Bab 1. Tentang Aku, Renjana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Boleh banget untuk vote dan komen, ya.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading!

.
.
.

Sang surya telah memancarkan sinarnya sejak tadi, memaksaku bangun di tengah rasa malas yang saat ini memelukku. Pukul 10 pagi, aku mengeliat pelan sekedar merenggangkan otot-otot yang kaku. Getaran dan bunyi nyaring di atas nakas mengusik perhatianku, ponsel dengan panggilan dari orang yang paling ku sayang.

"Good morning, Ma."

"Ini jam berapa? Jam 10 Ren, dan kamu masih belum bangun?"

"Udah bangun kok, Ma,  dari tadi malahan. Mama sok tau deh," sengaja sekali aku menggoda Mama, wanita satu-satunya yang menjadi panutan dalam hidupku.

"Bi Marti tadi bilang, kamu susah di bangunin, nggak sarapan juga. Kamu nggak ke sekolah?"

"Kan sekolahnya udah selesai Ma, udah nggak ada pelajaran juga. Ren malas ke sekolah."

"Ya kamu harus ke sekolah, gimana kalau ada pengumuman penting?"

"Kan ada grup chat kelas dan akun Base sekolah, Ma."

"Terus aja bantahin ucapan Mama," omel Mama di seberang sana yang membuatku tersenyum, membayangkan ekspresi jengkel Mama saat ini.

"Iya deh iya, Ren nggak bantahin lagi," ucapku dengan nada menyesal yang sengaja kubuat-buat. "Mama kapan pulang? Jadi 'kan, minta Papa untuk datang ke wisudanya, Ren?"

"Mama pulang lusa, dan Papa kamu sepertinya sibuk."

"Mama kan udah janji akan mengajak Papa datang ke acara kelulusan," protesku kecewa karena ucapan Mama barusan. Aku yakin sebenarnya Mama belum bicara pada Papa tentang hal ini.

"Memangnya kehadiran Mama nggak cukup buat kamu?" terdengar helaan napas pelan Mama.

"Nggak gitu Ma, you're my everything. Tapi, Ren mau Papa juga ada di momen yang penting kali ini. Please," lanjutku merajuk. Iya aku sekarang berusia 18 tahun dan aku masih akan bersikap kekanakan pada Mama.

"Nanti Mama coba bicara lagi ke Papa kamu, deh."

"Yessss! I love you, Ma!" teriakku senang dan tentu berlanjut dengan gerutuan Mama yang tidak ada habisnya setelah itu.

Ini Mamaku, orang paling berharga dan paling ku sayang. Sekarang Mama sedang ada di Bali untuk urusan pekerjaan. Sering seperti itu sih, jadi aku sudah terbiasa di rumah sendirian ditemani Bi Marti, asisten rumah tangga kami. Iya, aku hanya tinggal berdua dengan Mama, plus Bi Marti dan Pak Jono yang membantu kami di rumah. Rumah mereka hanya berjarak satu gang dari rumah kami.

Masih berguling-guling malas di atas kasur, aku membuka beberapa pesan dari teman-temanku yang masuk sekolah. Aku senang menjadi anak-anak di rumah. Aku bisa bebas berekspresi tanpa takut dinilai oleh orang lain. Cukup menjadi diriku sendiri tanpa perlu sok dewasa, sok keren—meski aku memang keren, dan ya, aku bisa lebih jujur saat di rumah.

Baiklah, sebelum Bi Marti mengatakan pada Mama tentangku yang bermalas-malasan, sebaiknya aku mandi dan turun untuk Brunch karena sekarang menuju pukul 11 siang.

***

Baru saja menyuapkan sesendok soto ayam ke mulut, dering ponsel di samping mangkok, membuatku urung menyuap. Begitu membaca nama si pemanggil, aku melanjutkan acaraku menikmati soto ayam. Sengaja mengabaikan dering yang cukup berisik itu. Panggilan itu berhenti, namun detik berikutnya kembali berbunyi tanpa henti sampai di tahap membuatku kesal sendiri.

"Apasih, telepon-telepon melulu?" semburku langsung begitu menggeser ikon jawab pada layar ponsel.

"Gue telepon sejak tadi ya, Tapi lo nggak mau angkat, kan?" suara omelan yang sangat kubenci terdengar nyaring sampai-sampai aku harus menjauhkan ponsel dari telinga.

Ini Juandra, satu-satunya saudara alias kakakku. Aku dan Juan hanya memiliki perbedaan usia 3 tahun, jadi kami tidak terlalu memiliki banyak selisih dari segi penampilan. Tampak seumuran kalau kata orang-orang.

"Ish, emang ngapain sih telepon? Ada yang penting?" gerutuku.

"Harus ada kepentingan gitu, untuk nelpon adik gue sendiri? Lagian jam segini lo sedang jam istirahat, kan?"

"Aku nggak sekolah, di rumah makan soto Bi Marti, nih!" aku mengganti saluran panggilan suara itu menjadi panggilan video, dengan niatan pamer soto ayam.

"Emang kampret ya punya Adik kayak lo, gue di pamerin doang. Gue kangen soto Bi Marti jadinya," keluh cowok yang saat ini menatap dengan muka ngiler karena soto ayam.

"Makanya ke sini dong, biar di masakin soto ayam khas Bi Marti."

"Jauh bener gue mau makan soto aja harus ke sana, tapi beneran mau di masakin nih, kalo gue ke Surabaya?"

Ah, aku lupa mengatakan pada kalian. Juan tinggal di Jakarta dengan Papa.

"Emang mau ke sini?" tanyaku begitu mendengar ucapan Juan barusan.

"Nah itu tujuan gue telepon, karena Mama bilang, lo pengen Papa hadir di acara kelulusan sekolah lo, kan?"

"Oh, Mama udah ngasih tau? Iya, aku mau Papa ke sini tapi katanya sibuk."

"Kok lo nggak kasih tahu gue sih? Lo nggak mau gue ikutan hadir?" protesnya.

"Sengaja, lagian pasti nggak mau. Biasanya alasan sibuk di kampus ada kegiatan, kan? Jadi aku males ngajakin."

"Jahat bener, kenapa negatif thinking sama gue, sih? Padahal demi Adik kesayangan, gue rela mengosongkan jadwal super sibuk gue di kampus."

Aku mendecih kecil mendengar omongannya. "Tapi, Juan, Papa beneran sibuk, ya? Mama bilang kayaknya Papa nggak bisa datang," tanyaku yang masih berusaha untuk tidak kecewa kalau seandainya Papa benar-benar tidak bisa datang.

"Hm, nggak tahu juga sih. Akhir-akhir ini Papa sibuk, nanti lo tanya sendiri aja deh. Biasanya Papa luluh kalau lo yang ngomong."

"Hm, iya deh, nanti aku bicara sama Papa. Capek banget mau minta orang tua datang ke acara wisuda aja prosesnya segini panjangnya," keluhku yang dijawab Juan dengan kekehan.

"Ya gimana, kita nggak tinggal bareng, sih. Jauh juga Jakarta-Surabaya."

"Aku harap kita bisa serumah, kalau diingat lagi kayaknya nggak ada momen kita tinggal bareng selain pas liburan."

Aku bisa melihat dari layar ekspresi wajah Juan yang sama-sama pasrah dengan senyuman getir yang kami berdua tahu arti dan jawabannya. Orang tua kami sudah berpisah sejak aku masih dalam kandungan Mama, begitulah cerita yang aku tahu. Papa pergi bersama Juan, sementara aku tinggal bersama Mama.

Meski terpisah hidup kami bisa di katakan baik-baik saja, semua hal yang aku dan Juan inginkan selalu bisa kami dapatkan. Untung saja kami tidak tumbuh menjadi seperti anak-anak broken home yang liar. Keluarga kami memang tidak bersama, tapi Mama dan Papa masih berusaha sebaik mungkin memerankan tugas mereka sebagai orang tua.

Dan selama 18 tahun hidup, aku memang tidak pernah sekalipun mendapati kami tinggal bersama dalam satu rumah. Saat liburan pun jika ada Mama, maka Papa yang tidak ada atau sebaliknya. Aku dan Juan pernah sekali bertanya kenapa mereka berpisah, jika mereka masih berhubungan baik sampai sekarang? Namun, keduanya tidak pernah memberi jawaban yang memuaskan sampai sekarang.

Aku dan Juan bukan lagi anak-anak dan kami tahu tidak ada permusuhan di antara Mama dan Papa, lalu kenapa mereka berpisah?

"Juan, kalau aku ada permintaan, kamu mau bantuin?" tanyaku tiba-tiba setelah terdiam beberapa saat dan sebuah keinginan tiba-tiba datang di kepalaku.

"Permintaan apa?"

"Kita satuin lagi Papa dan Mama, yuk!"

"Hah?"

.
.
.

Bersambung.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro