Bab 6. Pernikahan Putih

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selamat Membaca ❤️

***

Ini, sih, benar-benar definisi jadi ratu sehari.

Bagaimana tidak, jika sepanjang rangkaian acara—yang masih berat kuakui sebagai acara pernikahanku—aku hanya perlu memasang senyum ketika disapa keluarga atau menyambut tamu yang datang kondangan. Aku tidak dipusingkan mengenai biasa pesta yang sedang terselenggara ini. Tidak juga aku harus pusing memilih MUA ataupun gaun pernikahan. Yang paling luar biasanya, aku enggak perlu milih laki-laki manapun untuk jadi pasangan, karena semuanya sudah diatur.

Hebat bukan pernikahanku ini?

Semalam, aku sempat bertanya mengenai keberadaan laki-laki yang katanya calon suamiku, dan jawabannya sungguh di luar dugaan.

"Wis ora sabar ketemu Mas'e, ya? Sabar disitlah, ngesuk toli ketemu. Siki pingitan disit (udah enggak sabar Mas-nya, ya? Sabar dululah, besok juga ketemu. Sekarang pingitan dulu)." Begitu jawaban Ibu pas aku tanya semalam.

Akad nikah katanya akan dilaksanakan pukul sembilan pagi ini di masjid. Kebetulan, jarak rumahku dan masjid itu kurang dari 50 meter. Dari depan rumahpun tampak wujud masjid tersebut dengan jelas.

Saat ini waktu susah menunjukan pukul tujuh lewat, artinya sudah lebih dari setengah jam aku duduk di didepan meja rias yang cerminnya dikelilingi lampu. Aku juga sudah melihat gaun yang akan kukenakan ketika akad nanti, yaitu sebuah gaun muslimah berwarna putih bersih dilengkapi pashmina senada, dan sebuah hiasan kelapa semacam mahkota, tapi bukan mahkota putri seperti yang dipakai di acara putri indonesia, ini lebih ke arah flowers crown.

Begitu gaun dan semua printilannya dikenakan dan berdiri di depan cermin, aku seolah melihat orang lain. Terlihat sosok perempuan dengan gaunnya yang membentuk tubuh tampak ramping, tapi tidak ketat. Hijab yang kukenakan juga menutup dada, ada tambahan veil yang menutup siluet tubuhku sari belakang. Tampilanku makin manis setelah dipakaikan head pieces yang senada dengan bordir gaun. Make up-ku juga enggak berlebihan yang sampai bikin alis macam ulat bulu atau pipi seperti habis ditampar.

Tapi, ada satu hal yang aneh, yaitu aku dipakaikan cadar. Dalam keseharian, hijab saja masih sering aku lepas pasang, eh, ini malah nikah pakai cadar. Aku enggak tahu ini ide siapa.

Pukul setengah sembilan, aku sudah dalam tampilan siap untuk acara pernikahan ini. Namun, tidak dengan hati, aku sama sekali tidak siap. Bagaimana aku mau siap kalau calon suaminya saja masih jadi rahasia?

Aku takut orang yang akan menikahiku itu pria perut buncit dengan kepala plontos atau pria yang sudah beruban. Secara, pernikahan ini dadakan. Bisa saja aku dijual ke om-om untuk melunasi hutang orang tua mungkin? Seperti yang ada di sinetron gitu. Membayangkan saja sudah membuatku bergidig, apalagi sampai kejadian langsung, mending mati saja.

Eh, tapi kan kalau menikah dengan yang seumur juga nantinya akan menua, fisiknya akan berubah juga. Jadi, aku enggak boleh menilai dari segi fisiknya kalau begitu.

Tapi bisa saja laki-laki itu tukang pukul, tukang mabuk, atau penjahat kelamin? Ini lebih seram lagi kalau aku bayangkan. Amit-amit, deh, punya laki seperti itu!

Walaupun sifat bisa berubah, tapikan susah dan butuh waktu lama.

Dirasa penampilanku sudah sempurna, periasku ke luar dari kamar lalu masuklah Yayu Gisha dan Yayu Isma—kakak sepupuku yang lain. Mereka kompak mengenakan gamis dan hijab putih gading. Aku dituntun ke luar kamar, katanya aku harus segera ke masjid tempat akad akan dilaksanakan. Surprise-nya, aku disambut para keponakan yang juga mengenakan setelan warna putih, baik itu anak laki-laki maupun perempuan.

Di ruang tamu, aku melihat beberapa Om dan Tanteku dengan pakaian putih-putih juga. Di sekitarnya tidak hajatan juga terlihat saudara yang lain mengenakan baju serba putih. Pas aku lihat pelaminan, ternyata dekorasinya juga dominan putih, berhubung aku baru sempat memperhatikan detailnya sekarang.

Aku didudukkan di tempat salat perempuan begitu tiba di dalam masjid. Di tempat suci ini, terdapat beberapa bunga berwarna putih sebagai hiasan, termasuk meja yang akan digunakan saat akad nanti. Insya Allah, aku juga dalam keadaan suci saat ini. Sebelum dirias, aku sudah wudu dan seingatku belum batal karena tidak ada sentuhan dengan lawan jenis manapun.

Jika tidak salah, berwudu merupakan salah satu sunah yang dianjurkan sebelum akad nikah, aku coba untuk menerapkan hal tersebut.

Apakah ini artinya aku sudah menerima pernikahan ini dengan mengikuti berbagai sunahnya? Sepertinya bukan, aku hanya sekadar terbawa suasana saja. Pernikahan dengan tema all white memang impian soalnya. Aku pernah berkata mengenai konsep seperti ini ketika menemani Yu Gisha menyiapkan pernikahannya beberapa tahun yang lalu. Mungkin dia juga yang mengusulkan konsep yang pernikahan ini.

Masih ditemani Yu Gisha dan Yu Isma serta beberapa anak yang kutahu masih berusia kurang dari sepuluh tahun, terdengar suara mobil berhenti di halaman masjid. Entah berapa kendaraan yang sedang parkir tersebut, yang pasti lebih dari dua, suaranya mulai mengalahkan lantunan selawat yang sedari terputar di sepiker dalam masjid.

Sekilas bisa kulihat rombongan yang baru tiba tersebut mengenakan setelan putih juga. Tidak lama, seorang MC mulai bersuara, sepertinya beliau yang memandu acara siraman kemarin. Lagi-lagi pengantar yang digunakan adalah Bahasa Krama Alus, jadinya aku enggak begitu paham apa saja yang diucapkannya. Yang pasti ada ucarakan syukur dan terima kasih baik untuk Tuhan Yang Maha Kuasa ataupun tamu yang sudah hadir.

Pada titik titik inilah detak jantungku mulai meningkat. Lebih menggila lagi ketika seorang yang mengaku penghulu mulai berbicara. Beliau menanyakan kesiapan mempelai pria, saksi nikah, hingga kelengkapan berkas pernikahan, termasuk mahar juga.

"Ananda Aris Khanti Candra?" Itu suara Bapak yang menyebutkan nama lengkap seorang laki-laki. Apakah itu orang yang akan menjadi suamiku? Kok, namanya terdengar enggak asing di telinga, sepertinya aku pernah mendengar nama tersebut. Namun, kapan dan di mananya aku lupa.

"Ya, saya!" Tegas sekali suara laki-laki yang menyauti ucapan Bapak.

"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, Aris Khanti Candra bin Abdullah Candra dengan Putri Kandung saya sendiri, Laire Badar Binti Rohmat, dengan mas kawin berupa seperangkat alat salat, uang tunai senilai 13.082.023, dan tiga buah gerobak Nasi Goreng Pelangi, tunai!" Meskipun lancar, suara Bapak jelas terdengar bergetar. Sepertinya tidak mudah melepaskan putri satu-satunya ini kepada laki-laki asing, tapi kenapa beliau tetap menerima pinangan laki-laki itu?

Eh, tapi, ada yang aneh enggak, sih, dari ucapan Bapak tadi?

Iya, Mas kawinnya!

"Saya terima nikah dan kawinnya, Laire Badar dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai!" Lantang, tegas, dan satu kali tarikan napas laki-laki itu mengucapkan janji yang disaksikan para malaikat ini. Setelahnya terdengar suara-suara yang mengucapkan aamiin dari orang-orang yang menyaksikan akad nikah ini.

Sebenarnya aku berharap dia tidak selancar itu ketika berikrar akad agar acara hari ini bisa dibatalkan atau paling enggak, ya, ditunda.

Setelah itu, aku dibantu berdiri lalu ditinggalkan di depan pintu penghubung antara bagian salat laki-laki dan perempuan. Pria yang harus kuakui sebagai suamiku itu membuka pintu tersebut, kemudian menyapa, "Assalamualaikum, Cinta."

Aku menjawab dengan lirih ucapannya. Setelah itu telapak tangannya terasa mengusap kepalaku.

"Allahumma inni as'aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha 'alaih.

" Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya." Selesai mengucapkan doa tersebut, sepertinya puncak kepalaku dikecup.

Jantungku makin berdebar ini. Pipiku juga rasanya begitu panas. Belum lagi perut yang begitu melilit. Rasanya aku mau kabur saja. Sayangnya, laki-laki yang masih belum kutahu wajahnya ini menuntunku menuju meja akad. Sepanjang jalan—yang hanya beberapa langkah—aku terus menundukkan kepala. Terus seperti itu hingga dia memenangkan cincin pernikahan dan aku disuruh mencium tangannya, wajahku kulihat sekilas. Selain nama, wajahnya juga enggak tampak asing.

Setelah berpikir sejenak, akhirnya aku mengingat identitasnya. Ternyata, dia itu Aris Candra, si koordinator asisten praktikum kimia dasar—ketika aku semester satu—yang memiliki mulut sangat tajam!

***

Bersambung sampai sini dulu, ya? Kita sambung di bab berikutnya untuk menguak siapa sebenarnya Aris Candra ini sampai tiba-tiba sudah mencari suami Laire.

Terima kasih banyak untuk kehadiran Kamu di cerita ini ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro