Bab 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Februari 2019

Kali ini bukan di sebuah kafe melainkan rumah makan berkonsep rooftop yang berada di area Baratajaya. Tak jauh dari rumah, tak jauh pula dari mess Arion. Kursi dan meja-meja berbahan kayu menciptakan kesan santai dan tak terlalu kaku, sementara dindingnya tersusun batu bata dengan ornamen tempeh di tempel di beberapa sudut dan ada satu spot foto hitam putih sebagai saksi bisu pendiri rumah makan ini.

Di lantai atas konsepnya seperti bar dan ada live musik yang menjadi daya pikat. Aku duduk berhadapan dengan Arion di sudut kiri area rooftop, sehingga bisa melihat hiruk pikuk manusia yang tidak mengenal lelah mencari nafkah. Di sisi lain, entah angin apa yang membuatku mau saja menerima ajakan Arion tuk kedua kali. Apakah sekadar mencari pelarian ataukah hati ini mulai terbuka. 

Entahlah.

Diam-diam aku mencuri pandang ke arah penampilannya. Kaus lengan pendek berwarna biru tua yang menonjolkan kulitnya yang langsat juga otot biseps, celana denim panjang, sepatu kets, hingga dogtag--kalung identitas--yang melingkari leher. Lantas menurunkan perhatian ke arah balutan di tangan kirinya yang tampak kotor dan ingin rasanya kuganti dengan yang baru. Padahal seingatku Arion katanya baru kontrol kedua dan seharusnya sudah diganti balutannya oleh perawat poli.

Pria itu mencoba menggerakkan jari sambil mendesis kemudian berkata, "Sampai kapan aku kayak gini? Rasanya sudah nggak betah."

"Kemarin perbannya diganti nggak?" tanyaku mengabaikan keluhan Arion. 

Sesaat lelaki itu tercengang sebelum menyunggingkan senyum cerah di bibir. "Mulai perhatian nih? Akhirnya ..."

Aku berdehem, berpaling ke arah jalanan tuk menyembunyikan rasa gugup yang datang tiba-tiba. Sialnya, kenapa mulutku meluncurkan kata-kata yang tidak seharusnya keluar?

"Sa-saya lihat perban itu ..." Ekor mataku mencerling ke arah balutan di tangan kiri Arion.

"Oh ... kemarin habis kurvey jadi bersihin mess sama anak-anak terus lanjut motongin rumput," jawabnya. "Ciee khawatir ya." Dia mengerlingkan sebelah mata.

"Ih, apaan sih!" ketusku kesal bila Arion selalu menggodaku. 

Tak berapa lama seorang gadis berambut cepol datang membawakan beberapa pesanan kami. Malam selepas hujan tadi sore paling enak kalau makan sepiring nasi rawon dengan sambal bajak ditemani segelas teh hangat. Arion menerima nasi dan bebek goreng yang dihias lalapan juga sambal. Setelah mengucapkan terima kasih, aku makan dalam diam tapi Arion memandangku cukup lama seraya menopang dagu dengan tangan kanan. 

"Apa?" tanyaku risih. 

"Aku suka lihat kamu makan," jawabnya. "Enak?"

Aku mengangguk. "Rawon kan memang enak. Anda nggak suka?"

"Aku sukanya kamu," tandasnya santai. Begitu santai sampai aku nyaris tersedak saat meneguk teh. "Idih, salting lagi." Dia mengambil tisu dan menyerahkannya padaku. "Santai saja kali."

"Gimana nggak santai orang ... tiba-tiba bilang gitu," gerutuku menghentikan debaran dalam dada. "Makan sana!" perintahku karena Arion tak kunjung menyentuh makanannya. 

Arion mengangguk lalu makan tanpa sendok dan garpu karena makan bebek goreng memang paling nikmat dengan tangan. "Kamu lucu. Oh ya, obatku habis, Mel. Boleh nggak sih beli di apotek?"

"Boleh. Tinggal bawa bungkus obatnya yang kemarin saja," tandasku. "Nggak hilang kan bungkusnya?"

"Nggak. Kenangan sama kamu saja nggak hilang di kepala," candanya lalu tertawa. Aku geleng-geleng mulai terbiasa dengan semua gombalannya padaku. "Oh iya, lusa besok aku ada pelatihan di Malang. Kayaknya enggak bisa ketemu kamu beberapa hari. Nggak apa-apa kan?"

Dahiku mengernyit mendengar penuturannya bagai kekasih yang hendak pamit pergi jauh ke seberang pulau. Memang apa urusanku jika dia mengatakan hal itu atau tidak? Bukankah kami cuma teman biasa?

"Emang apa urusannya sama saya? Toh, kita bukan siapa-siapa," tukasku menyelesaikan suapan terakhir. Perutku benar-benar kenyang dan makin kenyang kala menenggak habis teh hangat. Termasuk kenyang menelan bualan Arion.

"Aku ini temen kamu bukan orang lain lagi, Amelia. Udahlah, jangan menghindar terus. Sampai kapan kamu menyendiri kayak gini? Masa ada cowok yang mau deket sama kamu enggak boleh?" sindirnya lalu beranjak dari kursi. "Aku mau cuci tangan dulu. Sekalian beli camilan. Kamu harus makan banyak kalau sama aku. Nggak boleh nolak."

Iris mataku mengekori setiap langkah yang diambil Arion.Dia mencuci tangan di wastafel yang berada di ujung rumah makan lalu berjalan ke arah pelayan seraya menunjuk salah satu menu di papan. Dalam hati, pria itu memang paling menonjol dibandingkan pengunjung lain akibat tinggi tubuhnya agak di atas rata-rata. Aku menelengkan kepala, mungkin 180-an atau bisa lebih. Beberapa perempuan yang melintasi Arion terkagum-kagum sejenak seraya melempar senyum. Aku geleng-geleng kepala. Lagi-lagi tak heran kalau dia akan menjadi pusat perhatian. Mereka hanya belum tahu bahwa di balik ketampanan Arion ada sikap kasar yang disembunyikan. 

Tak lama dia kembali lalu duduk dan berkata, "Aku pesenin waffle sama es krim apa sih gelato gitu deh. Cewek biasanya suka stroberi kan?"

"Sudah hafal banget," cibirku. "Kayaknya nggak saya saja yang diajak ke mari."

"Astaga ..." Arion terkekeh. "Hidup itu dibuat santai saja, Mel,  jangan serius terus. Ah, masalah tadi dan yang waktu di Rolag ... menurutku kamu boleh menangis dan merasa paling menderita. Tapi, senggaknya kamu punya Tuhan yang nguatin kamu," lanjutnya panjang lebar. 

"Jangan sok bijak, Arion. Anda enggak tahu apa yang saya alami," ucapku lalu tertahan sebentar saat pelayan lagi-lagi datang membawakan camilan yang mendinginkan kepala.

Setelah dia pergi, Arion menyendok es krim cokelatnya lalu membalas, "Gimana aku tahu kalau kamu sendiri menutup hati? Masa iya aku ke tukang kunci dulu biar bisa buka hati kamu?"

Kukatupkan bibir menahan jengkel mendengar kalimat Arion meski memang benar adanya. Sampai detik ini, rasanya belum memiliki ketertarikan untuk menjalin hubungan bersama orang baru. Seolah-olah didekati pria saja sudah menguras energi, belum lagi menyatukan visi-misi dan persepsi. Yang lebih menyakitkan adalah ketika sudah klop, mendadak pria tersebut pergi tanpa jejak. 

Sebelum menimpali ucapannya, ponselku berdering menampilkan nama Ardan di sana. Seketika bola mataku membulat dan ingin mencuat bagaimana bisa di saat-saat seperti ini dia menelepon. Mau tak mau, aku menolak panggilan tersebut dan mematikan ponsel karena takut Ardan tahu bahwa aku sedang bersama pria lain seperti dugaannya kemarin. Meski sejujurnya hubungan kami pun berada di zona abu-abu. 

Putus atau terus.

"Apa itu dari pria lain?" tanya Ardan curiga.

"Ng-ngak!" kilahku tanpa memandang wajahnya. 

"Aku tahu kamu, Mel. Kamu selalu nggak mau lihat mataku kalau lagi berbohong," sergahnya.

"Aku nggak bohong," elakku kesal. "Kamu sekarang nggak percaya sama aku?"

"Aku percaya. Hanya saja empat tahun nggak bertemu bikin aku ragu, Amelia," tandasnya lebih terdengar seperti orang emosi. "Apa aku masih ada di hatimu?"

Lamunan tersebut runtuh manakala mendengar suara teriakan meminta tolong. Kepalaku refleks menoleh ke sumber suara di mana ada satu titik orang-orang tengah bergerombol dibarengi jeritan kepanikan lain. 

"Tolong! Tolong! Ada orang pingsan!"

Tak bisa berdiam diri saja, aku langsung menghampirinya mengabaikan panggilan Arion. Semua pengunjung mengerubungi perempuan paruh baya tengah tergeletak tak berdaya tanpa mau membantu menangani. Ini salah satu dampak buruk bila pertolongan pertama pada orang yang tak sadarkan diri tidak pernah diajarkan kepada masyarakat awam. Padahal kebanyakan kasus-kasus seperti ini memiliki golden period tidak sampai sepuluh menit. Bila tidak tertangani, korban bisa saja mengarah ke penyakit serius. Mereka justru sibuk mengeluarkan ponsel untuk merekam tanpa ada empati, sementara ada suara perempuan lain tengah menangisi temannya. 

"Mbak! Mbak! Bangun, Mbak!" seruku seraya sambil menepuk bahu perempuan yang pingsan itu. Tidak ada respons. Lalu aku mengecek pernapasan. Tidak ada. Kemudian meraba denyut nadi karotisnya. Tidak ada juga. Otomatis ini sebuah alarm merah kalau perempuan tersebut mengalami henti jantung. "Tolong telepon 112! Cepat!" perintahku selagi memosisikan diri berdiri di atas kedua lutut lalu meletakkan kedua telapak tangan tepat di tengah dada perempuan yang pingsan itu. Kulakukan pijat jantung sambil bermunajat bahwa Tuhan akan memberikan keajaiban. 

Perempuan berjilbab merah di depanku melenggut cepat lalu menekan angka di ponselnya dengan gemetaran. Sembari terbata-bata, dia melapor ke command center kalau ibunya mendadak pingsan. 

"Tolong ya, Pak, ibu saya ... saya takut ibu saya ada apa-apa," ujarnya sesenggukan lalu menutup telepon. "Katanya sepuluh menit menit ambulans akan datang, Mbak."

"Oke, ibu punya riwayat sakit jantung?" tanyaku. "Alergi?"

"Iya, ada. Kalau alergi nggak ada. Bulan lalu ibu dirawat di rumah sakit karena masalah di jantung. Ibu nggak apa-apa kan nanti?" tanyanya sambil tersedu-sedu.

"Semoga saja," ucapku terus memompa jantungnya sekuat tenaga. 

Sayup-sayup suara ambulans menggaung membuat beberapa orang langsung berlari turun ke bawah. Tak lama beberapa petugas PMI berseragam merah muncul seraya membawa tandu. Salah satu dari mereka langsung menggantikan posisiku dan lainnya memasang oksigen sebentar untuk mengevaluasi. Aku menjelaskan kepada mereka bahwa perempuan paruh baya tersebut memiliki riwayat serangan jantung dan kemungkinan di sini kambuh. 

Pria berkacamata itu meraba denyut nadi pasien dan berkata, "Udah muncul tapi lemah. Ayo, langsung bawa ke Sutomo."

Si perempuan berjilbab merah merangkulku erat dan mengucapkan terima kasih saat petugas PMI menggotong ibunya menuju rumah sakit. "Saya nggak tahu harus bilang apa selain berterima kasih. Matur suwun, Mbak. Gusti Pangeran sing bales."

(Tuhan yang akan membalas)

Sirene kembali menggema dan makin lama makin menjauh bersamaan orang-orang kembali ke aktivitasnya masing-masing. Tanpa sadar, aku tadi meninggalkan Arion dan lelaki itu sudah tidak berada di tempatnya. Mendadak aku jengkel sendiri bila dia pergi tanpa pamit. Atau jangan-jangan dia takut melihat orang pingsan?

"Ke mana sih?" gerutuku mengedarkan pandangan.

"Hei!" panggil Arion dari belakangku. Dia sepertinya baru keluar dari toilet pria namun anehnya wajah yang biasanya ceria tersebut tampak pucat. "A-aku ... ke bawah ya, mau merokok bentar. Nggak apa-apa kan?"

Kenapa suaranya kayak gemetaran gitu?

Arion melengang pergi begitu saja tanpa menunggu jawabanku. Alisku bertaut, hatiku bertanya-tanya penasaran kenapa tiba-tiba ekspresinya berubah. Bahkan jika diamati lebih dalam, aku sempat menangkap kedua matanya memerah. Seolah-olah ada rahasia yang sengaja dia simpan seorang diri di balik seputung rokok yang katanya menenangkan masalah.

Makin dilanda rasa ingin tahu, aku mengambil tas di kursi tadi lalu berjalan cepat menuruni anak tangga dan menghampiri Arion yang duduk di atas motor sembari menyesap batang tembakau. Kakiku mendadak tak mampu bergerak saat menangkap tangan kanannya gemetaran memegang batang rokok. Dia menggumam tak jelas, tapi dari suaranya yang gelisah, aku tahu Arion tengah menyembunyikan sebuah luka. 

Apa kejadian tadi mengingatkannya sesuatu?

Entah dorongan dari mana, kakiku bergerak maju lalu meraih tangan kirinya yang terbalut perban tapi terasa dingin. Sontak dia menoleh dan menggenggam erat tanganku bagai mengirim isyarat sebuah ketakutan yang berusaha ditutupi. Namun, aku tak berani bertanya mengapa. Aku takut dia belum siapa untuk bercerita. Sebuah luka yang dipendam manusia, tak selamanya bisa dimengerti oleh manusia lain. Sehingga hanya sorot mata masing-masing juga kebisuanlah yang membentang di belakang bisingnya kendaraan.

"Arion ..." lirihku.

"Ki-kita ... pulang aja, ya." Suara Arion terdengar serak dan beberapa kali dia mengatupkan bibirnya sambil mendesis. "A-aku ... butuh tidur," ucapnya lagi.

Kuanggukan kepala tanpa banyak menyela. Lantas, Arion membantuku naik ke atas motor sport miliknya dan melaju cepat membelah jalanan dalam keheningan malam.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro