hal penting di otaknya. Selain itu, dia mengenakan seragam loreng yang benar-benar pas di badan kekar sehingga kulit langsatnya tampak kontras dibandingkan tentara yang kebanyakan berkulit gelap. Namun, bukan berarti hal tersebut bisa meluluhkan hatiku setelah pertikaian kami beberapa waktu lalu.

"Hei," sapanya mengacungkan tangan kiri yang dibalut perban.

Pasien lelaki paruh baya yang sedang duduk di kursi roda menoleh sebentar ke arah Arion sementara aku tak mau menjawab sapaannya. Aku berhenti di depan pintu bertuliskan radiologi hendak membuka pintu dan mendorong pasien. Tak disangka-sangka, Arion yang duduk di depan ruang radiologi tersebut berdiri dan membantu menggerakkan kursi roda. Tangan kami nyaris bersentuhan. Nyaris hingga jantungku berhenti berdetak. Semerbak aroma maskulin dari balik seragam loreng tersebut menyeruak menggoda hidungku. Jika seperti ini, dia benar-benar tinggi membuatku refleks mendongak mengamati biji matanya.

Lagi-lagi dia tersenyum. Kali ini senyumannya menyiratkan sesuatu yang menyadarkanku kalau semua itu hanyalah rayuan semata. Dia berdeham lalu berkata,

"Maaf, Pak, saya mau bantu suster cantik."

"Pacarnya?" tanya pasien itu terkekeh merasa tak terganggu oleh kehadiran Arion.

"Nggak!" sahutku ketus nyaris terdengar seperti sebuah jeritan. "S-saya nggak--"

"Nggak salah maksudnya," selanya mengerlingkan mata ke arahku.

Dia gila?

Tak sempat melontarkan sindiran pedas, Arion bergegas keluar sedangkan aku sudah disambut petugas radiologi bernama Dodit yang mengonfirmasi ulang permintaan dokter melalui telepon. Selembar blangko permintaan foto rontgen pasca operasi pemasangan pen di siku kanan. Petugas itu melenggut lalu menyuruh pasien memosisikan diri di atas meja memanjang sembari mengatur alat.

"Tunggu di luar saja, Mel, nggak apa-apa," pinta Dodit.

"Saya di ruang Mas Dodit aja ya," pintaku karena tahu kalau Arion berada di luar. Mungkin menungguku muncul. "Lagi pula cuma sebentar kan?"

"Ih, ya jangan ... tunggu di luar saja, Mbak," ujar Dodit.

Mau tak mau, akhirnya aku keluar dan dugaanku benar. Dia langsung menegakkan tubuh seperti menyambutku penuh suka cita. Kugigit bibir bawah berusaha mengabaikan sorot iris cokelat yang tak berhenti mengamati seakan-akan aku ini objek yang tidak boleh dilewatkan satu detik pun.

Aku duduk tak jauh darinya sembari menulikan telinga bila dia mengajak bicara. Terlalu malas bagiku untuk menanggapi ocehan Arion, bahkan selepas dia keluar dari rumah sakit, tak henti-hentinya dia mengirim pesan teks. Meski aku sering mengabaikannya, dia tidak pernah mengenal kata menyerah.

"Kok menghindar mulu sih!" sindirnya.

Tak berapa lama seorang perempuan bertubuh subur dan mengenakan jilbab mencolok duduk di antara kami berdua. Aku mempersilakannya dengan ramah sembari bersyukur dalam hati agar Arion tak terus-terusan menggodaku.

Kemudian ponselku bergetar, kurogoh benda itu dari dalam saku seragam lantas membeliakkan mata mendapati satu pesan teks dari Arion. Aku menoleh ke arah lelaki itu sembari menyipitkan mata dan bertanya-tanya ocehan mana lagi yang akan diucapkan.

+628xxx

Tlpon nggak diangkat. Wa nggak dibalas. Dasar wanita.

Bisakah aku menyumpal mulutnya dengan sepatuku? Kenapa setiap melihat Arion aku selalu merasa dongkol bukan main? Ini membuat terik matahari di atas kota seperti memanggang kesabaranku perlahan-lahan sebelum akhirnya meledak menjadi amarah. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Arion yang begitu mempermasalahkan hal-hal sepela. Sungguh dia benar-benar mudah membuat tekanan darahku naik.

Atau aku yang terlalu sensitif?

Tiba-tiba dia meneleponku. Kontan saja jemariku menolak panggilan itu. Tak lama dia kembali menelepon tapi kutolak lagi sambil tersenyum sinis. Arion pantang menyerah ketika menelepon untuk ke sekian kali sambil menaikkan nada bicaranya, "Ya elah, mau telepon aja susah amat."

Aku mendecak dan terpaksa menerima panggilannya yang kelima. "Apa?" tanyaku jutek.

"Wa 'alaikumsalam, Sayang," ucapnya penuh kelegaan.

Ekor mataku menyorot sinis. "Ck, apaan sih nggak jelas!"

Orang yang duduk di sebelahku menoleh membuatku canggung setengah mati. Dia berpaling ke Arion lalu kembali ke arahku seraya menaikkan sebelah alis namun tidak ada satu kata terucap dari sana. Aku paham dan menggeser sedikit posisi dudukku agak menjauh selagi menatap tajam Arion. Bukannya takut, malah lelaki itu mengerlingkan mata.

Tentu saja sikap kekanakannya memaksaku mengalihkan pandangan ke arah lain saat Arion mulai berbicara,

"Saya suka liat wajah kamu yang judes begitu. Gemesin."

"Saya nggak suka cowok yang hobinya menggoda perempuan. Terkesan murahan," balasku.

"Masa sih? Saya nggak menggoda kok, cuma mencari kesempatan supaya dekat sama kamu," ujar Arion.

"Dekat? Kita bukan siapa-siapa. Anda bukan pasien saya lagi kan?" tandasku untuk mempertegas bahwa hubungan kami sudah usai. Tidak ada hubungan lain selain pasien dan perawat di ruang rawat inap. Dia sudah selesai masa perawatan, itu artinya kami harus menjadi orang asing tak tidak saling kenal.

Arion tertawa tanpa merasa tersinggung dengan ucapanku. "Ya ampun ... saya jadi penasaran apa yang membuatmu membenci saya. Oke, mungkin saya pernah berkata kasar. Saya minta maaf. Mungkin juga karena saya nggak jantan mengajak kenalan secara langsung. Saya minta maaf juga. Bisakah kita memulainya dari awal, Amelia?"

Bibirku bungkam cukup lama karena tidak ada kalimat yang pas untuk menggambarkan kebencianku terhadap Arion. Aku tidak menyukainya. Aku benci karena dia kasar kepadaku dan tidak akan cukup melalui sebuah maaf. Dia telah menghinaku di depan pasien lain dan itu tidak akan pernah bisa mengembalikan harga diri yang diinjak-injak olehnya. Lantas untuk apa kami memulainya dari awal?

Tanpa sadar perempuan paruh baya di antara kami beranjak pergi sehingga aku bisa merasakan dia tengah mengamatiku penuh harap.

"Aku serius, Amelia," sambungnya lagi. "Aku ingin mengenalmu."

Detik berikutnya pintu radiologi terbuka, Dodit menyuruhku masuk dan buru-buru memutuskan sambungan teleponku. Seharusnya jika Arion peka sedikit, dia pasti paham bahwa tidak mudah menarik seseorang yang dihina untuk menjalin sebuah pertemanan. Jika dia paham, tidak semestinya dia memaksakan diri untuk mengenalku atau berusaha menulusuk masuk ke sisi gelap kehidupanku.

Aku yakin dia bakal menjauh kalau tahu yang sebenarnya.

###

Sekitar pukul sepuluh malam, Arion menelepon sebelum aku beranjak tidur. Padahal sudah kutolak panggilannya hingga sepuluh kali namun tidak ada kata menyerah dalam kepalanya. Kadang tidak habis pikir mengapa Arion membuang-buang waktu seperti ini, padahal masih banyak wanita yang bisa digoda. Kenapa harus aku? Seolah-olah ratusan penolakan yang dia dapat dariku dianggap sebagai sebuah lelucon. Sambil mendecak kesal kujawab panggilan video call yang kesebelas kalinya.

"Akhirnya ... dijawab juga," ujar Arion tampak duduk bersandar sambil mengunyah sesuatu. Sayup-sayup aku bisa mendengar musik dangdut dan teriakan beberapa temannya ke arah Arion. Dia hanya tertawa seraya menaik-turunkan alis kemudian beralih kepadaku. "Kok gelap? "Orangnya ke mana nih? Kangen tahu!"

"Saya mau tidur," jawabku.

"Ih, jutek amat sih bikin orang tambah sayang aja," godanya yang disoraki seseorang.

Tanpa sadar, bibirku malah mengukir senyum geli. Dasar gila, batinku. Untung saja lampu kamar mati sehingga dia tidak bisa melihat ekspresiku. Ah, tidak! Aku menggelengkan kepala cepat menepis obrolan yang mulai terasa akrab. Astaga, kenapa aku tersenyum-senyum sendiri seperti itu? Aku mengusap wajah tuk menyadarkan diri kalau pria seperti Arion bukanlah orang yang mau diajak serius. Dia hanya lelaki yang suka bermain-main dengan banyak wanita. Aku harus menguatkan dinding pertahananku agar tidak terjerat oleh jebakannya.

"Saya mau tanya, kenapa kamu membenci saya?" tanya Arion mendadak serius. "Kalau saya ada salah ... tolong bilang. Jangan diam terus. Saya bukan dukun, Amelia."

Senyum di bibir seketika memudar berganti kilas bayangan masa pahit di masa lalu. Membuka luka lama rasanya seperti sedang menyayat diri sendiri. Kristal bening di sudut mata telah jatuh membasahi pipi tanpa permisi. Dadaku terasa sakit. Gelombang kekecewaan juga emosi yang dipendam selama bertahun-tahun kini keluar tanpa bisa dicegah. Sensasi ini membuat kepalaku pening kala semakin tenggelam dalam kenangan menyakitkan. Tidak. Aku tidak ingin terpuruk seperti dulu lagi. Aku tidak ingin bersedih seperti dulu.

"Halo?" Suara berat Arion menarikku dari kubangan keputusasaan. Wajahnya tampak khawatir karena tak kunjung mendapat respons justru mendengar isak tangisku. "Kamu nggak apa-apa? Ada apa, Amelia?"

"S-saya ... nggak apa-apa. Jangan mencoba peduli sama saya," jawabku sesenggukan.

Arion melengkungkan sebelah alis. Bibirnya melengkung masam tak terima atas jawabanku yang tak ramah. "Memangnya salah kalau saya peduli? Kenapa kamu selalu menyalahkan apa yang saya coba lakukan?"

"Karena orang-orang seperti Anda yang selalu membuat saya terluka," kataku.

Arion tercengang beberapa saat lalu berkata, "Orang seperti saya? Kenapa? Kamu pernah sakit hati? Ditinggal menikah?"

"Itu bukan urusan Anda," ketusku menghapus air mata dan sialnya malah mengucur deras.

"Amelia, saya nggak seperti mereka. Kamu salah jika menyalahkan orang lain atas luka yang dulu kamu terima," bela Arion tak ingin disalahkan. "Apa ini alasannya kenapa sikap kamu kepada saya begitu sinis?"

Merasa disudutkan atas tuduhan Arion, aku langsung memutuskan sambungan telepon dan jaringan internet. Sungguh mau dipaksakan pun, aku tidak bisa berlama-lama menjalin hubungan bersamanya. Aku tidak mau terluka lagi. Sudah cukup masa lalu itu terkubur dalam ingatan. Aku tidak mau mengulanginya lagi. Tidak! Tidak akan pernah.

"Kalian memang selalu berkata manis namun setelah mendapatkan keinginannya kalian membuat kami menangis," gumamku tersedu-sedu.

###

April 2013

Jika biasanya akhir pekan kugunakan untuk bersantai, nyatanya minggu menyebalkan ini aku harus berkutat dengan tumpukan tugas kuliah yang sangat banyak. Menggambar anatomi ginjal, menyusun makalah tentang kehamilan, dan menyusun presentasi tentang kegawatdaruratan bencana alam.

Sungguh semua tugas kuliah membuat kepalaku rasanya ingin meledak. Belum lagi harus membagi waktu bekerja sampai malam ditambah ujian semester makin dekat. Alhasil, akhir-akhir ini aku sering begadang malam dan sering tertidur di dalam kelas. Jadwal makanku pun sangat tidak teratur hingga mengalami banyak penurunan berat badan.

Akhirnya, aku pun meminta bantuan Ardan mencari beberapa materi melalui website yang biasanya kugunakan untuk mencari jurnal dan meminta lelaki itu untuk mengirimnya melalui email. Dia juga kuminta bantuan untuk membantu menyusun makalah. Untung saja dia cepat memahami semua tugas walau kadang ada nada sindiran kalau sekarang dia serasa seperti ikut kuliah juga.

Di sela-sela menerima materi yang kubutuhkan. Kami berdua saling balas email sekadar menyalurkan rasa rindu yang terbelenggu. Meski jarak kerjaku dengan tempat tinggal Ardan dekat rasanya kami sedang menjalin LDR beratus-ratus kilometer jauhnya. Ini semua terjadi semenjak Ardan diterima sebagai mekanik di salah satu perusahaan motor terbesar di Indonesia. Jam kerjanya memang lebih menguras energi daripada diriku dan liburnya pun hanya sehari dalam seminggu.

Sender : [email protected]
Ini materi terakhir kayaknya Bagus buat makalah kamu.
Btw, aku kangen pengen kencan tp kerjaku kayak gini. Aku pengen makan bakso pedes sama kamu, Nyu.

Aku cekikikan membaca tulisan Ardan. Bagiku saat bersamanya adalah saat terindah. Mungkin istilah dunia serasa milik berdua memang benar adanya. Semua terlihat abu-abu kecuali Ardan. Di mataku dia bagai pelangi yang tidak ingin kuabaikan sedetik. Kubalas emailnya sambil mengatakan bahwa aku juga merindukannya terutama saat kami pergi makan di sekitar Masjid Al-Akbar. Akhirnya aku bisa berkenalan dengan ibunya dan perempuan paruh baya itu pun menyambutku begitu baik.

Tiba-tiba pintu kamarku terbuka menampilkan sosok ibu yang menatap wajahku sinis. "Rumah itu dibersihkan dulu! Bukannya dibiarin kayak kandang ayam! Kamu itu kerjaannya cuma tiduran aja!" bentaknya berkacak pinggang.

Aku terdiam sambil mengangguk tak berani menjawab.

"Lagian dari kemaren telponan sama siapa sih kayak kamu punya pacar aja!" semburnya lagi.

Wajahku semakin pucat dan benar-benar tak sanggup membalas tatapan tajam ibu. Jujur saja aku tidak suka jika ibu menuduh apa yang kulakukan sekalipun itu benar. Dan mungkin ini memang salahku karena belum memperkenalkan Ardan kepada mereka. Aku merasa belum siap jika membawa lelaki ke rumah manalagi aku tidak pernah dekat dengan kedua orang tuaku. Selain itu ... memang sejak kemarin aku menelepon Ardan untuk membantu mencari materi dan diselingi candaan. Lantas apakah itu salah?

Kutatap wajah ibu dengan harap-harap cemas sambil meremas kedua tangan. "Ma," panggilku. "Aku ... deket sama cowok."

Ekspresi ibuku sedikit tertegun, kedua alisnya bertaut sejenak. "Siapa?" tanyanya seakan-akan tengah mengacungkan sebilah pisau tajam ke arahku. "Tentara?"

Aku menggeleng lemah sambil berkata," Bukan, dia..."

Belum sempat bibirku melontarkan kalimat, ibu mendengus kesal lalu menyela, "Mau jadi apa kamu kalo sama cowok biasa? Mau makan apa? Cinta? Udah nggak usah sama cowok yang nggak punya masa depan! Kamu nggah usah ngasih harapan! Mama nggak suka! Kamu itu sekolah sarjana terus dapet orang biasa! Nggak bisa!"

Pintu kamarku ditutup begitu kasar sampai menimbulkan getaran merambat ke jendela. Bahuku merosot mendapati kenyataan bahwa ibu sudah menolak keras siapa pun yang mendekati anak-anaknya bila bukan berasal dari orang berada. Aku menggigit bibir bawah, menahan air mata yang berusaha mendesak keluar membayangkan bagaimana seandainya ibu tahu kalau aku telah menjalin asmara dengan Ardan? Bagaimana jika ibu tahu anaknya menaruh hati pada lelaki biasa yang bukan berseragam seperti ayah? Bagaimana?

Haruskah aku mengatakan kepada Ardan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro