1. Memulai dari Awal

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pada akhir bulan November, suhu udara sudah mulai menurun di sepenjuru kota Portland, yang merupakan kota terbesar di negara bagian Oregon. Angin yang berembus khas musim gugur menerbangkan dedaunan pohon poplar dan maple yang berserakan di sepanjang jalan. Daun dengan variasi tiga warna sudah menjadi pemandangan yang biasa saat orang-orang berlalu lalang di pusat kota.

Saat malam, udara yang biasanya terasa sejuk kini mulai dingin menusuk kulit, seolah mengingatkan semua orang bahwa musim dingin akan tiba tak lama lagi. Pada saat seperti ini, orang-orang biasanya akan mempersiapkan segala hal untuk menghadapi peralihan musim tersebut, seperti menyiapkan pakaian berbahan tebal atau memastikan tungku perapian di rumah bekerja dengan baik.

Namun, tidak tepat seperti itu untuk Matthew. Tidak kali ini bagi keluarganya.

Meski momen pergantian tahun baru masih lama, aura semangat untuk menyambut sesuatu yang baru sudah dirasakan Matthew dan istrinya Esme selama beberapa minggu terakhir ini. Rencana perpindahan rumah merekalah penyebabnya, harapan serta keinginan untuk perubahan hidup yang lebih baik dijanjikan rumah baru yang akan segera mereka tempati.

Kepindahan rumah keluarga kecil tersebut tejadi, saat perusahaan properti tempat Matthew bekerja memercayakannya untuk mengurusi sebuah proyek pengembangan lahan di daerah Wallowa, sebuah kota kecil yang berjarak 305 mil jauhnya dari Portland. Hal itu tentu saja menjadi sebuah berita baik, perubahan dan peningkatan karir adalah hal yang sudah ditunggu-tunggu selama ini.

Setelah itu, tentu saja Matthew mulai sibuk mengurusi semua surat yang berhubungan dengan perpindahan rumah. Menghubungi perusahaan ekspedisi untuk mengunakan jasa pengangkutan barang dan segala persiapan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru.

Di ruang tamu, Matthew meregangkan otot tubuhnya, merasa kelelahan setelah seharian mengemas semua barang-barang. Hasilnya cukup memuaskan, rumah mungil yang telah dihuninya selama dua tahun terakhir kini sudah kosong tanpa terisi banyak perabotan. Hanya ada beberapa benda yang kondisinya sudah tak layak pakai sehingga Esme istrinya pun tak mau susah-susah mengangkut barang itu ke rumah baru mereka.

"Aku benar-benar tak percaya kita akhirnya bisa meninggalkan rumah ini," ucap seorang wanita berusia awal tiga puluhan yang tengah berdiri, bersandar di ambang pintu kamar tidur. "Terdengar jahat sepertinya, tapi aku takkan pernah merindukan rumah ini. Sedikit pun."

Matthew menoleh, tersenyum mendengar nada senang yang diucapkan Esme istrinya. "Oh, baguslah kalau begitu. Kita memang tak ada rencana untuk kembali lagi ke rumah ini."

“Yeah, senang rasanya mengetahui hal itu.” Manik mata Esme melirik salah satu pintu yang tertutup di dekatnya, keningnya dengan segera berkerut. “Anak itu masih belum keluar dari kamarnya sedari tadi?”

Matthew mengikuti arah pandangan istrinya dan mendesah. “Belum. Entah apa yang dilakukan Alex di dalam sana seharian. Mau sampai kapan dia akan merajuk seperti ini?”

Berbeda dengan Esme, Alex yang merupakan putra satu-satunya tak menyambut begitu baik rencana kepindahan rumah. Entah apa yang menjadi alasannya, dan Matthew juga tak bisa melakukan apa-apa untuk membujuk anaknya itu. Matthew sudah berusaha keras agar bisa memberi yang terbaik untuk keluarganya, dan inilah hal terbaik yang bisa terjadi.

“Jangan terlalu keras padanya,” ucap Esme yang sudah kembali menaruh perhatian pada suaminya. “Dia hanya butuh waktu untuk merima ini. Percayalah, satu minggu setelah kita pindah, anak itu akan segera mengencani semua gadis cantik yang menjadi tetangga baru kita nanti.”

Senyuman lebar terbentuk di bibir Matthew. “Aku benar-benar tidak sabar menantikan hal itu terjadi." Kemudian Matthew berjalan mendekat. “Belum bisa tidur?”

Esme menggeleng. Rambut hitam yang tergerai lurus sepunggungnya bergoyang-goyang. "Tak mungkin bisa tidur dengan semua persiapan ini.”

Satu sudut mulut Matthew terangkat. “Aku tahu itu, tapi sudah tak ada yang bisa kita lakukan sekarang. Mobil pengangkut barang akan datang besok pagi.”

“Tak mungkin bisa tidur,” Esme berkeras, lalu wanita itu meraih kedua tangan Matthew dan menariknya lebih dekat, “tidak tanpamu.”

Matthew tak mampu menahan senyum. Menghela napas kemudian terdiam.

Beberapa menit berlalu, kedua pasang mata itu bertemu tatap dalam keheningan.

"Terima kasih," ucap Matthew setelah dua menit lebih tak bersuara.

Esme yang tak tahu apa makna dari kata-kata itu segera bertanya, "Untuk apa?"

Jari-jari tangan Matthew bergerak, meremas kedua tangan istrinya dengan lembut. Senyum kecil terbentuk di bibirnya. "Terima kasih karena sudah menjadi istri yang sangat baik selama ini. Aku tahu kita sedang mengalami masa-masa yang sulit, dan keadaan juga tak selalu berjalan baik, kita juga sering bertengkar, tapi kau tetap berada di sisiku---bahkan pada saat-saat terburukku. Aku takkan pernah bisa mengungkapkan secara benar bahwa aku benar-benar beruntung punya istri sepertimu."

Kulit di sekitar pipi Esme memerah. Tak menyangka dirinya akan mendapat pujian yang begitu tinggi. Saat ini dia tengah berusaha mati-matian untuk tak membuang muka. "Tak perlu berterima kasih begitu. Di saat susah maupun senang, ingat? Itulah yang dikatakan pendeta waktu hari pemberkatan pernikahan kita dulu. Aku tak menganggap hal itu hanya sebagai kata-kata kosong tanpa arti."

"Ya, aku tahu itu, dan terima kasih sudah mengingatkan," Matthew terkekeh, tapi dengan cepat kedua sudut bibirnya menurun. "Aku hanya merasa bertanggung jawab pada semuanya. Aku membuat kondisi keluarga kita terpuruk dan---"

"Jangan pernah merasa bersalah atas apa yang sudah terjadi pada keluarga kita," ucap Esme memotong kata-kata suaminya. "Aku tahu itu bukan salahmu. Kita akan memulai dari awal lagi besok."

Ya, dari awal lagi. Itu juga yang Matthew harapkan. Pernikahannya dengan Esme yang telah berlangsung selama belasan tahun jelas saja tak selalu berjalan lancar. Dulu Matthew pernah memiliki usaha pembuatan furniture yang cukup maju, tak begitu sukses besar seperti IKEA, tapi barang-barang buatannya cukup terkenal di sepenjuru kota Portland. Waktu itu, pundi-pundi uang mengalir begitu mudah, membuat keluarganya berada dalam kondisi ekonomi tertinggi, membeli apa pun di setiap waktu tanpa masalah. Menjalani gaya hidup hedonis sudah seperti bernapas baginya.

Namun, itu hanya sejarah. Kondisi finansial keluarganya mulai sulit saat usaha yang Matthew rintis mengalami kebangkrutan dua tahun yang lalu, membuatnya harus kehilangan semua kemewahan dalam hidup. Segala aset berharga disita bank karena terlilit utang. Sisa uang yang Matthew miliki hanya sanggup membeli rumah kecil di pinggiran kota, yang sudah ditempati dua tahun ini. Kondisi perekonomian keluarganya terjun total hingga titik terendah.

Pada saat itu, kehilangan harta benda bukanlah satu-satunya hal yang Matthew risaukan, ia juga takut bahwa Esme yang sudah menjadi istrinya selama belasan tahun akan pergi meninggalkanya, mungkin tak tahan memiliki suami yang gagal, tapi toh hal itu tak pernah benar-benar terjadi. Ketakutan itu murni hanya kekhawatiran Matthew yang tak beralasan.

Senyuman lebar kembali mengisi wajah pria itu. Dengan lembut ia mencium punggung tangan istrinya dengan perasaan sayang.

"Sekarang waktunya untuk tidur," Esme menyarankan, melihat betapa lelahnya Matthew yang seharian tadi sibuk dengan persiapan pengangkutan barang. "Besok ada banyak hal yang harus kita kerjakan."

Kepala Matthew mengangguk, menyadari sungguh benarnya kata-kata itu. Ia pun mengajak Esmeralda istrinya untuk segera memasuki kamar.

Di dalam kamar, semua barang juga sudah dikemas dengan rapi. Tumpukan box siap angkut bertumpuk di segala sisi dinding. Satu-satunya barang yang belum dikemas hanya ranjang berukuran sedang terbungkus seprai. Dua buah bantal serta selimut.

Matthew segera merebahkan tubuhnya, mencoba untuk terlelap. Pikirannya mulai berpikir yang tidak-tidak. Mungkinkah Alex anaknya kecewa dengan perubahan hidup yang drastis terjadi dua tahun belakangan ini? Mengingat dulu anak itu pernah mencicipi kemewahan hidup, tinggal di pemukiman kelas atas tapi kini hanya di pinggiran kota? Terlalu beratkah perubahan itu baginya? Apakah itu alasan Alex keberatan dengan kepindahan rumahnya ini?

Tapi masa-masa sulit itu sudah selesai sekarang, batin Matthew yakin. Dengan pengangkatannya sebagai kepala proyek serta hunian baru, kondisi finansial keluarganya akan membaik. Matthew yakin itu. 

Ditemani pikiran menggelisahkan itu pun, Matthew mulai terlelap.

Namun, tidak dengan Esme.  

Tanpa diketahui suaminya, berbaring di samping pria itu Esme masih terjaga. Perasaan bersalah melandanya saat mengamati gurat wajah kelelahan Matthew yang tengah tertidur.

Perasaan bersalah melanda hatinya kini. 

Esme menyadari, sesungguhnya ia tak pantas menerima segala pujian dan kepercayaan dari pria di sebelahnya itu. Esme bukanlah istri yang baik. Banyak kesalahan yang ia lakukan tanpa sepengetahuan Matthew.

Kepala dari wanita itu menggeleng, mencoba mengusir berbagai kenangan buruk yang tak sengaja terputar di kepalanya.

Jangan sampai Matthew tahu, batinnya.

Tak ayal Esme bergidik, membayangkan jika suatu saat nanti Matthew tahu bahwa pengangkatannya sebagai kepala proyek ada sangkut pautnya dengan hubungan rumit yang terjalin antara Esme dan bos suaminya.

Bagaimana mungkin ia bisa menutupi rahasia itu selamanya?

Kesalahan terbesarnya akan menghantui benak setiap waktu, sepanjang hayat.

Merasa kelopak matanya mulai memberat, Esme pun memejamkan mata, berusaha untuk tertidur. Hati kecilnya berharap dengan kepindahan keluarga kecilnya esok hari, rahasia kelam yang menghantui benak itu pun akan terkubur semakin jauh selagi meninggalkan kota ini.

*****************************

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro