8. Malam Terakhir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selamat Membaca ❤️

***

Di tengah kemelut pikiran mengenai di mana aku harus tidur malam ini, aku mendengar suara cuit-cuit SMS berulangkali. Aku tahu dengan pasti dari mana nada dering tersebut berasal. Iya, itu suara ponselku. Kutelusuri setiap sudut kamar yang tidak seberapa besar ini guna mmencari benda tersebut.

Kalo tidak salah, ponselku masih ada di tas yang kubawa pulang kemarin. Sementara tas itu entah di mana keberadaannya. Sepertinya tertimbun tumpukan hadiah-hadiah pernikahan. Aku sendiri enggak tahu dari siapa saja kotak kado berbagai ukuran itu berasal sampai bisa memenuhi meja belajar bahkan hingga lantai kamar.

Setelah berjuang menyingkirkan beberapa kotak hadiah dari samping lemari, tasku berhasil ketemu. Asal suara ponselku memang dari sana. Aku segera saja mengambil ponsel itu dan membuka layar kuncinya. Terlihat puluhan panggilan tidak terjawa dan beberapa ratus chat yang belum dibaca. Baru saja mau mengecek pesan masuk, ponselku tiba-tiba menggelap dan memasuki mode hemat daya. Aku memang mengatur seperti itu jika baterai ponsel tinggal 5%.

Buru-buru aku mengambil charger ponsel. Setelah itu aku juga menyingkirkan hadiah yang ada di meja belajar karena stopkontak di kamarku ada di situ. Begitu ponsel dan pengisi daya dihubungkan, ponselku kembali seperti semula, menampilkan wallpaper berupa jadwal kuliah semester dua.

Yang pertama kuperiksa adalah grup panitia osjur. Grup tersebut menandai akunku belasan kali. Begitu kubaca pesan-pesannya, anak perizinan membutuhkan surat izin yang ternyata file-nya cuma aku yang pegang. Aku lupa belum memberikan salinannya ke Rinsa, selaku sekertaris dua ataupun menggunggahnya di google drive khusus untuk dokumentasi osjur. Jadilah malam ini aku lembur menyelesaikan surat tersebut, sekaligus menyicil LPJ karena sudah ditagih Steering Comeete (SC).

Baru saja aku membuka file LPJ, kantuk datang menyerang. Rasanya begitu tidak tertahankan. Sepertinya aku kelelahan setelah menjalani rangkaian acara pernikahan yang maraton ini hingga tanpa sadar tertidur di meja belajar dengan ponsel masih menampilkan LPJ.

***

Waktu sudah menunjukan pukul 04.53 WIB ketika aku bangun keesokan harinya. Posisiku sekarang tengah bergelung memeluk guling. Selimut halus juga membungkus tubuhku. Nyaman. Rasanya malas untuk bangun jika tidak mengingat kewajiban sebagai umat muslim.

Tunggu dulu sebentar!

Sepertinya ada yang aneh dengan keadaanku saat ini. Perasaan semalam aku lagi ngerjain LPJ, deh, kok sekarang bisa di ranjang?

Bukannya di ranjang ada …

Kak Aris?

Aku refleks mengedarkan pandangan sekeliling kamar. Tidak ada jejak orang lain di ruangan ini kecuali tumpukan hadiah yang kiri sudah tertata rapi di samping lemari. Padahal semalam sudah kuacak-acak semi mencari tas.

Ke mana orang itu?

Apa pernikahan kemarin itu beneran mimpi? Buktinya aku sendirian aja di kamar ini.

Tapi, begitu tatapanku jatuh pada sekumpulan kotak hadiah di sudut kamar, enggak mungkin acara kemarin cuma mimpi.

Menghela napas sejenak lalu aku juga mengusap wajah secara kasar. Berarti aku tidak bisa menghindari ikatan pernikahan yang sudah terlanjur terjadi, tapi setidaknya, aku masih bisa menghindari manusianya kan?

***

Cah wadon nggane eyewene nembe menyat! (Anak perempuan, kok, jam segini baru bangun!)” tegur Ibu ketika melihatku baru ke luar kamar pukul setengah enam pagi.

“Sekali-sekali, Ibu,” sahutku. Sebenarnya aku sudah bangun dari pukul lima tadi untuk berwudu, tapi Ibu enggak lihat. Jadilah dikira baru bangun jam segini. “Bapak mana, Bu?”

Neng mesjid karo bojone ko (Ke masjid sama suamimu)." Ibu menjawab pertanyaanku sambil tangannya tetap bergerak aktif membolak-balik sesuatu di wajan. Sementara aku sebagai anak yang baik hanya duduk di memperhatikan beliau tanpa berniat membantu.

Sapa sing takon (siapa yang nanya)," gerutuku sepelan mungkin.

“Ngomong apa, Ko? (Kamu)”

Eh, kok Ibu dengar gumamanku, sih? Ya sudah, kujawab saja enggak ada apa-apa.

Waktu terus berjalan. Melihat situasi yang hanya ada aku dan Ibu, membuatku kepikiran untuk bertanya sesuatu yang masih mengganjal sampai saat ini, deh. Ini mengenai pernikahanku.

Tanya … enggak … tanya … enggak … tanya?

Tanya aja kali, ya, berhubung keadaan memungkinkan? Karena sebentar lagi saudara-saudaraku pasti bakal berdatangan lagi untuk membantu menyiapkan makanan untuk acara nanti malam. Rangkaian acara pernikahan ini belum selesai tahu.

Oke, mari bulatkan tekad untuk bertanya, to the point aja. “Bu, sebenarnya gimana ceritanya aku bisa nikah sekarang?”

Mendengar pertanyaanku ini, Ibu jadi memusatkan pandangan kearahku. “Ya kamu dilamar, terus Ibu terima,” jawab Ibu singkat lalu kembali meneruskan pekerjaannya. 

“Kok, bisa, Bu? Terus, kok … "

Assalamualaikum!” Ucapanku terjeda ulukan salam.

“Bukain pintu sana, tadi Ibu kunci lagi.” Ibu bicara seperti itu, tapi enggak melihat lawan bicaranya.

“Tapi, Bu … ” Ibu melotot ke arahku. Mau enggak mau aku bangun dari posisi duduk nyaman ini untuk membukakan pintu.

Begitu pintu kubuka, terlihat Bapak berdiri dengan napas sedikit ngos-ngosan. Kak Aris ada di belakang Bapak.

Mlaku semending be rasane wis kesel pisan (jalan sedikit aja rasanya sudah capek banget),” kata Bapak sambil masuk ke rumah.

“Udah tahu gampang cape, kok, Bapak maksa jalan-jalan?” Aku menyauti ucapan Bapak. Eh, Kak Aris malah melotot ke arahku. Aku pelototi balik, dong, tentu saja. Abis itu aku kabur ke dapur lagi, sih.

“Yang sabar, ya, Ris, ngadepin kelakuan Laire yang masih bocah. Tolong dibimbing.” Samar-samar aku mendengar Bapak bilang seperti itu.

Nggih, Pak.” Hanya sampai di situ aku mendengar percakapan Bapak dan Kak Aris karena setelahnya aku dipaksa mandi oleh Ibu.

***

Malam ini malam terakhir bagi kita

Seperti lirik lagu tersebut, ternyata malam ini juga akan menjadi malam terakhirku tinggal di rumah Bapak-Ibu. Beberap menit lagi aku akan dibawa pergi sama Kak Aris.

Tega banget emang laki-laki satu itu. Tiba-tiba nikahin aku. Tiba-tiba mau bawa aku pergi juga.

Mulai besok, aku harus tinggal di rumah orang tua Kak Aris, sebelum minggu depan pindahan ke rumah Kak Aris sendiri. Hari itu juga sekalian acara ngunduh mantu di sana. Kira-kira seperti itu penjelasan Ibu waktu bantuin aku beres-beres barang bawaan tadi sore. Kata beliau, Bapak dan Ibu beserta seluruh keluarga besar akan ke Solo hari Sabtu. Membiarkan aku pergi sendirian sekarang.

Kepergianku diiringi oleh lantunan selawat yang dilantunkan oleh grup hadroh lengkap dengan macam ukuran genjring sebagai musik pengiringnya. 

Biasanya, penampilan grup hadroh ini menjadi penutup rangkaian acara pernikahan atau hajatan lain di kampungku. 

Disaksikan seluruh keluarga dan para tetangga, aku memasuki sebuah mobil keluarga berwarna hitam dan duduk di kursi tengah. Di sampingku menyusul Kak Aris. Lalu tak lama Kang Ganesha dan Sahrul juga masuk dan duduk di kursi belakang. Sementara di kursi kemudi ada sepupu Kak Aris yang aku lupa namanya siapa dan ada Ararinda, adik Kak Aris duduk di sampingnya.

Orang-orang ini tampak akrab, berbicara entah apa saja dari tempat duduk masong-masing. Meninggalkan aku dalam kecanggungan seorang diri.

Bersambung...

***

Halo, ketemu lagi kita.

Terima kasih buat kamu yang sudah membaca cerita ini.

Gimana cerita kali ini? Seru enggak, nih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro