Bab 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maret 2019

Jutaan tanda tanya masih terus bergelung dalam benak bagai ombak yang berusaha menarikku ke tengah lautan. Setiap kali mengenang malam di mana seorang perempuan paruh baya pingsan, ingatanku tertuju pada ekspresi muram Arion. Hari itu menjadi hari terakhir pertemuan kami sebelum dia bertolak ke Purboyo, Malang Selatan, untuk pelatihan selama sepekan. Tidak ada kalimat lain dari bibirnya sekadar membuka secuil rahasia, melainkan senyum nanar dan sorot mata berkaca-kaca yang menyiratkan kalau dirinya baik-baik saja. 

Apa kamu mulai memedulikannya, Amelia?

Dewi batinku menelengkan kepala, menyodorkan satu kalimat menohok. Tidak! Apakah rasa penasaran selalu identik dengan kepedulian? Aku hanya ingin tahu saja mengapa raut wajah Arion mendadak berubah. Apakah salah? Bahkan seminggu ini aku tidak membuka WhatsApp terakhirnya dan tidak mengirim satu pesan pun. 

Tapi, setiap kali kamu membuka ponsel, kamu berharap ada notifikasi darinya kan?

"Ck," decakku kesal lagi-lagi sisi lain batinku melempar sindiran keras seraya menyiapkan injeksi untuk pukul lima sore nanti. 

"Ada apa sih, nggremeng sendiri, Mel," sahut Mila yang baru selesai mengganti cairan infus pasien. "Ah iya, aku sudah dapat informasinya."

(nggremeng = menggerutu)

"Siapa?" alisku bertaut.

"Arion," kata Mila mencuci tangan di wastafel. "Lupa atau pura-pura?" ledeknya selagi menarik tisu untuk mengeringkan tangan kemudian berjalan menuju tumpukan rekam medis untuk mencatat jam penggantian infus. 

"Aku nggak tahu. Kan aku nggak minta juga," balasku.

"Aku tahu adik lettingnya dia yang satu yon. Dia anak kedua dari lima bersaudara. Dia cowok sendiri. Terus sekarang lagi single, tapi aku nggak percaya kalau model kayak Arion nggak punya pacar. Terus ... eh, tapi kamu sudah tahu ya asal sama usianya ya," jelas Mila panjang lebar. "Umur nggak masalah, Mel, kalian kan nggak bedak jauh. Arion kalau nakal jitak saja kepala botaknya. Oh iya, zodiaknya Leo. Nggak salah juga kalau jago gombal."

Spontan aku berdeham menyuruh secara tak langsung Mila agar diam. Pipiku mendadak merona bagaimana bisa Mila secara terang-terangan menyebut secara benar kalau Arion memang perayu ulung. 

"Kenapa? Betul ya yang kubilang?" canda Mila terbahak-bahak kini duduk di depan komputer. "Aku punya akun Instagram sama Facebook Arion. Cakep juga kalau dilihat-lihat tuh bocah, Mel."

"Apaan sih, Mila ..." kilahku menyembunyikan rasa malu meski ketampanan Arion memang benar adanya. Aku tidak akan buta mata tentang penampilan pria itu. "Kami juga nggak punya hubungan istimewa seperti yang kamu pikirkan. Dia saja nggak mau terbuka kok," lanjutku menyiapkan suntikan terakhir.

"Kamu sendiri gimana loh?" sindir Mila membuatku terbungkam seketika. "Maksudku, menerimanya sebagai temanmu bukan menutup diri terus-menerus, Mel. Kamu pernah tanya kehidupan dia nggak?"

"Aku nggak berani, Mila, lagi pula aku berhubungan lagi sama--"

"Mantan?" sela Mila berpaling ke arahku berbarengan Mbak Eka datang sembari membawa nierbeken kotor berisi cairan darah pasien. "Buntu ya, Mbak?"

"Iya, darahnya naik separuh terus beku di selangnya. Ya sudah aku bongkar sekalian," kata Mbak Eka membuang sampah tersebut ke sampah medis. "Ngomongin apa nih kalian?"

"Biasa. Arion, Mbak," sahut Mila sebelum aku menjawab. 

"Eh, dia lagi pelatihan ya. Suamiku juga berangkat, Mel, dia ngelatih di sana. Mau dititipin salam nggak?" goda Mbak Eka menaik-turunkan alis makin membuatku salah tingkah. "Nanti malam suami baru bisa telepon karena kegiatannya banyak."

"Ng-nggak usah, Mbak, a-aku mau suntik pasien aja deh sudah jam lima," tandasku tergugu-gugu lalu melengang pergi membawa bak instrumen diiringi tawa mereka yang menangkap semburat merah di pipi. 

###

Selepas pulang kerja dan membersihkan diri sebelum tidur, aku membelit rambut dengan handuk lalu duduk di pinggir kasur dan meraih ponsel di atas bantal. Saat di perjalanan tadi, terbersit nama Ardan dan baru menyadari bahwa belum ada ucapan maaf meluncur dari bibirku kepada tentang kepergianku bersama Arion. 

Aku mengeklik namanya di antara puluhan nama yang ada di WhatsApp di mana pesan terakhir yang belum sempat terbalas akibat tiba-tiba dia menelepon. 

Ardan : km dmn?

Ardan : knp tlponku nggk djwab?

Ardan : km nggk sama pria lain kan?

Ardan : Mel, km gk bohongin aku kan?

Masih terngiang jelas, suara penuh amarah juga kecewa Ardan mengetahui kalau aku pergi bersama Arion tanpa berpamitan kepadanya. Dia menyalahkanku dan menyebut pembohong kalau tidak ada orang lain di antara kami. Dituduh seperti itu tentu saja aku naik pitam tak terima, aku memang salah tapi tidak suka bila Ardan memanggilku sebagai pendusta.

Jujur saja, aku dibuat bingung oleh sikap Ardan. Bukankah hubungan kami sudah berakhir? Bukankah pertemuan kedua kami sebatas pertemanan biasa tanpa melibatkan sisa rasa? Apakah dia tengah menunjukkan sebuah harapan baru padaku bahwa ada jalan lain agar kami bersatu seperti dulu?

Ardan, apakah aku salah mencoba membuka hidupku yang baru tanpa kamu ketahui? Aku mencintaimu tapi sadar kalau aku nggak bisa memilikimu, Dan. Aku harus bagaimana menyikapi semua ini?

Kucoba mengiriminya pesan untuk mendinginkan emosi yang mungkin saja masih berkobar di hati Ardan. Menegaskan kembali kalau tidak ada hal lain selain makan malam bersama Arion, termasuk insiden perempuan pingsan. Memangnya dia ingin aku mengaku apa lagi? Perasaan? Toh dia tahu bahwa susah untuk menempatkan orang baru di hati meski sudah kucoba sekian kali. 

Amelia : Aku minta maaf.

Amelia : Tapi, itu juga bukan salahku, Ardan. 

Tak berapa lama, Arion telepon dan nyaris membuat tanganku melempar ponsel saking kagetnya. Ah sial! Setelah berhari-hari tak memberi kabar kenapa mendadak muncul seperti jelangkung? 

"Ha-halo," jawabku setelah mendengar suaranya.

"Wa'alaikumsallam, Sayang," ucap Arion. "Denger-denger ada yang nitip salam ya."

Aduh! Pasti gara-gara Mbak Eka ini!

Aku berdeham menetralkan desiran darah yang begitu cepat di dalam tubuh. "Siapa yang bilang?"

"Nggak tahu. Aku denger sih katanya ada cewek murung terus di rumah sakit. Kenapa? Kangen?" goda Arion terkekeh seperti kesedihan dalam dirinya menguap begitu saja. 

"A-anda gimana?" tanyaku menggigit bibir bawah seraya meremas dada merasakan dentuman jantung begitu menyakitkan. Apakah ini dampak terbesar bila mendengar suara Arion melalui telepon setelah berhari-hari kami membentangkan jarak?

"Gimana apanya? Kangen? Iya dong, kangen denger suara judesnya Mbak Amelia," tutr Arion terbahak-bahak. "Sepi ya nggak ada yang godain kamu?"

"Dih, apaan sih. Malah seneng saya kalau nggak ada tukang rayu," kilahku. "Maksudnya, apa kabar? Di sana gimana?"

"Ciee ... kepo. Ya nggak gimana-gimana, namanya juga pelatihan tembak-menembak," tutur Arion. "Yang susah nembak hati kamu nih, lapisannya banyak banget."

"Astaga ..." Aku tergelak tak sanggup menahan tawa. "Dasar gila."

"Gila karena penasaran sama kamu, Mbak Amel. Oh iya, aku pergi dulu ya, nggak boleh lama-lama telepon takut disuruh merayap nanti," pamit Arion. "Tungguin aku ya, nanti kita jalan-jalan lagi. Kamu hati-hati."

"Eh! Bu-bukan seperti--" ucapanku terhenti saat Arion memutus sambungan telepon tanpa aba-aba. Aku mendecak lantas memandangi layar ponsel seraya menaikkan sudut bibir dan pipiku lagi-lagi merona. "Dasar gila," gumamku.

###

Esoknya ketika sedang mengepel lantai, ibu membuka obrolan yang begitu berapi-api tentang Arion. Betapa kagum ibuku terhadap sikap santun Arion saat pertama kali datang ke rumah atau ketika berbicara. Mendengar pujian yang terlalu berlebihan tersebut, aku hanya bisa memutar bola mata bahwa sejatinya manusia akan menampakkan kulit terluar sebelum membuka dirinya yang asli. Ibu tidak pernah tahu bagaimana kejamnya Arion saat sakit sampai semua kata-kata kasar meluncur begitu saja. Ya, meski pada akhirnya dia meminta maaf tetap saja kesan pertama Arion melekat dalam kepala selamanya.

Di satu sisi, aku justru dirundung resah akibat tidak satu pun pesanku dibalas Ardan padahal status WhatsApp-nya online. Apakah dia masih menaruh kecemburuan padaku? Bukankah dia terlalu melebih-lebihkan sesuatu? Tidakkah cukup kata maafku padanya?

"Kapan dia balik dari Malang? Mama mau ajak dia makan di sini, Mel, mungkin kita bisa ngobrol banyak," ujar ibu selagi memotong daging. "Mama suka sama dia. Sudah ganteng, tinggi, mapan, kayaknya taat agama juga ya. Kalau dia ada rencana ... Mama rela nyari duit buat biaya kalian menikah," sambungnya menggebu-gebu tanpa jeda.

Suasana hatiku terjun bebas ke arah jurang kekesalan menerima ucapan tak masuk akalnya yang semakin menjadi-jadi. Aku tidak suka arah pembicaraan ini. Tidak satu atau dua kali ibu mencoba menikahkanku dengan lelaki yang menurutnya pantas bahkan Arion yang sebatas datang dan singgah sebentar di rumah. 

Tentu saja aku menolak tegas karena perihal menikah bukan sekadar menyatukan dua manusia atas dasar 'aku suka kamu' atau sebaliknya melainkan lebih dari itu. Sering kali orang yang sudah mengikat tali pernikahan pun dilanda perbedaan persepsi dan justru memicu pertengkaran demi pertengkaran. Aku tidak mau bila menikah nanti ada hal-hal sepele yang menimbulkan perdebatan apalagi di depan anak. Aku tidak mau.

Lagi pula, kenapa sih ibu terlalu berobsesi dengan pria-pria berseragam seolah-olah mereka adalah dewa yang patut disanjung-sanjung? Apakah karena gaji? Bukankah gaji pengusaha sukses jauh lebih tinggi? Masalah pensiun? Sekarang banyak yang menawarkan asuransi. Masalah seragam dan jabatan? Bukankah mereka sama saja pegawai bukan bos? Bedanya melayani masyarakat dan dibayar negara saja kan? Apa keistimewaannya?

Lebih baik bungkam daripada menimpali kalimat ibu karena dia selalu tersinggung bila mendengar pendapatku. Buru-buru menyelesaikan bersih-bersih rumah dilanjut mandi untuk bersiap-siap berangkat ke rumah sakit. Sebelum membersihkan diri, aku ingin menghubungi Ardan dan bertanya kenapa dia tidak langsung membalas pesanku sejak kemarin. Jujur saja, aku tidak dapat tidur nyenyak karena memikirkan sikapnya yang selalu diam bila ada masalah. Ardan selalu menghindar dan tidak mau segera menyelesaikannya secepat mungkin. Sikapnya sedari dulu belum berubah. 

Nomor yang Anda tuju sedang berada di luar service area....

Firasatku benar. Ardan menghindar lagi. Mungkin masih butuh waktu meredam emosi yang tidak tahu kapan berakhirnya. Aku menghela napas berat nan sesak, seakan-akan banyak bebatuan besar mengganjal dan menyakitkan. Ardan tengah menyudutkanku atas sesuatu yang tidak sepenuhnya salah. 

Entah kenapa aku dirundung rasa takut bila Ardan tidak memberi maaf atau paling buruk memblokir nomor telepon. Tidak. Tidak. Aku tidak siap. Tidak setelah aku bertemu dirinya waktu itu. Dia tidak boleh pergi setelah dengan mudahnya menghancurkan dinding pertahanan ini.

Dia telah mengembalikan rasa yang dulu pernah ada.

Aku sungguh ingin mengatakan padanya bahwa ini hanya salah paham. Bahwa aku tidak ada perasaan apa pun kepada Arion dan tidak bermaksud berbohong padanya.

Ardan, aku sungguh minta maaf. 

***

Kalian bisa baca cerita ini di Karyakarsa sampai extra part ya. Bisa beli satuan atau paketan dg harga lebih murah. Berlaku seumur hidup.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro