Bab 6. Hari Yang Ditunggu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Boleh banget vote dan komen, ya.

Biar authornya semangat nulisnya. Happy reading!

.
.
.

Renjana sudah bangun pagi-pagi, bahkan sebelum Bi Marti mulai menyapu halaman. Dia sudah menunggu di teras depan saat Rion datang ke rumahnya.

"Gue kira belum bangun, udah siap di depan aja," sapa Rion begitu turun dari motornya dan berjalan menghampiri Ren.

"Udah siap dari tadi, masuk yuk, aku ambil tas dulu." Ren berjalan masuk dengan Rion yang mengekor di belakangnya.

"Selamat Pagi, Tante," sapa Rion pada Laras yang baru saja keluar dari kamarnya berpapasan dengan mereka di ruang tengah.

"Eh, Rion? Tumben banget pagi-pagi gini udah sampai di sini," jawab Laras yang kemudian perhatiannya beralih pada Renjana. "Emang kamu sudah mandi, Ren?"

Yang di tanya hanya mengangguk dan menjawab dengan gumaman rendah. Ren masih berada dalam suasana hati yang tidak baik sejak kemarin, setelah pembicaraannya dengan Mama dan Papanya. Laras yang melihat itu hanya tersenyum tipis, paham sekali sikap ngambekan putranya itu.

"Kalian ke kamar dulu deh, Tante masakin sarapan," Laras mengatakannya pada Rion yang terlihat bingung dengan situasi antara ibu dan anak ini.

"Heh, kok lo gitu ke Tante Laras? Tumben pendek banget jawabnya, lagi marahan?" bisik Rion begitu keduanya sudah berada di kamar Ren.

Ren menghela napas panjang sebelum merebahkan dirinya di atas tempat tidur. "Iya, aku sedang marah ke Mama, sama Papa juga."

"Kenapa?

"Aku nggak boleh ambil kuliah di Jakarta."

"Eh, kenapa?" tanya Rion sedikit kaget karena setahunya Tante Laras bukan tipikal orang tua yang suka melarang-larang anaknya selama ini.

"Mama bilangnya nggak mau ditinggal sendirian, padahal kan cuma Surabaya-Jakarta yang bisa ditempuh berapa jam aja naik pesawat. Lagian Mama sering juga pergi-pergi jauh. Aku nggak pernah keberatan dengan itu. Tapi, parahnya tuh Papa malah nyuruh aku ikut kemauan Mama. Padahal kan ... ah, aku sebel pokoknya," Ren mengomel panjang lebar meluapkan kekesalannya pada Rion yang hanya bisa mendengarkan dengan sedikit heran.

Ren belum menelepon Juan dan memberitahu kakaknya soal ini. Dia sudah terlanjur kesal dengan keadaan. Awalnya dia merasa jalannya mulus untuk rencananya menyatukan orang tua mereka, tapi kenapa akhirnya rumit begini?

"Terus, lo sendiri gimana keputusannya? Tetep berangkat atau gimana? Soalnya kan pendaftaran universitas lain juga udah mepet jadwalnya."

"Nggak tahu."

"Tapi lo tetap harus memutuskan gimana ke depannya nanti, kan."

Ren menghela napas panjang dengan tatapan menerawang. Sejujurnya dia belum memikirkan hal lain, tujuannya sudah di depan mata tapi tiba-tiba ada ganjalan besar di hadapannya.

Masalah utamanya adalah dua keinginannya bisa terwujud dalam satu langkah jika dia tetap pergi ke Jakarta. Yaitu pendidikan dan keluarganya.

"Kalau menurut gue sih, ya, pasti ada alasan khusus dari nyokap lo. Karena selama ini Tante Laras nggak pernah larang-larang lo melakukan ini itu, kan? Ada baiknya lo bicarain lagi tentang hal ini, juga sampaikan keinginan lo secara gamblang supaya nggak misscom."

Ren terdiam memikirkan ucapan Rion, mungkin memang ada benarnya, tetapi keinginannya bukan sebuah kesalahan, kan?

"Nggak tahu, dipikirin nanti lagi. Udah pusing kepalaku." Renjana bangun dari posisi tidurannya. "Wes lah, ayo berangkat!"

Keduanya baru saja melewati ruang tengah ketika Laras keluar dari dapur dengan spatula di tangan, "Kalian tidak sarapan dulu? Mama sudah buatkan nasi goreng selimut."

Rion melirik sang sahabat ragu, lalu Ren berbalik, "Nanti aja di sekolah Ma. Dari pada telat gladi resiknya nggak enak di tungguin temen-temen," jawabnya datar.

"Ren, kamu tahu aturan Mama. Tidak ada yang boleh keluar rumah sebelum sarapan."

Laras tahu Ren sedang ngambek padanya, itu tidak akan menghentikannya untuk memaksa putranya itu sarapan. "Ke meja makan sekarang."

Dengan terpaksa Renjana berbalik dan berjalan menuju ruang makan diikuti oleh Rion yang memilih untuk diam dan menurut. Sahabatnya yang satu itu memang selalu begitu, semarah apapun Renjana, dia tidak akan menentang Tante Laras dengan cara yang kasar. Renjana akan memilih diam dan cemberut sepanjang hari atau bahkan tidak bicara seharian jika mood-nya belum kembali baik. Dan untungnya Rion sudah sangat terbiasa dengan itu.

Mereka sarapan dalam diam dan Laras memilih untuk menyibukkan diri memotongi sayuran tanpa berniat mengganggu kedua anak itu meski sesekali dia melirik pada Renjana.

"Nanti balik pulang dulu atau langsung persiapan dari sekolah?" tanya Laras memecah keheningan.

Renjana hanya diam sementara Rion menatap ibu dan anak itu bergantian sebelum memutuskan untuk menjawab, "Kayaknya langsung dari sekolah sih, Tante. Dresscode jasnya udah disiapin sama Mama, nanti dianter ke sekolah biar nggak bolak balik setelah gladi resik."

"Sampaikan terima kasih ke Mama kamu dari Tante ya, Rion. Udah mau di repotin ngurus bajunya Renjana sekalian."

"Iya Tante, nanti Rion sampaikan."

"Ren berangkat dulu, Ma," potong Renjana yang sudah selesai makan, segara beranjak menghampiri Laras,  meraih dan mencium punggung tangan sang mama, pamit kemana pun dia pergi yang sudah jadi kebiasaannya sejak kecil.

"Nggak mau di antar pak Jono?"

"Naik motor aja sama Rion."

Setelah berpamitan kedua anak itu keluar meninggalkan rumah menyisakan Laras yang kini menyerahkan tugas rumah pada Bi Marti sebelum dia sendiri bersiap pergi ke acara wisuda Renjana nanti siang.

***

Di tempat laim tampak Juandra sedang bermain game sambil sesekali melirik kumpulan awan yang melintas dari balik jendela.

Ya, dia sedang dalam penerbangan menuju kota Surabaya.

Dia sudah memberitahukan kedatangannya pada sang mama tapi sengaja tidak mengatakannya pada adiknya. Renjana tidak tahu dia akan datang hari ini.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang dan aula utama SMA 17 yang sangat luas itu tampak mulai dipenuhi tamu undangan.

Beberapa siswa sudah siap dengan teman kelas dan kelompok mereka, berswafoto atau sekedar berkumpul sementara panitia kegiatan dan pengurus sekolah sibuk mengatur ini itu.

Renjana ada di dalam kelasnya bersama beberapa teman. Dia sudah berganti pakaian dengan kemeja putih dan setelan jas yang khusus dipesankan untuknya. Wajah tampannya semakin indah jika di lihat dalam balutan pakaiannya sekarang. Sayangnya, bibir yang mengerucut cemberut itu masih bertahan sejak tadi pagi.

"Lo cemberut mulu dari tadi, senyum kenapa, deh? Nggak liat apa itu cewek-cewek mondar-mandir lewat sambil cekikian liatin lo?" tegur Rion yang sekarang merapikan kemejanya.

"Bodo amat," jawab Ren sekenanya, sejak tadi tatapannya mengarah ke halaman sekolah dimana kendaraan para tamu mulai berdatangan namun dia tidak kunjung melihat mobil sang mama.

"Dia kenapa, sih? Bukannya harus seneng ya, kita hari ini?" tanya Dana–salah satu teman sekelas mereka, pada Rion.

"Tau tuh, dari pagi begitu."

"Padahal, nanti dia bakalan jadi orang yang paling disorot."

"Hooh, kan dia dapet nilai paling bagus."

Ren mengabaikan gerutuan teman-temannya dan memilih untuk tetap diam menatap halaman.

Dia masih merasa kesal.

Pembicaraan sebelumnya yang masih menggantung dengan Mama dan Papanya, dia yang mendiamkan sang mama, ditambah papanya yang sepertinya tidak akan datang karena sibuk. Ini bukan hari menyenangkan untuknya. Semua tidak sesuai harapannya. Mood-nya berantakan di hari wisuda yang sudah dinantikannya sejak beberapa waktu lalu.

Ren bangkit dari tempat duduknya berniat pergi ke toilet, tetapi semakin kesal saat melihat gerombolan adik kelasnya sedang berbisik menatap ke arahnya dan terkikik malu-malu.

Menyebalkan.

***

Wajah tampan dengan mata sipit itu masih bertahan dengan bibir cemberut saat menunggu giliran kelasnya di panggil. Dia sampai tidak melihat kedatangan Mamanya dan dia terlalu gengsi untuk menghubungi duluan.

Suasana hatinya kacau.

Rion yang sedari tadi berusaha menghibur Ren tampaknya sudah menyerah, dan memilih membiarkan sahabatnya itu tanpa meninggalkannya sendirian.

Apa aku kuliah di luar negeri aja sekalian?

Sekalian nggak ketemu Mama, Papa sama Juan.

Renjana sibuk dalam pikirannya sendiri sampai tidak menyadari giliran kelasnya dipanggil ke atas panggung.

"Sebentar lagi giliran lo tuh, ngelamun ae, cepet siap-siap," Rion menyenggol Ren dengan sikunya menyadarkan Ren yang langsung melihat ke depan.

Begitu namanya dipanggil, Ren bangkit dan berjalan menuju panggung. Dia hampir bisa merasakan semua tatapan yang terarah padanya terlebih deretan  para gadis yang berbisik dengan semangat saat melihatnya.

Begitu kepala sekolah mengalungkan lambang kelulusan dan memberinya selamat, Renjana menyunggingkan seulas senyuman untuk diabadikan dalam jepretan kamera photographer.

Barulah saat itu, dia melihat sang mama yang duduk di deretan kursi sebelah kanan sedang tersenyum lebar penuh kebanggaan padanya.

Ren sadar betapapun dia marah, Mamanya akan selalu jadi orang yang dirindukannya dan menjadi tempatnya bersandar. Matanya memanas merasakan haru luar biasa, ingin sekali dia berlari memeluk sang mama sekarang. Tapi dia tidak mau terlihat dramatis.

Begitu turun dari panggung dan melewati bangku sang mama, Renjana mendengar bisikan penuh haru padanya. 'Mama bangga sama kamu, Sayang.'

Ren mengangguk dan kembali ke tempat duduknya karena acara belum selesai. Dia harus minta maaf pada mamanya nanti.

Acara berlangsung dengan lancar sampai pada pengumuman yang ditunggu, yaitu siswa peraih nilai terbaik. Dan saat nama Renjana Satiya Dewantara dipanggil sebagai pemilik nilai tertinggi, dia kembali naik ke atas panggung, kali ini sebuah senyuman bahagia terlukis di wajahnya diiringi tepuk tangan dari semua yang hadir.

Renjana tersenyum senang, membuat bangga sang mama adalah salah satu tujuannya. Lalu senyuman itu berubah menjadi lebih lebar tatkala matanya menangkap sosok sang papa dan Juandra yang sekarang duduk bersama, di bangku yang tadi kosong di samping mamanya.

Setelah sesi foto dan serah terima hadiah, Ren berjalan cepat menuju tempat keluarganya berada.

"Papa!"

Pradipta tertawa menangkap putra bungsunya yang menghambur ke pelukannya.

"Katanya nggak bisa datang? Katanya sibuk?" tuntutnya masih memeluk erat.

"Surprise untuk anak gantengnya Papa," Pradipta menepuk-nepuk bahu Ren, "Papa bangga sama kamu, selamat ya!"

"Makasih, Papa."

"Pulang yuk, Ma. Kita nggak dianggap di sini," gerutu Juan yang berdiri menggandeng lengan sang mama, pura-pura ngambek.

"Iya, nih, Papa aja yang dipeluk. Kita di cuekin nih, Kak."

Renjana melepas pelukannya, tersenyum lebar, berbalik dan memeluk Mama juga kakaknya bersamaan.

"Love you, Mama, Juan," bisiknya.

"Selamat ya, atas penghargaan nilai terbaiknya, terima kasih sudah membuat Mama bangga."

"Gue juga bangga punya adik pinter modelan kayak lo, cocoklah jadi adiknya Juandra Aravka Hadinata."

"Aku kan nggak mau kalah pinter dari Juan."

"Udahan dulu, di lihat banyak orang tuh," tegur Pradipta yang tersenyum melihat kelakuan Renjana.

Renjana meringis malu setelah menyadari acara belum selesai. Niatnya tadi tidak mau dramatis tetapi kehadiran papanya menggagalkan niatnya itu. Setelah memeluk keluarganya lagi satu per satu, Renjana kembali ke bangkunya dengan langkah ringan penuh bahagia.

Semoga.

Semoga kebahagiaan ini menjadi pertanda awalan baik untuknya.

.
.
.

Bersambung.
.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro