6. Déjà vu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“AAAAA!”

Teriakan keras menggema saat punggung Matthew terangkat menjauh dari permukaan ranjang, mengubah posisi yang awalnya terbaring kini duduk dengan kedua kaki lurus. Tubuhnya berkeringat dan detak jantungnya memaksa seluruh tubuh menegang. Napas tidak teratur yang kemudian disusul oleh kedua tangan memeriksa seluruh permukaan tubuh.

Tangan yang basah karena keringat memegang kepalanya sendiri, mengusap seluruh bagian dan tidak mendapatkan sesuatu yang ganjil. Matthew memindahkan tangan lagi ke leher dan kemudian turun menjelajahi semua permukaan tubuh. Tidak ada apa pun di balik bajunya selain keringat.

Napas yang memburu itu perlahan mereda ketika kelegaan luar biasa menyapa kesadarannya.“Syukurlah hanya mimpi, semua hanya mimpi.”

Matthew untuk sejenak berdiam diri, meresapi keadaan di sekitar. Kicauan burung di luar rumah terdengar tak asing, tapi Matthew tak mengangap itu hal yang perlu dirisaukan. Bukankah semua suara kicauan burung terdengar sama saja?

Kemudian, rasa heran pun terbit. Mimpinya tadi terasa sangat realistis, semua detail kejadian begitu rinci. Matthew masih dapat mengingat kejadian tiap detik di dalam mimpinya, saat dirinya membantu Esme mempersiapkan pesta, menyambut para tamu, keramaian saat pesta berlangsung, bahkan pada saat-saat mengerikan, melihat mayat anaknya tergeletak bersimbah darah, dan sosok bertopeng setan berusaha membunuh dirinya ....

Bulu halus di sekitar pundaknya meremang, bergidik mengenang kejadian dari mimpi tersebut. Matthew berusaha meyakinkan diri, semua hanya bunga tidur—tak nyata, dan dirinya tak mempermasalahkan hal itu sedikit pun.

Setelah berhasil menenangkan laju napas serta detak jantung, Matthew berjalan menuju kamar mandi dengan sisa kekhawatiran yang perlahan menghilang. Ia mengenakan sandal yang biasa dikenakan untuk ke kamar mandi, tapi hal aneh terjadi: salah satu sandalnya rusak, dan terlebih lagi itu adalah sandal sebelah kanan, seperti dalam mimpinya. Hal yang normal sebenarnya, tapi ia merasa agak janggal dengan suatu kebetulan itu.

“Alex! Apa kau sudah mengirimkan semua undangannya?”

Suara Esme yang terdengar cukup lantang dari luar kamar membuat tubuh Matthew membeku di ambang pintu kamar mandi, begitu pula balasan dari Alex, anak semata wayangnya, "Sudah semuanya. Apa masih ada lagi undangan yang harus kukirim?"

"Tidak. Hanya ingin memastikan. Kau kelihatan bersemangat sekali untuk pesta nanti malam, Anak Muda. Apa karena gadis manis bernama Cassidy yang baru kau kenal itu?" 

"Ibu!" Alex memprotes.

Matthew merasakan sensasi déjà vu, perasaan kuat bahwa obrolan antara istri dan anaknya itu pernah dia dengar sebelumnya ... di dalam mimpi. Namun, bagaimana bisa?

Rasa heran itu perlahan mengendap di benak, dan menemukan tak ada jawaban logis dari keanehan ini. Selagi Matthew melanjutkan kegiatan pagi di kamar mandi, dirinya mengingat lagi rentetan kejadian di mimpi tadi, kemudian dengan perlahan mulutnya tersenyum.

“Meski mirip dengan mimpi, tapi sekarang berbeda, karena –” Matthew mengambil krim cukur---mengolesinya ke bulu halus di sekitar dagu dan mulut---diikuti dengan pisau pemotong yang akan digunakkannya. “Di dunia nyata, aku tidak mungkin terluka hanya karena pisau cukur ini.”

Tak lama kemudian, setelah selesai dengan urusannya, Matthew keluar dari kamar mandi dan mendapati Esme baru saja melangkah masuk ke kamar. "Hai ... aku pikir kau masih di dunia mimpi, baru saja aku hendak membangunkanmu."

Lagi ... batin Matthew menyahut.

“Ya, Sayang. Aku baru saja bangun,” ucap Matthew, disertai senyum paksa.

Mata Esme bergerak, seakan tengah menilai-nilai sesuatu. “Kalau tidak salah, aku tadi mendengar kau berteriak. Itu kenapa?”

Kepala Matthew menggeleng pelan. “Oh, itu bukan apa-apa. Aku hanya ... bermimpi buruk. Bukan masalah besar. Bagaimana dengan persiapan pestanya?”

Ditanya seperti itu, wajah Esme jadi berseri-seri. “Oh masih banyak yang harus kita persiapkan, kau juga harus berbelanja beberapa barang, kau ingat itu, kan?”

Simpan semua keanehan ini untuk dirimu sendiri, Matt, Matthew membatin. Dirinya mengangguk. “Tentu saja, aku akan bersiap-siap ber---“

Gedoran pintu kamar menginterupsi kata-kata pria itu, diikuti suara Alex yang lantang. "Ibu ... Ayah ... apa yang sedang kalian lakukan di dalam? Ada pesta besar yang harus kita siapkan, ingat? Banyak hal yang harus dilakukan hari ini, kita tak ingin membuat para tamu pesta kecewa, kan?"

Esme menghela napas, kedua bola matanya mengerling heran ke arah pintu. “Lihatlah kelakuan anak kita, dia jadi begitu bersemangat untuk pesta ini hanya karena tahu akan ada begitu banyak anak perempuan yang menghadiri pesta nanti malam.”

“Ya, kami akan turun sebentar lagi," ucap Esme lagi, dengan nada yang lebih tinggi agar bisa didengar anaknya.

Kemudian Matthew tak bisa berkata apa-apa lagi, dirinya menurut ketika Esme mengajaknya turun dan bergabung bersama Alex di ruang depan.

Esme baru saja akan menyerahkan secarik kertas bertulis daftar barang yang diperlukan pada Matthew ketika bel pintu depan berbunyi.

“Tak mungkin ...,” gumam Matthew pelan. Gurat wajahnya menunjukkan ketidak percayaan.

“Tak mungkin apa, Yah?” tanya Alex santai, bersamaan dengan Esme yang berjalan ke depan dan membuka pintu.

Dan benar saja, di ambang pintu depan, sosok Cassidy berdiri, penampilan serta baju yang dipakainya sama persis dengan apa yang dilihat Matthew dalam mimpi.

“Selamat pagi,” kata gadis itu pelan, malu-malu.

"Hai Cassidy ... selamat pagi." Esme menyambut sang tamu dengan ramah, dan itu semakin membuat pikiran Matthew gelisah. 

Tak seperti dalam mimpi, kali ini Matthew tidak banyak bergerak ketika Cassidy datang berkunjung. Pria ini hanya duduk, memegangi kepalanya yang terasa berat hingga membuat Esme khawatir.

Semuanya benar-benar sama dengan apa yang Matthew yakini pernah dia alami. Cassidy mengungkap alasannya datang, untuk menawarkan bantuan dalam mempersiapkan pesta, dan disambut senang oleh Esme. Lalu Alex beraksi, menawarkan diri untuk pergi berbelanja, sekalian meminta Cassidy untuk menemaninya.

Esme terlihat geli menyaksikan anaknya berusaha menarik perhatian sang gadis, tapi tidak dengan Matthew. Tidak kali ini.

Ketika Cassidy dan Alex beranjak ke luar untuk membeli bahan-bahan, Esmeralda mendekati suaminya kemudian duduk tepat di sampingnya. Esme menggenggam telapak tangan Matthew yang bersandar di atas permukaan meja. Dingin dan lembap, hanya dengan sekali sentuhan, wanita ini tahu ada yang tidak beres dengan suaminya ini. Seakan ada hal yang menakutkan yang Matthew coba sembunyikan.

“Sayang, katakan padaku, apa yang terjadi?” tanya Esme serius.

“Tidak ada, hanya sedikit kelelahan kurasa,” jawab Matthew masih meletakkan salah satu telapak tangannya menjadi tumpuan kepala.

Esme menekuk wajahnya kemudian memaksa Matthew untuk melihat dirinya, “Kau tahu bahwa kau tak bisa berbohong padaku, kan? Aku tahu ada sesuatu yang sedang kau sembunyikan. Apa itu?” tanya Esme memandang tegas.

“Bukankah sudah kubilang? Hanya capek–”

Genggaman tangan Esme semakin kuat dan raut wajahnya tidak berubah, membuat Matthew terpaku seketika. Matthew menghela napas berat agak pendek ketika menatap istrinya tersebut lalu diam sejenak beberapa saat. “Baiklah, akan aku ceritakan.”

***

“Begitukah? Itulah yang membuat sikapmu aneh pagi ini?” tanya Esme masih duduk di samping Matthew sambil menggenggam erat tangan suaminya. 

Selama Matthew menceritakan hal yang membuat pikirannya gelisah, Esme tak banyak bicara. Layakanya tipe pendengar yang baik, Esme tak banyak menginterupsi, hanya menganguk pelan untuk menunjukkan bahwa dia paham, dan memberi semangat ketika melihat tanda-tanda Matthew enggan melanjutkan.

“Entahlah. Mungkin hanya imajinasiku saja, tapi sensasi pernah mengalami hal yang sama ini membuatku sangat tidak nyaman,” ujar Matthew yang tampak sedikit lebih baik setelah menceritakan mimpi buruknya.

“Tenang saja, itu hanya mimpi buruk, hanya perasaanmu saja. Apa pun masalah yang terjadi, kita akan melewatinya, sama seperti dulu dan akan selalu begitu. Lagi pula, pekerjaanmu di sini sepertinya memang membuatmu kelelahan, aku yakin suatu saat ini akan semakin membaik.”

“Kurasa kau benar.” Kali ini Matthew menggunakan tangan yang satu lagi untuk menggenggam tangan Esme. “Aku sangat senang bahwa kaulah yang menjadi istriku.”

Esme memandang kosong ke arah lain, kemudian memejamkan matanya perlahan, tanpa membalas atau menyanggah sedikit pun kalimat dari Matthew.

Persiapan berjalan sepanjang hari dan begitu pula dengan kegelisahan yang menghantui Matthew. Kata-kata Esme memang cukup membantu, tapi itu tak mengenyahkan rasa ganjil di benaknya. Kekhawatiran itu masih ada, apalagi karena Matthew berkali-kali terjebak dalam kejadian yang sama persis dengan apa yang ia mimpikan, tapi Matthew masih berusaha tetap logis, bersikeras meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanyalah kebetulan belaka.

Malam tiba dan tamu undangan berdatangan. Di antara keramaian, hanya Matthew seorang yang tampak melamun kosong. Memikirkan segala kejadian, memikirkan mimpinya yang aneh, akhir dari mimpi itu juga, ketika sosok misterius menghujamkan pisau ke tubuhnya ...

"Halo, Tuan Lehnsherr," sapaan dari pria berambut setengah botak yang datang menghampiri. Untuk sesaat, Matthew sempat teralihkan dari bayangan mimpinya yang terus mengganjal di pikiran, hingga ia lupa bahwa ia sedang dalam pesta yang telah berlangsung sedari tadi.

Matthew tersenyum lemah. “Martin Johnson. Menikmati pestanya?”

Pria tua itu tersenyum riang, seakan tak menyadari kekalutan yang ditampakkan Matthew sang tuan rumah. "Oh ya, tentu saja. Ini pesta yang hebat. Orang-orang berkumpul. Istrimu memang yang terbaik dalam merencanakan segala hal."

Pujian sambil lalu itu sekarang menjadi bahan pikirannya, tetapi bukan masalah Pak Tua Johnson yang memuji istrinya, melainkan kalimat yang sama yang diucapkan pria itu di dalam mimpi. Matthew segera menghilangkan pikiran tidak mengenakkan itu dan akhirnya memutuskan untuk menikmati arus pesta yang berjalan dengan cukup meriah.

“Terima kasih.” Matthew berbalik, berniat pergi meninggalkan salah satu tamu pestanya itu.

“Jagalah keluargamu, Matt. Semoga kalian selalu bahagia.”

Kalimat itu langsung menarik perhatian Matthew dan membuat tubuhnya secara refleks berputar berbalik dengan mata membulat lebar. 

Martin Johnson membalas pandangan Matthew dengan mengangkat salah satu alis matanya. “Ada yang salah, Tuan Lehnsherr?”

Matthew terdiam sejenak. “T-tidak ada, nikmati pestanya.”

Matthew kembali menenangkan pikirannya dan mensugesti dirinya sendiri, bahwa semua yang ia alami sampai sekarang hanya kebetulan saja sama dengan mimpinya, dan tidak lebih.

***

Telah lewat tengah malam dan Matthew merasakan sensasi yang aneh seharian penuh. Mengalami hal yang sama dengan apa yang ada dalam mimpi, terasa begitu nyata hingga sensasi déjà vu itu sendiri membuat Matthew semakin sering menghela napas.

Ia telah menghabiskan waktu terbaiknya bersama Esme, membantu mempersiapkan dan menikmati pesta dan bahkan berbincang dengan para tamu. Akan tetapi meskipun semuanya telah dilakukan, ia masih merasakan sesuatu yang aneh, seakan sesuatu yang tak lazim tengah mencemooh kewarasannya.

Matthew berjalan masuk menuju rumah---setelah mengantar beberapa tamu yang pulang sampai halaman depan---dan mencari Alex karena sejak terakhir ia menyuruh anaknya untuk mencari Esme akan tetapi belum mendapat laporan apa pun.

Pada detik itu juga, satu pemikiran mengerikan mendadak muncul ke permukaan dan menghantam telak kecerobohan Matthew.

Nyaris satu jam yang lalu, Esme pergi untuk meminum obat karena mengaku kepalanya terasa sakit. Dan setengah jam setelah itu Alex datang, mencari ibunya ... seperti dalam mimpi.

Tangan Matthew terhenti saat memegang gagang pintu rumah. Jika ini memang sama dengan mimpinya, apakah itu berarti akhirnya juga akan sama?

Dengan cepat, Matthew menghambur masuk ke dalam rumah. Detak jantungnya memompa cepat. Dalam hati Matthew menyumpahi kebodohannya sendiri karena telah membiarkan dua orang yang disayanginya lolos dari pengawasan malam ini. Matthew harusnya bersikap protektif, mencegah agar hal yang sama terjadi kembali. Baik mimpi atau pun bukan, firasatnya kini kuat mengatakan bahwa ada sesuatu yang tak beres sedang terjadi di rumahnya.

Adrenalin mengalir cepat dan ketakutan luar biasa merambati kulit Matthew ketika berlari menuju kamar Alex.

“Tidak mungkin, tidak mungkin hal buruk ini terjadi lagi, tidak–” 

Matthew terpaku sempurna saat membuka pintu kamar Alex dan mendapati mayat anak semata wayangnya terbaring bersimbah darah, tampak merah agak menghitam. Napas Matthew kini terpotong, jantungnya seakan terjun bebas dari tempatnya berada dan membuat pria ini terduduk di samping mayat anaknya.

Bulu kuduknya merinding luar biasa.

Suara langkah kaki yang mendekat tertangkap telinga, tapi tubuh Matthew tak kuasa bergerak. Keterkejutan masih mengguncang kejiwaannya, dan dari sudut mata, tampaklah bintang utama dari mimpi buruknya. Sosok berpakaian hitam dan bertopeng itu muncul dari balik pintu, memancarkan aura teror yang murni. Sang pembunuh malam perlahan mendekat dalam baying kegelapan, dan Matthew bersumpah bisa mendengar tawa keji imajiner itu lagi dalam kepalanya.

“I … I … ini …,” dengan napas memburu, dan keringat yang mengucur deras, Matthew perlahan membalikkan kepalanya dan mendapati sebuah mata pisau meghujam ke arahnya.  “… bukan mimpi ….” 

*****************************

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro