Bab 11. Mama dan Kejutannya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Boleh banget vote dan komen, ya.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading!

.
.
.

Pagi yang cukup sibuk bagi Laras, karena dia harus segera berangkat ke Solo jam 7 pagi, Bi Marti yang tidak diberitahu sebelumnya tentu saja sedikit terburu-buru menyiapkan keperluannya.

"Kok, ndak bilang dulu to Cah Ayu? Mbok ndak tau kalau kamu berangkat pagi, tau gitu semalam Mbok nginep di sini menemani kamu," ucap Mbok Marti yang mengemas bekal makanan ke dalam wadah.

"Mbok, aku ini mau perjalanan kerja loh, bukan rekreasi," ucap Laras tersenyum heran melihat Bi Marti membawakannya bekal yang lumayan banyak.

"Ya, kamu perginya ke Solo. Perjalanane paling ndak 3 jam, terus nanti kalau lewat tol, kan ndak bisa berhenti nyari makan. Kalau bawa ini nanti bisa kamu makan di jalan. Wong kamu sekarang yo ndak mau sarapan to, Cah Ayu?" Bi Marti terus mengomel, mengabaikan keluhan Laras yang sebenarnya tidak mau merepotkan Mboknya itu.

Bi Marti sudah seperti ibunya sendiri karena mengurusi Laras sejak muda. Dulu, Bi Marti bekerja pada orang tua Laras sebelum mereka memutuskan pindah ke Bali. Lalu akhirnya mengikuti Laras setelah dia bercerai dengan Pradipta.

Laras sendiri selalu menyukai semua perhatian dan kasih yang diberikan Bi Marti padanya. Apalagi Bi Marti megurusnya dan Renjana dengan sepenuh hati seperti keluarga.

Ketukan di pintu depan menginterupsi kegiatan mereka, membuat keduanya menoleh ke arah pintu lalu melihat sosok yang sudah tidak asing di rumah ini sedang berjalan masuk dengan santainya.

"Sugeng enjing, Mbok," sapa pria yang kini tersenyum menghampiri Bi Marti itu.

"Eh, Mas Haris. Sugeng enjing, Cah Bagus," jawab Bi Marti yang tersenyum lebar pada Haris.

Haris Wirangga, sahabat yang juga menjadi kepala divisi pemasaran di kantor Laras. Orang yang keberadaannya sudah tidak asing lagi di rumah ini, karena Haris sering datang dan meluangkan waktunya ke rumah ini.

"Widih, banyak banget bekalnya. Mau juga dong, Mbok," ucap Haris yang memandangi masakan Bi Marti dengan tatapan lapar.

"Ndak usah diminta, wes mesti Mbok siapin buat kamu juga. Wes sarapan apa belum, Cah Bagus? Mau diambilin?" tawar Bi Marti cekatan pada Haris.

"Sarapan bekal itu aja, Mbok. Banyak banget itu," ucap Laras yang kemudian merangkul lengan Bi Marti dengan sayang. "Kalau Haris disuruh sarapan, nanti aku telat sampe sana," tambahnya menjelaskan.

Haris menatap Laras dengan mencibir. "Yowes, Mbok. Nanti aku makan bekalnya aja. Sama Bu Bos nggak boleh sarapan dulu."

Laras melempar tatapan kesal pada Haris yang hanya ditanggapi dengan tawa ringan dari pria yang selalu bersedia menemaninya kemana-mana itu. Lantas, keduanya bersiap dan tak lupa membawa bekal yang sudah disiapkan oleh Bi Marti.

"Nduk, nanti jadi mampir ke tempat Den Bagus dulu, kan? Bilangin ya, Mbok kangen dia di rumah. Sepi rasanya," ujar Bi Marti pada Laras dengan tatapan dan suara yang rindu pada Renjana yang sudah seperti cucunya sendiri.

"Iya, Mbok. Semoga kerjaannya lancar jadi aku bisa tepat waktu ke tempat Ren. Nanti aku salamin semua yang Mbok bilang ke dia." Laras memeluk Bi Marti dengan hangat untuk berpamitan, begitu pula Haris yang salim dan mencium tangan Bi Marti sebelum berangkat.

Lalu keduanya memasuki mobil dan memulai perjalanan panjang mereka. Meninggalkan Bi Marti yang masih berdiri di depan rumah menunggui sampai mobil mereka tak lagi tampak di belokan.

***

"Abis dari Solo beneran langsung ke Jakarta?"

Laras yang sejak tadi sibuk mengecek email laporan di tab-nya itu, menoleh pada Haris.

"Iya, aku mau cek keadaan Ren. Meski dia baik-baik aja, tapi aku was-was karena kamu tahu sendiri, dia di rumah manjanya kayak apa. Aku takut dia ngrepotin Mas Pradipta."

Haris tersenyum mendengar jawaban Laras. Dia tahu betul bahwa Laras tidak tega jauh dari Renjana.

"Mau stay berapa hari di sana? Pulangnya kujemput?" tawarnya.

"Cuma dua hari di sana, kita ada jadwal ke Seminyak, kan?"

"Iya, sih. Ya, jaga-jaga kalau kamu extend lama di sana. Aku bisa handle sama Arya nanti."

"Nggak, aku bakalan pulang setelah dua hari. Lagian aku nggak mau kelihatan over protektif di depan Ren."

"Yakin? Bukan karena Pradipta?"

Laras refleks memukul lengan Haris setelah mendengar ucapan sahabatnya itu. Dia paham, Haris selalu menggodanya dengan masa lalunya bersama Pradipta.

"Diam kamu, Ris. Fokus nyetir, nanti aku gantiin kalau kamu capek."

"Asik, nih! Disetirin sama Bu Bos," kelakar Haris yang akhirnya mendapat satu pukulan lagi di lengannya dari Laras.

Keduanya selalu seperti ini, kadang bersikap layaknya sahabat di saat-saat yang diperlukan. Lalu mereka akan bersikap profesional selayaknya atasan dan bawahannya saat mereka mulai bekerja. Laras maupun Haris tidak pernah mencampur kehidupan pribadi mereka dengan pekerjaan. Karena itulah kerja sama diantara mereka sangat solid di mata orang lain. Dan itu yang membuat semua proyek mereka berhasil.

***

Pradipta mengecek ponselnya beberapa kali, sebelum kemudian menghela pelan dan melanjutkan pekerjaannya lagi.

Hal itu sudah berulang sejak dua jam yang lalu. Sekarang pukul menjelang malam, seharusnya Laras sudah tiba di Jakarta mengingat perjalanan Solo-Jakarta hanya memakan waktu 1 jam 14 menitan saja, tapi kenapa mantan istrinya itu belum memberi kabar?

Laras sudah memberitahunya sejak satu minggu yang lalu setelah kepindahan Renjana, bahwa dia akan datang berkunjung setelah perjalanan bisnisnya dari Solo. Penerbangan yang diberitahukan adalah sore tadi, yang seharusnya sudah sampai sekarang.

Ketukan di pintu ruangannya, mengagetkan Pradipta.

"Nggak pulang? Udah nggak ada jadwal lagi, kan?" tanya seorang wanita muda yang kini berjalan menghampiri Pradipta lalu duduk di kursi ruang tamu, menatapnya dengan penasaran.

"Pulang, tapi sebentar lagi. Aku masih harus ngecek sesuatu," jawab Pradipta yang kemudian melanjutkan pekerjannya. Sementara wanita di hadapannya itu mengembuskan napas panjang.

"Beberapa waktu lalu kamu bilang, akan cepat pulang kalau udah nggak ada kerjaan. Karena ada anak bungsu kamu di rumah. Terus ngapain sekarang mendadak lembur?" tanya wanita bernama Serin itu menuntut.

Dia adalah sekretaris Pradipta, yang juga adalah teman kuliahnya dulu. Serin dekat dengan Pradipta dan keluarganya, dia juga tahu bahwa Pradipta adalah seorang duda dengan dua orang anak.

"Nggak lembur, Ser. Cuma ngecek dikit ini. Sebentar lagi selesai, kok. Kamu sendiri kenapa nggak pulang?"

"Aku mau ajak kamu dinner, sebenernya."

"Hah? Kenapa mendadak? Tapi aku nggak bisa, maaf, Ser," jawab Pradipta merasa tidak enak hati pada Serin yang tiba-tiba mengajaknya makan malam.

Tak lama kenudian, ponselnya berdering, yang dengan cepat langsung dijawabnya setelah caller id Laras tertera di layarnya.

"Halo? Laras, kamu sudah sampai?"

'Mas. Maaf baru ngabarin. Tadi pesawatnya delay, jadi aku nunggu dan ponselku habis baterai.'

"Kamu sekarang di mana? Kamu nggak apa-apa?"

'Iya, nggak apa-apa. Ini baru sampai, aku mau keluar bandara kok.'

"Kamu jangan kemana-mana, aku jemput sekarang." Pradipta segera mengemasi berkas di atas mejanya dengan cepat, merapikannya, lalu menyimpannya, dan menyambar jas di gantungan pakaiannya.

'Nggak usah repot-repot, Mas. Aku bisa naik taksi. Alamat rumah kamu masih sama, kan?'

"Laras, jangan naik taksi atau apapun. Aku jemput sekarang, kamu tunggu. Okay?"

Terdengar helaan napas pelan dari ujung telepon sebelum Laras menjawab, 'Iya, aku tungguin. Hati-hati di jalan.'

"Mbak Laras mau ke sini?"

Pradipta menyambar kunci mobil dari dalam lacinya dengan terburu lalu menoleh ke arah Serin.

"Ser, maaf banget. Aku harus pergi sekarang, kamu pulang sendirian nggak apa-apa, kan?"

Serin terdiam beberapa saat sebelum melempar seulas senyum pada Pradipta. "Ada mantan istri, sih. Pantesan kamu nolak ajakan dinner dari aku."

"Bukan begitu, Ser. Waktunya aja mungkin nggak tepat. Lain kali kita bisa makan bareng. Aku duluan, bye, Ser."

Lalu tanpa menoleh lagi, Pradipta melangkah cepat keluar dari ruangannya meninggalkan Serin yang menatap kepergiannya dalam diam.

"Waktunya memang selalu nggak tepat, Dipta," gumamnya sebelum bangkit dari duduknya lalu keluar dari ruangan Pradipta.

***

Pradipta baru berniat menyusuri area bandara, saat maniknya menangkap sosok familiar yang duduk di kursi tunggu dengan diam. Lalu tersenyum tipis melambai ke arahnya.

"Maaf, nunggu lama."

"Nggak apa-apa, aku yang minta maaf karena ngrepotin kamu."

"Sama sekali nggak repot. Ayo, naik, kayaknya mau hujan karena mendung dari sore."

Pradipta membuka pintu untuk Laras, lalu dengan sigap memasukkan koper Laras ke bagasi.

"Kamu mau mampir makan dulu nggak?"

"Take away aja, boleh? Nanti makan di rumah."

"Oh, oke kalau kamu mau nya begitu."

"Kamu nggak bilang ke anak-anak kalau aku datang, kan?" Laras menoleh menatap Pradipta yang fokus menyusuri padatnya lalu lintas ibukota di depan mereka. Pradipta menoleh sekilas lalu tersenyum.

"Nggak, kok. Kan kamu bilang mau bikin kejutan sama mereka. Jadi, ya aku nggak bilang."

"Makasih," Laras tersenyum menatap jalanan, "Kalau gitu kita beli makanan kesukaan Juan sama Ren, ya, Mas?"

"Iya, Laras."

Sebenarnya Pradipta kini sedang menahan dirinya setengah mati untuk menetralkan degup jantungnya yang sudah tidak karuan sejak di bandara tadi. Mungkin Pradipta terlalu pandai menyimpan perasaan dan mengendalikan ekspresi wajahnya, sehingga tak ada yang tahu bahwa dia masih sangat mencintai mantan istrinya itu.

Iya, dia masih mencintai Laras. Bahkan tak pernah sekalipun dia tidak menyukai wanita yang duduk disampingnya itu. Namun, perasaannya tidak penting, dia bisa melakukannya diam-diam. Yang penting Laras bahagia, maka Pradipta akan menuruti keinginannya.

***

Ren sedang rebahan selonjoran di sofa mempelajari informasi kampus di ponselnya, sementara Juan sibuk dengan tugas kuliahnya dan duduk di karpet bawah sementara dia fokus pada layar laptopnya.

"Juan, kok Papa belum pulang? Tadi emang pamit lembur, ya?"

"Hm? Nggak, kok."

"Udah jam 7 lewat tapi Papa belum pulang, aku lapar."

"Bukannya tadi udah makan omelet?"

"Itu beda, itu camilan. Kan kita belum makan malam, pengen makan bareng Papa tapi belum pulang."

Juan melirik Ren yang ada di depannya itu. Adiknya itu masih sama, suka merajuk, terbukti dari alisnya yang kini merengut juga bibir mengerucut kesal, meski mata dan tangannya masih sibuk dengan ponselnya.

"Mau keluar cari makan?" tawar Juan pada akhirnya, dia tidak tega melihat Ren begitu.

Renjana meletakkan ponselnya, menatap Juan sesaat lalu mengangguk.

"Yaudah, lo ambil jaket sana. Gue panasin motor dulu." Juan mematikan laptopnya lalu beranjak menuju garasi samping setelah mengambil kunci dari laci meja tv.

Ren berlari kecil ke arah tangga menuju kamarnya di lantai atas, mengambil jaketnya seperti perintah Juan. Lalu buru-buru menyusul Juan ke depan.

"Mau makan apa?"

"Mekdi aja yuk!"

"Nggak! Makan yang bener atau gue aduin ke Papa."

"Dih, aduan banget."

Tepat saat Ren membuka gerbang untuk keluar, sorot mobil yang baru datamg menyilaukan keduanya. Mereka melihat mobil sang Papa, tapi sepertinya Papa nya tidak sendirian.

Mengernyit silau, Ren mundur lalu setelah lampu mobil dimatikan, dia menghampiri Juan yang masih di atas motornya.

Papa nya turun lebih dulu, lalu pintu penumpang terbuka dan sosok yang tak mereka duga muncul, ikut turun dengan senyuman cantik pada keduanya.

"Mama?" ucap keduanya bersamaan dengan bingung, lalu Ren malangkah mendekat dan langsung memeluk erat sang Mama.

"Kok, Mama di sini? Tiba-tiba banget! Ini beneran, Mama, kan?"

"Iya, Sayang. Ini Mama."

Juan yang sudah turun dari motornya kemudian bergabung memeluk sang Mama.

"Ma, kenapa nggak bilang dulu kalau mau datang? Juan nggak menyangka Mama tiba-tiba di sini."

"Maaf, ya? Mama mau bikin kejutan untuk kalian soalnya, jadi nggak bilang-bilang dulu. Kejutan Mama berhasil, kan?"

Laras tersenyum senang karena berhasil memberikan surprise untuk anak-anaknya.

"Aku seneng banget Mama ke sini! Kangen!" Ren masih bergelayut manja di lengan sang Mama sementara Juan tersenyum di sisi satunya.

"Ini Papa diabaikan, ceritanya?"

Ketiganya menoleh pada sang Papa yang baru mengeluarkan koper dan barang bawaan.

"Sini deh, Pa! Ikut pelukan!"

"Kamu yang ke sini bantuin Papa. Ini banyak loh yang harus dibawa.

Mereka tertawa, kemudian Juan membantu sang Papa membawa koper sementara Renjana membawakan paper bag berisi makan malam mereka.

"Kalian mau kemana?" tanya Laras begitu mereka sudah masuk di dalam rumah.

"Tadi mau beli makan malam, Ma. Itu Ren udah merengek melulu. Juan kan sebagai kakak yang baik jadi nggak enak," jawab Juan sengaja menggoda Renjana.

"Kapan aku merengek? Nggak, ya!" bantah Renjana yang kemudian mengerucutkan bibirnya kesal dan menyandarkan kepalanya di bahu sang Mama.

"Nah, kayak gitu tuh, Ma, kelakuannya. Nggak merengek tapi ngambekan!" ejek Juan yang kemudian berlari ke dapur disusul Ren yang berteriak-teriak sampai berisik di seisi rumah. Meninggalkan Laras dam Pradipta yang tertawa melihat kelakuan anak-anaknya.

.
.
.

Bersambung.
.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro