Bab 12. Keluarga dan Sebuah Rencana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Boleh banget vote dan komen, ya.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕

.
.
.

Sebenarnya ini sudah lebih dari pukul 8 malam dan terlalu larut untuk disebut makan malam. Tapi dapur yang biasanya terlihat sepi itu, sekarang begitu sibuk.

Juan duduk di meja makan memperhatikan bagaimana Ren bersikap manja dengan mengekori sang Mama yang menyiapkan peralatan makan, sementara Papanya mengeluarkan satu persatu makanan yang tadi dibeli ke atas meja.

Juan tersenyum, hatinya menghangat karena pemandangan ini sudah sangat lama ingin dia lihat. Pemandangan yang biasa saja bagi orang lain, namun begitu sulit dia dapatkan sejak orang tuanya bercerai.

"Kak, bantuin Papa dong," tegur Pradipta yang melihat putra sulungnya itu melamun.

"Eh, iya, Pa."

Juan bangkit dari posisi duduknya untuk membantu sang Papa sementara Mamanya menata peralatan makan.

"Mama, nginep lama kan di sini?" tanya Ren yang masih mengekor di belakang mama nya.

"Mama di sini hanya dua hari. Karena Mama ada pekerjaan di Seminyak besok lusa."

"Yah, Ma ... Kenapa cuma dua hari? Mama nggak kangen sama aku dan Juan? Seminggu ya, Ma?"

"Nggak bisa, Ren. Mama ke sini lagi kalau pekerjaan Mama longgar, okay?"

Yang ditanya hanya mencebik tanpa memberikan jawaban, lalu duduk di samping kakaknya.

"Kamu langsung ke Bali setelah dari sini?"

"Iya, Mas. Nanti dijemput sama Haris."

Pradipta mengangguk mendengar jawaban Laras. Lalu, setelah semuanya siap mereka kemudian makan bersama. Suasana berbeda dirasakan oleh masing-masing, yang jelas ada perasaan hangat di hati Pradipta, Juan, dan Renjana karena kehadiran Laras bersama mereka.

Selesai makan, Juan dan Renjana menunggu santai di ruang tengah, menonton film yang mereka pilih dari Netfilm, sementara Mama dan Papa mereka membersihkan dapur.

"Sebenernya aku bisa nginep di hotel aja, sih, Mas. Aku nggak enak di sini."

Pradipta yang sedang menyusun piring bersih di rak, menoleh menatap Laras dengan tatapan sendu.

"Kamu nggak enak sama siapa? Cuma ada aku sama anak-anak, Laras."

"Ya, nggak enak sama tetangga kamu. Masa mantan istri nginep di rumah mantan suaminya?" jawab Laras lirih, merasa tak enak pada Pradipta.

Mengeringkan tangannya dengan lap, Pradipta menghela napas panjang dan bersandar di meja makan menatap Laras.

"Kenapa kamu mikirin hal-hal kayak gitu? Memang apa salahnya? Kamu ke sini untuk anak-anak, kan? Kalau kamu menginap di hotel, lalu gimana dengan anak-anak? Lagipula, kamu di sini cuma dua hari. Nikmati waktu kamu dengan anak-anak."

"Tapi, kan, Mas ...."

"Laras, jangan keras kepala untuk hal-hal seperti ini. Nggak ada yang salah dengan kamu tinggal di sini. Di sini ada anak-anak, jika hanya kita berdua yang tinggal serumah, baru itu disebut salah," ucap Pradipta mengakhiri pembicaraan mereka.

Laras terdiam, menatap punggung Pradipta yang sudah berjalan menuju ruang tengah menyusul kedua anaknya.

Sebenarnya dari dalam hatinya pun, Laras tidak masalah dengan menginap di sini. Tetapi dia tidak ingin Pradipta menjadi omongan buruk tetangga karenanya. Dia tidak mau menyusahkan Pradipta. Mantan suaminya itu sudah terlalu baik padanya meski status mereka sudah berpisah.

"Maaa! Belum selesai ya? Kok lama?" teriak Ren dari ruang tengah.

"Nggak, Sayang. Mama sudah selesai, kok," jawab Laras yang kemudian buru-buru berjalan ke ruang tengah.

"Sini, Ma. Duduk deket aku," Ren  menepuk-nepuk sisi sofa di sampingnya. Laras kemudian duduk di antara Juan dan Renjana yang langsung mendekat dan memeluknya.

"Apa ini? Kalian kenapa?" tanya laras heran dengan sikap kedua anaknya yang tiba-tiba manja. Dia sudah biasa melihat sikap manja Renjana, tetapi Juan? Selama ini anak sulungnya itu jarang bersikap manja dan lebih sering bersikap dewasa.

"Kangen. Seneng dan nggak percaya, tiba-tiba Mama di sini," jawab Juan yang kini memeluk lengan kiri Laras dan bersandar di bahu sang mama.

"Iya, Ren juga kangen. Banget malahan. Kok Mama nggak cerita dulu kalau mau ke sini?"

"Mama juga kangen kalian." Laras mengusak kepala keduanya dengan sayang. "Biar kejutan aja, Mama datang untuk jenguk kalian."

"Mama nggak mau tinggal di sini aja sama kita?" Renjana melepaskan pelukannya dan menatap mamanya dengan wajah memelas.

"Kamu kan di sini sama Papa, harus belajar mandiri. Lagipula, Mama akan sering-sering datang mengunjungi kalian nanti."

Ren masih menampakkan wajah cemberutnya, sementara Juan hanya tersenyum-senyum melihatnya.

"Kehadiran Papa untuk kalian masih kurang, ya? Maaf ya, karena Papa juga sering lembur dan ninggalin kalian berdua." Pradipta yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya itu kini meletakkan smartphone-nya dan menatap ketiganya.

"Kamu jangan terlalu nurutin Ren, Mas. Dia harus mandiri, biasanya Juan juga sendirian kalau kamu kerja, setidaknya sekarang ada Ren, iya, kan?"

"Iya, sih, Ma. Juan nggak apa-apa, kok."

"Tuh, kamu harus nemenin kakak kamu, jangan melakukan hal yang ndak baik dan bikin Papa sama kakakmu kesulitan. Paham, kan, anak gantengnya Mama ini?" Laras mencubit hidung Ren dengan gemas lalu menarik bungsunya itu dalam pelukannya.

"Ndak usah cemberut gitu, jelek, gantengnya ilang. Tapi memang gantengan Juan sih, dari dulu," goda Laras yang membuat sulung dan Pradipta tertawa sementara si bungsu makin cemberut.

"Ih! Mamaaa!"

"Besok mau ikut ke kampusku dan Juan, nggak, Ma?"

"Ngapain? Kamu mau dianterin?"

Tanpa ragu atau malu-malu, Ren mengangguk mengiyakan. Dia ingin menunjukkan kampus impiannya itu pada sang Mama.

"Boleh, deh. Besok Mama anterin kalian berdua."

"Sekalian nanti Papa anterin juga."

"Beneran, Pa?" tanya Ren antusias menatap sang Papa.

"Iya, mumpung Mama kalian di sini."

"Yey!" Sorak Ren begitu keras membuat orang tua dan kakaknya, menatapnya dengan gelengan kepala.

"Dasar bocah! Gue ragu lo udah mahasiswa, beneran deh, kelakuan lo kayak anak SD," cibir Juan pada adiknya yang mendengus dan balas menatapnya kesal.

"Terserah aku! Emangnya salah kalau aku kesenengan?"

"Ya, nggak. Tapi sikap lo itu jauh banget dari dewasa, bisa dicengin temen kalo lo kayak gini ntar."

"Udah ah, kumat kan berantemnya," tegur Laras lembut menatap pada Ren yang sudah siap membalas kata-kata Juan padanya.

"Segede apapun kalian nanti, kalian bebas menjadi anak-anak di depan Papa sama Mama. Karena sampai kapanpun, kalian tetap seperti anak-anak buat Mama sama Papa, iya kan, Mas?"

"Iya, kalian akan tetap anak-anak ganteng dan nakalnya Papa. Tapi, kalian juga harus bisa menempatkan diri. Kalian bisa bersikap seperti ini di rumah, tetapi kalian harus bijak dan dewasa di lingkungan luar yang memang menuntut kalian bersikap selayaknya usia kalian. Sampai sini, paham kan, maksud Papa?

"Paham, Pa."

"Iya, Pa."

Keduanya saling melirik sebelum kemudian pamitan untuk tidur pada orang tua mereka. Besok mereka ada kelas pagi, jadi mereka harus cepat istirahat.

Sementara Laras memilih untuk membuat kopi untuknya dan Pradipta yang sepertinya akan mengecek pekerjaannya.

"Ren nggak aneh-aneh selama di sini, kan, Mas?" tanya Laras sambil menyodorkan segelas kopi yang selesai dibuatnya itu pada Pradipta.

"Nggak ada, dia baik-baik aja. Lagian, dia nggak semanja yang selalu kamu bilang."

"Masa? Di rumah dia ngalem pol, sama aku, sama Bi Marti juga."

"Mungkin karena kamu Mamanya. Jadi dia ngerasa lebih bebas manja-manja. Kalau sama aku agak jaim kayaknya," jawab Pradipta tersenyum sambil menyesap kopinya pelan.

"Tapi aku liat, dia rajin dan seneng banget di sini. Yah, berantem sama Juan udah jadi kegiatannya sekarang. Aku harus membiasakan diri dengan hal itu, aku seneng liat anak-anakku bisa sama-sama."

Senyum tipis terlukis di bibir Laras mendengar ucapan Pradipta. "Mas, makasih ya. Untuk semua yang udah kamu lakukan untuk aku sama Ren."

"Jangan terus bilang makasih, Laras. Sudah seharusnya aku melakukan hal ini. Aku udah bikin kamu dan Ren nggak bahagia, maaf, ya?"

"Aku bahagia kok, Mas. Kamu nggak perlu merasa bersalah. Aku merasa bersalah sama Juan karena dia nggak bisa sebebas Ren untuk punya waktu sama aku. Kamu juga udah jagain Juan dengan baik, Mas. Sekali lagi, aku bilang makasih. Jangan balas ucapan aku," sahut Laras saat melihat Pradipta hendak menjawab.

Keduanya lantas terdiam, sibuk mengatur isi kepala masing-masing. Tentang hati mereka, pertanyaan dan pemahaman yang silih berganti muncul dalam diri keduanya.

"Besok mau kemana?" tanya Pradipta mengubah topik pembicaraan mereka.

"Kemana ya? Aku lama nggak ke Jakarta sih, ya."

"Iya, kamu sibuk terus, sih. Aku sama Juan aja harus sering ke Surabaya untuk ketemu kamu sama Ren," goda Pradipta membuat Laras tertawa kecil.

"Iya, maaf. Mulai sekarang, aku yang akan sering-sering ke sini untuk ketemu kalian."

"Beneran ya? Kudu sering loh, ntar Ren sama Juan ngamuk kalau kamu nggak datang."

"Iya, pasti, Mas."

***

"Kedengeran nggak sih? Awas lo ntar ketahuan!" bisik Juan di telinga Ren yang sedang fokus mendengar suara orang tua mereka.

Keduanya sedang berjongkok setengah merunduk di ujung tangga teratas. Sedang mengintip dan berusaha mendengar percakapan Mama dan Papanya.

"Mereka lagi ngomongin kita kayaknya, tapi nggak jelas, ih!"

Juan menghela napasnya pelan, menatap adiknya yang super kepo itu dengan tatapan pasrah pada apa yang diinginkan adiknya itu.

"Dosa banget kita nguping begini. Tidur, yuk!"

"Bentarrr! Nggak dosa, Juan. Bentar lagi." Ren menangkap pergelangan tangan Juan sebelum kakaknya itu beranjak pergi.

"Gimana kalau kita bikin rencana supaya Mama sama Papa seharian bersama?"

"Rencana apa?"

Dengan senyuman jahil di bibirnya, Ren menatap kakaknya itu antusias. Kilatan penuh semangat di matanya memberi sinyal pada Juan bahwa apapun yang direncanakan oleh adiknya itu pasti bukan sesuatu yang biasa.

Bersambung.

.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro