Bab 7. Akhir dan Sebuah Awal

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Boleh banget vote dan komen, ya.

Biar authornya semangat nulisnya. Happy reading!
.
.
.

Tidak ada yang bisa membuat Rion heran sampai sakit kepala, jika bukan Renjana Dewantara.

Dengan tidak tahu malunya sahabatnya itu bertingkah seperti anak Sekolah Dasar, di depan banyak orang. Mood-nya yang sering naik turun seperti roller coaster ,sering marah lalu tiba-tiba tertawa bahagia.

Rion tidak heran, tidak juga merasa aneh, illfeel atau semacamnya. Baginya Renjana itu unik. Satu-satunya sahabat yang dimilikinya sejak kecil. Mereka bertetangga sejak keluarga Ren pindah di perumahan samping rumah Rion. Saat itu mereka masih berusia 6 tahun dan bersekolah di Sekolah Dasar yang sama.

Renjana bukan anak yang pandai bersosialisasi dan cenderung pendiam. Namun, ada sebuah kejadian saat mereka di kelas 3, yang membuat Renjana si pendiam itu dekat dengannya.

Rion tidak tahu di mana Papa Renjana, karena dia hanya melihat anak itu selalu berdua dengan Mamanya. Hingga suatu hari di sekolah, Rion menemukan Renjana menangis di pojok toilet sedang 'dibully' oleh teman-temannya karena tidak punya Papa.

Rion memarahi anak-anak itu dan mengusir mereka. Namun Rion sangat takut saat itu karena Ren menggigil ketakutan sambil menangis menutup kedua telinganya. Merasa tidak bisa menenangkan Renjana saat itu, Rion berlari ke ruang guru untuk meminta bantuan. Lalu setelah kejadian itu, Renjana tidak masuk sekolah selama 2 minggu.

Barulah Rion tahu alasan Ren tidak masuk saat Tante Laras datang ke rumahnya, untuk berterima kasih karena sudah menolong Renjana di sekolah. Tante Laras menjelaskan bahwa Renjana mengalami gejala anxiety disorder, setelah di bawa ke dokter dan mendapat rujukan ke psikolog. Ren sedikit trauma takut jika dia ke sekolah akan diejek oleh teman-temannya yang lain karena tak punya papa.

Rion yang tidak mengerti situasi saat itu, bertanya pada Mamanya yang menjelaskan bahwa dalam keluarga Ren, Papa dan Mamanya tidak lagi tinggal bersama, sehingga Ren berdua saja dengan ibunya. Dan keadaan seperti itu bisa terjadi pada orang dewasa, karenanya bukanlah hal baik jika kita mengejek keadaan keluarga orang lain.

Rion paham, lalu keesokan harinya dia datang bersama Mamanya untuk menjenguk Ren di rumahnya. Awalnya anak itu tidak mau bertemu dan keluar dari kamarnya, tetapi setelah bujukan dari Tante Laras, akhirnya Ren mau bertemu.

...

'Hai, kamu apa kabar Ren? Kok lama nggak masuk sekolah sih?' - tanya Rion saat itu.

Renjana hanya diam menyembunyikan diri di balik punggung Tante Laras.

'Kamu mau temenan sama aku nggak? Nanti kita bisa main sama-sama. Aku jagain kamu supaya anak-anak nakal itu nggak gangguin kamu lagi. Kamu udah liat aku tuh kuat kan?' - Rion dengan kepolosannya menyombong namun justru berhasil menarik Renjana.

'Kamu mau jadi temanku?'

'Iya dong.'

''Kamu nggak ngejek aku karena Papa nggak ada?'

'Nggak. Papaku juga nggak ada, lagi kerja di luar kota. Iya, kan, Ma?' - ucap Rion polos yang diiyakan oleh Mamanya.

Rion maju mendekat dan mengulurkan tangannya pada Renjana.

'Kita temenan yuk!'

Dan Renjana pun akhirnya keluar dari persembunyiannya di balik punggung Mamanya. Ragu, tetapi kemudian mengulurkan tangannya pada Rion, membalas jabat tangannya.

'Iya kita temenan sekarang.'

...

Dan setelahnya Rion ingat betul bagaimana Renjana menempel dan mengekor padanya kemana pun dia pergi. Rion pun menepati janjinya untuk menjaga Renjana dari anak-anak nakal sewaktu mereka kecil hingga saat masuk Sekolah Menengah Pertama, Renjana mengajaknya ikut klub Taekwondo supaya Ren bisa menjaga dirinya sendiri dan tidak merepotkannya.

Waktu cepat berlalu ya, sekarang mereka sudah lulus dari Sekolah Menengah Atas.

Melihat betapa sahabatnya itu kini tersenyum lebar bersama keluarganya membuat Rion ikut bahagia. "Selamat ya, gue bangga sohib gue dapat nilai terbaik," ucapnya mendatangi Renjana.

"Apaan sih, kamu juga keren udah masuk 5 besar terbaik," jawab Ren yang kemudian merangkul Rion dengan tawanya.

Orang tua Rion menyusul dan ikut bergabung menyapa dan berbincang dengan keluarga Laras.

"Ah, nggak kerasa kita udah lulus aja. Nggak kebayang nanti pas kuliah gimana."

"Rion mau lanjut kemana?" tanya Laras.

"Ke Universitas Lentera Dirgantara, Tante. Rion pengen banget ke sana dan udah diterima juga," jawab Rion tersenyum.

"Jauh dari rumah juga? Ninggalin Mama kamu dong?"

"Iya nih, Laras. Katanya mau belajar mandiri, makanya aku iyain. Untung sekarang Papanya nggak dinas luar kota, jadi aku nggak sendirian," jawab Mama Rion ramah.

"Renjana mau lanjut ke mana? Dengan nilai kamu itu sih, bisa diterima dimana aja, ya," ucap Mama Rion lagi.

"Maunya bareng Rion sih, Tante, tapi belum tahu juga," jawab Ren ragu sambil melirik mamanya.

"Bareng sama Rion terus, nggak bosan? Eh, tapi kalau kalian barengan kayaknya Tante setuju sih, nanti Rion nggak sendirian juga di sana."

"Mama, Rion bisa sendirian juga, tau. Masa iya sekarang Renjana harus jagain Rion?" seloroh Rion yang membuat semuanya tertawa.

"Yaudah, apa pun itu pokoknya terbaik untuk kalian. Tante bangga sama kamu, Ren." Mama Rion menepuk pelan bahu Ren dengan bangga dan memeluknya sekilas.

"Laras, kita pulang duluan, ya? Mau makan malam bersama sekalian jemput adiknya Rion."

"Iya, terima kasih udah direpotkan sama Renjana soal dresscode-nya. Lain kali kita makan bersama," ujar Laras yang memeluk Mama Rion.

Setelah berpamitan mereka sama-sama keluar. Acara juga sudah selesai dan beberapa tamu sudah meninggalkan sekolah.

"Kita makan malam sama-sama, yuk?" tawar Pradipta yang mendekat, memecah keheningan.

"Yeay! Ayo Pa! udah lama kita nggak makan bersama!" sorak Renjana.

"Kayak bocah lo Dek, heboh bener dari tadi."

"Juan diem deh, jangan mengganggu kesenangan aku hari ini. Kamu sama Papa udah bohong sama aku, katanya nggak dateng," cibir Ren.

"Namanya juga kejutan. Iya, kan, Ma?"

"Iya."

Keluarga mereka berjalan keluar menuju tempat parkir. Renjana yang sedari tadi berjalan di samping papanya, kemudian berjalan mendekati sang mama.

"Mama, maafin Ren, ya. Ren salah karena ngambek dan marah ke Mama," ucapnya pelan dan sungguh-sungguh.

Laras berhenti berjalan lalu mengulurkan tangannya mengusap puncak kepala Renjana. "Mama maafin selalu, Nak."

"Beneran?"

"Iya, kapan Mama pernah bohong sama kamu?"

"Ada barusan. Bersekutu sama Juan dan Papa bohongin aku."

Jawaban Renjana itu membuatnya mendapat jitakan mesra dari sang kakak. "Ancene kon iku sek bocah! Ngambek melulu kerjaannya."

Dan tak bisa dihindari kalau keduanya akan memulai pertengkaran di sepanjang jalan.

"Kamu tadi naik taxi online, Mas?"

"Iya, sama Juan tadi."

"Ikut mobil aku aja sekarang," tawar Laras yang diiyakan Pradipta.

"Ya sudah, sini kuncinya biar aku yang nyetir."

"Kamu capek, Mas. Kan tadi habis penerbangan langsung dari Balikpapan. Aku aja yang nyetir."

Mengalah, Pradipta mengangguk dan mengikuti Laras ke bangku penumpang.

"Koper sama tas kalian di mana?" tanya Laras setelah menyadari anak dan mantan suaminya itu tidak membawa apa-apa.

"Udah kita taruh di hotel sebelum ke sini tadi."

"Papa nggak nginep di rumah?" tanya Renjana dari bangku belakang.

"Nggak dong, Sayang," jawab Pradipta tersenyum.

Mereka akhirnya menuju tempat makan yang lokasinya tidak jauh. Bukan restoran mewah tapi depot ayam bakar kesukaan Juan dan Ren. Sambil menunggu menu pesanan mereka siap, mereka mencari tempat duduk yang nyaman.

"Selamat ya, atas nilai terbaiknya, ini hadiah dari Papa," Pradipta mengeluarkan sebuah amplop dari sakunya.

"Ya ampun Papa! Ini beneran buat aku?" tanya Renjana setelah melihat lima buah voucher belanja dengan nilai luar biasa dari merk-merk favoritnya. Ada sepatu, tas, pakaian, juga lainnya.

"Iya, buat kamu belanja itu. Ada sepatu keluaran terbaru yang kamu inginkan loh."

"Ren seneng! Thank you, Papa!" Renjana memeluk lengan sang papa dengan senyum lebar  di bibirnya.

"Ini dari gue," kali ini Juan mengeluarkan sebuah kotak dari tas pinggangnya.

"Ih, Juan sok sweet, deh," Renjana menggoda sang kakak lalu membuka kotak hadiahnya.

"Yeay! Jam tangan baru! Pasti minta dari Papa, kan?"

"Enak aja! Gue beli pakai duit tabungan gue sendiri, ya."

Semuanya tertawa melihat reaksi Juan. Ren selalu berhasil menggodanya.

"Iya deh, makasih Juan. Sayang Juan banyak-banyak deh."

"Mama nggak siapin hadiah nih, gimana?" tanya Laras pada putranya itu.

"Hm ... Mama nih, padahal Juan dan Papa repot-repot bawa hadiah."

"Ya gimana, kamunya ngambek sih,"

"Iya juga, nggak apa-apa deh. Ren udah bahagia kok, Mama nggak usah kasih apa-apa buat Ren."

"Beneran nggak apa-apa? Nanti ngambek lagi?" goda Laras yang disusul tawa Juan dan Pradipta serta cibiran Renjana.

Menu yang dipesan akhirnya siap, dan menghentikan pembicaraan mereka sementara, kemudian mereka mulai menikmati hidangan.

"Kangen ayam bakar di sini," celetuk Juan.

"Di sana kan ada yang jual juga, Kak."

"Rasanya beda Ma, enakan di sini."

Makan malam bersama yang sangat jarang bahkan bisa dihitung dengan jari bagi mereka melakukannya. Renjana adalah orang yang paling senang, raut bahagia itu begitu tetpancar di wajahnya, garis senyum tak lepas dari bibirnya.

Jika di lihat dari sudut pandang orang lain, tak akan ada yang percaya bahwa keluarga mereka tidak utuh, cacat. Tidak tampak bahwa Pradipta dan Laras sudah tak memiliki ikatan hubungan lagi. Keduanya bersikap seperti semua baik-baik saja dan menjalankan peran mereka sebagai orang tua dengan sangat baik.

'Keluarga sempurna' itu yang dipikirkan oleh orang-orang yang melihat mereka.

"Kamu langsung balik ke hotel, apa mampir dulu ke rumah?" tanya Laras saat mereka sudah keluar dari tempat makan.

"Langsung ke hotel aja deh, besok aku mampir ke rumah."

"Papa kenapa nggak nginep di rumah aja sih? Aku kan pengennya kita barengan, kangen ini, Pa," protes Ren yang kini menggandeng erat lengan Papanya.

"Nggak bisa dong, Nak. Besok Papa ke sana deh, kangen-kangenan besok aja sepuasnya," Pradipta mengelus pelan kepala Renjana.

"Ma, aku pergi nginep sama Papa boleh?"

"Kalau gitu, gue yang pulang sama Mama," jawab Juan.

Laras tampak berpikir sebentar mendengar permintaan anak-anaknya itu. "Ya sudah, kalau itu mau kalian. Besok pagi biar kamu sama Papa dijemput Pak Jono. Kakak pulang sama Mama sekarang."

Laras lalu mengemudikan mobilnya menuju hotel tempat Pradipta menginap, menunggu sebentar di lobi saat Juan mengambil kopernya.

"Ren, kamu beneran nggak mau hadiah dari Mama?" tanyanya sekali lagi.

"Nggak deh, Ma,"

"Yakin?"

Agak ragu Ren berpikir sebelum menatap ke arah Papanya sebentar. "Nggak usah Ma, Ren berterima kasih karena Mama udah tepatin janji untuk ajak Papa datang ke wisuda Ren."

Laras dan Pradipta hanya tersenyum mendengar jawaban Ren.

"Kamu yakin nggak mau ini juga?" tanya Laras yang kemudian mengirimkan sesuatu pada aplikasi pesan putranya itu.

Ren membuka chat dari sang mama dan kemudian matanya membulat tak percaya.

"Mama! Ini beneran?" tanyanya histeris tak percaya.

Laras mengangguk. "Iya, Mama izinkan kamu ambil kuliah di universitas yang kamu inginkan. Mama udah urus semua berkasnya dan itu tinggal kamu isi dan submit aja."

Renjana tidak bisa menahan kebahagiaannya langsung menghambur memeluk sang mama erat. Bahkan dia tidak malu karena menangis sekarang.

"Mamaaa~ makasih! Ren nggak tahu harus bilang apa selain makasih!"

"Iya, sama-sama. Maaf ya, Mama sempat egois dan nggak mikirin perasaan kamu."

Ren mengangguk di bahu sang mama mengusap air mata bahagianya. Dia sudah hampir berputus asa, tidak ingin memaksa dan berharap pada keputusan mamanya. Dia sudah pasrah dengan apa yang diputuskan untuknya. Tapi ternyata Tuhan lebih sayang dan mengabulkan keinginannya. Mengubah keputusan mamanya.

Ren bahagia, sangat bahagia.

"Apa nih, kok tiba-tiba ada acara pelukan dan nangis segala?" Juan yang datang dengan kopernya tersenyum menggoda sang adik.

"Udah sini, Mama tuh punya gue, selama gue di Surabaya," ucapnya pura-pura menarik sang mama dan membuat adiknya itu mencebik kesal.

"Ma, Ren bahagia. Makasih ya, Ren sayang Mama, Ren sayang kalian semua."

Semoga apa yang terjadi hari ini bukan puncak dàn akhir kebahagiannya, melainkan ada banyak kebahagiaan di depan sana yang menunggunya.

.
.
.

Bersambung.

.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro