3. Teror dalam Rencana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam pertama di rumah baru, Alex---di kamarnya sendiri--- dan Matthew terlelap lebih awal.

Keadaan di luar teramat sunyi. Sepi, hanya terdengar desiran angin malam, menerbangkan dedaunan pohon yang telah gugur berserakan di permukaan tanah. Ditambah lagi bunyi jangkrik bersahut-sahutan yang berlomba dengan suara dengkuran khas Matthew yang tertidur di sampingnya, membuat Esme semakin tak bisa tidur. 

Sebenarnya, penyebab Esme masih tetap terjaga bukan karena dengkuran suaminya itu, tetapi ada hal lain yang mengganggunya. Sedari tadi ia merasa gelisah, tubuhnya lelah, tapi pikirannya yang bercabang tak lekas menemukan kedamaian. Esme berulangkali mengingat setiap kegiatan yang terjadi seharian ini, bertanya-tanya apa ada sesuatu yang terlewatkan olehnya. Namun, Esme tak menemukan sesuatu yang salah. Segalanya berjalan normal, lebih dari yang Esme harapkan.

Semuanya berjalan terlalu lancar ... hal itulah yang membuat pikiran Esme gelisah.

TOK! TOK!

Suara ketukan di jendela kamar mengejutkan Esme. Tubuhnya dengan refleks terduduk, mencoba mengidentifikasi asal dari suara tersebut. Apa ada seseorang di luar rumah yang benar-benar mengetuk kaca jendela?

Kepala Esme menggeleng kuat. Mustahil. Keluarga kecilnya baru tiba di sini tadi sore, selain Martin Johnson, dirinya belum mengenal siapa pun lagi. Esme mencoba menajamkan indra pendengarannya, sambil berharap bahwa pendengarannya tadi keliru. Tak mungkin ada orang lain di luar sana.

Mungkin aku memang salah dengar, pikir Esme membatin. Namun, dengan cepat bulu kuduk Esme meremang saat terdengar kembali ketukan di jendela, diiringi panggilan seseorang.

"Esmeralda, keluarlah!" bisik seseorang di luar dengan nada mendesak.

Esme terlonjak. Wanita itu sontak saja bangkit dari posisi tidur, jantungnya berdetak cepat. Ia menatap jam yang terpajang di salah satu sisi dinding kamar, sudah pukul satu malam. Siapa orang itu?

Pikiran Esme menebak dengan cepat bahwa sosok di luar sana mungkin saja orang jahat. Namun, Esme pun menyadari bahwa orang itu memanggil namanya ... orang yang mungkin Esme juga kenal dengan baik, tapi ... siapa?

Tamu tak diundang itu kembali mengetuk. Tak ingin Matthew terbangun, Esme melangkah ragu menuju jendela. Perlahan ia mengintip dari balik gorden, matanya menangkap siluet pria yang tak tampak asing di luar.

DEG!!

Mata Esme seketika terbelalak saat melihat siapa yang sejak tadi berdiri di balik jendela kamarnya. Wanita itu segera menyingkap tirai dengan perlahan, lantas membuka jendela.

"Bagaimana ...?” Esme kehilangan kata-kata, terkejut luar biasa. “Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana bisa kau menemukanku?" tanya Esme berbisik ketika rasa panik melandanya.

Pria bertudung hitam itu tersenyum lebar, menikmati keterkejutan yang tampak jelas di raut wajah Esme. "Kau tampak panik. Tenanglah, aku ditugaskan kemari untuk menemuimu ... sekalian untuk mengingatkan sesuatu padamu."

"Mengingatkan sesuatu?" Esme mengernyit tak mengerti, sambil berulang kali menengok ke dalam kamar di mana suaminya masih mendengkur.

"Jangan pura-pura lupa, Esme," ucap pria itu lembut. Anehnya kelembuatan dalam suaranya membuat Esme semakin gelisah. "Bukankah kita pernah membicarakan hal ini sebelumnya? Kau sudah terikat ... kau harus memenuhi permintaan itu."

Esme terdiam sejenak. Mendadak hatinya dipenuhi rasa ngilu. Ingin rasanya Esme menangis saat itu juga. Kesalahan yang dilakukan Esme di masa lalu ternyata masih mengikutinya sampai sekarang, bahkan ketika dirinya kini telah berpindah tempat tinggal. 

"Aku tidak bisa melakukannya,” lirih Esme, keputus asaan mengisi nada suaranya. “Aku mencintai keluargaku."

"Ayolah, Esme sayang, permintaan itu tidak bisa kau abaikan. Sekarang kau berkata bahwa kau mencintai keluargamu?" Pria itu mendekatkan wajahnya pada Esme, lantas melanjutkan, "Lalu, apa artinya kebersamaan kita selama ini? Apa aku harus memberitahu suamimu soal ini?"

"Diamlah!" titah Esme. Di tengah kesedihannya, amarah kini juga mulai berputar-putar di benak wanita itu. “Jangan pernah berani mengatakan itu! Aku bersumpah jika kau sampai berani menganggu keluargaku ....”

Pria itu menyeringai, tak merasa takut sama sekali dengan gertakan Esme. "Aku akan diam jika kau telah memenuhi permintaan itu. Setelah permintaan itu dipenuhi, hidupmu adalah milikmu seutuhnya."

"Baiklah!" tandas Esme tajam. Dirinya tak bisa berkelit soal ini. Membuat pria itu pergi adalah prioritas utamanya sekarang. "Beri aku waktu. Aku akan melakukannya, tapi tidak dengan cara yang akan membuat keluargaku hancur."

"Lalu, dengan cara apa?" tantang sang peneror malam tersebut.

"Akan aku pikirkan segera. Sekarang pergilah! Aku janji, dalam waktu dekat aku akan memenuhi permintaan itu," ujar Esme penuh keyakinan.

"Aku akan mendatangimu jika kau mengulur waktu terus seperti ini," ujar pria itu memberi peringatan.

"Aku serius. Aku akan melakukannya." Esme kembali berusaha meyakinkan. "Sekarang pergilah, kumohon. Bahaya jika suamiku bangun."

Sosok bertudung pun manggut-manggut. "Baiklah kalau begitu. Aku akan terus mengawasimu," ucapnya. Pria itu kemudian mengulurkan secarik kertas dari dalam saku celananya.

"Apa ini?" tanya Esme.

"Bacalah nanti, kau akan tahu apa maksudku."

Esme segera mengambil kertas itu dan menyuruh si tudung hitam pergi. Pria itu pun melangkah menjauh, menuju hutan yang dingin nan gelap. Esme yang masih tegang dengan cepat menutup jendela dan kembali menyingkap gorden.

Dengan tangan gemetar Esme mencoba memeriksa isi dari secarik kertas tersebut, dan kewarasan Esme terancam hancur seketika tatkala menyadari teror yang tengah membayangi keluarganya.

Bagaimana bisa keadaan ini menjadi lebih buruk lagi? Esme termenung, merana memikirkan masalah ini. Harapan untuk memulai hidup baru yang aman dan damai di tempat baru kini hanya lelucon semata. Padahal kini keadaan rumah tangganya bersama Matthew mulai kembali membaik ....

"Kau belum tidur?"

DEG!!

Esme terlonjak. Tangannya dengan cepat memasukkan kertas yang dipegangnya ke dalam saku baju. Wanita itu menatap suaminya yang entah sejak kapan terbangun. "Ah, apa aku membangunkanmu? Maaf, aku tadi mencari angin," ujar Esme berusaha tenang.

"Suasana dingin seperti ini, dan kau mencari angin?" tanya Matthew dengan suara lemah dan mata memicing menahan kantuk.

Esme hanya tersenyum. Wanita itu kemudian menghampiri suaminya di tempat tidur. "Sepertinya aku belum terbiasa di sini. Tapi tenanglah, aku akan segera beradaptasi."

"Hmm, baiklah. Kuharap kau bisa dengan cepat menyesuakan diri."

"Sekarang tidurlah, kau pasti lelah." Esme mengusap rambut Matthew lembut.

"Kau juga harus tidur," ucap Matthew dengan mata yang sudah tertutup sempurna.

"Tentu saja, Honey. Selamat malam." Esme mengecup kening sang suami. Lantas menarik selimut dan mulai menutup mata. 

Kedua mata Esme sudah terpejam. Namun, pikirannya sedang lari ke mana-mana. Jika ia tidak segera memenuhi permintaan pria itu, bukan tidak mungkin teror ini akan mendatanginya setiap malam.

***

Hari sudah menjelang siang, dan Matthew serta Alex telah disibukkan dengan menata semua barang yang ada. Pekerjaan itu selesai saat matahari sudah bersinar terik di atas kepala. Posisi sofa sudah diatur dengan tepat, dinding rumah sudah digantungi berbagai macam foto berbingkai, dan segala perabotan rumah tangga telah ditata di posisi yang pantas.

Namun, seolah semua pekerjaan itu belum cukup, Matthew mulai merambah pekarangan rumah dan tanah luas di dekat danau sebagai tempat yang harus dibersihkan. Tak ada waktu berhenti baginya, benar-benar memaksimalkan waktu luang yang dia punya sebelum disibukkan oleh urusan surat perpindahan dan pekerjaan lainnya.

Matthew masih membersihkan area sekitar danau di dekat rumahnya ketika sang istri menghampiri dengan segelas jus di tangan.

"Apa kau akan bekerja sendirian terus menerus?" tegur Esme, memastikan bahwa suaminya juga mendapat waktu beristirahat yang cukup.

Matthew yang sedang membersihkan ranting-ranting pohon menatap Esme sejenak, lalu berkata, “Yeah, tidak juga. Aku tadi sudah meminta Alex untuk membantu, tapi entah ke mana perginya anak itu sekarang.”

Esme menggigit bibir. “Mungkin dia sekarang sedang berada di kamarnya, akan aku panggil dia---.”

“Tak perlu,” potong Matthew cepat. “Biarkan putra kita beristirahar sejenak. Dia sudah bersikap cukup baik sejak tadi pagi. Aku tak mau menghancurkan mood baik yang dimiliki anak kita sekarang.”

Esme tertawa kecil. "Baiklah. Kau juga harus istirahat, aku sudah membuatkan minuman untukmu."

Matthew segera menghentikan kegiatannya, dan langsung mengajak sang istri ke pinggir danau. Di sana, ada potongan batang pohon panjang yang cukup cocok dijadikan kursi. Begitu keduanya telah duduk, Matthew menerima tawaran minuman segar itu dan segera meneguknya.

“Bagaimana tidurmu semalam?” tanya Matthew kemudian setelah melenyapkan rasa hausnya. “Apa kau masih kesulitan untuk bisa terlelap?”

"Kukira tidak. Tidurku cukup nyenyak semalam," jawab Esme diikuti senyuman. Itu sebuah kebohongan pastinya. Esme bahkan tak pernah bisa benar-benar tertidur karena memikirkan tamu tak diundang itu ... beserta secarik kertas yang diserahkannya.

Namun, Matthew tak menyadari kebohongan itu, ia manggut-manggut dan meminum lagi jus di gelas sampai habis.

Esme menatap suaminya dengan rasa cinta yang teramat dalam, dan bertanya-tanya bagaimana reaksi Matthew jika mengetahui semua masalah yang melandanya kini. Akan semarah apa Matthew jika tahu bahwa kepercayaannya telah dikhianati sekian rupa oleh Esme?

Sadar sedang ditatap, dengan gugup Matthew bersuara, "Ada apa? Kenapa kau menatapku?"

Lamunan Esme buyar seketika. "Hmm? Bukankah aku istrimu? Memangnya aku tidak boleh menatapmu?" balas Esme dengan bola mata tak beralih dari wajah Matthew.

"Bukan tidak boleh. Sudah lima belas tahun kita menikah, tapi tatapanmu itu tetap saja membuat jantungku berdebar."

Esme spontan tertawa mendengar ucapan Matthew. "Sudah lima belas tahun kita menikah, dan kau masih pandai membuatku tertawa," balas Esme dengan sisa tawanya.

Matthew hanya berdecak, kemudian kembali mendekatkan gelas ke bibirnya sebelum sadar bahwa jus itu telah habis.  Kemudian, pria itu kembali bersuara, "Katakan, ada apa? Aku tahu tatapanmu tadi ada artinya."

"Kau benar-benar hebat, tebakanmu selalu benar," puji Esme, dengan nada berlebihan karena gugup. "Baiklah, Honey. Kalau kau ingin tahu, sebenarnya aku sedang memikirkan ... bagaimana kalau kita mengadakan semacam pesta?”

"Hmm, pesta?"

"Ya, pesta," ucap Esme, menyandarkan kepala di bahu Matthew dan melingkarkan tangan di lengan suaminya itu. Esme menyadari lebih mudah untuk berdusta jika tidak langsung bertemu tatap. Dengan pandangan mata ke arah danau, Esme melanjutkan, "Kau ingat semalam aku bilang apa? Aku ingin beradaptasi. Kita bisa mengadakan pesta dan mengundang para tetangga. Bukankah lebih baik jika kita mengenal dekat para tetangga baru kita? Ya, sekalian menyambut tahun baru."

Kening Matthew berkerut samar. “Tahun baru? Itu kan masih lama?”

“Tinggal sebulan lagi. Bahkan beberapa hari lagi sudah masuk musim dingin. Satu bulan untuk perencanaan pesta. Bukannya itu waktu yang cukup?” 

Matthew terdiam sejenak. Tak lama kemudian, pria itu mengangguk setuju. "Kurasa itu ide bagus."

Esme terlihat melengkungkan bibir merah mudanya. "Ini memang ide bagus. Dengan begitu, Alex juga akan mendapat teman baru. Pelan-pelan anak itu pasti akan terbiasa dan tidak akan mengeluh lagi dengan kepindahan ini."

Perkataan Esme telah berhasil membuai Matthew, menjanjikan perubahan sikap positif pada diri Alex adalah salah satu hal yang didambakan Matthew untuk saat ini. “Mudah-mudahan saja begitu, tapi kurasa dalam beberapa minggu ke depan aku akan disibukkan dengan pekerjaan. Kau tak keberatan jika mengurus keperluan pesta seorang diri?”

"Tentu saja." Esme mengangkat kepalanya menatap Matthew. "Kau tak perlu khawatir. Aku bisa mengurus segalanya."

Matthew tersenyum. Pria itu kemudian mengecup kening sang istri dengan lembut. "Terima kasih. Kau memang istriku yang terbaik."

Esme hanya tersenyum singkat. Senyum yang dipaksakan. Sebenarnya, ia merasa tak pantas disebut sebagai istri yang baik. Ia sudah melakukan kesalahan. Namun, Esme berjanji untuk mengakhiri segalanya. Kesalahan itu harus segera diperbaiki, dengan segala cara yang dapat Esme lakukan. Esme tak ingin Matthew tahu tentang hubungan terlarang yang pernah terjadi antara dirinya dengan atasan Matthew. Sebab cintanya pada Matthew dan Alex begitu besar, dan kini ia sudah cukup bahagia.

***

Waktu tak berhenti, hari-hari terus berlalu. Tak terasa satu bulan sudah keluarga Matthew menempati rumah baru. Kehidupan mereka berjalan damai seperti apa yang mereka impikan. Matthew beserta istri dan anaknya perlahan mulai mengenal bahkan akrab dengan para tetangga. Alex yang tadinya banyak mengeluh terkait kepindahan rumah, kini telah memiliki banyak teman di sekolah barunya, bahkan memiliki kenalan gadis yang sudah mulai pemuda itu taksir. Ia sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan di sekitar. 

Pekerjaan Matthew sebagai kepala proyek juga berjalan dengan lancar, tiada hari yang terlewat tanpa Matthew mengobrolkan pekerjaan itu bersama Esme dan Alex. Atau membicarakan kelakuan bobrok tetangga mereka sekaligus rekan kerja Matthew, Martin Johnson. Tak ada halangan yang berarti. Hal ini tentunya membuat Esme sangat bahagia menjalani hari-harinya. Matthew dan keluarganya berharap, mereka selalu diselimuti kebahagiaan.

Pada satu malam, salju-salju mulai berjatuhan, dan besoknya jalanan serta pepohonan telah dilapisi oleh butir-butir salju. Warna putih terlihat jelas sejauh mata memandang. Musim gugur telah pergi digantikan oleh musim dingin yang telah lama dinantikan oleh keluarga Matthew. Alasan mereka menanti musim dingin tentu saja karena pesta yang mereka rencanakan. Pesta menyambut pergantian tahun itu sudah di depan mata.

Malam sebelum pesta---tanggal 30 desember, keluarga kecil Matthew melakukan persiapan sedikit demi sedikit. Mereka mulai mendekor rumah mereka sesuai tema pesta tahun baru. Pohon hias natal bahkan sudah ada sejak seminggu sebelumnya.

"Alex, kau tahu? Aku telah menulis daftar nama tetangga yang akan kita undang ke pesta nanti," ujar Esme membuka pembicaraan.

"Dan ternyata banyak sekali anak gadis di sini, jauh dari perkiraanku," tambah Matthew bersemangat, membuat Esme sendiri heran. Kenapa suaminya ini jadi ikutan antusias dalam membicarakan para gadis?

Alex yang sedang menggunting pita-pita untuk menghias rumah langsung menghentikan aktivitasnya, lantas menatap kedua orang tuanya. "Benarkah?"

"Tentu saja, Nak. Kurasa kenalan gadismu akan bertambah lagi besok," jawab Matthew menggoda anaknya. "Bukankah aku sudah bilang bahwa kau akan senang di sini?”

Mendengar itu, Alex kontan menyeringai lebar. "Oke, kalau begitu aku juga akan membantu semua persiapan pestanya. Aku akan mengantar undangannya besok pagi... lalu apa lagi yang bisa kukerjakan setalah itu?" 

"Kerjakan saja apa yang ada di hadapanmu sekarang. Kau benar-benar semangat jika membicarakan para gadis," ucap Matthew, mulai merasa heran dengan tingkah putranya. Begitu mirip dirinya saat masih muda.

Dan tanpa Matthew sadari, Esme sedang menatap Alex dan dirinya dengan pandangan geli bercampur heran.

Dasar lelaki, batin Esme menahan tawa.

******************************

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro