2. Meninggalkan Portland

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi hari datang setelah kegelapan malam berhasil terlewati. Sinar matahari pertama yang muncul saat itu mengawali sebuah hari baru.

Hari yang sangat istimewa, terutama untuk Esme. Terbukti dari tak hentinya wanita itu melempar senyum sejak terbangun, saat membantu suaminya memindahkan beragam benda ke mobil pengangkut barang yang baru saja tiba, bahkan sampai pada waktunya keluarga kecilnya berangkat.

Semua kesibukan itu Esme nikmati tanpa mengeluh, begitu antusias untuk segera meninggalkan kota ini.

Namun di lain sisi, sikap Alex membuat perasaan Esme gundah. Putra satu-satunya itu begitu terbuka pada perasaan tak sukanya perihal kepindahan rumah ini. Alex tak berusaha menutup-nutupinya. Membuat Esme kebingungan bukan main untuk membujuk putranya.

"Alex, tak bisakah setidaknya kau menunjukkan sikap antusiasme sedikit? Demi ayahmu?" tanya Esme mendatangi anaknya, yang sedang bersandar di dinding depan rumah, sementara Matthew tengah memasukkan semua koper ke dalam bagasi mobil.

“Ini rencana buruk, Bu. Pindah ke Wallowa? Aku tidak bisa melihat hal baik dari hal ini,” keluh Alex, bibirnya mencebik. "Sudah dengan susah payah aku beradaptasi dengan tempat ini."

Wanita yang masih kelihatan awet muda itu pun tersenyum pilu. Esme tak bisa menyalahkan anaknya, tahu betul bahwa dua tahun belakangan ini adalah masa-masa yang sulit juga bagi Alex. Harus menyesuaikan diri dengan tinggal di wilayah pinggiran kota, meninggalkan semua kenyamanan dan kemewahan dalam hidup yang pernah dirasakan.

Bukankah Esme juga sempat merasa frustasi akan hal itu?

Mengelus pundak Alex, Esme berusaha memberi pengertian, lalu ia berkata, "Nak, aku janji kali ini akan berbeda. Rumah baru kita akan sangat ... nyaman, nantinya kau takkan menyesal telah meninggalkan tempat ini."

“Percayalah kau akan senang tinggal di sana," Matthew yang telah siap berangkat ikut menimpali, meyakinkan Alex. “Suasananya akan sangat tenang di rumah baru kita. Ada banyak pohon, lapangan luas, danau yang airnya sangat jernih, bahkan hutan liar. Mungkin kita bisa belajar berburu rusa atau babi hutan nanti.”

Bola mata Alex memutar, perkataan ayahnya mengesankan bahwa dirinya akan pergi ke tempat antah berantah, di mana dirinya harus bertahan hidup dengan cara menggesekan batu ke dinding gua untuk membuat api. “Kata-kata ayah tak begitu menjanjikan. Lagi pula, aku masih tak mengerti, kenapa kita harus pindah lagi?”

“Kau tahu apa alasannya, Nak,” jawab Matthew cepat dengan nada serius. Sepertinya hal yang sia-sia saja berusaha membuat anaknya merasa antusias. “Sekarang ayolah, kita berangkat.  Kita tak punya banyak waktu untuk berdebat soal itu lagi.” 

Dengan langkah ogah-ogahan, Alex menuruti perkataan ayahnya. Tak mau mengeluh lebih jauh, Alex pun mengunci bibirnya rapat, dan berjalan masuk ke dalam mobil menempati kursi belakang.

Sial sekali nasibku hari ini, keluhnya dalam hati.

Matthew dengan segera menempati kursi kemudi, dan Esme duduk di sisinya. Melalui kaca jendela mobil, Esme sekali lagi menatap rumah mungil yang penuh dengan kenangan. Dia menghela napas berkali-kali. Wanita itu berharap kepindahannya hari ini baik-baik saja, dan tak ada masalah apa pun setelah ini. 

“Apa kau baik-baik saja, sayang?” Tepukan pelan Matthew ke pundaknya mengejutkan Esme.

Esme pun mengangguk pelan sambil menyunggingkan senyum. “Aku baik-baik saja. Ayo kita berangkat.”

Selama beberapa jam selanjutnya, mobil yang ditumpangi keluarga kecil itu melaju dengan kecepatan sedang di jalan raya. Menembus kota demi kota untuk semakin dekat dengan rumah baru. Mereka melewati rumah-rumah beratap genting di sepanjang jalan. Lalu melintasi gedung pertokoan, pusat perbelanjaan, bangunan sekolah bahkan melewati rumah teman dekat Alex.  Matthew pun sesekali melirik Alex yang sedang sibuk memainkan ponsel. Berbeda dengan Esme yang tampak melamun, menyandarkan kepalanya pada kaca jendela mobil.

Mobil sempat berhenti beberapa kali untuk mengisi bensin dan beristirahat. Lengan Matthew terasa pegal karena harus mengemudi dalam jangka waktu yang lama. Kemudian, perjalanan pun dimulai kembali. Pada satu waktu, Esme membuka peta dan GPS, memastikan bahwa jalan yang dilalui sudah benar menuju tempat tujuan.

Perjalanan yang teramat panjang membuat Alex merasa bosan. Matanya yang mulai sayu terus menatap ke arah luar. Lama kelamaan Alex capek sendiri, matanya meminta untuk terpejam.Dan beberapa menit kemudian saat Matthew menoleh ke belakang, Alex sudah tertidur sambil mulut menganga. Matthew hanya menggelengkan kepalanya. 

***

“Alex! Nak, bangunlah! Kita hampir tiba!” Suara Esme membangunkan anaknya dengan lembut. 

Alex menguap lebar-lebar. Setengah mengantuk, pemuda itu menatap sang ibu. “Kita di mana sekarang?”

“Coba kau lihat pemandangan di luar,” ucap Esme dengan senyuman kecil.

Alex membuka kaca jendela dengan malas. Seketika matanya membulat. Mulutnya membentuk huruf O, kagum dengan apa yang ia lihat. “Woah ....”
 
“Selamat datang di Wallowa, Nak,” ujar Matthew sembari tersenyum senang.

Pusat kota sudah benar-benar tertinggal jauh, dan kini pemandangan di luar berganti menjadi nuansa pedesaan. Pegunungan Wallowa yang hijau meneduhkan mata. Beberapa pohon cemara berjejer rapi di kaki gunung. Hamparan danau hijau kebiruan membentang luas, berair sangat jernih. Di langit biru, kumpulan awan putih bergerak pelan, dan sesekali terlihat burung-burung beterbangan dan hinggap di atas pohon.

Alex menghirup udara sedalam-dalamnya. Sungguh segar sekali. Perjalanan terus berlanjut. Lagi-lagi Alex dibuat terpana. Keluarga kecil itu melewati lembah luas di mana seorang peternak mengembalakan domba-dombanya, bermandikan sinar matahari sore. Sepanjang perjalanan terdapat hamparan rumput hijau seperti karpet. Ingin rasanya Alex bergulingan di sana.

Matthew dan Esme tersenyum, mulai yakin bahwa tak perlu bersusah payah lagi untuk meyakinkan putra satu-satunya mereka bahwa kepindahan rumah ini akan menjadi awal yang baik. Terbukti dari wajah Alex yang berseri-seri, terhipnotis oleh indahnya pemandangan alam yang membentang hingga kaki langit. 

Akhirnya, tak lama setelah itu, dari kejauhan tampak sebuah rumah kayu berlantai dua berdiri tegak tak jauh dari danau. 

Bangunan itu tampak seluruhnya dari kayu---tapi pastinya ada beberapa bahan material lain yang membuatnya berdiri kokoh, terlihat begitu tua, tapi pemeliharaannya cukup baik.

“Itulah rumah baru kita, Nak. Bagaimana menurutmu?” tanya Matthew dengan nada bangga.

“Tak begitu buruk,” ucap Alex dengan nada kasual, tapi hal itu tak bisa menutupi rasa girangnya. Melihat air jernih di danau, membuat Alex berseloroh bahwa setelah ini ia ingin berenang. Namun, sang ibu melarang, karena ini bukan waktu yang tepat untuk bermain air.

Matthew hanya bisa tertawa melihat hal itu.

Mobil akhirnya berhenti, terparkir beberapa meter di depan rumah baru mereka. Keluar dari mobil, Alex meregangkan tubuh dan diikuti oleh kedua orang tuanya. Perjalanan dari Portland menuju Wallowa telah memakan waktu nyaris sepuluh jam. Benar-benar melelahkan. 

“Akhirnya kita sampai juga," ujar Matthew lega.

Kedatangan mereka disambut oleh seorang pria tua yang rupanya telah menunggu di depan pintu rumah, pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Martin Johnson, yang akan menjadi tetangga, sekaligus rekan kerja baru Matthew dalam proyek pengembangan lahan.

Setelah berkenalan, Johnson memberikan kunci rumah pada Matthew, memberi ucapan selamat datang, dan berlalu pergi.

Kesibukan luar biasa pun melanda keluarga kecil itu tatkala mobil pengangkut barang tiba, dengan cepat mereka memindahkan barang-barang supaya tidak kemalaman. Namun, karena ada begitu banyaknya perabotan dan kardus yang harus dipindahkan, pekerjaan itu masih belum selesai ketika malam telah datang.

Matthew dan Alex yang merasa kelelahan terduduk di sofa malas, yang masih berada dalam posisi tak teratur. Sementara itu, Esme segera menyiapkan makan malam. Dengan sigap ia memasak kentang tumbuk, salad sayur dan salmon bakar irisan jeruk lemon. 

Saat semua selesai Esme mengangguk puas pada hasil masakannya. Lalu wanita itu pun pergi menuju ruang tamu.

Acara makan malam pertama di rumah baru itu berlangsung khidmat, ketiganya tenggelam dalam obrolan santai dan rencana kegiatan untuk esok hari.

"Aku besok ingin berenang," celetuk Alex entah pada siapa, sambil menyantap makanannya. "Ada kemungkinan danau itu penuh buaya liar, tapi aku tak peduli."

"Atau mungkin ... kita bisa berkeliling desa untuk berkenalan dengan para tetangga baru kita," usul Esme kemudian. "Kita belum mengenal siapa pun di sini, kecuali Martin Johnson tadi. Bukankah kita sebaiknya mulai mengenalkan diri pada penduduk di sini?"

Matthew mengangguk, menelan makanan yang telah dikunyah. "Itu ide bagus, tapi mungkin ada baiknya jika semua itu dilakukan setelah kita berhasil mengatasi semua kekacauan ini."

Kata-kata Matthew membuat tiga pasang mata itu melemparkan pandangan ke sekeliling, menyadarkan adanya lautan boks belum terbuka yang menunggu untuk dirapikan. Dan ketiganya kompak tertawa bersamaan.

Hari yang melelahkan itu pada akhirnya berujung pada suasana kekeluargaan yang hangat. 

Mereka telah menyeberangi banyak wilayah, untuk memulai kehidupan baru, meninggalkan semua kenangan dan kejadian pahit yang pernah terjadi pada masa-masa terburuk. 

Dan kini di sinilah mereka, di wilayah Wallowa, semua harapan untuk masa depan yang lebih baik disandarkan. 

Hanya saja, mereka tidak menyadari adanya bahaya yang telah datang mengintai sejak keberangkatan.

******************************

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro