7. Ini Terlalu Menempel

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selamat Membaca

***

"Mba, jangan nunduk terus, dong. Ditatap itu Mas-nya!" Itu suara Sahrul, sepupuku yang umurnya lebih tua dari aku, tapi statusnya adikku. Soalnya secara keturunan, Sahrul adalah anak dari Adik Bapakku. Hari ini dia berperan sebagai fotografer.

Sedari tadi memang Sahrul sudah berkali-kali mengarahkan aku untuk menatap mata laki-laki yang sudah membuat statusku berganti. Mana Sahrul bilangnya aku harus kasih tatapan yang manis, yang penuh cinta, gitu. Mana mau aku kayak gitu. Aku kan enggak cinta sama orang itu. Lagi pula, apa maksudnya tatapan yang manis itu? Aneh-aneh saja Sahrul ini.

Selain aku belum cinta sama laki-laki yang sudah membuat statusku berubah itu, aku ke takut, sih, sama sosoknya.

Eh, apa, tadi, belum cinta? Maksudnya itu aku enggak cinta. Kalau belum artinya belum pasti, bisa saja berubah jadi cinta, dong? Kalau enggak kan sudah jelas.

Balik lagi soal takut, aku agak trauma lihat wajah datarnya, apalagi matanya yang seperti elang berburu mangsa, tajam. Aku juga masih ingat suara sinisnya waktu evaluasi praktikum untuk pertama kali, mengalahkan komentar julid akun media sosial lambe-lambean. Dan aku tahu banget kalau komentar julidnya itu ditujukan ke aku.

Emm, oke-oke, sebenarnya aku yang salah juga, sih. Waktu pertama praktikum, aku enggak sengaja memecahkan tabung Elenmeyer Pyrex ukuran 100 ML. Kala itu, aku lagi ambil larutan HCL (asam klorida) di lemari asam, untuk ditirasi setelahnya. Nah, si Aris Candra posisinya berdiri enggak jauh dari lemari asam ini, lagi ngawasin para mahasiswa baru ini ambil larutan. Entah bagaimana, dua tabung Elenmeyer di tangan kiriku lolos dari genggaman. Jatuh, deh, dan pastinya pecah. Untungnya belum sempat kuisi larutan, kalau sudah, kakiku bisa kena cipratan HCL meski sudah memakai sepatu yang menutupi punggung kaki.

Hari itu memang tidak ada korban luka, apalagi korban jiwa. Hanya saja aku harus korban harta. Iya, untuk mengganti dua tabung yang pecah tadi. Satu tabung elenmeyer ukuran 100 ML itu harganya setara dengan uang makanku sehari. Nah, aku memecahkan dua tabung sekaligus, berarti aku harus merelakan jatah makanku selama dua hari.

Waktu evaluasi setelah praktikum, Kak Aris berkomentar bahwa maba tahun itu, tuh, ceroboh, enggak pantes di jurusan Kimia, masih kayak bocah, dan banyak komentar lainnya, deh, yang gak mau aku ingat-ingat lagi. Meski Kak Aris tidak mengatakan secara gamblang, tapi aku tahu kalau kata-katanya itu ditujukan untukku. Komentar Kak Aris—lebih tepatnya sindiran—enggak cuma di evaluasi hari itu saja, tapi selama satu semester. Aku ulangi, ya, satu semester!

Apa enggak enek!

Aku sebel banget sama orang itu pokoknya!

***
"Senyum, Cantik." Aku langsung tersadar dari lamunan begitu merasakan hembusan pelan di sekitar telinga.

Kak Aris tengah menunduk begitu dekat dari wajahku. Memelototi matanya jadi pilihanku. Kuharap, mataku cukup tajam untuk memberitahu, seberapa kesalnya aku terhadap sosoknya.

"Gitu, dong, tatap-tatapan kan bagus fotonya!" Sahrul kembali bersuara.

Aku menatap Kak Aris dengan tajam, loh, kok, dibilang bagus? Sakit kayaknya mata Sahrul.

"Sekarang tangan Mba taruh di pundak Mas Aris. Mas Aris tangannya di pinggang Mba Lai. Terus, tatap-tatapan lagi kayak tadi." Seenak jidat Sahrul suruh-suruh begitu. Dari tadi aja setiap Kak Aris pegang tangan, sebisa mungkin langsung aku lepas lagi. Ini malah mau pegang pinggang? Minta digampar memang.

"Pis, Mba, senyum ben ayu (biar cantik)," ujar Sahrul sambil mengangkat tangan dengan jari tengah dan jari telunjuk membentuk huruf V ketika aku menghadiahinya tatapan maut.

Baru aku mau buka mulut untuk membalas ucapan Sahrul, kurasakan tubuhku tertarik. Kak Aris bukannya memegang pinggangku seperti arahan Sahrul malah melingkarkan tangannya mengelilingi tubuhku.

Dasar laki-laki tukang cari kesempatan!

Netraku kembali mencari matanya. Tatapan paling tajam yang kubisa untuknya. Maunya, sih, tanganku mendarat di wajahnya, tapi kena omel Ibu. Ibu dari tadi mengawasi dari tempat duduk depan pelaminan soalnya.

Haruskah aku pasrah disentuh-sentuh laki-laki ini?

Sepertinya iya, kalau ingin segera terbebas dari dijadikan objek pajangan dengan dalih foto pengantin.

***

Setelah seharian ini aku banyak mengalah, maka malam harinya jangan lagi. Aku enggak akan membiarkan laki-laki yang sudah membuat statusku—terpaksa—berubah memasuki daerah kekuasaanku. Kamar! Mari kita lakukan segala cara untuk mengusirnya.

Itupun ... jika aku bisa. Kalau enggak, masa pasrah lagi?

Berhubung orang itu masih di masjid, aku pura-pura tidur saja kali, ya? Pintu kamarnya aku kunci dari dalam agar laki-laki itu enggak bisa masuk. Ide bagus bukan?

Tenang, aku sudah melakukan persiapan sebelum aksi ini. Aku sudah bersuci sehingga bisa salat di kamar. Aku sudah makan malam juga tadi plus. Tidak lupa membawa air minum ke kamar, biasanya aku suka haus kalau tiba-tiba terbangun di tengah malam.

Selesai Salat Isya—yang kulakukan secepat mungkin —aku segera mengambil posisi tidur. Niatnya kan mau pura-pura tidur, tapi lama-lama ngantuk beneran, dong. Enggak apa-apa, aku tidur cepat malam ini. Semoga semua kejadian hari ini hanya mimpi, begitu bangun esok hari, statusku masih gadis.

Tidur di ranjang ukuran 120 × 200 cm seorang diri itu rasa memang menyenangkan. Ditambah lagi dengan dikelilingi banyak bantal lembut, lalu tubuhku juga dibalut selimut yang begitu halus. Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?

Sayangnya, ketika kesadaranya hampir hilang, pintu kamar digedor begitu kencang.

"La! Masa kie bojone depontokna neng jaba? Mbene mbojo mau masa wis arep dadi bojo durhaka? (La! Masa ini suaminya dikunciin di luar? Masa baru nikah tadi susah mau jadi istri durhaka?)" Itu suara Ibu.

Astagfirullah, Ya Allah.

Pusing kepalaku kalau baru mau tidur, tapi dikagetin. Alamat enggak bisa tidur semalaman kalau gitu.

"La, eyewene mentak wis turu, sih? (La, jam segini masa sudah tidur, sih?" Bu, tolonglah, kecilkan sedikit suaramu!

Hah

Menghela adalah hal terakhir yang bisa kulakukan saat ini untuk menenangkan diri. Sepertinya aku harus memasrahkan diri lagi! Huhuhu.

Dengan kamar yang hanya berukuran 2 × 3 meter, tentu jarak dari ranjang ke pintu begitu dekat. Tapi, aku sengaja jalan sepelan mungkin supaya lama sampai ke pintunya. Meski sebenarnya usaha tersebut sia-sia.

Kubuka pintu kamar ini dengan efek slow-motion. Perlahan, kuangakat kepala yang tadi menatap hendel pintu.

Ternyata yang ada di balik kamarku adalah malaikat. Wajahnya bercahaya, bersih tanpa noda jerawat apalagi kerutan. Senyumnya juga manis. Kulitnya itu loh, lebih cerah dari kulitku. Tingginya jauh di atasku karena aku hanya sedagunya saja.

Entah berapa lama aku mengagumi sosok tersebut sampai akhirnya ...

"Minggir!" Wajahku dilempar sajadah dan tubuhku disenggol hingga merapat ke pintu yang sudah terbuka sempurna.

Ternyata yang tadi kukira malaikat adalah setan. Atau lebih baik jika kusebut iblis, sebab sosok tersebut kembali melempari aku barang. Kali ini baju koko dan sarung yang dia lempar. Setelah itu, dia menelungkupkan tubuh dengan kedua tangan dan kaki terbuka memenuhi tempat tidur. 

Bersambung...

***

Halo, ketemu lagi kita.

Terima kasih, Ya, buat kamu yang sudah membaca cerita ini.

Gimana cerita kali ini? Boleh banget share di kolom komentar kalau ada kritik dan saran.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro