Bab 3. Kejutan Untuk Mama dan Juan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Boleh banget vote dan komen, ya.

Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading!

.
.
.

Juan masih ada di kampus atau lebih tepatnya masih ada di kelas, ketika ponselnya—yang lupa diaturnya dalam mode silent— itu berbunyi nyaring. Tentu saja hal itu menjadi perhatian satu kelas di tambah kernyitan tidak suka dari wajah sang dosen. Tanpa menjawab panggilan langsung saja dimatikannya gawai pintar itu dan membungkuk malu meminta maaf pada sang dosen karena menimbulkan sedikit keributan.

Tadi sekilas dilihatnya nama sang Adik tersayang yang muncul sebagai pemanggil.

Entah ada apa lagi dengan Adiknya itu sampai-sampai dia berani mengganggunya di siang hari seperti ini. Sangat tidak biasa. Jam dinding menunjukkan pukul 2 lewat lima belas menit yang artinya sebentar lagi kelasnya akan selesai.

"Tumbenan hape lo nyala," bisik Dyandra, sahabat baik Juan yang duduk di sampingnya. "Dari pacar lo yang mana lagi?"

"Diem deh. Sejak kapan gue punya pacar? Lo tuh mencemarkan nama baik gue tau," protes Juan.

"Iya nggak ada pacar resmi tapi gebetan di mana-mana."

"Diem atau lo bakalan di suruh keluar sama Pak Daniel," dan tepat setelah Juan bicara, kelas mereka kemudian berakhir.

"Nggak usah disuruh juga gue bakalan keluar," cibir Dyandra yang sudah merapikan buku dan siap beranjak. pergi. "Ke kantin?" tawarnya pada Juan.

"Nggak, gue ada perlu bentaran," jawab Juan yang masih duduk di bangkunya.

"Mau samperin gebetan yang mana lagi sih? Gue nggak boleh ikut?" goda Dyandra sebelum Juan melemparnya dengan jurnal.

"Udah sana, nanti gue susul deh," kesal Juan yang bersiap meleparkan sebuah buku lagi.

"Iya iya, gitu aja main kasar lo, nanti traktir sebagai gantinya. Lebam nih lengan gue," dan sebelum Juan menendangnya, Dyandra sudah kabur dengan tawa terpingkal-pingkal.

Setelah memastikan sang sahabat benar-benar pergi, Juan mengambil ponselnya di dalam tas, mencari kontak Ren dan menghubunginya kembali.

Sebenarnya selama ini tak ada yang tahu bahwa Juan memiliki seorang saudara. Semua orang di sini mengenal seorang Juandra sebagai anak tunggal. Dia tidak tahu kenapa, namun keluarga dari papa selalu memperkenalkannya sebagai anak tunggal saat mereka bertemu dengan orang baru. Juan pernah menanyakannya pada sang papa, namun papanya bilang itu bukan apa-apa karena kenyataannya Ren adalah Adiknya.

Lamunan Juan terputus saat terdengar jawaban dari seberang sana, 'Ih lama banget responnya!' itulah ungkapan kesal Renjana saat menjawab sang kakak. 'Juan lagi apa sih? Nggak respon, padahal aku mau kasih tahu kabar bagus!'

"Heh bocah ngeselin, gue sedang ada kelas dan lo bikin gue nyaris dilempar keluar sama dosen, tahu nggak sih?" sungut Juan tak kalah kesal pada Ren yang kini diam.

'Ya, maaf ... kan aku nggak tahu kalau Juan ada kelas. Kirain di rumah, abisnya dari kemarin kan nggak ke kampus,' balas Renjana membela diri.

"Huh, ya udah deh. Udah kejadian juga, memangnya kabar apa yang bagus sampai lo gangguin gue?"

'Juan emang paling ganteng, nggak marah-marah. Ehehe. Jadi gini, aku udah diterima di universitas!' suara Renjana yang bersemangat mau tak mau membuat Juan tersenyum.

"Diterima universitas mana?"

'Universitas Lentera Dirgantara.'

"Hm," Juan mengangguk sebelum alisnya mengerut menyadari kalimat Adiknya itu, "Eh?! Itu, kan universitas gue sekarang!" teriaknya yang kemudian buru-buru membuka website kampusnya untuk melihat daftar penerimaan mahasiswa baru.

Di seberang sana terdengar suara Ren tertawa bangga karena dia tahu sang Kakak pasti terkejut. Sebenarnya, Juan tahu pilihan universitas yang diinginkan Ren. Hanya saja sejak kemarin dia belum tahu keputusan akhirnya.

'Jadi kita satu kampus! Dan ini bakal mempermuudah rencana kita untuk bikin Mama dan Papa dekat kembali, iya kan?'

Renjana terdengar begitu antusias membayangkan betapa Tuhan melancarkan jalan untuk keinginannya.

"Emangnya udah bicara ke Mama? Di bolehin ke Jakarta?" Juan merapikan barang bawaannya berniat untuk keluar kelas berpindah ke tempat yang lebih nyaman.

'Belum bicara sih, Mama baru nanti sore sampai rumah. Nanti aku ngomong deh, yang penting jalan kita lancar kan untuk bikin mereka rujuk? Jadi nggak sabar.'

Juan tersenyum, selama ini dia pun menginginkan hal yang sama seperti Renjana.

Memiliki keluarga yang utuh sempurna, lagi pula dia melihat hubungan orang tua mereka sebenarnya baik-baik saja selama ini, meski sedikit saling menghindar. Tapi sayangnya dia tidak berani mengatakan dan berencana seperti Renjana.

"Misal nggak di bolehin sama Mama, gimana?"

'Hm?' gumam Ren yang kemudian terdiam beberapa saat, 'Ya, bantuin dong supaya dibolehin. Bantu bujukin dengan cara ngomong kalau universitasnya paling bagus apa gimana gitu, ya?'

Terdengar helaan napas dari Juan, dia tahu adiknya ini akan memaksa dengan cara apapun. Renjana memiliki sifat keras kepala jika sudah menginginkan sesuatu, dia akan berusaha mendapatkannya. Kadang Juan kesal dengan sikap Renjana ini karena bisa dikatakan 'ngeyelan' kalau dalam bahasa orang Surabaya, adiknya itu akan mengganggunya dengan banyak cara. Namun Juan bersyukur karena sifat Renjana yang sangat berkebalikan dengannya itu sering membantunya yang kadang hanya bisa menurut dan diam.

"Iya iya, dibantuin kalau rencana lo ditolak Mama. Tapi nggak tahu sih kalau Papa bakalan gimana, soalnya kan Papa selalu nurutin keinginan lo. Jadi gue rasa aman sih."

'Oke deh, Juan emang Kakak paling keren.'

"Kampret emang, kalau ada maunya aja gitu ngomongnya," cibir sang Kakak yang geli sendiri membayangkan ekspresi Ren saat ini. Adik tengilnya itu pasti sedang tersenyum kesenangan di sana. Renjana sudah besar tapi dia kekanakan di rumah.

'Ya udah, mau ngomong itu aja sih. Juan kuliah lagi sana, aku mau tidur,' pamitnya dengan tawa khasnya.

"Kan, emang kampret punya Adik kayak lo. Pergi gitu aja setelah gangguin gue, awas aja bukannya tumbuh ke atas ntar lo tumbuh ke samping," Juan membalas sang adik dengan tawa sebelum akhirnya mengakhiri obrolan mereka siang itu.

Renjana dan Juandra yang saling mengisi dengan sifat mereka masing-masing yang bertolak belakang. Saling peduli sekalipun harus bertengkar dan adu mulut setiap hari. Selama hidup mereka, sekalipun terpisah ribuan kilometer namun jarak bukanlah apa-apa seolah mereka berada pada jarak yang sama dekatnya.

***

Ren terbangun karena rasa dingin di keningnya. Anak itu mengernyit dan membuka matanya perlahan hingga mendapati sosok sang Mama samar-samar di hadapannya.

"Mama ...?" seraknya sembari menggenggam tangan dingin sang Mama yang ditempelkan di keningnya

"Yang katanya mau jemput Mama di bandara, ternyata enak-enak tidur dan biarin Mama pulang sendirian," gerutu wanita cantik dengan senyuman lembut itu pada Renjana.

"Loh? Beneran Mama?" Ren buru-buru bangun dari tidurnya dan melihat jam di atas nakas yang menunjukkan pukul 6 petang.

"Ren ketiduran Ma! Ah, maafin Ren, Ma," ucapnya dengan raut penyesalan karena dia benar-benar lupa dan tertidur pulas setelah bertelepon dengan Juan tadi siang. Padahal dia berjanji untuk menjemput sang Mama di bandara.

"Untung ada pak Jono yang jemput, kalau nggak ada Mama balik lagi aja terbang ke Bali. Di luar sedang hujan deres sampai tangan Mama dingin kayak gini."

"Maafin Ren, ya, Ma. Ren beneran ketiduran," dengan cepat diraihnya tangan sang Mama yang dingin, diusapnya agar terasa hangat. "Mama kehujanan, ya?" tanyanya khawatir.

"Nggak sih, kan naik mobil. Pak Jono tadi setel AC nya dingin banget padahal di luar hujan," ucap sang mama dengan senyum iseng yang membuat Ren sadar sedang dikerjai sang mama.

"Ih! Mama! Ren kira Mama kedinginan karena kehujanan!"

Wanita bernama Laras itu tertawa kecil sebelum meraih putranya dalam pelukan. Putranya ini memang sangat 'anak-anak' sehingga mudah diusili. Bahkan wajah merengutnya itu hanya membuat Ren tampak semakin lucu. Pipinya yang menggembung dengan bibir mengerucut kesal.

"Stop Mama! Nggak lucu bikin Ren khawatir! Ngeselin banget sih, Mama!"

Laras masih tertawa sampai-sampai matanya berair karena keisengannya pada putranya itu. "Lagian kamu lupain Mama sih tadi, jadinya kan Mama bales ke kamu,"

Ren mendengus kesal dan menyandarkan kepalanya pada perpotongan leher sang mama, memeluk wanita paling istimewa dalam hidupnya itu dengan erat. "Nggak apa-apa deh, nanti Mama pasti bakalan kangen iseng kalau Ren di Jakarta."

Hening sesaat sebelum Laras melepaskan pelukannya dan menatap putranya itu dengan alis bertaut bingung. "Di Jakarta? Ngapain? Kamu mau ketemu Papa?"

"Ren diterima masuk universitas di Jakarta, Ma," jawabnya tersenyum.

"Universitas di Jakarta? Kok Mama nggak tahu?" tanya Laras yang kini menatap serius pada putranya itu.

Laras tidak menyangka akan mendengar ucapan Renjana yang mengejutkannya.

.
.
.

Bersambung
.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro