Bab 10. Rumah Papa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Boleh banget vote dan komen, ya.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading!

.
.
.

"Selamat datang, di rumah!" Pradipta tersenyum sambil membuka kunci pintu, satu tangannya yang lain menyeret koper.

Di belakangnya ada kedua putranya, Juan dengan ekspresi biasanya, sementara Renjana sudah tersenyum lebar.

"Yes! Akhirnya aku tinggal di rumah Papa!" ucapnya yang kemudian merebahkan tubuhnya di atas sofa dengan senang.

Pradipta hanya bisa menggeleng melihat kelakuan putra bungsunya itu. "Seneng?"

"Iya, dong! Akhirnya!"

Juan mendecak melihat kelakuan Adiknya itu, lalu ikut merebahkan diri di sofa. "Capek, laper. Kenapa tadi nggak mampir beli makan, ya, Pa?"

"Kamu minta cepat pulang."

"Tapi sekarang laper, Pa. Aku delivery aja, ya?" Juan meraih ponsel di saku celananya.

"Terserah kamu, Papa masak juga nggak masalah," jawab Pradipta.

"No. Papa capek, mending delivery. Aku kepengen sate ayam. Papa mau apa?"

"Di tanya dulu, Adeknya itu mau apa."

Juan mendongak dari posisi rebahannya, meringis melihat Ren yang sudah merengut padanya.

"Sorry, gue lupa." Juan meringis lebar menatap sang Adik. "Lo kepengen makan apa?"

"Mau soto betawi sama sate. Eh, ada 'kan, ya?" jawab Ren bingung menatap Papanya.

"Ada, biar di pesen sama Juan. Yakin mau makan itu? Nggak mau yang lain?" tanya Pradipta pada bungsunya.

"Itu aja deh, Pa. Mau yang seger-seger."

"Iya udah, kalau kepengen apa-apa nanti bilang sama Papa, ya?"

"Siap, Papa!" Ren tersenyum lebar sambil mengangkat tangannya dengan pose hormat pada si Papa.

"Ini Papa makannya di samain aja, ya? Biar nggak lama nunggunya," tanya Juan yang masih sibuk dengan aplikasi delivery-nya.

"Iya, samain aja."

Pradipta menatap kedua putranya tampak berpikir sebentar, "Ren, karena kepindahan kamu termasuk mendadak, Papa belum beresin kamar kamu. Sementara tidur berdua di kamar Juan, ya? Biar besok Papa panggil tukang buat beresin sama isi perabotan baru."

"Iya, Pa. Nggak apa-apa, kok. Sekamar sama Juan juga nggak masalah," jawab Ren yang memang tidak keberatan. Dia sudah sangat senang bisa tinggal bersama Papa dan Kakaknya.

"Gue yang keberatan. No. Kalau beberapa hari nggak apa-apa, sih."

"Kok, Juan gitu?"

"Gue inget ya, sama kebiasaan tidur lo yang jelek itu. Gue nggak mau ketendang setiap hari."

Ren meringis mendengar penuturan sang Kakak. Iya, sih, tidurnya berantakan.

"Nggak lama, besok Papa beresin kamarnya."

"Iya, Pa."

"Ya, sudah. Sambil nunggu, beresin barang kalian dulu terus mandi. Nanti setelah makan, kita pergi nyari keperluan kamarnya Ren sama keperluan kampus kalian," perintah Pradipta yang langsung dituruti oleh keduanya. Beranjak dari posisi goletan di sofa, mereka kemudian menyeret koper mereka ke lantai atas.

"Bajuku nggak usah dibongkar, deh, Juan," ucap Ren setelah sampai di kamar Kakaknya itu.

Sementara Juan sudah membuka kopernya, mengeluarkan isinya untuk diletakkan kembali ke lemari.

"Kenapa? Masih muat kok, lemari gue."

"Ya, besok kan kata Papa udah bisa pakai kamarnya."

Mendengar itu, Juan mengangguk membenarkan. "Ya udah, lo mandi sana. Nanti gantian sambil nungguin makanannya dateng."

"Iya, bawel." Renjana mengambil peralatan mandinya lalu menghilang di balik pintu kamar mandi.

Juan menghela begitu sosok adiknya itu tak terlihat, akhirnya setelah sekian lama dia dan Ren akan tinggal bersama. Kali ini bukan hanya sebentar, bukan seperti liburan, melainkan untuk waktu yang lama. DIa senang tentu saja, tinggal bersama keluarga yang sejak dulu diinginkannya. Hanya saja, sosok sang Mama masih tidak ada dalam sketsa indah ini. Mungkin apa yang dikatakan Renjana benar, mereka harus berusaha membuat kedua orang tua mereka bersatu lagi. Toh, setahu mereka tak pernah ada masalah serius selama ini.

Iya, dia dan Ren harus berusaha menyatukan kembali keluarga kecil mereka.

"Juan."

".... hm."

"Juan, bangun... kok tidur? Mandi dulu."

Juan membuka perlahan kelopak matanya yang masih berat itu, meregangkan kedua lengannya dan melihat sosok Ren ada di sampingnya. "Hm? Gue ketiduran ya?" tanyanya pelan.

"Iya, mandi cepetan biar seger." Renjana mengeringkan rambutnya dengan handuk dan dengan sengaja membuat cipratannya mengenai sang kakak.

"Nyiprat ini!"

"Makanya mandi sana, aku tungguin di bawah sama Papa."

Dengan sisa rasa malasnya Juan bangun dan menuju kamar mandi. Dia ketiduran saking lelahnya, padahal harusnya dia menemani Ren di hari pertamanya di rumah.

***

Juan mengelus perutnya yang kekenyangan karena melahap sate ayam, soto betawi, martabak yang tadi mereka pesan.

Dilihatnya sang adik masih sibuk memakan martabak manis sementara si Papa yang sudah selesai makan dari tadi hanya tersenyum-senyum mengamati kedua anaknya makan dengan lahap.

"Kamu lapar banget apa doyan ini, Sayang?" Tanya Pradipta pada putra bungsunya yang terlihat imut di usianya yang sudah dewasa ini.

"Mm? Ren laper, ditambah lagi aku seneng bisa makan bareng Papa sama Juan. Rasanya beda, Pa." Jawab si Bungsu meringis dengan mulut penuh.

Pradipta tersenyum melihatnya, "Papa juga seneng karena kamu di sini sekarang. Anak-anak Papa kumpul."

Juan tersenyum mendengar ucapan Papanya, lalu menepuk punggung Renjana dengan iseng.

"Juaan!"

"Awas Adiknya keselek, Juan," tegur Pradipta yang hanya ditanggapi cengiran oleh Juan.

"Udah kabarin Mama kalian apa belum? Udah marah ke Papa dari tadi soalnya."

Sontak kakak beradik itu saling pandang dengan mata terbelalak menyadari kesalahan mereka.

"Lupa, Pa!"

"Astaga, Mama pasti marah besar! Aku cuci tangan dulu!" Renjana bangkit dari duduknya menuju tempat cuci piring untuk mencuci tangannya buru-buru.

Juan segera mengambil ponselnya untuk bersiap menghubungi sang Mama. Sementara Ren sudah menyusul duduk di sampingnya.

"Pa, nanti kalau Mama marahin kita, Papa belain ya," pinta Ren memelas pada Papanya.

Pradipta tertawa, "Dibelain kenapa? Kalian yang lupa ngabarin, kok Papa yang bertanggung jawab? Nggak mau ah, Papa mau cuci piring aja. Kalian ngomong sendiri."

Masih dengan tawa yang tak habis pikir pada tingkah anak-anaknya, Pradipta mulai membereskan bekas makan mereka di dapur.

Renjana dan Juandra saling pandang dengan cemas, karena panggilan mereka tak kunjung dijawab olah sang mama. Juan menggigiti kuku jempolnya menunggu dengan perasaan berdebar. Lalu kemudian panggilan video itu diterima. Tampak langit-langit kamar yang sudah mereka hapal sebagai kamar sang mama.

"Mama!"

"Hai, Ma!"

Keduanya menyapa sang mama yang tampak sedikit kesal menatap mereka.

"Oh, baru inget kalau punya Mama, nih?"

"Maaaaa...."

"Janjinya apa? Mau ngabarin begitu sampe. Apanya? Ini udah jam 9 malem."

Renjana mengerucutkan bibirnya dengan tatapan menyesal. "Maaf, Mama. Tadi beneran capek, kita langsung tidur."

"Maaf ya, Ma. Beneran kita ketiduran dan barusan dibilangin sama Papa."

"Iya, Ma. Jangan marah ya, Ma. Kita berdua emang salah, terus tadi kita sampai dengan selamat. Ini baru selesai makan malam sama Papa," jelas Ren yang membujuk dengan ekspresi penuh penyesalan pada mamanya.

Laras menatap keduanya datar lalu menghela pelan. "Ya, udah, asal kalian baik-baik aja."

"Mama udah makan?" tanya Juan yang melihat wajah lelah sang mama.

"Udah tadi pakai roti. Mama nggak sempat makan karena harus packing dan siapin kerjaan yang besok mau dibawa ke Solo."

"Makan, Ma..., kalau aku yang gitu udah habis diomeli. Sekarang Mama kayak gitu namanya nggak menjaga kesehatan. Padahal besok mau pergi ke Solo. Mama nih, sengaja begitu biar aku khawatir, ya?" protes Ren yang kesal karena sang mama melewatkan makan malam dan memilih sibuk dengan pekerjaaannya.

"Nggak, Mama belum sempat aja. Mama udah kenyang, abis ini mau istirahat aja," jawab sang mama yang terlihat lelah.

"Ya udah, kalau gitu Mama istirahat aja. Kita tutup teleponnya ya," pamit Juan yang diangguki oleh Ren.

"Kalian juga jangan begadang, cepet tidur. Terutama kamu Ren, persiapkan yang baik untuk besok. Kakak jangan main game terus, istirahat juga."

Keduanya tersenyum dan mengangguk senang karena perhatian sang mama.

"Ma?"

Laras yang baru akan mengakhiri pembicaraan, kembali menatap Ren yang memanggilnya. "Kenapa, Sayang?"

"Mama nggak ngobrol dulu sama Papa?"

Laras terdiam sebelum tersenyum simpul, "Nanti aja, udah malam. Kasian Papa juga capek." Setelahnya Laras benar-benar mengakhiri panggilan telepon dengan kedua anaknya.

Namun, sebelum benar-benar mengistirahatkan dirinya, Laras menyempatkan untuk mengirim sebuah pesan pada mantan suaminya.

.

.

.

Bersambung.

.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro