Bab 3. Welcome, Your Majesty

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bab. 3 Welcome, Your Majesty

“Apakah Time Changer itu sudah ditemukan, Snape?”

Lengang. Suara Pangeran Titan begitu terdengar tegas dan mengintimidasi. Di peraduannya, Pangeran Titan melayangkan tatapan tajamnya pada Snape yang masih melakukan pembacaan terhadap bola kristal di hadapannya. Di balik pakaian kerajaannya yang menjuntai sampai kaki, juga berhiaskan bulu angsa yang begitu lembut, Pangeran Titan begitu terlihat tampan. Wajahnya nampak seperti mahluk sempurna, begitu juga dengan kulitnya yang seputih salju. Matanya berkilat berwarna merah cerah dengan pupilnya yang hitam menatap lekat bola kristal. Ruangan tempat peraduan Pangeran Titan begitu megah, didominasi dengan warna biru aquatic dan putih. Dinding kerajaan berlapis kristal, menjadikan ruangan tersebut bak kerajaan es dengan beberapa pilar yang menjulang tinggi berbentuk relif naga.

Snape menarik tudung jubahnya yang berwarna hijau zamrud untuk menampakkan wajahnya yang menunjukkan senyuman sinis, rambutnya yang panjang berwarna putih begitu kontras dengan warna kulitnya yang sedikit kecokelatan. Mata hitamnya balas menatap Pangeran Titan. Mengedarkan pandangan pada sekeliling ruangan megah itu.

“Your Majesty, sepertinya, dia seorang anak perempuan. Usianya sudah mencapai tujuh belas tahun. Sudah sangat pas bagi dirinya sebagai seorang Time Changer yang sesungguhnya.”

Pangeran Titan mengembuskan napas berat, “Lalu dimana dia tinggal? Apa dia anak dari seorang Time Changer sendiri? Sudah lama kita mencari keberadaannya, tapi untuk kali ini, ramalanmu sedikit waras, Pak Tua.”

Snape mengangguk, “Dia anak dari keturunan Putri Selena dan Ilmuwan Bumi itu, anak dari Time Changer juga.”

“Apa kau tuli! Dimana dia tinggal sekarang!”

Pangeran Titan bangkit berdiri, mengeluarkan pedang pusakanya dan mengacungkannya tepat ke hadapan Snape. Ia benar-benar terlihat marah, terlihat dari matanya yang membelalak dan suaranya yang menggeram emosi. “Jangan mentang-mentang aku memanggilmu ke sini tanpa diketahui Raja dan kamu hendak menyembunyikan fakta dengan mengalihkan pembicaraan?! Berani-beraninya kau mengalihkan pembicaraan pentingmu itu!”

Sang peramal hanya bisa menunduk, menyembunyikan senyum menggelikannya terhadap sikap Pangeran Titan yang semena-mena terhadapnya. “Anak itu tinggal di Dunia Bumi. Tepatnya di daerah Timur Bumi. Kota yang terlihat ramai dan canggih. Semua bangunan di sana berbentuk oval. Alat transportasinya sudah maju, menggunakan kapsul bertenaga sensor dan uap. Dia tinggal di pinggiran kota. Menjorok menuju beberapa jalan kecil dan rumahnya berwarna biru laut. Ibunya seorang Time Changer, dia memakai kalung berbandul milik Putri Selena. Dia mendapatkannya turun temurun, T
tepatnya anak pertama Putri Selena, Pangeran Nebula. Yang sukses anda bunuh ratusan tahun lalu.”

“Hei Sialan! Jangan memanggil anak Selena dengan sebutan pangeran atau putri. Itu belum resmi. Masih banyak anakku yang seharusnya patut menjadi pangeran dan putri. Ayahku terlalu menyayangi Selena, dan kecewa sendiri olehnya. Dasar! Ayah pilih kasih! Seharusnya Ibu masih ada, dan tidak seharusnya mati bunuh diri karena Selena. Semua ini gara-gara Selena!” pedang yang sedari tadi berada di genggamannya telak menebas salah satu guci hiasan berlukis nimfa di dekatnya. Suara pecahan guci begitu mendominasi ruangan yang hanya diisi dua manusia itu. Aura panas mulai menguar dari tubuhnya. Suhu dalam ruangan mulai ikut memanas. Sudah jelas, Pangeran Titan murka dan mulai mengeluarkan kekuatannya.

Sengaja, pria tampan itu melakukan pembacaan hanya empat mata dengan Snape, sehingga Snape bisa dia kendalikan tanpa campur tangan orang lain. Snape terhenyak kaget, melihat aksi brutal Pangeran Titan di depannya. Pecahan guci mulai tersebar di dekatnya. Hawa panas mulai membuatnya tertegun dengan kemarahan Sang Pangeran. Ia menelan ludah kembali menatap Pangeran Titan yang murka terhadap saudara kandungnya sendiri, Putri Selena.

“Your Majesty, aku—“

“Siapa nama anak itu, dan nama Ibu dari anak itu. Sudah lama aku ingin membunuh semua keturunan Selena. Dia pantas mendapatkannya. Ibuku mati bunuh diri karena kecewa padamu, Selena!” Pangeran Titan kembali menebas beberapa guci-guci keramik di dekatnya, berteriak dan menyerukan nama Putri Selena dengan penuh amarah, “Kau tahu, Pak Tua, dia telah membuat Ibuku mati! Dia pantas dikurung selama-lamanya!”

Snape menghela napas, membaca bola kristalnya dengan gelisah. Ujung mata pedang milik Pangeran Titan sudah berada di lekukan lehernya. Menelan ludah, ia berusaha melihat apa yang ditampilkan bola kristal yang sudah dimantrainya.

“Pangeran, dia bernama..”

Snape melihat seorang gadis bermata cokelat dengan wajah malas, berambut panjang menggunakan pakaian—seragam sekolah—yang tidak lazim bagi Dunia Kerajaan Bulan. Gadis itu menggunakan earphone, menghentakkan kepala di sebuah ruangan dengan pakaian yang sama. Peramal itu mengernyit, melihat seorang wanita dengan wajah yang hampir sama sedang berada di sebuah ruangan merajut syal berwarna biru tua. Seorang pria datang menghampiri wanita itu, mengecup keningnya mesra duduk bersama menonton televisi. Snape yakin, pria itu adalah ayah dari calon Time Changer itu sendiri.

“Dia bernama Melvina Nala Swastamita. Ibunya seorang Time Changer yang sudah melepas diri dari tugasnya, namanya Gemintang Swastamita. Sementara ayahnya berasal dari pribumi, Pattimura Swastamita. Marganya berasal dari suaminya. Gemintang sengaja menikahi pribumi karena ingin mendapatkan perlindungan ketat dan tidak terlacak. Keberadaannya selalu tidak terdeteksi karena kepintarannya menghentikkan waktu. Dia tidak memiliki ramuan awet muda. Selama ini, keluarga anak itu hidup bahagia tanpa kendala. Dan aku yakin, jika sinyal Time Changer mulai terdeteksi, kita bisa mengetahui keberadaan anak itu sendiri. Sama seperti Nebula dulu.”

"Kau tahu, Pak Tua, lapisan ozon di Bumi sudah semakin menipis. Kesempatan besar jika kita berteleportasi tanpa melewati waktu hingga bertahun-tahun. Pantas saja, pasukan militer kerajaan semakin gencar memasuki Bumi. Sialannya, mereka masih tidak kunjung menemukan apa yang sedang aku cari."

Suara ketukan pintu mulai terdengar. Pangeran Titan melirik tajam ke arah pintu, menjauhkan pedang tersebut dari leher si peramal kerajaan, menghampiri pintu ruangan pribadinya tersebut.

“Masuklah,”

Pintu terbuka. Seorang wanita cantik lengkap dengan pakaian ala khas putri yang menjuntai menutupi kaki memasuki ruangan. Pangeran Titan melengos, menutup kembali pintu tersebut.

“Your Majesty, Raja memanggilmu untuk membahas masalah hukuman Putri Selena. Saudaramu membutuhkan keputusan untuk kelangsungan hidupnya,” wanita cantik itu mengusap pundak atletis Pangeran Titan yang tertutup jubah kristalnya. “Pergilah.”

Pangeran berdecih, "Kau tahu, Istriku, aku ingin sekali melihat Selena tersiksa. Aku tidak ingin melihatnya mati secepat itu mendapatkan hukuman. Dia pantas mendapatkan siksaan sebelum menemui kematian.” Pangeran Titan melayangkan tatapan membunuh pada Snape, “Dan kau, Pak Tua, jangan pernah beritahu ambisiku itu. Atau pedang ini habis memenggal kepalamu dengan semua keluargamu.”

“Ba-baik, Pangeran.” Matanya menunduk takut, kepalanya ditutup kembali menggunakan tudung dari jubahnya.

*

Lalu-lalang kapsul umum mulai memadati laju lalu lintas. Biasanya, trotoar tempat berjalan kaki seringkali ditemukan beberapa pedagang liar yang sengaja berjualan di atas trotoar. Belum lagi beberapa pengemis dan tunawisma yang selalu mencegat beberapa pejalan kaki yang hendak melewati mereka dengan tatapan risi dan terganggu. Gangguan seperti itu sudah tidak ada lagi setelah kebijakan Kepala Dewan Distrik Timur merapihkan jalan dan membersihkan jalan dari gangguan tersebut. Mereka yang terkena razia tidak sembarang kabur dan ditahan oleh anggota keamanan kota, tapi mereka diberi peringatan dan membuat perjanjian bersama pemerintah. Perjanjian itu berisikan hukuman agar mereka mengikuti balai pelatihan kerja yang didirikan Kepala Dewan baru-baru ini. mereka diperintahkan untuk bekerja di sebuah pabrik yang membutuhkan beberapa tenaga kerja. Tidak hanya pedagang liar dan tunawisma saja, pengamen dan pengangguran lainnya diberantas tuntas untuk mengikuti kebijakan yang dikeluarkan Kepala Dewan yang barusaja menjabat beberapa minggu itu.

Kota ini sebenarnya kota yang paling terbelakang dalam kemajuan teknologi. Walau sebenarnya kemajuan teknologi di dunia Bumi berasal dari ilmuwan asal Distrik Timur.

Setelah kejadian Perang Dunia ke tiga meletus, semua negara terpecah dan berubah menjadi sebuah Distrik. Terdapat lima Distrik di dunia Bumi saat ini, yaitu Distrik Barat, Distrik Utara, Distrik Pusat, Distrik Selatan, dan Distrik Timur. Kali ini semua Distrik sudah menggunakan alat-alat teknologi canggih hasil temuan Edward Sjahrir. Tidak dapat dipungkiri, Keluarga Sjahrir merupakan keluarga yang super kaya raya di semua Distrik. Namun, tidak semua orang tahu dimana rumah kediaman keluarga Sjahrir yang sebenarnya. Mereka hanya mengetahui keluarga besar Indurasmi Sjahrir yang berada di Distrik Pusat. Distrik paling indah dan canggih dalam penggunaan teknologi.

Semua bangunan di sana hampir berbentuk oval, atap dan dinding anti peluru, serta satu-satunya kota pusat yang mempunyai kehidupan kelas atas dari kalangan para borjuis. Sama seperti namanya, Distrik Pusat merupakan tempat berlangsungnya semua kegiatan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Lambat laun, Distrik Timur mulai meniru gaya rumah berbentuk oval itu untuk semua kalangan.

Ramaniya pernah bilang padaku; “Jika ingin hidup bebas, tanpa aturan, dan berfoya-foya, datang lah menuju jantung pusat Bumi. Distrik Pusat yang begitu liar dan licik.”

Dasar jalang cantik. Seharusnya dia enyah saja dari Bumi ini sebelum ayahnya mengetahui kebebasannya dalam pergaulan. Dulu, Ayahnya merupakan pengusaha makanan terbesar di Distrik Pusat. Begitu banyak uang yang diberikannya hanya untuk menyewa semua alat canggih yang diciptakan Edward Sjahrir untuk keberlangsungan produktivitas pabrik besar miliknya. Dia mengikuti jejak ayahku, pindah menuju Distrik Timur, menarik beberapa tenaga kerja, dan menjauhi area perkotaan seperti Distrik Pusat. Otomatis, Ramaniya mengikuti kepindahan ayahnya dan bersekolah di tempatku saat ini. Aku bertaruh, ayahnya sengaja memasukan Ramaniya di sekolah yang sama denganku agar bisa mendekati anak dari Edward Sjahrir. Seperti sekarang, kutatap amplop surat dari ayahnya itu. Aku berdecih, memasukan amplop digital itu ke dalam tas. Memikirkan bagaimana jika Ramaniya mempunyai rencana lain selain menghasut ayahku.

Yang terpikirkan olehku, mengapa ayahnya tidak mengizinkan Edward Sjahrir menandatangani surat kerjasama dengan Kepala Dewan Distrik Timur? Aku menyeringai, hipotesisku mengiang di kepala. Ayahnya ingin menyingkirkan Kepala Dewan yang sedang melancarkan bisnis penciptaan kapsul pribadi dan bersaing secara diam-diam melalui media Edward Sjahrir. Ayahku.

Dasar lintah darat.

“Kerjakan!”

Aku mendongak, kulihat siapa yang barusaja melemparkan buku tulis ke atas kepalaku dengan tidak sopan.

Kanta. Siapa lagi kalau bukan preman kelas temperamental yang satu ini. tidak hanya dirinya, tiga temannya sama-sama melemparkan bukunya ke atas meja. Menyuruhku tanpa kata. Grup sampah.

Alih-alih kuacuhkan permintaannya, dia menggebrak meja dengan keras, membuat semua teman sekelas menatap ke arah kami. Aku mendengus, malas meladeni anak preman berotak kosong seperti mereka.

“Lusa! Kamu tuli, ya? Punya telinga itu pakai, dengarkan. Aku bilang kerjakan soal matematika punyaku!”

Aku menatap sengit Kanta, “Punya otak itu pakai. Mikir. Kerjakan sendiri. Parasit.”

“Wah.. Boss, mulai ngelunjak dia!”

Kanta menatapku nanar, meraih kerah seragamku kasar. Aku mendengus, mengangkat kedua tangan tanda menyerah.

“Slow, Kanta. But, who do you think you are, Dude?”

Satu pukulan telak menimpa rahang kananku. Tubuhku terbanting menimpa kursi dan meja di belakangku. Bedebah. Aku berusaha bangkit, namun ia menerjangku, meraih kerah seragamku lagi dan meluncurkan beberapa pukulan di wajahku. Anjing. Andai saja aku bisa melawan dengan kekuatan tanganku, dia dan teman sebangsatnya sudah terkapar memohon ampun.

Keadaan kelas mulai menegang. Semua teman sekelas menatap kami ketakutan. Ada yang menjerit, berlarian keluar kelas, menonton, dan lebih parahnya lagi merekam adegan perkelahian kami. Edan. Satu lawan satu. Aku suka berkelahi seperti ini. Saat Kanta lengah, kutarik pergelangan tangannya, menariknya dengan hentakan keras hingga posisi kami terbalik. Aku melayangkan beberapa pukulan keras padanya, menarik kerah seragamnya dan membantingnya ke arah kursi dan meja di belakangnya. Suara jeritan anak perempuan mulai mendominasi. Kuusap darah di sudut bibir, meloncat ke arahnya dan kembali memberikan pukulan tanpa ampun.

“Berhenti Lusa! Kanta! Berhenti!”

Kudengar suara Padma berusaha menghentikan perkelahian kami. Kanta kembali memukul wajahku, menendang, dan kutangkis kakinya menggunakan kakiku, hingga dia terjatuh. Aku kembali menghajarnya, saling memukul seperti di dalam ring tinju. Tidak ada yang berani memisahkan kami berkelahi selain suara Padma yang kini memegang kepalanya frustrasi, bingung dengan keadaan kelas yang sudah porak poranda berantakan gara-gara perkelahian sengit kami.

Pintu menjeblak terbuka, memperlihatkan guru konseling menatap kami nyalang hingga kami memisahkan diri secara terpaksa. Penampilan kami jauh dari kata baik-baik saja. Pakaian kusut, darah mengalir di sudut bibir, hidung, dan pelipis kami. Rambut kami acak-acakkan, mata kami tidak lepas menatap satu sama lain. Jancuk. Surat untuk ayahku bertambah menjadi dua, yakni surat panggilan orangtua.

Pria berkacamata itu berjalan ke arah kami, berkacak pinggang sebelum akhirnya menarik ujung telinga kami, membuatku meringis mengaduh.

“Sudah bosan sekolah di sini, ya? Heh! Ikut Bapak!” pria itu berteriak di setiap telinga kami, menyeret kami keluar dari dalam kelas.

“Perfect couple!” kulihat Evi barusaja memasuki kelas sambil melipat tangan di dada, menertawakan kami. Kanta menggeram marah, menatap nanar Evi karena berani mengadukan kami pada guru konseling. Sementara aku tersenyum sengit, melayangkan jari tengah ke arahnya. Dia merapatkan bibir, mendengus geram mengepalkan tangan ke udara pada kami. Aku berdecak sebal, sebelum akhirnya hilang di kelokan koridor sekolah.

Di sisi lain, Padma menghela napas lega. "Butuh tenaga ekstra untuk membangunkan Evi dari kemalasannya pergi ke ruang konseling. Huh, leganya."

*

Untung saja Lusa dan Kanta tidak sampai dipulangkan ke rumah atau lebih parah mendapat skors untuk beberapa hari. Jadi Lusa bisa kami ancam dan kami jadikan mesin pekerja soal matematika yang ditugaskan tadi. Padma hanya bisa mengerjakan dua soal, sedangkan aku menyerah dengan rambut yang sudah acak-acakkan frustrasi. Bayangkan saja, soal matematika beranak pinak itu hanya bisa dikerjakan oleh si biang kerok Lusa hanya dengan lima menit saja. Dengan luka lebam dan wajahnya yang malas ia berikan jawaban itu pada Padma, dan Padma menyebarkan jawaban itu untuk kami salin di kertas jawaban kami.

Selang beberapa menit, kami selesai menyalin jawaban Lusa. Kami mengucapkan terima kasih dengan hiperbolis. Lusa hanya menjawabnya dengan gumaman, berakhir dengan kata “Parasit.” Yang sontak membuat Kanta kembali hendak menyerang Lusa untuk menghajarnya dengan brutal. Cepat-cepat aku menghalangi aksi Kanta, memperingatinya untuk waspada terhadap Lusa. Sang Tuan Muda Sjahrir yang bisa saja melaporkan kami dan bertindak seenaknya sebagai anak dari ilmuwan yang amat sangat kaya raya itu.

Kanta menatapku kesal, membanting kertas jawabannya kemudian berjalan meninggalkan kelas. Bolos, itu lah kebiasan Kanta dan teman pentolannya yang kini menyusul Sang Boss ke tempat basecamp mereka.

“Padma, antar aku ke ruang guru, ya.” Aku tersenyum masam, membereskan semua kertas jawaban teman sekelas bersama Padma. Mataku melirik Lusa sekilas, dia menghilang.

Astaga, barusaja aku menghalangi Kanta memukulnya tepat di meja belakang, dan sekarang dia sudah menghilang entah kemana. Dasar biang kerok! Sudah bisa dipastikan dia sekarang ikut bolos seperti Kanta, atau lebih parah melanjutkan perkelahian mereka di belakang sekolah.

Masa bodoh. Aku capek menjadi ketua kelas di kelas ini. Kelas unggulan yang sebenarnya berisikan manusia-manusia plastik yang hanya menginginkan citra baik di depan guru-guru dan keluarga mereka. Termasuk aku sendiri.

“Catch me if you can, Nala.”

Aku terhenyak, menoleh ke arah sumber suara. Tepat di telinga kananku, Lusa berbisik penuh peringatan. Namun nihil, dia tidak ada di dalam kelas. Aku berani bersumpah, barusaja Lusa berbisik di telinga kananku!

Apa jangan-jangan ini hanya halusinasiku saja? Karena sering kali menggiringnya pada masalah seperti tadi? Karena aku mengadukan perkelahiannya pada guru konseling?

Aku bergidik, mulai merasakan hembusan napas hangat di tengkukku. Refleks, aku menoleh, mengusap tengkukku gemetar. Tidak ada siapa-siapa. Hanya Padma di sampingku sekarang. Bisa saja Padma bertindak jahil padaku, tapi untuk apa? Padma sedang menghitung jumlah kertas jawaban dengan serius karena takut ada teman sekelas yang belum mengumpulkan tugas. Benar-benar menjengkelkan.

Apa di zaman sekarang masih ada mahluk yang bernama hantu? Sama seperti kejadian turun dari kapsul tadi? Ibu, aku benar-benar gelisah sekarang.

“Padma, apa barusaja kamu berbisik di telingaku? Atau, meniup tengkukku?”

Padma mengernyit, “Apa yang kamu bicarakan, Evi. Sedari tadi aku sibuk menghitung. Jangan banyak melamun. Yuk, kita antarkan sekarang. Sudah tidak ada yang tertinggal.”

Aku menghela napas pelan. Membawa semua kertas jawaban untuk diberikan kepada guru matematika kami. Kuharap Lusa tidak memanipulasi semua jawaban matematika ini, dan mengumpulkan kertas jawaban yang baru di meja guru matematika kami. Dasar! Kenapa tidak terpikir olehku sejak tadi!

Sesampainya kami di ruang guru, kami berjalan menuju meja guru matematika kami. Kebetulan guru itu sudah datang, asyik menyeruput kopi hitamnya dan bercakap ria dengan guru Sejarah kami di sampingnya.

Aku menghela napas berat, sementara Padma di sampingku berdecak kesal sambil menyindir guru matematika kami.

"Pantas saja perutnya buncit, gaji buta dia makan.”

Kami tiba di meja guru matematika kami, memberi salam dan menyerahkan tugas kami di atas meja kerjanya. Samar-samar, mataku melihat sebuah kertas jawaban dengan tulisan dan angka berbeda dari kami. Aku membulatkan mata, melihat nama yang tertera di kertas jawaban di samping tumpukan tugas kelas kami. Itu nama Lusa.

Aku menggigit bibir, menyikut Padma yang tengah menjawab pertanyaan basa-basi kedua guru kami itu.

“Apa?” Padma menatapku, melirik arah mataku, “Ya ampun!”

Padma menutup mulut menggunakan tangan, hampir menjerit melihat kertas jawaban Lusa. Ia mengalihkan pandangannya pada guru kami, bertanya dengan pasti, “Pak, apa Lusa sudah mengumpulkan tugasnya?”

Guru matematika kami mengangguk sambil tersenyum, “Sebelum kalian datang ke sini, dia sudah mengumpulkan tugas. Seperti biasa, hasilnya memuaskan. Memangnya ada apa dengan si jenius itu?”

Aku mengepalkan tangan di balik rok, berusaha tersenyum manis melirik tumpukan jawaban kertas ulangan kelas kami. Soalnya sama, tapi jawaban Lusa berbeda. Sialan!

“Kalau begitu, kami kembali ke kelas.”

Aku menarik tangan Padma yang masih bergeming tidak percaya. Keluar ruang guru berjalan menuju kelas kami dengan berbagai umpatan dan ancaman untuk si biang kerok itu.

“Benar-benar licik. Sudah kubilang, jangan mengikuti jawabannya, Padma.”

Padma melirikku kesal, “Sudah lah Evi! Jika kita melihat jawabanku, atau mengandalkan kemampuanku yang pas-pas an, bisa-bisa soal itu selesai saat jam pulang sekolah. Lagipula, sebagian jawabanku sama dengan yang Lusa berikan.”

“Itu jebakan, Padma. Lusa mempermainkan kita! Dan sebentar lagi, satu kelas akan mendapat hukuman karena mendapat nilai anjlok dengan jawaban yang serupa.”

Aku mendengus frustrasi. Lebih baik mengerjakan tiga soal saja daripada mendapat citra buruk untuk kelasku. Apalagi aku ketua kelas mereka. Habislah aku dilahap rasa malu.

Setibanya kami di depan kelas, kugebrak pintu kelas dengan keras. Tidak peduli dengan berbagai tatapan terkejut dan geram dari teman sekelas. Mataku menyapu pandangan mencari si biang kerok itu, ternyata dia sedang duduk bersantai dengan tangan memainkan rubik kesukaannya. Wajahnya terlihat santai, menggunakan earphone melirik ke arahku sekilas, lalu kembali fokus pada rubik di genggamannya. Kuhampiri biang kerok itu, menggebrak mejanya kasar.

Lusa tersentak, mencabut earphonenya dan meletakan rubik yang sudah rapi di atas meja. Menatapku. “Bisa tidak pakai etika yang baik jika hendak bicara pada orang lain?”

Aku menatapnya nanar, “Berani-beraninya kamu mempermainkan kami, Lusa.”

“Mempermainkan bagaimana?”

“Jawaban soalmu berbeda dengan kami! Dengan liciknya kamu mengganti semua jawaban dan mengumpulkannya terlebih dulu. Lusa, kami tahu kami bodoh, tapi jangan sampai kamu mencoba membodohi kami seperti ini!”

Mendengar semua perkataanku dengan lantang, sontak teman sekelas mulai menghampiri meja Lusa dan menatapnya tidak percaya.

Lusa menghela napas berat, berdiri dengan gerakan santai menyebalkannya itu. “Kamu salah paham, Evi.”

“Salah paham bagaimana, Lusa, sudah jelas-jelas aku melihat jawabanmu berbeda dari kami. Apa maksudmu!” aku benar-benar sudah di luar kendali, kulihat cahaya merah berkelap-kelip pada jam tangan Lusa. Sudah lama aku melihat cahaya merah itu di jam tangan Lusa jika ia berdekatan denganku, apalagi berhadapan seperti ini. Masa bodoh, ini bukan waktunya penasaran dengan alat canggih jam tangan si biang kerok ini.

"Jika kamu tidak menyukai kami menyalin semua jawabanmu, ya sudah. Jangan memaksakan diri dan mengorbankan kami.”

“Maksudmu apa, Lusa?” Padma ikut bertanya, di sampingku.

“Kamu benar-benar salah paham. Aku mengumpulkan jawaban dengan jawaban yang berbeda karena aku ingin agar guru itu tidak curiga jika aku mencontekkannya pada kalian. Aku sengaja membedakan jawaban bukan karena aku memanipulasi jawaban kalian. Semua jawaban kalian kupastikan benar semua. Aku berani bertaruh, kalian akan mendapatkan nilai yang sama denganku. Dengar, semua jawaban kalian itu benar, aku menggunakan rumus yang berbeda agar bisa mengecoh guru itu. Pada dasarnya, jawabanku dengan jawaban kalian sama. Tapi aku menggunakan cara dan jalan menghitung yang berbeda. Mengerti?” Lusa menatapku tajam, “Dan, kamu, seharusnya kamu bisa memecahkan taktik yang aku pakai, Evi. Kamu itu ketua kelas, seharusnya bisa mengendalikan emosi dan pikiran negatifmu padaku.”

Aku terdiam. Semua teman sekelas ikut bergeming.

Lusa mendengus pelan, mengusap wajahnya kasar. “Sudah lah, jika kalian tidak percaya padaku atau lebih tepatnya mengerti maksudku, terserah.” Lusa kembali duduk, meraih rubik dan mengangkat kedua kakinya ke atas meja, “Je deteste ma vie (Prancis: aku benci hidupku).”

Ya ampun, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Pintu kelas terbuka lebar, memperlihatkan Kanta dengan teman-teman pentolannya barusaja masuk dengan membawa tumpukkan kertas dengan wajah malas.

“Evi! Bagikan.” Dia meletakan tumpukan kertas itu di meja guru, berjalan menuju Lusa. Memukul bahu Lusa akrab, “Thanks, Brother! Jawaban warasmu benar-benar ampuh!”

Aku menatap Kanta tidak mengerti. Sementara Lusa masih saja memasang wajah masam, mengangguk samar. “Berapa nilaimu, Bangsat?”

Kanta tertawa, memukul bahu Lusa lebih keras, “Aku tidak akan menghajarmu karena menyebutku bangsat, Njing. Nilaiku seratus! Full! Bukankah benar, teman?”

“Benar, Boss!”

Aku melirik Padma, dia hanya bisa mengangkat bahu dan tangan. Menyerah. Teman sekelas mulai menghampiri tumpukan kertas yang sudah diberi nilai. Seratus. Mereka tersenyum senang tidak percaya.

Aku memutar mata jengah, merasa bersalah dengan hipotesis dan tuduhanku pada si biang kerok ini. “Maaf.”

Lusa melirikku sekilas, kembali fokus pada rubik di tangannya.

“Aku minta maaf, Lusa.” Sekali lagi, dia mengabaikan permintaan maafku. Astaga, dia benar-benar menjengkelkan. Ku tarik rubik itu dan menjauhkannya di belakang punggung, “Hei, Lusa, aku minta maaf.”

Dia menatapku jengah, berdiri, “Tuduhan dan bicara tanpa bukti itu jatuhnya fitnah, Melvina. Dan kamu tidak tahu akibatnya jika kamu semakin memperkuat argumen kesalahpahamanmu itu.”

Aku meneguk ludah, “Aku minta maaf. Lain kali aku akan berpikir dulu sebelum bertindak.”

Lusa tersenyum sengit, mendekat, menarik rubik di belakang punggungku yang sengaja kusembunyikan. Hembusan napasnya begitu dekat di telinga kananku, “Aku maafkan, Melvina.” ia menarik diri, menatapku sengit dengan seringai yang terbit di bibirnya. “Jangan ulangi lagi. Salah sasaran, fatal akibatnya.”

Aku mengembuskan napas panjang, memutar mata sebal pergi menuju tumpukkan kertas jawaban di meja guru. Padma tersenyum di sampingku, “Benar-benar. Lusa tidak mudah ditebak, Evi.”

“Sudahlah.”

Padma terkekeh, pergi meninggalkanku yang masih mencari kertas jawaban ulanganku. Salah sasaran, fatal akibatnya. Aku merengut, menoleh ke arah Lusa yang masih asyik sendiri dengan rubik yang dimainkannya. Kata-katanya mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang telah menawanku setiap malam. Malaikatku.

Dunia ini hanyalah imajinasi dirimu, namun berdasarkan realita. Jika aku telah bertemu denganmu, dekat denganmu, mengenalkan semua apa yang menjadi rahasiamu padaku, apa kau tetap memilihku? Dunia imajinasi, harapan sesaat yang muncul tanpa peringatan mengarahkanmu pada sebuah teka-teki. Keping hatimu, untuk semua rakyatmu, wahai Putri. Bukan untukku, pangeran, juga bukan untuk sang Arjuna. Percayalah, kau akan mengetahui apa yang sedang dimainkan Jagat kepadamu. Alam menunggu kehadiranmu.

Semakin hari Malaikatku selalu berkata aneh dalam mimpi. Kerajaan, pilihan hati, dan konsekuensi yang menurutku sulit untuk dimengerti.

Aku bukan lah Putri, ibuku saja hanya pengrajut sederhana, sedangkan ayahku hanya seorang mandor dari Distrik Selatan. Keluargaku sering berpindah tempat tanpa sebab, dan mereka jarang sekali memberiku alasan kepindahan mereka berpindah-pindah di satu kota ke kota lain di Distrik Timur. Terkadang aku selalu bertanya pada ibuku perihal benda-benda yang mendadak berhenti tak lazim di saat-saat tertentu. Namun ibuku malah menyuruh ayahku untuk berpindah tempat. Seolah-olah kami buronan yang sangat sulit untuk ditemukan jika tidak segera meninggalkan tempat itu sendiri, itulah yang sering kurasakan jika Ibuku terkadang berbicara sendiri atau membaca mantra tidak jelas tanpa diketahui ayahku.

Beberapa kali aku menceritakan semua kejadian aneh yang terjadi dengan ibuku, tapi ayahku selalu bungkam menanggapi keanehan ibu. Bosan dengan rasa penasaranku, aku berhenti mengurusi. Sudah tidak aneh lagi jika mendapati ibu sering merapalkan mantra di setiap pagi mengelilingi rumah, sudah seperti paranormal saja.

Waktu telah cepat berlalu. Aku mengait tas hendak pulang bersama Padma. Gadis itu nampak begitu menggemaskan jika sudah menampakkan wajah malas dan menguap mengindahkan teman sekelas yang sudah tidak aneh lagi dengan kebiasaan frontal gadis jelita itu. Aku menelengkan kepala, menyuruhnya untuk segera keluar kelas bersamaku yang mengikutinya dari belakang.

Semua siswa berhamburan memadati tiap koridor hendak menuju gerbang sekolah untuk segera pulang. Gerbang sekolah berdecit, terbuka otomatis jika sudah waktunya jam pulang sekolah. Aku tersenyum, mengait tangan Padma keluar bersama berpuluh-puluh siswa lain. Kami berjalan menuju halte kapsul, menunggu kedatangan kapsul jurusan rumah kami.

“Sekarang peraturan sekolah tidak terlalu ketat, ya. Malah banyak sekali siswa yang mulai datang terlambat di hari upacara bendera. Biasanya juga hukumannya bukan menghadap bendera saja—“

“Kamu nyindir aku, Padma?” tanyaku sebal.

Padma menggeleng, tersenyum. “Hukumannya kurang lama. Seharusnya kalian masuk kelas jam setelah istirahat pertama. Tapi kamu dan Lusa malah dibiarkan pergi ke kelas.”

Aku mengernyit, “Maksudmu?”

“Err.. maksudku, gara-gara pergantian peraturan sekolah sekarang, sekolah kita agak kurang tertib. Entah mereka kurang tegas atau entahlah. Terlihat lebih santai dari biasanya. Saat di semester pertama kita masuk sekolah. Kamu masih ingat, kan? Waktu itu kamu dihukum bertiga gara-gara Lusa sama Kanta berkelahi. Dan hukumannya tidak cuma membersihkan toilet, tapi juga lari keliling lapangan, terus di skors lima hari. Dan kejadian tadi, tepat di depan mata anak didiknya berkelahi, guru konseling itu malah tidak memberikan hukuman kepada mereka. Dan anehnya, kamu sama sekali tidak terlibat?”

“Aku tidak tahu, Padma. mungkin, karena ancaman dari ‘orang kaya’ seperti keluarga Tuan Muda Sjahrir yang menyebalkan itu guru-guru atau pihak sekolah tidak berani menyuruhnya menjalani hukuman. Entahlah, aku tidak mau membahas sesuatu tentang aturan. Aku bukan seseorang yang teratur. Kamu mengingatkanku pada Arun, Padma.”

Padma menoleh cepat, terkejut, “Arun? Arunika Klandestin mantan ketua Osis itu? Kapan?”

Aku mengangkat bahu, “Tadi satu kapsul. Dia mengenalkan diri, hanya untuk memberi nasihat tidak jelasnya padaku.” Sudut bibirku sedikit naik, membayangkan wajahnya yang begitu mirip dengan malaikatku dalam mimpi, “Dia bicara soal disiplin.”

“Terus?”

“Ya, tidak ada lagi. Eh, sumpah, tadi aku merasakan bahuku ditabrak seseorang saat keluar dari kapsul. Terus, ada yang berbisik di telinga kanan dan meniup tengkukku.” Aku mengusap tengkuk, bergidik.

Padma menatapku horror, “Mungkin, mahluk leluhur kamu. Bukannya kamu suka cerita kalau Ibumu seperti paranormal? Bicara sendiri dan melihat benda berhenti seakan bumi tidak berputar?”

Saat aku hendak menjawab, kulihat Arun dan teman-temannya mulai mendekat ke arah kami. “Arun datang,” bisikku.

Padma menoleh, melihat Arun datang melewatinya dan berhenti di hadapanku. Sialan. aku gugup bukan main. Sementara Padma terkekeh, menahan tawa.

“Kamu yang tadi, kan?” tanya Arun tersenyum. Senyuman bak anggur yang memabukkan Tuannya.

Aku mengangguk.

“Kalau gitu, besok jangan kesiangan lagi, ya. Tadi aku lihat kamu dihukum waktu upacara.”

Jika saja wajahnya tidak semenyebalkan topik pembicaraannya, aku pastikan pergi mengabaikannya. Kuanggukan kepala, tersenyum malas. Kurasakan Padma menyikutku untuk tetap tersenyum.

“Ya sudah, kita tunggu kapsul sama-sama.”

“Temanmu tidak ada yang ikut, kan?” tanyaku antisipasi. Bisa-bisa mereka menggodaku lagi sepanjang jalan.

Arun menggeleng. “Mereka ada perlu, katanya.”

“Alasan, modus.” gumam Padma pelan.

Aku melotot, melihat Padma kembali berusaha menahan tawa.

Kapsul jurusan rumah kami menepi mendekat. Pintu kapsul berdesing terbuka. Kami memasuki kapsul bersama beberapa penumpang lain, mendekatkan kartu pelajar ke arah sensor, aman. Kebetulan kapsul terlihat penuh dan berdesakkan. Jika dilihat sekilas, kapsul ini mirip dengan transportasi yang bernama Bus sebelum Perang Dunia ketiga meletus. Bedanya, kapsul ini tidak memiliki sopir. Kapsul akan otomatis berjalan sesuai perintah sensor di setiap pemberhentian halte dan berapa penumpang yang akan memasuki kapsul. Di dalamnya terdapat sepasang, atau tiga kursi di setiap jajaran. Terdiri dari dua baris jajaran kursi. Sementara di bujur kapsul, terdapat sebuah pintu, dimana mesin sebagai otak dari jalannya kapsul seperti beberapa tombol untuk mengontrol kapsul sebelum diberangkatkan beroperasi di pagi hari oleh kondektur kapsul. Terdapat juga tempat untuk menyimpan barang-barang besar di atas kursi, juga gantungan di antara jajaran barisan kursi untuk penumpang yang tidak kebagian tempat duduk.

Di sini, aku Padma, dan Arun berdiri. Berhadapan bersama anak sekolah lain membiarkan para ibu-ibu dan beberapa orangtua untuk duduk di kursi yang tersedia. Kakiku mulai pegal, Padma mulai menguap, sementara Arun menyapu pandangan ke arah pintu kapsul untuk segera tutup dan berangkat melaju. Pintu kapsul berdesing, tertutup. Melaju sesuai kecepatan standar di jalan raya.

“Aduh!”

Aku menoleh, melihat seorang pria berkacamata, menggunakan penutup kepala dan berpakaian hoddie tidak sengaja menabrak pundakku. Ia menunduk sembari menutup wajah menggunakan koran. Duduk di kursi penumpang tidak jauh dariku. Mataku tetap awas mengawasi pria menyebalkan itu. Sudah keberapa kalinya bahuku menjadi korban tabrakan, entah itu oleh Lusa, Pria berkacamata, dan mahluk mencurigakan yang selalu menggangguku. Aku memejamkan mata, mengeratkan pegangan tanganku pada gantungan, dan mencoba untuk tidur.

“Evi,”

Padma mencolek bahuku, “Apa?”

“Kakimu menginjak Arun.”

Aku membelalakkan mata, menjauhkan kakiku, “Maaf Arun!” ku anggukan kepala meminta maaf.

Arun terkekeh, “Padma bercanda. Jangan tidur, banyak copet.”

Copet. Aku tersadar dengan sebutan penjahat lihai itu. Menoleh ke arah pria berkacamata tadi. Pria itu tampak mencurigakan. Membaca koran, sesekali mengawasi ke arah ujung pintu kapsul, bukan padaku. Kulayangkan tatapanku ke arah pintu kapsul. Menyipitkan mata. Si Biang Kerok berdiri santai di sana.

“Padma, tuh, lihat.” Aku menyikut Padma.

Padma melirik arah pandanganku, terkejut, “Lusa?! Dia naik kapsul umum? Tumben? Dia bukannya anak dari ilmuwan super kaya raya itu?”

“Siapa?” kini bukan suaraku, melainkan suara Arun di sampingku.

“Dia teman sekelas. Lusa Adipati Sjahrir. Anak dari Edward Sjahrir itu.”

Arun mendengus geli, “Mungkin dia ingin naik saja, Padma. Orang kaya selalu bisa melakukan apapun semau mereka.”

“Ya, aneh saja. Seorang Lusa Sjahrir. Marganya saja sudah membuat orang-orang memuji bukan kepalang. Naik kapsul umum?” Padma masih tidak percaya, mengobrol dengan Arun.

Aku tidak peduli. Mataku bergantian melirik pria berkacamata itu dengan Lusa. Bahkan, si Biang Kerok itu masih saja santai memainkan rubik tanpa melihat sekeliling. Pria berkacamata itu berdeham, memperbaiki posisi duduknya sambil mengarahkan pandangannya pada Lusa. Sebentar, aku benar-benar bingung dengan gerak-gerik antusias dan santainya pria itu dengan Lusa.

Kapsul berdesing. Tanda pemberhentian di halte selanjutnya. Padma berpamitan untuk turun dari kapsul, bersama beberapa ibu-ibu dan penumpang lain yang mulai bergantian menaiki kapsul, sehingga melonggarkan tempat duduk yang semulanya penuh menjadi lengang. Kulihat pria berkacamata itu tidak kunjung menandakan bahwa dia akan segera turun. Tetap duduk tenang sambil sesekali melirik Lusa. Si Biang Kerok itu menghilang. Syukurlah, dia terbebas dari tatapan lapar pria berkacamata itu. Beberapa kursi terlihat kosong, aku mengajak Arun untuk duduk di salah satu kursi barisan kiri. Akhirnya, kakiku bisa berselonjor santai. Tidak seperti tadi.

Pintu kapsul berdesing, tertutup dan kembali melaju. Arun menghela napas, mengeluarkan ponsel dan memainkannya di sampingku.
Bagus! Jadi aku bisa mengintip kembali pria berkacamata itu di belakang. Aku meminta izin pada Arun untuk duduk di dekat pria tadi. Kulihat pria berkacamata itu membenarkan duduknya, menaikkan kacamata, dan menyapu pandangan ke seluruh penjuru kapsul. Sudah kuduga, dia pasti mencari Lusa. Sudah terlihat, si Biang Kerok itu pasti sudah turun dari kapsul. Malah seseorang berpakaian serba hitam berdiri di sana menggantikan Lusa. Aku mengernyit, pakaiannya benar-benar mengundang perhatian. Topeng berukiran bulan sabit berkilauan menutupi seluruh wajahnya. Rambut hitam legam, jubah dan pakaian militer bernuansa hitam, serta pedang yang menjulur terkait di pinggang. Matanya begitu menatap tajam ke satu arah. Ke arah bujur kapsul dan.. ke arahku. Aku mengerjap pelan, kemudian ia mengalihkan perhatiannya pada bujur kapsul kembali. Menatap tajam berjalan ke arahku.

Kurasakan bahuku kembali tertabrak. Aku mengaduh, menoleh. Tidak ada siapa-siapa. Jantungku berdegup tidak karuan, mengingat mahluk astral yang mulai menghantuiku itu. Mataku kembali melihat pria bertopeng tadi, menggeram marah berjalan dan melewatiku menuju bujur kapsul dengan tergesa-gesa. Tubuhku kembali tertabrak olehnya, tapi kali ini aku tidak merasakan apa-apa. Seperti angin yang berhembus kencang menerpaku.
Tiba-tiba kapsul mulai bergerak tidak beraturan. Melaju kencang dari biasanya.

Aku berdiri panik. Melihat sekeliling jendela kapsul yang menampilkan betapa kencangnya kapsul ini melaju. Semua penumpang mendadak berdiri, memegang kursi ketakutan. Jantungku berdegup kencang, bersama beberapa penumpang yang mulai berseru menyuruh menghentikan kapsul yang mulai lepas kendali.

Arun ikut berdiri di sampingku. Wajahnya begitu antusias, “Ada apa ini?!”

“Hentikan kapsul ini, tolong!”

“Jantungku! Pelankan kapsulnya, kumohon!”

Aku melirik kesana-kemari ketakutan. Pria bertopeng itu menghilang di bujur kapsul. Tanganku begitu gemetar memegang kursi, berusaha menenangkan diri. Tapi gagal, jantungku begitu berdebar melihat penumpang lansia kini memegang dada sebelah kirinya hampir pingsan. Tak sengaja mataku melihat pria berkaca mata tadi. Sama-sama panik. Bahkan kini ia lupa menutup wajahnya menggunakan koran di genggamannya.

Suara dentuman keras mulai terdengar. Kurasakan jantungku sepertinya hampir copot mengetahui kapsul ini barusaja menabrak jalan trotoar dengan sembarang. Aku meringis ketakutan, melihat lansia tadi sudah pingsan dibantu beberapa penumpang di sebelahnya. Panik.

Dengan gerakan cepat Arun berlari menuju pintu kapsul dan menekan tombol darurat sebagai pengubung pihak transportasi pusat.

“Tolong! Kapsul kami lepas kendali!” suara Arun mendapat respons, sinyal merah menyala berkedip tanda bahaya keluar memancar di luar kapsul. Beberapa pejalan kaki dan kapsul lain mulai menghindar ketakutan. Tidak sedikit kapsul dan pejalan kaki menjadi korban laju kapsul kami. Arus lalu lintas mulai kacau. Napasku tersengal, seiring rasa takut mulai menjalar hingga tubuhku tegang dan lemas secara bersamaan.

“Tenang, Evi. Jangan takut.”

Arun memegang pundakku kuat, berusaha menenangkan. Tapi tetap saja, aku gemetar bukan main begitu kembali mendengar dentuman-dentuman keras yang kembali terdengar jelas. Tapi tetap saja, kapsul terus melaju kencang. Mengabaikan apapun yang akan ditabraknya sebelum pemberhentian halte berikutnya. Badan kapsul bergetar. Mengguncang penumpang yang kini terombang-ambing menghantam kursi penumpang dan dinding kapsul. Kepalaku mulai pusing, berusaha meraih apapun untuk tetap menjaga keseimbangan. Benturan keras kembali menggetarkan kapsul. Tubuhku ikut terbanting ke arah pintu kapsul. Meringis kesakitan. Tepatnya pelipisku yang terkena gagang besi tumpul. Kurasakan perih dan nyeri di kepala mulai menyerang secara bertubi-tubi. Tubuhku begitu terasa remuk, tersungkur dengan posisi yang begitu memalukan dan menyakitkan. Perlahan kurasakan cairan merah mengalir di pipi. Sialan.

Sepasang tangan berusaha membantuku berdiri. Arun mengangkat tubuhku perlahan. Meringis merasakan punggungnya yang barusaja membentur dinding kapsul di dekatku.

“Kamu tidak apa-apa, Evi?”

Aku menggeleng. Aku pastikan, jalur lalu lintas benar-benar kacau di sekitar kapsul sialan ini.

Dentuman keras kembali terdengar dari arah bujur kapsul. Dentuman itu semakin terdengar jelas saat aku berusaha mendekati bujur kapsul dengan susah payah. Penasaran dengan apa yang sedang terjadi di balik pintu bujur kapsul ini. Karena sebelumnya aku melihat sosok bertopeng berlari ke arah yang kutuju saat ini.

“Evi!” Arun memperingatiku untuk menjauh. Tapi aku tetap bebal dan berjalan meninggalkannya.

Persetan dengan tubuh kapsul yang mulai tidak karuan bentuknya terus menabrak tanpa peringatan. Toh pihak pusat saja tidak bisa mengendalikan kapsul lewat jarak jauh. Tanganku mulai menyentuh pintu tempat berbagai tombol itu, tidak terkunci. Kubuka pintu perlahan. Seperti magnet, tubuhku langsung ditelan pintu masuk ke dalam sebuah ruangan hingga pintu tertutup kembali dengan keras. Kurasaka kungkungan tangan seseorang telah mengunciku untuk tidak bergerak ke arah lain. Atau tidak, mungkin nasibku akan sama dengan luka dan kerusakan dinding kapsul di sekitar kami.

Wow. Apa yang kulihat saat ini benar-benar sulit dipercaya. Dua manusia beradu hantam cahaya berkilauan dan memukul lawan tanpa sentuhan. Yang satu di dekatku, mengacungkan tangan berpakaian anak SMA. Dan yang satu lagi menatapku intens berlawanan denganku, menggunakan topeng bulan menyerang secepat kilat ke arah kami.

Tubuhku terdorong menghindar, sebelum akhirnya anak SMA itu kembali membalikan serangan pria bertopeng itu menggunakan laser berperisai cermin menghalangi kami dari serangan. Sontak si pria bertopeng menghindar, membuat dinding kapsul jebol terkena pantulan serangan dari cermin perisai di depanku.

“Enyah lah dari mataku, Bangsat!”

Pria bertopeng itu mengabaikan seruan lelaki di sampingku, berhenti menyerang. Diam memperhatikanku, menilaiku dengan tatapan tajamnya. Mengayunkan tangan, membungkuk seperti memberi hormat.

“Selamat datang, Your Majesty.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro