Bab 4. Perbedaan Pendapat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Boleh banget vote dan komen, ya.

Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading!

.
.
.

Laras berkali-kali melihat pada layar tabnya yang memunculkan informasi penerimaan mahasiswa baru.

Setelah bicara pada Ren, dia tentu terkejut. Namun melihat binar senang pada raut putranya menghentikannya untuk langsung mengutarakan pemikirannya. Setelah menyuruh putranya itu pergi mandi, Laras mencoba menghubungi Pradipta, mantan suaminya. Namun sayangnya ponsel Pradipta tidak dapat dihubungi.

"Kamu kemana sih, Mas?" gumamnya sambil masih berusaha mencoba menelepon.

Dia harus membicarakan tentang penerimaan Ren di universitas itu, karena jika putranya itu akan pergi ke Jakarta, dia pasti akan tinggal bersama sang papa alias mantan suaminya. Dia tidak tahu apakah ini keinginan asli Renjana atau bujukan Pradipta karena mantan suaminya itu sangat memanjakan Renjana.

Lima belas kali panggilannya gagal, Laras memutuskan untuk menghubungi Juan. Memastikan keberadaan Pradipta. Ini masih jam 8 lewat, tidak mungkin Pradipta sudah tidur.

"Halo, Sayang?" sapa Laras begitu panggilannya tersambung dengan Juan.

'Mama?' jawab Juan di ujung sana, 'Tumben jam segini Mama telepon, ada apa?'

"Iya nih, kangen sama anak Mama dong, kok belum tidur?" tanya Laras pada putra sulungnya itu, Juandra anak yang lebih 'anteng' dibandingkan Renjana yang manja sehingga kadang Laras harus lebih lembut saat bicara pada Juan.

'Sedang ngerjain tugas, Ma. Besok kelasnya pagi dan Juan belum sempet ngerjain tadi,' jawab Juan mengeluh membuat Laras merasa ingin berada di sisi putranya itu dan memeluknya

"Maafin Mama ya, harusnya Mama ada di sana untuk menghibur dan menyemangati Juan," ucapnya lembut penuh penyesalan.

Di ujung sana Juan hanya terdiam, karena jauh di lubuk hatinya diapun ingin merasakan bagaimana rasanya tinggal dan hidup bersama Mamanya. Bukan hanya sebentar, tapi untuk waktu yang lama.

'Nggak apa-apa kok, Ma. Juan kan udah terbiasa, lagi pula Mama selalu ada untuk Juan dan itu udah cukup kok," jawabnya tersenyum sekalipun ada rasa getir di hatinya.

Laras tidak kuasa menahan rasa sesak yang meyeruak di hatinya, Juan selalu berusaha tampak dewasa dan mengerti. Dan rasanya sakit mendengar putranya itu bersikap seolah dia baik-baik saja.

"Terima kasih, ya, Sayang. Juan selalu jadi anak Mama yang paling bisa dibanggakan."

'Terimakasih juga karena Mama selalu ada untuk Juan.'

Laras mengangguk sekalipun putranya itu tidak melihatnya, "Kalau sudah selesai tugasnya, cepat istirahat ya, Nak."

'Iya, Ma. Tinggal dikit kok ini tugasnya, masih mau delivery order dulu untuk makan malam.'

"Juan belum makan? Nggak masak di rumah?"

'Nggak masak soalnya Papa tadi siang berangkat ke Balikpapan, terus aku pulang udah sore juga tadi."

"Papa kamu ke Balikpapan?" tanya Laras memastikan kembali ucapan Juan sebelumnya.

'Iya, tadi siang berangkat.'

"Ya sudah, kamu cepet istirahat ya."

'Oke, Ma. Selamat istirahat juga,' balas Juan sebelum akhirnya memutuskan sambungan.

Laras menghembuskan napasnya pelan, dia selalu merasa bersalah setiap kali Juan menceritakan tentang kesehariannya. Merasa bersalah karena seharusnya Juan mendapat kasih sayangnya secara langsung seperti Ren. 

Ternyata mantan suaminya sedang ada di Balikpapan, sekarang sudah pukul 8 lewat di sini, mungkin Pradipta memang sudah tidur di sana.

Laras meletakkan ponselnya berniat pergi ke kamar Ren, namun ponselnya kembali berdering memunculkan nama Pradipta sebagai pemanggil.

"Halo, Mas Dipta?" sapanya begitu panggilan terhubung.

'Laras? Maaf aku baru menyalakan ponsel dan melihat banyak panggilan tak terjawab dari kamu. Ada apa?' jelas pria itu terdengar khawatir.

"Maaf kalau aku mengganggu kamu, Mas. Aku pikir kamu udah tidur. Kamu di Balikpapan? Tadi Juan bilang ke aku."

'Oh, Juan bilang ke kamu ya, iya tadi siang baru berangkat dadakan ada pekerjaan yang harus ku tinjau segera di sini. Aku baru saja kembali dari sana,' tutur pria itu sebelum kemudian terdiam dan hening menyelimuti mereka.

'Kamu telepon bukan untuk tahu keadaanku aja, kan?'  terdengar suara  Pradipta tersenyum, 'Ada apa?'

Laras menghela pelan membayangkan ekspresi Pradipta sekarang, "Iya, Mas, aku mau tahu kabar kamu juga sih setelah tahu kalau kamu di Balikpapan. Dan juga ada hal lain yang ingin aku sampaikan."

'Tentang apa? Sepertinya serius sekali.'

"Tentang Ren, Mas."

'Ada apa dengan Ren? Dia nggak kenapa-kenapa, 'kan?' suara Pradipta berubah khawatir, 'Laras?'

"Ren nggak apa-apa, Mas, dia baik-baik aja," Laras tersenyum sekilas, "Aku mau bilang kalau Ren sudah diterima di universitas."

'Oh ya? Kemarin aku telepon kayaknya dia masih bingung mau daftar di mana.'

"Iya, aku juga baru tahu tadi sore. Tapi aku kurang suka dengan pilihan dia."

'Memangnya dia pilih universitas apa?'

"Universitas Lentera Dirgantara, sama seperti Juan."

'Lho, bukannya bagus? Itu salah satu universitas unggulan negeri. Apa masalahnya?'

"Aku tahu, Mas, masalahnya adalah tempatnya di Jakarta."

Pradipta terdiam sesaat memikirkan arah pembicaraan ini, 'Memangnya ada apa? Aku nggak mengerti maksud kamu.'

Terdengar Laras menghela tidak sabar, "Mas, itu artinya Renjana akan pergi ke Jakarta. Aku sempat berpikir negatif kalau kamu yang mengusulkan hal ini pada Ren supaya dia ambil kuliah di sana."

Dan akhirnya Pradipta paham arah pembicaraan mantan istrinya itu. 'Laras, apa masalahnya jika Ren ambil universitas di Jakarta? Kamu khawatir dia sendirian? Ada aku dan Juan kalau kamu lupa. Masa iya, aku akan menelantarkan dia? Dia anak aku juga, dan kalau pun dia di Jakarta pasti dia tinggal sama aku. Apa yang kamu khawatirkan?'

"Justru semua yang kamu katakan barusan Mas, yang membuat aku nggak setuju. Aku tahu kamu pasti akan mengurus Ren, tapi aku nggak mau. Kamu mau ambil dia dari aku dan ninggalin aku sendirian?"

'Astaga Laras. Kenapa kamu berpikir sejauh itu? Lagipula aku ini Papanya. Aku berhak atas Renjana juga, aku sayang dia sama seperti halnya Juan.'

Laras terdiam, mungkin benar dirinya terlalu rumit dan mengkhawatirkan hal yang tidak perlu. Tapi bayangan ditinggalkan putranya itu tidak bisa diterimanya. Dia tidak bisa jauh dari putranya itu. Renjana adalah satu-satunya harta paling berharga miliknya dan dia tidak mau Renjana terpisah darinya.

"Aku nggak mau Ren pergi ninggalin aku sendiri. Cukup kamu bawa Juan, tidak dengan Ren."

'Laras!' Pradipta menghembuskan napas cepat tak sabar, 'Kamu memikirkan hal yang tidak penting! Aku nggak mengambil Ren dari kamu, tapi sebagai Papanya, aku juga berkewajiban mengurus dia, apa itu salah? Lagi pula anak-anak kita sudah dewasa, Laras. Mereka bisa dan berhak mengambil keputusan sendiri.'

Pradipta terdengar sedikit emosi namun seperti biasa pria itu bisa mengendalikan dirinya dengan baik.

'Dengar, aku nggak mau menghakimi. Hanya saja pikiran kamu itu kekanak-kanakan. Aku nggak pernah menyarankan apa pun pada Ren terkait pilihannya. Itu keputusan pribadinya. Lagi pula, apakah kamu tega mematahkan cita-cita dan keinginannya hanya karena keegoisan kamu?'

Laras terdiam, dia tahu keinginannya memang sangat egois, tapi rasa takut akan kehilangan putranya jauh lebih mendominasi.

"Mas, aku minta tolong banget ke kamu untuk bujuk Ren agar dia mau membatalkan keinginannya. Kamu bisa kasih saran ke dia untuk ambil kuliah di Surabaya aja, ya? Aku mohon."

'Laras, aku nggak bisa melakukan itu, aku nggak mau mengekang Ren, kalau kamu memang ragu, aku janji ke kamu akan menjaga Ren sepenuh hati. Aku juga sayang dia, aku Papanya.'

"Aku minta tolong ke kamu sekali ini, Mas, aku tahu kamu baik dan sayang sama Ren. Memang aku yang egois sebagai seorang ibu, aku nggak mau berdebat sama kamu lebih jauh lagi. Please," final Laras.

Pradipta tidak bisa mengatakan apa pun lagi, Laras tidak akan mau mendengarkannya. Segala sesuatu mengenai Renjana menjadi sangat sensitif bagi wanita itu. Dia tahu betapa berartinya Renjana bagi Laras.

'Baiklah, aku akan coba bicara pada Ren nanti. Tapi, aku nggak bisa janji apakah dia akan merubah pilihannya atau tidak,' pasrah Pradipta pada akhirnya.

"Makasih, Mas."

'Iya, sama-sama.'

"Maaf udah ganggu kamu, padahal kamu capek seharian. Selamat istirahat, Mas."

'Nggak apa-apa, selamat istirahat juga, Laras,' jawab Pradipta sebelum akhirnya mereka mengakhiri pembicaraan.

Meletakkan ponselnya, Pradipta merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Rasanya lelah setelah langsung turun lapangan untuk meninjau proyeknya begitu keluar dari bandara tadi. Ditambah kabar dari Laras tadi. Sekarang sudah pukul sepuluh lewat, mungkin besok baru dia akan bicara pada Ren agar bisa mengambil jalan tengah untuk mantan istrinya juga.

.
.
.

Bersambung.

.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro