5. Awal Sebuah Teror

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aroma daging panggang menguar di tengah keramaian pesta, memacu kelenjar liur untuk bekerja lebih keras. Keributan kecil tadi tak menyurutkan semangat tamu undangan menyambut pergantian tahun. Ibu-ibu sibuk membalikkan daging di atas pemanggang, sementara matanya awas mencermati putra-putri mereka tetap bermain dengan aman, dan tentu saja pendengarannya masih menangkap dengan jelas desas-desus yang menjadi pembahasan menarik malam ini. Kemampuan multitasking yang luar biasa.

Alex memperhatikan salah satu rumah yang jaraknya tak jauh dari halaman lokasi pesta, gadis pemilik senyum indah itu masih belum menampakkan diri. Sebelum keributan tadi Cassidy berpamitan pulang untuk mengirimkan e-mail tugasnya pada Mr. Jeon dan ia berkata akan segera kembali.

Namun, ini sudah hampir tengah malam. Jangan bilang gadis itu ketiduran. Alex mati-matian menahan kedua tungkainya untuk tidak mendatangi bangunan solid dua lantai tersebut. Terlebih ayahnya ada di depan sana, tengah berbincang dengan beberapa rekan bisnis. Ia bisa digoda habis-habisan, lagi pula remaja tampan itu tak ingin terlihat begitu antusias.

Tepukan pelan pada punggungnya membuat remaja berhidung mancung tersebut menoleh. Brandon berdiri di sana sembari menggoyang-goyangkan beberapa kotak kembang api. “Ayo, Bung! Anak-anak sudah menunggu di sana,” ajak Brandon seraya menunjuk rombongannya.

Okay, aku akan segera menyusul,” jawab Alex balas menepuk punggung Brandon. Ia terkikik saat Brandon melemparkan kotak kembang api itu ke udara dan malah terjatuh saat berusaha menangkap kembali. Lelaki itu berdiri tegak dan kembali berjalan seakan tidak terjadi apa pun, mengabaikan tawa yang tertuju pada dirinya.

Sibuk menertawai Brandon, Alex tidak menyadari gadis yang ditunggu-tunggu telah berada di sebelahnya. Remaja itu dikejutkan saat tiba-tiba mendengar suara tawa yang begitu dekat dengan telinganya. 

“Hei, kenapa lama sekali?” tanya Alex. Heran karena sama sekali tak melihat tanda datangnya gadis itu, Cassidy seolah-olah mendadak muncul di sampingnya.

Gadis itu tak segera menjawab, ia hanya tertawa kecil sambil menggaruk tengkuk. Cassidy menyelipkan helaian pirangnya ke balik telinga yang telah sewarna dengan kepiting rebus. Melihat itu, tanpa banyak berpikir Alex melepaskan topi rajut biru gelapnya dan memakaikan pada gadis tersebut.

“Cuaca semakin dingin, pastikan dirimu tetap hangat,” ujarnya.

Beanie Alex terasa hangat ketika menyentuh kulit kepala Cassidy, bahkan rasa hangat itu dengan cepat menyebar ke seluruh wajahnya. Dengan menekan sisa-sisa debaran di dada, gadis itu menatap Alex. Benar, cuacanya semakin dingin.  “Lalu Bagaimana dengan—”

Tak membiarkan gadis itu menyelesaikan ucapannya, Alex segera meraih lengan Cassidy seraya mengajak, “Ayo, kita telah ditunggu.”

Tepat tengah malam, ledakan kembang api sahut-menyahut di udara. Warnanya yang beragam menghalau kegelapan langit malam. Anak-anak asyik berlarian dengan kembang api kecil menyala di genggaman mereka, serta gelak tawa yang mengiringi di setiap langkahnya. Jika tertawa termasuk jenis virus, maka dapat dipastikan ia akan menduduki peringkat pertama sebagai virus dengan penularan paling cepat.

Semua tamu undangan turut merasakan suka cita tahun baru. Tak berbeda jauh dengan seorang istri yang tengah tersenyum haru dalam pelukan suaminya. Setelah melewati malam panjang ini mereka akan kembali merangkai harapan di lembaran baru kehidupan, di lingkungan baru ini.

“Sayang, lihatlah! Bukankah Cassidy menggunakan beanie Alex? Ck, anak itu sekarang sudah pintar merayu gadis.” Matthew menopang kepala pada bahu kanan sang istri, ia mencoba berbicara lebih dekat agar tak perlu mengeluarkan suara keras demi menandingi suara ledakan kembang api.

Esme mengusap lengan Matthew yang melingkari abdomennya. “Dia benar-benar keturunanmu,” ujarnya diiringi tawa ringan. “Kau ingat, saat pertama kali kita menghadiri festival. Kau juga melakukan trik yang sama, memakaikan baju hangat lusuhmu padaku dan entah mengapa dulu aku diam saja menerimanya.” 

Wanita itu menyandarkan tubuhnya yang bergetar karena tawa pada dada bidang sang suami.

“Karena baju hangat lusuh itulah kau menjadi tergila-gila padaku,” balas Matthew ikut tertawa.

Cubitan pelan dilayangkan ibu satu anak itu terhadap suaminya. “Kau hanya beruntung aku memilihmu, disaat banyak lelaki tampan sedang mencoba mendekatiku.”

“Ini tidak hanya faktor keberuntungan, Sayang. Aku berhasil karena aku menguasai taktiknya.” Matthew merendahkan suara. “Begini cara mainnya, kau berikan perhatian pada seorang gadis lalu bersikap acuh pada hari lainnya, maka mereka akan menjadi lebih tertarik padamu. Gadis-gadis lebih mudah penasaran,” terang Matthew.

Esme tertawa, ia membalikkan tubuh agar dapat memeluk erat suaminya. “I love you,” bisiknya.

Matthew tidak membalas ungkapan sang istri. Namun ciuman lembutnya sudah cukup menjadi jawaban tanpa kata.

***

 “Tahun ini aku akan menjadi kapten tim basket dan mentraktir kalian semua!” seru Brandon dengan suara lantang. Tak lupa sambil berpose mengangkat tangan kanannya setinggi mungkin.

“Hei, yang benar saja. Kau bahkan tak pandai memegang bola,” ledek Andrew. Salah satu anggota tim basket.

Brandon menyipitkan mata menatap Andrew. “Kau kucoret dari daftar traktiran,” tunjuknya.

“Brandon akan menjadi kapten tim basket!” Segera Andrew berdiri di sebelah Brandon dan mengikuti posenya. 

Anak-anak tertawa cekikikan melihat dua sekawan itu. Brandon memang tak pernah main-main soal traktiran.

“Hei, lekaslah kemari! Atau aku akan menghabiskan semua jatah daging kalian!” seru seorang gadis yang merupakan salah satu teman sekolah Alex.

Sorakan itu lantas mengalihkan perhatian Brandon dan kawan-kawan, mereka bergegas lari menuju Lory—gadis yang berteriak tadi.

Hadirin pesta telah memenuhi tempat duduk yang disediakan di area taman. Mereka saling berbincang sembari menikmati hidangan yang menggugah selera. Dari meja seberang Matthew dapat melihat dengan jelas bagaimana Martin Johnson sedari tadi tidak mengalihkan pandangan dari pasangan hidupnya.

Matthew turut memandang Esme. Pria itu memotong daging merah di piringnya dan menyuapkan pada sang istri, yang dibalas usapan pelan pada pipinya serta ucapan terima kasih. Kecupan lembut diberikan Matthew pada pelipis Esme.

Setelahnya, ia tersenyum ramah pada rekan kerjanya yang genit itu dengan sebelah alis terangkat. Raut wajah pria setengah botak itu berubah, ia segera memalingkan mata dari tetangga barunya tersebut.

Esme memijat kepala berulang kali, matanya berpendar menatap sang suami.

“Ada apa? Kau sakit?” tanya Matthew memegang lengan atas Esme.

“Kepalaku ... tak apa, mungkin tylenol dapat membantu meredakannya.”

“Biar kuambilkan,” ucap Matthew bersiap pergi. Namun lengannya ditahan oleh Esme.

“Biar aku saja, aku akan beristirahat sebentar sebelum kembali ke pesta. Jangan biarkan tamu kita kehilangan tuan rumahnya.” Matthew hanya bisa menatap hingga punggung bergaun merah itu menghilang. Ia mencoba kembali fokus pada pesta meskipun rasa khawatir lebih mendominasi pikirannya.

***

Alex berjalan mendekat ke arah ayahnya, setelah tadi sibuk menukar-nukar lagu yang diputar melalui pengeras suara bersama kawan-kawannya. Ia mengambil sekaleng soda dan meneguknya cepat, menimbulkan sensasi menggigit di area lidah. 

“Menikmati pestanya?” tanya Matthew pada anak semata wayangya.

“Cukup menyenangkan,” jawabnya acuh tak acuh.

“Jangan berkata seperti itu jika di depan ibumu, dia telah berusaha menyiapkan ini semua untukmu.” Matthew hendak mengusap kepala Alex, tetapi telah lebih dulu ditepis oleh putranya itu.

“Aku mengerti, Yah,” sahut Alex. Ia mengedarkan pandangan sebelum bertanya, “Di mana Ibu? Aku tidak melihatnya.”

“Ah, ya bisakah kau pergi melihat keadaannya? Ibumu tadi sedikit kurang sehat dan beristirahat di rumah.”

Lelaki muda itu meletakkan kaleng sodanya, memindahkan telapak tangan yang telah kosong sejajar dengan dahi membentuk posisi hormat. “Aye kapten!” serunya diiringi tawa.

Ayah satu anak itu terkekeh. Lagi-lagi tangannya ditepis saat bermaksud mengusap kepala sang anak. “Berhenti mencoba mengusap kepalaku, Yah. Aku bukan bayi lima tahun lagi.” Alex melangkah pergi meninggalkan ayahnya dengan bibir yang masih menggerutu. 

Matthew kembali tertawa. Bagi orang tua seberapa besar pun anak-anaknya tumbuh, mereka akan selalu menjadi seorang anak di matanya. Meskipun sekarang putranya itu hampir menyamai tingginya.

Subuh hampir menjelang saat satu-persatu tamu undangan mulai undur diri. Alex dan Esme belum menampakkan diri sejak tadi, ponsel mereka juga tidak bisa dihubungi. Sedikit banyaknya Pria berbadan tegap tersebut terpikirkan akan dua orang berharga dalam hidupnya itu dan pada saat yang sama ia berusaha meyakinkan diri untuk membuang pemikiran-pemikiran negatif yang singgah di kepalanya.

Semua baik-baik saja, baik-baik saja, rapalnya dalam hati.

Kekalutan Matthew sejenak teralih karena melihat Cassidy datang menghampiri.

“Tuan Lehnsherr, aku tak melihat Alex di mana pun sejak tadi, bisa tolong berikan ini padanya? Dan katakan aku sangat berterima kasih,” ucap Cassidy memberikan beanie Alex yang dipakainya tadi.

“Tentu, hati-hati di jalan,” balas Matthew.

"Pasti, sekali lagi terima kasih untuk pestanya, tadi benar-benar menyenangkan," timpal Cassidy dan berbalik, berlalu pergi.

“Hei, kau tidak pulang?” sorak Matthew saat melihat Cassidy berjalan menjauh, tapi tidak ke arah rumahnya.

Gadis itu melambai dan balas berteriak, “Aku harus mengambil sesuatu dulu.”

Matthew hendak menjawab kembali, tetapi gadis itu telah berlalu cukup jauh. Pria itu kembali berfokus pada tamu-tamu yang hendak pulang.

“Ini benar-benar pesta yang hebat, Tuan Lehnsherr,” ungkap salah satu rekan kerjanya, menyapa sebelum pamit pulang.

“Senang bisa mendengarnya, Mr. Smith. Terimakasih sudah untuk kedatangannya.” Mereka saling berjabat tangan.

Selesai dengan para tamu. Matthew bergegas masuk ke rumah. Pria itu berulangkali memanggil istri dan anaknya dan tidak mendapat jawaban apa pun. Matthew mengecek kamar, mungkin saja istrinya kelelahan dan tertidur lebih dulu.

Namun dugaannya salah. Kamar itu kosong dengan alas kasur masih rapi tak tersentuh. Listrik padam ketika Matthew membawa langkah menuju kamar mandi yang sama kosongnya. Perasaannya semakin tidak tenang, ia meremas kuat topi milik Alex. Dengan langkah yang dipercepat ayah satu anak itu menuju ke lantai dua, di mana kamar Alex berada.

“Alex, Nak!!!”

Matthew terperangah, paru-parunya serasa dicekik kala menatap putra tunggalnya terbaring di lantai kamar. Segera ia menghampiri Alex dan merasakan cairan basah pada telapak tangan. Darah? Pria itu merogoh saku, mengeluarkan ponsel untuk meminta bantuan. Sialnya ponsel hitam itu kehabisan daya.

Dengan jemari bermandikan darah, ia letakkan harapan pada setiap gerak guna membuat sang anak terusik. “Alex, bangun. Alex!” Pria itu mencari-cari denyut nadi di pergelangan serta di pangkal leher anaknya. Namun nihil, harapannya direnggut paksa bersamaan dengan separuh jiwanya.

Matthew terguncang, nyaris tak yakin bahwa apa yang di hadapannya benar-benar nyata. Berpikir bahwa sebentar lagi mungkin ia akan segera terbangun di suatu tempat, menyadari segala ini hanya mimpi. Namun, mimpi atau pun tidak, satu pemikiran timbul di benak, membuat tubuh Matthew bergerak.

“Esme. Aku harus menemukan istriku!”

Resah bersalin angkara, mendorong tungkainya mengelilingi rumah. Setelah semua tamu pesta pergi, praktis kondisi rumah kini sepi. Bola mata biru milik Matthew bergerak liar menelusuri ruang demi ruang rumah, ditemani secercah sinar rembulan yang berhasil menyelinap melalui jendela.

Srett!

Argumen-argumen yang bercokol di kepala membuat Matthew lengah. Satu sayatan yang tak diduga-duga datang, berhasil mengenai lengan kirinya. Secepat kilat ia berbalik, meraih apa pun sebagai perlindungan. Kilatan dari ujung runcing pisau seakan mencemoohnya. Matthew melemparkan meja kecil di sebelahnya, sosok di balik bayang itu terjatuh.

"Siapa kau?" teriak Matthew terperangah. Belum sepenuhnya beranjak dari keterkejutan. Dari sekian juta kemungkinan yang terjadi, Matthew tak pernah sekali pun menduga bahwa hal semacam ini akan terjadi, tepat setelah pesta berakhir.

Matthew baru saja menyaksikan putra satu-satunya terkapar di lantai kamar bersimbah darah, kemungkinan besar terbunuh. Dan kini, sosok misterius tengah berusaha melakukan hal yang sama pada dirinya, tapi ... kenapa? Siapa?

Matthew mendekat, berencana mengambil pisau yang dipegang si pelaku. Sosok itu mengenakan topeng aneh serta pakaian hitam yang menutup seluruh tubuhnya. Sebelum Matthew sempat mengambil alih pisau dari genggaman si peneror, sosok itu telah lebih dulu bangkit dan bergerak membabi buta.

Kondisi lorong yang sempit sangat membatasi pergerakan Matthew, ia tak bisa menghindari sayatan yang semakin menambah corak kulit. Sesekali Matthew menggunakan pukulan atau menendang jatuh sosok bertopeng tersebut. Seakan tak merasa apa pun sosok itu kembali bangkit dan bergerak semakin brutal.

Ini buruk aku harus menghindarinya, ucap Matthew dalam hati. Ia bergegas berlari menjauh dari sosok bersenjata itu. Namun, ia terjatuh saat sebuah kursi dilempar telak mengenai belakang lutut.

Matthew membalikkan tubuhnya dari posisi telungkup. Kakinya serasa baru saja dipatah menjadi dua bagian membuat pria itu hanya mampu beringsut mundur.

Sosok bertopeng itu melangkah pelan, jubahnya berkibar riang. Bahkan Matthew dapat mendengar tawa imajiner dari sana. Kursi yang menghalangi jalannya ditendang kuat oleh sosok itu tepat mengenai kepala Matthew. Pria itu mengerang, pandangannya memburam, dan suara denging memenuhi kepala.

Dengan kedua telapak tangan yang terbalut sarung tangan hitam, sosok bertopeng itu mengangkat pisaunya setinggi mungkin dan menikam tepat di dada Matthew.

*****************************

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro