Bab 2. Rencana Menjelang Wisuda

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Boleh banget vote dan komen, ya.

Biar authornya semangat nulisnya.

Happy reading!

.
.
.

Cuaca yang cukup panas, membuat Renjana kini berbaring di kursi kayu panjang di pinggir kolam renang. Es jeruk dari Bi Marti sudah dihabiskannya sebanyak dua gelas dan tersisa separuh dalam teko kaca di sampingnya.

Dengan satu tangan membawa gelas dan tangan lain yang sibuk pada gawainya, Renjana berselancar mencari informasi pendaftaran mahasiswa baru di beberapa universitas ternama di Jakarta.

Ya, dia memang berencana untuk melanjutkan kuliahnya di sana dan rencananya ini hanya diketahui oleh Juan saja. Dia belum mengatakan apa pun pada Papa dan Mamanya.

Setelah pembicaraan dengan Juan kemarin, Ren semakin bersemangat membayangkan misinya untuk menyatukan kembali orang tua mereka. Tentu dengan bantuan Juan, dan kuliah di Jakarta adalah salah satu jalannya.

Sebuah panggilan masuk menghentikan aktivitasnya, namun Renjana kemudian tersenyum lebar.

"Halo, Papa!"

'Hai, jagoan kesayangan Papa. Gimana, sehat, kan?'

"Iya, Pa, Ren sehat-sehat nih. Papa gimana kabarnya? Kata Juan, Papa sibuk banget ya akhir-akhir ini?"

'Si Juan ngadu sama kamu ya,'  jawab sang papa yang terdengar sedang tertawa di ujung sana. 'Iya nih, Papa ada banyak kerjaan akhir-akhir ini. Sering lembur juga.'

"Hm, gitu ..." jawab Ren dengan nada yang sedikit pelan karena mengingat ucapan mamanya perihal ketidakhadiran papanya saat wisuda nanti.

'Kamu sudah makan? Ini di rumah atau di sekolah?'

"Udah makan, Pa. Tadi di masakin sayur asem dan perkedel kentang sama Bi Marti. Papa udah makan juga?"

'Papa barusan makan sekalian meeting di luar sih. Pertanyan Papa belum dijawab loh.'

"Oh, Ren di rumah. Udah nggak ke sekolah, soalnya udah nggak ada kegiatan juga, sih."

'Hm gitu, tinggal nunggu hasil pengumuman nilai terbaik aja, kan? Kamu kemarin udah bilang kalau lulus ,ya?' tanya sang papa terdengar mengingat-ingat.

"Iya, kemarin udah dinyatakan lulus tapi belum tahu nilainya. Tapi Ren yakin, kalau nilai Ren yang paling baik sih, Pa."

Terdengar gelak suara ringan dari sang Papa di seberang sana, mau tak mau membuat anak laki-laki itu ikut tersenyum. 'Kamu selalu percaya diri ya, bener-bener mirip Mama kamu banget.'

"Percaya diri itu harus, Pa. Ren udah belajar dan yakin, kalau kemarin bisa ngerjain semua soalnya," ucap Ren dengan nada menyombong yang mmbuat sang papa tertawa semakin kencang.

'Iya deh iya, Papa percaya sama usaha kamu selama ini. Kamu nggak pernah membuat Mama dan Papa kecewa.'

Setelah pembicaraan yang cukup panjang dengan sang papa, Ren melemparkan ponselnya ke atas meja. Menghembuskan napas panjang dengan perlahan. Bayangannya untuk memiliki momen kelulusan dengan formasi lengkap keluarga sepertinya buyar sudah. Apa harus menunggu momen kelulusan kuliahnya yang entah berapa tahun lagi, sampai dia bisa mewujudkan keinginannya? Kenapa hal sederhana seperti berkumpul dengan keluarga menjadi begitu sulit diperolehnya?

Dia selalu merasa iri ketika melihat teman-temannya memposting foto bersama keluarga mereka, foto liburan atau sekedar kebersamaan di rumah. Postingan sosial medianya hanya berisi fotonya dan sang mama, sesekali bersama Juan saat mereka bertemu. Dia tidak punya banyak momen foto bersama papanya. Memang seringkali papanya tiba-tiba berkunjung ke Surabaya saat ada perjalanan kerja dan menghabiskan waktu bersamanya. Namun, rasanya itu masih belum lengkap.

Kesibukan Papa dan Mamanya memang alasan nomor satu hilangnya momen dan itu faktanya. Pekerjaan mereka yang tidak bisa di tinggalkan begitu saja semau mereka, kalaupun mau cuti pasti tidak akan bisa menyamakan jadwal. Selalu tidak bisa mendapatkan momen bersama.

Ren baru saja hendak memejamkan matanya untuk beristirahat, ketika ponselnya kembali berdering. Dari Rion, sahabatnya sejak kecil. Sekaligus teman sekelasnya.

"Hm, apa?" jawabnya dengan suara tak bersemangat alias malas.

'Lo tidur ya?'

"Baru mau tidur dan kamu gangguin," cibir Ren kesal dengan mata terpejam.

'Hehe, ya sorry deh. Tidur nanti aja, gue punya berita bagus buat lo,' suara Rion terdengar bersemangat di ujung sana.

"Apaan? Awas aja kalau ternyata nggak penting."

'Yakin deh ini penting. Lo udah dapet universitas di Jakarta? Gue punya info terbatas buat lo.'

"Info apa?"

'Gue udah daftar di Universitas Lentera Dirgantara dan berkas gue lolos seleksi tahap pertama.'

"Hah?" Renjana berteriak terkejut dan segera bangkit dari posisi rebahannya. "Kok bisa? Kok cepet?"

'Iya dong, gue udah daftar sejak dua hari kemarin, bukannya gue ngomong sama lo, ya?'

"Tapi masa iya secepet itu kamu udah lolos aja? Aku gimana dong?"

'Lo dari kemarin rebahan mulu ya, diajakin daftar ngomongnya bingung melulu,' cibir Rion yang berhasil membuat Ren merengut.

"Ya, kan aku masih nyari yang bagus dan mempertimbangkan pilihan. Pengkhianat banget udah duluan," omel Ren kesal, terlebih di seberang sana Rion tertawa begitu kencang.

'Udah lo daftar ke sana sekarang. Besok udah ditutup itu pendaftarannya. Nggak usah mempertimbangkan apa-apa lagi, lagian itu universitas paling bagus di Jakarta.'

Ren terdiam sesaat mempertimbangkan saran sang sahabat, "Ya udah aku daftar ke sana deh."

'Asikk! Gue dapet temen di sana nih, hehehe emang gue sama lo tuh nggak bisa di pisahin,' ucap Rion masih dengan tawa senangnya.

"Maksa sih kamu, awas aja berubah lagi nanti," gerutunya sembari meraih laptop dan membuka web universitas yang mereka bicarakan.

'Paksaan demi kebaikan ini , Ren. Oke gue tutup deh, segera daftar ya, lo! Awas kalau gue cek ternyata nggak ada.'

"Iya iya, bawel, berisik, matiin sana."

Dan setelah mematikan sambungan, jemari Ren sudah bergerak cepat mengisi form dan berkas pendaftaran. Sebenarnya universitas ini ada dalam daftar tiga besar teratas yang di pilihnya. Hanya saja memang sejak kemarin dia masih sibuk mempertimbangkan banyak hal. Dia juga belum mengatakan pilihan ini pada orang tuanya, entah apa pendapat mereka nanti. Di tambah lagi, sebenarnya sang Kakak, Juandra, adalah mahasiswa di universitas ini. Jika dia diterima nanti maka dia akan berada satu universitas bersama Juan.

Ren kembali menghela, mungkin ini benar-benar cara Tuhan untuk mengabulkan keiginannya menyatukan orang tuanya. Sampai di tahap ini semua hal yang dia harapkan berjalan dengan lancar kecuali rencananya pada kehadiran sang papa saat wisuda.

Baiklah, kalau Papa memang tidak bisa datang ke wisuda Ren, nggak apa-apa karena Ren yang akan datang menemui Papa di Jakarta. - batin Ren penuh tekad.

.

.

.

Bersambung.

.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro