Bab 5. Kekecewaan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Boleh banget vote dan komen, ya.

Biar authornya semangat nulisnya. Happy reading!

.
.
.

Kamar yang hanya diterangi lampu tidur itu tampak masih menyisakan tanda kehidupan.

Ren yang sejak tadi tak bisa tidur hanya bisa berganti-ganti posisi berusaha memejamkan matanya.

Layar ponsel yang dimainkannya sejak tadi pun hanya hidup-mati. Ren ragu, ini sudah lewat pukul 1 malam tapi dia masih gelisah. Ingin sekali dia menelepon Juan tapi dia tidak ingin mengganggu istirahat kakaknya itu. Lalu dengan niatan iseng diketiknya sebuah pesan untuk Juan, yang mungkin akan dibaca saat pagi oleh sang kakak.

'Juan, pasti udah tidur, kan ya?

Aku sih yang nggak ngantuk, nggak bisa tidur juga.

Juan, tadi aku dengar Mama bicara sama Papa. Gara-gara itu aku sekarang pusing, kesel dan kecewa.'

Di kirimnya pesan itu segera pada Juan tanpa mengharap balasan. Dia hanya ingin meluapkan kekesalan.

Sebelumnya dia tidak sengaja mendengar percakapan sang Mama di telepon dengan Papa. Tidak ingin menguping, dia hanya mau ke kamar Namanya untuk mengucapkan selamat malam. Namun yang di dengarnya justru hal tak seharusnya yang membuatnya kecewa.

Mamanya tidak setuju pada keputusannya untuk melanjutkan kuliah di Jakarta.

Dia pikir Mamanya tidak akan seserius itu menolak sampai harus menghubungi Papa secara langsung. Padahal saat dia mengatakan keinginannya tadi, Mamanya tidak menunjukkan reaksi penolakan.

Kenapa?

Semakin dipikirkan hanya membuat Ren merasa semakin kecewa, dia yakin besok dia akan menerima telepon dari Papanya mengenai hal itu.

Getaran dari ponselnya mengalihkan lamunan Ren, diraihnya ponsel dengan malas. Mata sipitnya terbelalak ketika melihat bubble chat dari Juan.

'Lo ngapain jam segini belum tidur?
Mentang-mentang udah nggak perlu ke sekolah.'

Ren mengerucutkan bibirnya kesal, kenapa Juan justru mengomelinya?

'Juan apasih, kok aku di omelin?
I'm not in a good mood.
Ngeselin.'

'Ini udah lewat tengah malam menuju pagi. Tidur. Ntar lo sakit.'

'Juan juga belum tidur.
Ngapain?'

'Gue baru selesai nugas. Mau tidur.'

Ren semakin kesal karena melihat sang kakak yang sepertinya tidak menangkap kekesalannya.

'Yaudah, tidur sana!
Ngapain balesin chat aku.'

'Lo ya yang chat gue duluan.
Marah-marah, kesel nggak jelas jam segini.
Ada apa? Lo denger apa dari Mama dan Papa?'

Ren mencebik sekali pun sang kakak tidak melihatnya, Juan memang selalu begini. Membuatnya kesal terlebih dahulu sebelum memberi perhatian pada keadaannya.

'Mau gue call?'

Dengan cepat jari Ren mengetik balasan untuk Juan.

'Nggak usah. Nanti Mama denger.
Chat aja. Tapi jangan tidur duluan!'

'Ya, gue udah setengah ngantuk.'

'Ya udah. Nggak jadi!'

'Buruan. Nggak usah ngambek. Gue keburu tidur.'

Masih dengan raut kesal, Ren menyamankan dirinya untuk berbaring sembari mengetik pada Juan.

'Tadi Mama pulang dari Bali, terus aku ngomong ke Mama kalau aku diterima di universitas Jakarta.

Mama nggak menunjukkan ekspresi apa-apa cuma senyum.
Dan kupikir Mama nggak keberatan.

Ternyata salah.

Aku ke kamar Mama untuk pamitan tidur terus nggak sengaja denger Mama teleponan di balkon. Ternyata sama Papa.

Dan Mama bicara ke Papa, minta supaya Papa mau ngomong sama aku. Bujukin biar aku batalin keputusanku. Mama marah ke Papa, katanya Papa mau merebut aku dari Mama.

Tapi, kan Juan, ini keputusanku sendiri. Mama harusnya bicara ke aku dulu, kenapa harus marah dan nyuruh Papa gitu?'

Ren menghela panjang, jarinya terasa lelah setelah mengetik dengan penuh emosi pada Juan.

'Lo ngomong gimana emangnya ke Mama?'

'Ya, aku bilang aja kalau diterima di universitas Jakarta. Itu juga pas banget Mama baru pulang.'

'Nah itu, bisa jadi pas lo ngomong tuh keadaaan Mama capek, jadi nggak langsung respon. Sementara setelah bisa nerima omongan lo, Mama react-nya ke Papa duluan soalnya beliau tahu kalau lo nurut sama Papa.'

Ren terdiam memikirkan perkataan Juan barusan. Mungkin benar.

'Tapi yang soal Papa mau merebut aku itu salah, Juan. Papa nggak tahu apa-apa dan aku bahkan belum ngomong ke Papa.'

'Ya udah, tungguin aja. Besok pasti akan ada pembicaraan tentang hal ini lagi sama lo. Lagipula karena udah malam, mungkin Mama nggak ingin membahasnya sama lo, biar lo nggak kepikiran.'

'Tapi aku udah kepikiran.'

'Itu karena lo nguping.'

'Aku nggak nguping! Nggak sengaja dengar.'

'Nggak sengaja itu kalau lo abis sadar langsung pergi, kalo lo terusin ya namanya nguping. Udah sana tidur.'

Setelah Juan mengakhiri chat mereka, Ren memejamkan matanya. Mencoba tidur sekalipun masih tidak mengantuk.

***

Laras sudah sibuk di dapur membantu Bi Marti menyiapkan sarapan.
Membuat menu pecel lengkap dengan tahu dan tempe goreng juga rempeyek kesukaan Renjana.

"Renjana belum bangun, Bi?"

"Sepertinya belum, Cah Ayu. Den Renjana belum keluar kamar pas tadi bibi bersih-bersih di atas," jawab Bi Marti yang mulai menata meja makan.

"Kok tumben ya, bangun kesiangan lagi? Sering gitu pas saya nggak di rumah kemarin?"

"Tidak, cuma sekali kemarin dan hari ini. Sepertinya Aden sedang sibuk ngurus sekolahnya juga, kemarin keluar sama teman-temannya seharian."

Laras mengangguk mendengar penjelasan Bi Marti, setelah memasukkan adonan rempeyek ke dalam penggorengan dia segera mencuci tangannya.

"Bi, lanjutin goreng bentar ya. Saya mau bangunin Ren dulu," ucapnya kemudian berjalan menaiki tangga menuju kamar Renjana.

Putranya itu masih bergelung dalam selimutnya tampak pulas bahkan tidak terganggu oleh sinar surya yang sudah menerobos lewat sela-sela tirai. Laras menghela dan tersenyum, lalu duduk di pinggir tempat tidur menatap wajah sang putra yang selalu berhasil mengingatkannya pada sosok masa lalu yang masih tinggal di hatinya sampai sekarang.

Diusapnya lembut surai hitam yang lembut itu membuat si empunya mengeliat namun tak terbangun.

"Jangan pergi tinggalin Mama ya, Sayang. Mama nggak sanggup kehilangan lagi untuk kesekian kalinya. Mama hanya punya kamu di dunia ini," bisiknya begitu lirih.

Setelah hening sesaat, Laras berdehem kecil untuk mengusir rasa sendu yang barusan hadir di hatinya, menarik napas panjang lalu mencubit pipi Renjana.

"Bangun Cah Ganteng, wes jam berapa ini?" ucapnya sembari menepuk pelan lengan putranya itu, "Gantengnya ilang loh, kalau keseringan bangun siang. Kalah ganteng sama Surya," ucapnya lagi kali ini mencubit pipi Ren lebih lama.

"Hmm, Mamaa~ nanti dulu," bukannya bangun Ren justru menarik selimutnya dan kembali memejamkan mata.

"Bangun, udah siang. Mama tunggu 30 menit di bawah. Bangun, mandi terus turun kita sarapan bareng," pungkas Laras yang kemudian keluar setelah mengacak rambut Renjana.

Setelah pintu tertutup, Ren membuka matanya perlahan. Dia sudah bangun sejak tadi hanya saja memang masih malas untuk beranjak dari tempat tidur. Diingatnya lagi ucapan sang mama barusan. Dia merasakan perasaan khawatir.

Kenapa Mama sampai seperti itu?

Dan lagi kehilangan apa? Dia tidak akan pergi selamanya, hanya pindah ke kota lain selama beberapa tahun. Apakah itu sulit bagi Mamanya sekedar jauh darinya?

Kepalanya serasa penuh oleh berbagai macam pertanyaan yang membuatnya pusing. Dan akhirnya setelah mengambil napas panjang dan menyiapkan hati, Ren bangun dan menuju kamar mandi. Sarapan pagi ini akan menjadi sedikit berat oleh pembicaraan mereka nanti.

Saat turun dan menuju ruang makan, dilihatnya sang mama sudah duduk menunggunya sambil memainkan ponselnya.

"Pagi, Ma."

"Pagi, Sayang. Udah mandi?" tanyanya yang dijawab anggukan oleh Ren yang kemudian duduk di sampingnya.

"Wih, menunya pecel. Udah lama nggak di masakin pecel," ucap Renjana yang mengambil piring dan nasi.

"Makan yang banyak, itu tadi Bi Marti bikin rempeyek kacang kesukaan kamu."

"Iya, Ma. Suka nih, Ren kalau di masakin begini."

Keduanya memulai sarapan pagi dengan tenang, dan setelah selesai, Laras mulai membereskan bekas makan mereka sementara Ren mengekor di belakangnya untuk mencuci piring.

"Ren, setelah ini Mama mau bicara sama kamu, bisa?"

"Hm? Soal apa, Ma?" tanyanya santai meskipun dia tahu arah pembicaraan sang mama.

"Soal universitas pilihan kamu di Jakarta, apa tidak ada pilihan lainnya selain di sana, Sayang?"

"Ada sih Ma, kemarin Ren sempet bingung juga mau daftar di universitas mana tapi setelah banyak pertimbangan Ren ambil universitas itu. Lagi pula universitasnya sama dengan Juan kok, Ma."

"Kenapa nggak di Surabaya aja sih, Sayang? Di sini banyak kan universitas bagus, favorit juga."

"Tapi Ren mau di sana Ma, jurusan yang Ren inginkan lebih bagus di sana. Kan ada Papa sama Juan, jadi Mama nggak perlu khawatir," ucapnya berusaha membujuk, diliriknya sang mama yang diam menatapnya dengan pandangan yang tidak bisa diartikan.

"Kamu mau ninggalin Mama sendirian di Surabaya?"

Dan inilah kalimat yang ditunggu oleh Ren, kenapa sang mama begitu ribut perihal 'ditinggal' yang notabene hanya sekolah di tempat yang jauh?

"Ma, Ren kan mau ambil pendidikan di sana karena programnya bagus. Ren nggak akan ninggalin Mama kemana-mana. Ada Papa dan Juan juga, kita semua ada untuk Mama. Kenapa Mama sekhawatir itu? Lagi pula, kan selama ini Mama sering ninggalin Ren juga saat Mama ada pekerjaan di luar kota atau luar negeri, dan Ren nggak masalah tentang hal itu. Terus sekarang Ren hanya mau ke Jakarta, Ma. Mama bisa jenguk Ren juga, kan di sana?"

Akhirnya kekesalan yang sejak semalam dipikirkannya itu terucap juga pada sang Mama, padahal tidak ada niatan sedikitpun untuk mendebat sang Mama.

Laras sendiri tampaknya cukup kaget dengan ucapan putranya itu dan hanya bisa terdiam menatap Renjana. Dia tidak pernah menduga Ren akan berpikir seperti itu.

"Ma?"

Ren berjalan mendekati Laras dan mengambil kursi untuk duduk di hadapan sang mama.

"Mama jangan marah ya, Ren hanya mau Mama mengerti keinginan Ren dan menghormati keputusan Ren," bujuknya memeluk Laras dan menyandarkan kepalanya di bahu sang mama.

"Ren tahu selama ini nggak pernah sekalipun jauh dari Mama dan mungkin itu yang membuat Mama khawatir. Tapi Ren tidak sendirian, karena ada Papa dan Juan di sana."

Laras masih terdiam, kini perasaannya justru semakin memberat. Ada alasan lain yang tak bisa dikatakannya pada sang putra kenapa begitu berat untuk sekedar jauh.

"Mama~ jangan diam saja, jawab Ma," Ren menatap lekat-lekat pada sang Mama dengan khawatir. Tepat saat itu terdengar dering panggilan dari ponsel Renjana yang ada di atas meja.

Dari Papa.

Memejamkan mata sejenak dan menghembuskan napas pelan, Renjana meraih benda pintar itu untuk menjawab panggilan sang Papa.

"Halo, Papa. Good morning."

'Selamat pagi, anak gantengnya Papa. Nggak ke sekolah?'

"Udah nggak, Pa. Tapi besok ada gladi bersih buat acara wisuda."

'Hm, gitu. Anaknya Papa udah sarapan?'

"Iya, udah. Baru selesai sarapan bareng Mama."

Ren merasa deg-degan menanti bagaimana pembicaraannya dengan sang papa akan berubah pembahasan.

'Nggak nanya nih, Papa-nya udah makan atau belum?'

"Eh, iya. Papa udah makan?" tanya Renjana sedikit kikuk, dia terlalu sibuk dengan kekhawatirannya yang justru kentara.

'Papa udah makan tadi, tapi tahu nggak, sih? Papa kangen masakan Bi Marti,' ucap sang Papa terkekeh di seberang sana.

Renjana tersenyum, sungguh dia menghargai sikap sang papa yang selalu membuatnya merasa nyaman. "Papa ke sini dong, kangennya sama masakan Bi Marti aja. Nggak kangen sama aku dan Mama?"

Terdengar papa-nya tertawa di sana, 'Kangen kalian juga.'

"Papa, datang ya ke upacara kelulusan Ren?" tanya Ren berharap, dilihatnya sang mama beranjak dari duduknya, menyibukkan diri dengan menata peralatan makan yang sudah dicuci.

'Maaf ya, tapi Papa masih ada pekerjaan di Balikpapan dan belum tahu bisa cepat selesai atau tidak,' jelas sang papa menyesal.

Renjana menghela kecewa, tapi dia tidak mau memaksakan keinginannya dan membuat sang Papa kepikiran. "Ya udah deh, nggak apa-apa."

'Maafkan Papa ya, Nak?'

Ren mengangguk meski sang Papa tidak bisa melihatnya. Ada hening yang menjeda diantara mereka sebelum suara Papa-nya terdengar lagi.

'Nak, maafin Papa ya? Tapi Papa janji nanti akan Papa kirimkan hadiah kelulusan buat kamu. Ya?'

Tapi Ren mau Papa. - batin Ren.

"Iya, Papa."

'Nah, gitu dong. Terima kasih ya, udah maafin Papa. Nak, Papa dengar dari Mama, kamu diterima di universitas Lentera Dirgantara, ya?'

Ini dia, saat yang ditunggu akhirnya tiba. Rasa cemas dalam hati Renjana semakin menjadi-jadi tapi dia tetap berusaha tenang.

"Iya, Pa. Kemarin sempat bingung soalnya ada beberapa universitas yang jadi pilihan Ren. Tapi Ren udah mutusin kok."

'Hm, kamu beneran mau kuliah di sana?'

Renjana menggigiti bibir bawahmya, bahkan kali ini dia merasa tidak yakin dengan apa yang akan dikatakan sang Papa.

"Iya, Pa. Aku diterima di universitas Lentera Dirgantara. Sama dengan Juan."

'Papa seneng mendengarnya. Anak-anak Papa keren semua, bangga sama kalian.'

Kalimat sang Papa terjeda dan ada hening yang tidak nyaman di sana. 'Nak, kalau kamu kuliah ke sana berarti nantinya bisa tinggal bareng Papa sama Kakak kamu, ya.'

Renjana mengangguk meski sang Papa tidak bisa melihatnya.

'Papa senang kamu bisa tinggal bareng Papa, tapi gimana sama Mama? Ren mau meninggalkan Mama sendirian?'

Meski sudah menduga akan mendengar hal ini dari sang Papa tapi kenyataannya hati Ren tetap berdenyut sakit rasanya setelah mendengarnya langsung. Dia tidak menjawab dan hanya diam menanti kalimat selanjutnya.

'Ren, Papa boleh minta kamu untuk mempertimbangkan kembali? Bukan artinya Papa tidak setuju dengan pilihan kamu, tapi izin dari Mama juga harus dipertimbangkan ya, Nak? Karena itu akan mempengaruhi keseharian kamu selanjutnya. Kamu nggak ingin Mama khawatir, kan?'

Ren tidak tahu lagi harus menjawab apa, kini perasaan kecewanya terasa puluhan kali lebih menyesakkan. Dia marah, kecewa, kesal, merasa tidak dipercaya dalam hal membuat keputusan, dan merasa tidak didengarkan. Rasanya dia ingin menangis saja.

'Ren? Anak Papa masih dengerin, kan?'

"Mm, i-iya Papa. Ren dengar," jawabnya begitu lirih, suaranya tersendat dan sakit hanya untuk menjawab sang papa.

Terdengar helaan napas pelan dari sang papa di ujung sana.

'Ren, maafin Papa, ya? Apapun keputusan kamu nanti, Papa akan selalu ada mendukung. Tapi tolong pertimbangkan kata-kata Papa sebelumnya, ya?'

"Iya, Pa."

'Kalau gitu Papa kembali kerja dulu ya, kamu semangat besok gladi bersihnya.'

Setelah mengakhiri sambungan telepon, Ren menghembuskan napasnya panjang. Dia kecewa, lalu dengan langkah gontai dia bangkit menuju kamarnya kembali. Mengabaikan panggilan sang mama dari dapur.

Dia butuh sendiri.

.
.
.

Bersambung.

.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro