Bab 4. Kedatangan Peter

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bab 4. Kedatangan Peter

Hanya satu perempuan yang bisa membentakku apalagi menuduhkan perkara yang sama sekali tidak kuperbuat, itu Ibu. Dan saat ini, perempuan di depanku benar-benar menguras emosiku dengan melakukan hal yang sama. Kesabaranku masih bisa kutahan, menghadapi masalah sebangsat ini dengan ketua kelas bodong di ruangan sialan ini. Sudah baik aku memberikan mereka jawaban secara gratis dan selalu mendapatkan nilai sempurna di mata guru-guru.

Ralat, secara gratis.

Tidak seperti ayahku yang selalu mendapatkan penghargaan dan bayaran di atas nominal gaji Dewan Distrik satu bulan di setiap penemuan dan ilmu yang di ajarkannya pada Mahasiswa di perguruan tinggi yang dikunjunginya untuk sekali acara seminar. Per jam pula.

Bangsat. Mereka malah menuduhku yang tidak-tidak, bahkan memfitnahku memanipulasi jawaban mereka dan mencari keuntungan tersendiri. Jika saja aku tidak memiliki hati nurani untuk mereka, sudah lama aku adukan kelicikan mereka terhadap pembelajaran, mencontek, menyuruhku berkali-kali mengerjakan tugas dan mencontekannya tanpa balasan terima kasih, dan sekarang rasanya ingin sekali kutelanjangi perempuan di hadapanku ini. Sekilas aku ingat adikku, Grahita. Emosiku surut dan kuurungkan keputusanku itu untuk membalas kepolosannya menuduhku yang tidak-tidak di depan teman sekelas.

Tidak puaskah dia melihatku babak belur berkelahi dengan Kanta beberapa jam yang lalu?

Mengingat kejadian perkelahian tadi, aku hanya mendapatkan surat peringatan dan membayar denda untuk pembangunan beberapa kelas tambahan di sekolah kami. Kanta yang biasanya misuh dan menolak dihukum membersihkan kamar mandi dan lari, mendadak terdiam mendengar keputusan guru konseling kami.

Dia terkekeh mencemooh, melirikku sengit sambil berkata, "Sering-sering saja kita berkelahi, maka sekolah akan menjadi seperti universitas negeri."

Aku memutar mata jengah, menarik kesimpulan yang dikatakannya tepat di depan guru konseling kami. Dana pembangungan pemerintah selama ini dikemanakan jika pembangunan kelas tambahan masih saja berupa onggokan batu bata dan pasir yang menggunung di sudut sekolah. Lalu mengapa pihak sekolah tidak kembali setegas dan seketat dulu dalam menanggapi peraturan hingga akhirnya baru kali ini hukuman kami hanya sebuah peringatan dan denda sebegitu besarnya.

Memang. Uang sudah meracuni beberapa otak penggerak pendidikan.

Kakiku berjalan menuju pintu gerbang sekolah hendak pulang. Beberapa siswa yang berlalu-lalang menatapku aneh. Tidak biasanya seorang Lusa Sjahrir berjalan kaki apalagi menaiki angkutan umum. Begitulah isi tatapan penasaran mereka terhadapku.

Persetan dengan omongan sampah mereka tentangku di sepanjang jalan. Mataku menangkap seorang perempuan yang kini tengah melipat dada berjalan anggun menghampiriku. Menatapku tajam dengan senyuman manisnya kini sudah berdiri di hadapanku. Sudut bibirku tertarik ke atas, menampilkan seringaian.

"Mana!"

"Mana?" aku mengernyit.

Dia berdecak kesal, melirik ke arah lain hingga rambutnya yang panjang bergelombang tersentak dengan anggun. "Surat Ayahku, Sayang."

Aku menaikkan bahu, "Tidak tahu, mungkin terbuang."

Jancuk! Satu tamparan keras menghantam mulus di pipiku. Rasa panas dan nyeri menyatu menjadi satu. Kami jadi pusat perhatian sekarang. Sekilas kulihat mantan ketua Osis bersama teman-temannya melewati kami. Menggoda kami seperti aku barusaja tertangkap basah selingkuh oleh Ramaniya. Anjing. Citraku benar-benar rusak di depan umum.

Masih tersungging senyum di bibir, aku memegang pundak Ramaniya lembut. Memperingatinya dengan tatapan tajamku yang kini mengunci pergerakannya.

"Just kidding, Darl." Mataku menatap tajam satu demi satu orang-orang yang berkoar melihat adegan kami. Sontak mereka mengalihkan perhatian dari kami. "Aku menyimpannya. Calm down. Padahal tinggal kirim email saja apa susahnya."

"Kau pikir Ayahmu itu punya waktu banyak hanya untuk membuka bahkan membaca ribuan email yang masuk, heh! Ayahmu itu selalu sibuk! Makanya, Ayahku memilih jalan melalui dirimu. Aku tidak akan membiarkanmu bermain sendiri, Lusa. Kamu lupa ya, seorang Ramaniya tidak akan melepaskan jaringnya sembarangan." Ramaniya melepaskan kedua tanganku dari bahunya, "Jangan harap kamu lepas dariku, Sjahrir. Ingat balasanmu selalu."

"Bagaimana kamu akan melepasku, Ramaniya. Sudah kaya, jenius, bonusnya tampan. Siapa yang akan berani melepasku."

Ramaniya mendelik jengah, mendekat. Mengacungkan tangannya membentuk sebuah pistol di dadaku, "Dimana pun, peluru akan menyambutmu."

Ia berbisik di telinga, membuat beberapa murid di sekitar kami menatap risi sekaligus iri. "Bye!"

Tangannya mendorong tubuhku menjauh, melenggang pergi menuju kapsul mewah pribadinya yang terparkir di dekat kami. "Oh, iya! Mau ikut?"

Aku menggeleng, "Aku takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan jika aku terus berdua denganmu." Terutama menyangkut nyawaku. Benar-benar jalang ini. Merepotkan.

Dia tersenyum manis, melayangkan kecupan jarak jauhnya padaku. Melesat pergi bersama kapsul yang dikendalikannya melaju meninggalkan sekolah.

Kuhembuskan napas berat. Melanjutkan perjalanan menuju halte kapsul. Kebetulan, tanpa harus menunggu lama kapsul jurusan rumahku sudah menepi menunggu angkutan. Berjalan santai, kuhampiri kapsul bersama beberapa penumpang yang berdesakan berebut memasuki kapsul. Saat aku hendak memasuki kapsul, tak sengaja mataku menangkap sesuatu yang ganjil, seorang pria berpakaian hodie, berkacamata, memakai penutup kepala, menabrakku memasuki kapsul. Dia berjalan terlebih dulu kemudian duduk di salah satu kursi lengkap dengan koran yang menutupi wajahnya.

Sial. Kapsul di sini benar-benar padat penumpang. Sengaja, aku berdiri di dekat pintu kapsul. Dengan malas kuarahkan kartu pelajar pada sensor pintu, aman. Instingku benar-benar mengatakan bahwa pria tadi begitu mencurigakan. Kali ini ia sengaja membenarkan duduknya, mengarahkan tangan sebelah kirinya padaku. Aku menyeringai, cincin hijau zamrud yang dipakainya terdapat kamera pengintai tepat mengarah padaku. Di samping penampilannya yang membuatku curiga, gerak-geriknya pun sudah tidak bisa menipuku. Kubuka resleting tas, merogoh rubik kesukaanku. Memainkannya.
Meyakinkan pria itu bahwa aku benar-benar bersikap santai berpura-pura tidak menyadari kamera yang merekam kegiatanku saat ini.

Ramaniya benar-benar tidak membiarkanku sendirian.

Kumainkan rubik di tanganku. Mungkin orang-orang hanya melihat ini rubik biasa. Bisa dibanting, diinjak, dan diputar seenaknya seperti yang selalu dilakukan Kanta. Sebenarnya ini bukan rubik biasa. Di dalam rubik ini terdapat beberapa data-data informasi penting yang selalu aku simpan menggunakan beberapa digit kode yang keluar hanya menggunakan sidik jari tanganku. Tidak hanya itu saja, rubik ini terhubung dengan alat pelacak di atas beberapa puluh, bahkan sampai ratusan meter di atas kepalaku. Drone transparan yang bisa menembus berbagai material yang dilewatinya. Di dalam drone itu sendiri, terdapat beberapa senjata bius, obat-obatan, serta peluru. Baik itu tembakan kecil maupun besar. Aku sendiri yang merancang drone canggih itu agar selalu bisa memantau siapa saja yang berniat untuk melukaiku, atau bahkan membunuhku.

Sensor jam tanganku berkedip cepat saat kapsul menepi di pemberhentian terminal B. Pintu kapsul terbuka otomatis. Konsentrasiku bukan pada orang-orang yang barusaja turun dari kapsul, tetapi pada sensor yang semakin berkedip cepat ketika mataku melihat seorang pria berjubah hitam militer dengan sebilah pedang menggantung di sisi tubuhnya. Sebelah tangannya menggantung mengarah tepat padaku.

Aku berdecih, memasang kuda-kuda sebelum manusia dengan topeng anehnya itu mendekat ke arahku berdiri. Sigap, aku berlari menghindarinya menuju pintu darurat kapsul. Tak sengaja, aku menabrak pundak seseorang dan sampai di balik pintu bujur kapsul.

"Sialan! Mahluk apa itu!" aku bersiap menunggu serangan yang bisa saja tiba-tiba menyerangku dari balik pintu. Kulempar tas ke ujung ruangan dengan kasar. Benar saja, sebelum aku hendak mengunci pintu bujur kapsul, si manusia berkostum aneh itu sudah terlebih dulu memasuki ruangan menembus pintu dengan mudah.

Aku menatap mahluk itu tajam, menembus? Bagaimana bisa? Sebenarnya mahluk apa di depanku ini!

"Hei, Bangsat! Siapa kau!"

Aku memasang kuda-kuda saat mahluk itu tiba-tiba melayangkan serangan cahaya seperti laser dengan disertai api tepat mengarah ke alat sensor ratusan tombol di belakangku berdiri. Refleks, aku menghindar sebelum tombol-tombol mesin di belakangku meledak dan hangus seketika.

"Sialan." aku mendesis pelan, mengusap sekilas dadaku yang bergemuruh berdebar hebat. Baru kali ini aku melihat kekuatan sebesar itu. Sebelah tanganku hampir saja ikut meledak dan hangus jika saja aku berdiam diri ketakutan saat mahluk itu mengeluarkan serangan.

Mahluk itu menatapku tajam, dari ujung kaki hingga kepala. Dan tepat saat itu ia kembali melayangkan serangan bertubi-tubi tepat ke arahku. Sontak aku terpaksa mengeluarkan laser perisai yang keluar dari sisi tangan kiriku. Percikan api dari pantulan laser pertahanku mulai menyebar, memantul hingga menyebabkan ledakan-ledakan besar yang dapat membuat dinding kapsul berlubang.

Kakiku tiba-tiba gemetar, bukan karena efek dari rasa takut berhadapan dengan mahluk sialan ini. Aku sama sekali tidak takut! Kapsul tiba-tiba bergerak lepas kendali dengan kecepatan tidak beraturan. Sempat tubuhku terguncang dan jatuh menimpa pecahan besi di sekitar ruangan bujur kapsul. Mataku melirik ke arah dinding kapsul yang sudah berlubang. Sudah kuduga, kapsul ini melaju semakin tidak terkendali, bahkan menabrak apapun objek yang berada di daerah kapsul.

"Aku tidak punya banyak waktu bermain-main denganmu, buronan sampah."

Kudengar sederet kalimat keluar dari mulut mahluk di depanku itu. Tunggu sebentar, Buronan sampah? Apa maksudnya?!

"Katakan, dimana Edward berada!"

Tanpa aba-aba, serangan cahaya api berwarna hijau itu kembali berdatangan. Dengan gesit aku melompat, melayangkan pukulan berdentum jarak jauh ke arah mahluk sialan itu. Dalam sekejap suara debuman terdengar keras akibat pukulan tanganku.

Tapi, tunggu! Dia menghilang?

"Me-menghilang?"

Sial! Kudengar suara tawa kecil tepat di belakangku berdiri, dan dalam satu serangan tepat di punggungku membuat tubuhku sukses terpental membentur dinding kapsul. Aku menjerit geram.

"Bangsat!"

Kurasakan tubuhku terasa remuk redam ketika wajahku membentur dinding yang sudah berlubang terkelupas bekas serangan si mahluk aneh di belakangku ini. Punggungku rasanya sudah kebas dan enggan untuk berdiri tegap berbalik menyerang. Sial.

"Bangun. Aku ingin tahu dimana Edward. Setelah itu aku akan membawamu, hidup atau mati."

Mahluk aneh itu kembali bersuara. Dengan susah payah aku berusaha bangkit dan mengenyahkan segala luka di sekujur tubuh saat ini. Wajahku mungkin sudah tidak beraturan lagi. Yang kulihat hanya cairan merah kental sudah menetes dari kepala, pelipis, hidung, bahkan bibir. Untung saja gigiku selamat.

Kulangkahkan kaki goyah, memasang kuda-kuda. Kali ini posisiku berada tepat di depan pintu kapsul. Sementara mahluk sialan itu berada di dekat ujung ratusan tombol pengendali kapsul. Aku meludah kasar, merasakan cairan asin yang sudah membuatku muak di dalam mulut. Darahku entah dari gigiku yang mana. Aku sudah tidak peduli dengan semua lukaku.

"Sebenarnya, kau itu siapa, keparat!" mataku menatap nanar mahluk di depanku. Dia hanya berdiri tanpa ekspresi, "Kenapa kau memanggilku buronan sampah!"

Suara gaduh dan ketakutan semakin terdengar jelas di balik pintu. Aku pastikan, banyak lansia dan orang-orang di dalam sana ikut terbanting dan jatuh pingsan akibat kecepatan laju kapsul. Itu semua akibat si mahluk sialan ini. Seenaknya mengeluarkan serangan dan meledakkan tombol-tombol pengendali kapsul.

Pintu kapsul tiba-tiba terbuka, mataku membulat tajam saat melihat Evi dengan berani membuka pintu bujur kapsul. Tidak ada cara lain, kutarik paksa gadis itu dengan kekuatan tanganku sebelum si mahluk aneh itu mulai menyerang kami dengan semburan laser api dengan skala lebih besar. Refleks, aku kembali mengeluarkan dinding perisai hingga serangan itu kembali menimbulkan ledakan besar memantulkan semua api itu ke setiap sudut dinding kapsul. Kerusakan dinding semakin membuatku ngeri jika serangan itu mengenai tubuhku dan Evi.

"Enyah lah dari mataku, Bangsat!"

Evi. Gadis pangkat ketua kelas bodong itu hanya bisa mengatur napasnya yang terseng melihat atraksi bertarung kami. Dia melirikku sekilas, lantas beralih pada manusia sialan di depan kami. Aku berdecak, mataku melihat wajahnya yang terluka entah karena apa, mungkin benturan. Darah begitu mengalir di pipinya yang bersemu merah marah.

Aku mendengus kasar, berbisik, "Kenapa kamu masuk ke ruangan ini, Evi!"

Evi di sampingku terdiam. Matanya melihat si mahluk sialan di depan kami yang sekarang tiba-tiba menatap tajam Evi. Dengan gerakan teratur, mahluk itu mengayunkan tangan, membungkuk.

"Selamat datang, Your Majesty."

Aku membulatkan mata tidak mengerti, melirik Evi tidak percaya. Jam tanganku kembali berkedip cepat. Aku berdecih pelan, melihat Evi yang masih terdiam tidak ingin bicara. Mungkin masih syok melihat apa yang terjadi di antara kami. Tapi, yang membuatku heran, kenapa keberadaan Evi dan mahluk di depanku itu justru menjadi pemicu berkedipnya jam tangan di tanganku.

Tapi, aku semakin tidak mengerti saat mahluk sialan itu membungkuk memberi hormat kepada Evi dengan sebutan, "Yang Mulia?"

"Putri dari keturunan Putri Selena. Senang bertemu denganmu."

Mendengar sederet kalimat membingungkan itu membuat gadis di dekapanku semakin bergeming. Aku berdecak kesal, ada apa sebenarnya antara aku, si buronan sampah dengan ayahku, Edward, kemudian Evi?

Aku mengamati Evi meminta penjelasan. Namun percuma, gadis itu semakin mengeratkan tangannya pada kaus seragamku. Tubuhnya bergetar. Aku asumsikan dia benar-benar syok dan ketakutan.

"Hei, mahluk topeng! Sebenarnya kau ini siapa? Ceritakan padaku! Apa hubungannya dengan Edward, aku, dan Evi!"

"Aku Peter. Pasukan militer kerajaan Bulan yang selama ini mencari keberadaan kalian." matanya beralih melihat Evi yang kini mulai tersadar dari rasa syoknya, "Mari Tuan Putri, anak dari Time Changer, Putri Gemintang, ikutlah bersamaku. Raja sudah lama menanti kedatanganmu."

Aku mengerjap tidak percaya. Kembali melirik Evi yang sama terkejutnya mendengar semua penuturan mahluk bernama Peter itu mengenai kata kunci Time Changer. Sebuah sebutan yang pernah aku dengar dari obrolan Ayah dan Ibu di basement dulu. Sebentar, julukan buronan sampah yang dikatakan Peter untukku mengingatkanku pada perkataan Ayah di waktu yang sama.

Tapi untuk Kerajaan Bulan? Nyonya Gemintang? Aku masih bingung dengan hal itu.

Evi di sampingku berdiri, menatap tajam Peter, "Tidak ada waktu untuk menjelaskan semuanya, Peter. Jika aku seorang Putri, maka tinggalkan aku sekarang, dan jemput aku di lain waktu."

Ucapan Evi benar-benar membuatku semakin tidak mengerti berkali-kali lipat. Peter terdiam mendengar perkataan Evi, di detik ke lima pria itu hilang. Pergi entah kemana. Berteleportasi? Akupun masih tidak bisa memikirkan apa-apa. Yang aku rencanakan sekarang, hanyalah menjatuhi beribu pertanyaan interogasi pada gadis di sampingku ini.

"Apa yang kau lakukan barusaja Evi! Kau mengusirnya! Aku masih belum mengerti--"

Evi menatapku sangar, seperti biasa yang dilakukannya di dalam kelas. Aku menatapnya tidak mengerti.

"BISA TIDAK KAMU MENGERTI KEADAAN SEKARANG, LUSA! HENTIKAN KAPSULNYA, BODOH!"

Aku mengerjapkan mata, lantas di detik ke lima aku mengerti maksud Evi. Cerdas! Dia memanfaatkan situasi saat Peter benar-benar menganggapnya seorang putri dari kerajaan Bulan atau apalah itu. Ini benar-benar ide brilian! Dia hanya memikirkan keberadaan penumpang dan laju kapsul, bukan informasi dari Peter yang bisa saja mahluk itu datang kembali di lain waktu.

"LUSA CEPAT BENARKAN KAPSULNYA!"

Mendengar teriakan khasnya yang disambung dengan pukulan keras di bahuku, aku tersadar.

Setengah berteriak, aku berlari menekan tombol peringatan yang terhubung dengan jantung serta chip pengendali mesin kapsul yang terdapat pada badan kapsul tersendiri. Jika meminta bantuan pusat, sama saja tidak akan ada hasilnya.

"Otoritas kode E210399, aku Edward Sjahrir, delapan puluh persen teknologi kapsul ini sekarang adalah hak patenku. Aku yang menciptakannya. Jadi, aku perintahkan untuk segera berhenti melaju."

Terdengar suara mesin kapsul mulai merespons baik, bahkan dalam keadaan rusak tidak terkendali.

"Otoritas dikenali. Baik, Tuan."

"Bahkan jika harus mengerem paksa dan membiarkan semua materialmu lepas."

"Baik, Tuan."

Aku menghela napas. Melirik Evi yang masih menatapku garang. Hei, gadis ini. Rencana cerdiknya benar-benar tidak terduga. Aku pun tidak berpikir untuk menipu si mahluk Peter itu.

"Sebenarnya, ini benar-benar membuatku bingung setengah mati. Tapi, aku akan bertanya padamu, Lusa."

Aku menyandarkan punggung pada ratusan tombol yang sudah hancur di belakangku, "Apa?"

"Apa yang kamu bicarakan dengan mesin peringatan kapsul barusaja? Aku benar-benar tidak mengerti. Kapsul mana bisa berhenti jika tidak terkendali dan hanya bisa dikendalikan pihak pusat!"

Astaga. Evi masih mempertanyakan kode kepemilikan mesin kapsul ini. Aku mengusap rambut pelan, berjalan menuju lubang ledakan dinding kapsul yang memperlihatkan suasana jalan di luar kapsul.

"Lihat dan rasakan Evi." kapsul yang semula melaju tidak terkendali mulai berjalan pelan dan berhenti mati. "Kapsul ini memiliki chip. Otak yang dimasukan di dalam mesin yang tidak hanya bisa dikendalikan pusat. Kapsul ini memiliki otak sendiri. Dan otak tersebut hanya bisa terbuka dengan kode rahasia linsensi kepemilikan milik Edward Sjahrir, penciptanya. Mengerti?"

Aku mengembuskan napas lega, kapsul sudah berhenti melaju. Tanganku sigap meraih tas di ujung ruangan, mengaitkannya kembali. Kurasakan punggunggku kembali terasa sakit, luar biasa. Masa bodoh, aku sudah tidak ingin merasakan luka apapun untuk saat ini.

Evi di depanku menatap takjub kapsul yang sudah berhenti melaju. Dia tersenyum bersyukur, sebelum senyumnya lenyap saat matanya bersinggungan dengan tatapan mataku. Dia menatapku awas, entah penasaran atau apa, dia pasti menyimpan banyak pertanyaan di dalam benaknya setelah melihat semua kejadian di dalam ruangan ini.

Aku melangkah mendekat, hingga jarak kami hanya satu langkah. Kuangkat tanganku ke arahnya, tepatnya jam tanganku yang semakin berkedip keras saat setiap aku berdekatan dengannya. Kulihat Evi melangkah mundur, lantas aku dekati hingga aku berhasil menyudutkannya pada dinding kapsul.

"Jawab pertanyaanku, Melvina, kamu itu siapa?"

Evi mengernyit tidak mengerti, "Seharusnya aku yang bertanya padamu, Lusa. Sebenarnya kamu itu siapa? Dan kekuatan yang kamu keluarkan? Dan Peter?"

Aku menghela napas, "Jam tanganku dimodifikasi agar bisa mendeteksi mahluk yang berasal dari luar bumi. Mahluk lain. Manusia lain. Sinyalnya sangat akurat. Dia akan berkedip saat jam ini berdekatan dengan objek sinyal itu sendiri. Dan selain Ayahku, Kakakku dan Adikku, jam ini berkedip cepat saat aku dekat denganmu, Evi."

Kutatap gadis itu penuh intimidasi. Sekilas kulihat Evi menggertakkan gigi, merasa penjelasanku ini benar-benar tidak masuk akal. "Aku tidak mengerti maksudmu, Lusa."

"Siapa kamu? Manusia? Lantas, mengapa mahluk sialan seperti Peter mendatangi kita dan mengakuimu bahwa kamu adalah seorang Putri, keturunan Selena, Gemintang, dan yang paling mencurigakan adalah, Time Changer. Dia tahu segalanya tentangmu, Evi. Dia tahu nama Ibumu. Semuanya jelas, kamu berbeda."

Evi berdecak, "Sebelum kamu menginterogasi aku lebih dalam, aku tanyakan sekali lagi, kamu juga siapa? Manusia normal bahkan di zaman serba modern dengan teknologi canggih ini siapa yang bisa mempunyai kekuatan supernatural seperti yang kamu pamerkan tadi!"

"MELVINA!"

Aku berdecih, melihat kedatangan sang mantan ketua Osis barusaja datang dari balik pintu ruangan mencari keberadaan Evi. Wajahnya sama berantakannya, mungkin akibat membentur apalah aku tidak tahu, dan sama sekali tidak peduli.

"Urusan kita belum selesai, Lusa."

Evi yang menyadari Arunika datang langsung mendorong tubuhku menjauh serta melayangkan tatapan tajam padaku.

Mendengar ancamannya aku hanya bisa menatapnya malas. Sama halnya dengan Arunika yang kini menatap kami curiga karena memergoki kami yang berdiri dalam posisi berdekatan. Kupalingkan wajahku ke arah pintu bujur kapsul yang terbuka, semua penumpang sudah dievakuasi beberapa tim medis dan barisan polisi yang sudah mengamankan bagian luar kapsul dari serangan awak media yang haus meliput kejadian kecelakaan besar seperti ini.

"Evi, aku antar pulang ya."

Aku berdeham, melihat ekspresi Evi yang seolah-olah benar-benar berharap mendengar tawaran pulang dari Arunika. Benar saja, gadis itu tersenyum lemas mengangguk samar.

"Terima kasih, Arunika."

Mendengarnya aku mendelik sebal. Kurasakan sebuah tangan menepuk pelan pundakku. Aku menoleh, ternyata Arunika. Sialan.

"Cepat keluar, Lusa. Aku dan Evi juga akan segera meninggalkan kapsul."

Aku mengangguk lamat. "Sebentar lagi. Duluan saja."

Arunika tersenyum maklum, memapah Evi meninggalkan kapsul. Aku mengembuskan napas lega. Menggaruk rambut sebelum akhirnya memutuskan meninggalkan kapsul dengan kembali mengaktifkan sensor transparan pada jam tanganku. Satu-satunya cara agar aku terhindar dari awak media dan wartawan yang kini berjejer di sekitar pintu kapsul. Kalau saja mereka tahu anak dari Edward Sjahrir masuk dalam kategori korban kecelakaan, pasti merepotkan sekali.

Kulangkahkan kaki keluar dari pintu kapsul, berjalan tertatih melewati para wartawan dan polisi. Mataku sigap kembali mengawasi daerah sekitar. Sekilas aku melihat Evi sedang mendapatkan penanganan medis bersama Arunika dan korban lain. Syukurlah.

Bukan itu yang aku cari, tapi si pria berpakaian hoddie yang luput dari penglihatanku selama melewati beberapa korban kecelakaan. Sial. Padahal aku ingin sekali menghajarnya menggunakan kekuatan tanganku ini.

"Cih!"

Beruntung sekali bajingan itu. Andai saja aku tidak menghentikan kapsul tadi, akan aku lempar dia ke tengah jalanan hingga tubuhnya remuk dilindas beberapa kapsul umum lain. Tapi nyatanya, skenario ekspektasi selalu berbeda dengan realita.

________

Maaf ya kalau masih banyak typo hehe.. Susah bangett buat action scifi fantasy huhu..

Vote komen boleh?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro