Bab 9. Hari Keberangkatan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Boleh banget vote dan komen, ya.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading!

.
.
.

Suara sibuk dari roda koper yang diseret, juga langkah kaki yang  terdengar terburu itu, mewarnai pagi dalam rumah minimalis bernuansa putih di Jalan Kenanga 17 itu. Sejak semalam Renjana sudah sibuk mengemas barangnya dalam koper untuk persiapan kepergiannya ke Jakarta bersama Papa dan Kakaknya.

Setelah pembicaraan yang cukup lama untuk membujuk Laras, akhirnya Pradipta mendapatkan izin untuk membawa putranya itu pergi bersamanya. Tentu saja Renjana sangat senang, meski Laras tampak setengah hati membantu mengepak keperluan putranya itu.

Dua hari Laras harus melakukan kunjungan kerja ke Solo, hal itulah yang membuatnya mempertimbangkan dengan berat hati dan membiarkan Pradipta membawa putranya. Karena dia pun tidak memiliki banyak waktu untuk menemani Renjana mengurus pendaftaran dan kepindahan Renjana ke Jakarta.

"Udah di bawa semua? Nggak ada yang ketinggalan, 'kan?" tanya Pradipta yang membuka bagasi mobil untuk memasukkan barang-barang Renjana.

"Kayaknya sih udah semua, Pa. Yang buat keperluan kuliah udah semua."

"Bagus deh, kalo keperluan harian nanti bisa kita beli di sana." Pradipta melirik mantan istrinya yang sejak tadi hanya diam. "Kita berangkat sekarang?" tanyanya.

"Iya, Pa!" Renjana masuk ke mobil dengan bersemangat, dia tidak sabar untuk segera berangkat.

Pradipta berjalan mendekati Laras yang masih tidak beranjak dari tempatnya berdiri. "Laras, jangan bersikap dingin begini. Nanti Renjana jadi sedih kalau kamu kelihatan nggak ikhlas dengan kepergian dia."

"Memang aku nggak ikhlas."

"Laras ...."

"Iya-iya, aku tahu. Lagi pula, Renjana udah kelewat seneng begitu. Nanti selesai dari Solo, aku pergi ke tempat kamu, Mas."

"Iya, kamu bisa datang kapan saja kamu mau."

Keduanya kemudian masuk mobil menyusul Renjana yang sudah menunggu di bangku belakang, sedang bertelepon dengan Juan. Kakaknya itu kembali ke hotel lebih dulu untuk mengambil kopernya dan sang Papa.

"Juan udah check out dan nunggu di lobi, Pa," ucap Renjana memberitahukan  situasi Juan.

"Oke, kita ke sana sekarang." Pradipta menyalakan mobil dan mengendarai mobil Fortuner hitam itu menuju hotel tempat Juan menunggu.

"Mama," ucap Renjana yang kemudian memajukan tubuhnya di antara bangku kemudi depan. "Nanti kalau Ren udah di sana, Mama sering datang, 'kan?"

Laras terdiam, menoleh menatap putra bungsunya itu. "Kamu yang harus pulang, Mama sibuk," jawabnya ketus.

"Ih, Mama! Jangan sibuk-sibuk lagi, nanti nggak ada yang pijitin Mama di rumah kalau sedang capek. Nggak ada aku di rumah," ucapnya dengan nada setengah merajuk.

Renjana sebenarnya merasa berat meninggalkan Mamanya. Rasanya kali ini tidak seperti liburan tiap kali dia pergi menginap di Jakarta. Mungkin karena liburan memiliki waktu yang pendek, sementara kali ini dia akan pergi dalam waktu yang lama hingga pendidikannya selesai.

"Ya, biarin nggak ada yang pijitin. Ada Bi Marti yang bisa mijit lebih enak dari kamu."

"Ih, padahal Mama selalu minta aku yang mijit meski ada Bi Marti."

"Biar kamu ada kerjaan."

"Mama! Kok gitu ih, jahat ...."

"Kamu juga jahat sama Mama." Laras merasa nada bicaranya terdengar ketus saat menjawab dan dia tiba-tiba merasa bersalah pada Renjana.

Keduanya terdiam cukup lama hingga Pradipta menoleh untuk melihat keadaan mereka. Dia tahu, ada perasaan berat di hati keduanya. Dan dia tidak bisa melakukan apa-apa selain membiarkan keduanya larut dalam perasaan masing-masing.

Setelah 15 menit berkendara mereka sampai di hotel tempat Juan menunggu. Pradipta turun untuk membantu putranya itu mengangkat koper dan memasukkannya dalam bagasi.

"Maaf, ya, kamu nunggu lama," ucap Laras saat putra sulungnya itu masuk ke dalam mobil.

"Nggak apa-apa kok, Ma. Nggak lama juga nunggunya," jawab Juan tersenyum lebar, kemudian menoleh pada Adiknya. "Akhirnya, bakal ngerasain tinggal bareng lo juga."

"Nanti kudu baik sama aku, awas kalo nggak," ancam Renjana.

"Tergantung, lo ngeselin apa nggak. Inget ya, gue akan awasin lo 24/7 pokoknya. Jadi, kalo lo aneh-aneh ntar gue aduin ke Mama."

"Dih, tukang ngadu."

"Biarin, gue 'kan dapat tugas dari Mama. Iya 'kan, Ma?"

Laras menoleh ke kursi belakang dan tersenyum pada kedua putranya. "Iya, Mama minta Kakak buat awasin kamu. Jangan coba-coba berlindung sama Papa kamu," ucap Laras.

"Pa ... Juan sama Mama bersekutu nih, Papa belain aku dong," rengek Renjana pada Pradipta.

"Papa selalu belain kamu, Nak," jawab Pradipta tertawa karena melihat putra bungsunya yang masih seperti anak kecil itu. Ada perasaan hangat dalam hatinya di tengah suasana ini. Dia tidak pernah berani berharap banyak, hanya saja, momen kecil bersama Laras dan kedua putra mereka adalah hal sangat berharga untuknya.

Pradipta selalu menjaga dirinya untuk tidak terlihat berharap saat bersama Laras. Dia tidak ingin mantan istrinya itu merasa tidak nyaman.

"Kamu jangan terlalu manjain Ren, Mas. Kalau dia salah, ya kamu marahin. Jangan dibelain terus, dan kalau ada apa-apa kamu harus segera ngabarin aku," ucap Laras.

"Iya-iya, aku tahu. Aku nggak akan manjain Renjana, kok."

"Kamu selalu bilang gitu, tapi akhirnya nurutin kemauan Ren." Laras menoleh lagi pada Juan. "Jangan belain Papa sama Adikmu, kamu harus laporan ke Mama, ya, Sayang."

"Siap, Ma. Aku 'kan timnya Mama," jawab Juan tersenyum lebar.

Setelah 45 menit berkendara, mereka sampai di bandara. Pradipta membantu anak-anaknya menurunkan koper sebelum dirinya memarkirkan mobil di tempat yang mudah saat Laras pulang nanti.

"Langsung kabarin Mama kalau kalian sudah sampai, ya." Laras menatap Juan dan Renjana bergantian sebelum merengkuh kedua putranya itu dalam pelukan.

"Iya, Ma."

"Pasti, Ma."

"Inget pesan Mama, jangan nyusahin Kakak sama Papa di sana. Harus belajar mandiri, jangan manja," ucapnya kali ini pada Renjana yang kini matanya sudah berkaca-kaca.

"Iya, Mama. Nanti sering-sering video call, ya?" ucapnya yang dibalas anggukan oleh sang Mama.

"Kamu juga, jangan capek-capek kegiatannya. Jangan suka begadang main game, makan teratur juga," ucap Laras kali ini pada Juandra.

"Iya, Mama. Juan nggak akan capek-capek kok. Mama juga jaga kesehatannya, ya. Jangan terlalu kerja sampe lupa makan. Nanti aku bilang ke Bi Marti untuk awasin Mama."

Laras tersenyum dan mengusak puncak kepala Juan. "Kamu nih, ada-ada aja minta Bi Marti awasin Mama. Iya, nanti Mama nggak akan capek-capek kerjanya."

Pradipta yang baru menyusul, tersenyum menghampiri keluarga kecilnya. "Siap-siap, udah waktunya check in," ucapnya saat waktu keberangkatan mereka terdengar di umumkan.

Juan dan Renjana memeluk sang Mama sekali lagi sebelum menyeret koper mereka menuju gerbang untuk check in. Sementara Pradipta masih berdiri di hadapan Laras.

"Aku berangkat dulu, ya," pamitnya.

"Iya, Mas. Aku titip anak-anak ke kamu,  ya? Aku bisa percaya sama kamu, 'kan?"

"Pasti. Aku akan jagain mereka selalu, dan seperti yang aku bilang sebelumnya. Kamu bisa datang kapan aja untuk ketemu mereka."

"Kamu curang, Mas."

Pradipta hanya tersenyum melihat Laras yang terlihat tak rela namun pasrah itu.

"Kamu jaga kesehatan, ya. Jangan kerja terlalu keras."

"Ngomong sama diri kamu sendiri," gerutu Laras.

"Ya udah, aku berangkat."

"Iya, hati-hati. Nanti kabarin kalau udah sampai."

"Iya."

Pradipta tersenyum kemudian menyeret kopernya sendiri untuk segera masuk, namun langkahnya terhenti dan berbalik menatap Laras yang masih berdiri di sana.

"Laras?"

"Iya?"

Pradipta berbalik menghampiri Laras kembali.

"Aku boleh peluk kamu sebentar?"

Laras sedikit terkejut mendengar ucapan Pradipta, namun kemudian seulas senyun tipis terlukis di bibirnya mengiringi anggukan kepalanya.

"Boleh."

Pradipta tersenyum hangat dan menarik tubuh Laras pelan dalam pelukannya. Menarik napasnya dalam seolah ingin menghirup wangi menenangkan itu, Pradipta memeluk erat mantan istrinya itu.

"Terima kasih," bisiknya sebelum melepaskan pelukan dan benar-benar berlalu meninggalkan Laras yang masih diam menatap kepergiannya.

Kuharap, kamu nggak akan mengingkari kepercayaanku kali ini, Mas.

.
.
.

Bersambung.

.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro