Ingin Perhatian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beberapa detik terlalui dengan kebisuan. Kami sama-sama diam, meski aku tahu pasti lidah ingin kembali berkata. Namun, sayangnya kini tertahan entah untuk alasan apa. Mungkin bimbang atau yang lain, karena pada kenyataannya, situasi ini cukup rumit.

"Bu, gimana?"

"Ray, kamu tahu ini salah, tapi kenapa masih mau dilanjutkan?"

"Kadang hati emang segila itu, Bu. Susah menghentikan kemauan, biarpun nggak sejalan sama logika," jawab Rayendra pelan. Tatapannya sekarang berubah sayu. "Ini salah, emang salah, tapi gimana kalau saya jodoh Ibu sebenarnya?"

"Kalau kamu yakin seperti itu, biarkan Tuhan dan waktu yang bekerja."

"Terus saya cuma diam? Ya, nggak bisa, Bu! Kalau mau dapatin sesuatu harus usaha."

"Tapi kamu mau merebut milik orang, Ray!"

"Tapi kalau orang itu nggak bisa jaga apa yang dia punya, gimana, Bu?"

Bagaimana jika kasusnya seperti itu? Tidak dipungkiri kalau sikap Mas Dewa membuatku terluka. Aku hanyalah seorang wanita yang ingin kasih sayang dari sang suami. Apakah ini terlihat manja? Namun, apa salahnya? Aku adalah istri laki-laki berhidung bangir itu, wajar saja jika hati ini ingin perhatiannya. Akan tetapi, tetap saja, yang salah tak bisa dibenarkan.

"Kalau dia nggak bisa jaga yang dimilikinya dengan baik, biarkan sesuatu itu pergi dengan sendiri. Kalau memang ditakdirkan untuk kamu, pasti akan kamu miliki."

Rayendra diam, lalu terdengar napasnya terhela berat. Wajah itu mendekat kemudian berbisik, "Saya terlalu lemah untuk melihatnya terluka, Bu. Saya pengen menyembuhkan dia, dengan cara saya."

"Siapa yang terluka?"

"Ibu. Saya mau jadi penyembuh luka untuk Ibu."

Berdesir hati kala mendengarnya. Semburat merah itu pun pasti kini hadir di wajahku. Rayendra menjauhkan wajah dan kami kembali bertatapan. Ada sesuatu di sepasang mata itu, tapi entah apa. Mungkinkah Rayendra mengetahui yang tak kutahu? Adakah alasan dia kembali ingin mendekatiku dan mengingkari ucapannya?

"Saya nggak nepati janji dan saya sadar, Bu. Maaf, karena udah nggak gentle. Di sekolah Ibu guru saya, saya akan bersikap normal. Kalau di luar, ya gitu, Bu. Saya tetap kejar Ibu."

Detak jantung kini bertalu-talu, menciptakan rasa tak nyaman dalam dada. Terlebih lagi ketika Rayendra mengerling manja. Sejenak membuat lupa kalau dia adalah muridku sendiri. Dasar brondong! Pesonanya ternyata kuat. Bikin mata hampir kalap.

"Saya hanya ingin kamu tahu, jangan lewati batasan!"

"Batasan ada untuk dilewati, agar tahu sejauh mana kemampuan diri." Lagi dia mengerling saat membalas peringatanku tadi. " Nanti saya akan WA ibu lagi," sambungnya.

"Dih, ngapain?"

"Buat godain Ibu, dong."

"Gelo!" Lalu aku berjalan, tapi Rayendra memanggil, kembali kami berhadapan. Dia tertawa kecil. "Ada apa? Saya mau cepat pulang, Ray. Perut saya kerasa nggak enak dari tadi."

"Jelas nggak enak, Bu. Tuh, celananya aja basah." Maksudnya? Buru-buru aku meriksa celana bagian depan juga belakang dan ternyata benar, basah. Lihat tangan yang merah, ini darah! Aku langsung nunduk, malu. "Nggak usah malu, Bu. Saya bahkan pernah lihat Ibu pakai gaun tipis kayak saringan itu."

Masih ingat dia rupanya. Malu kuadrat sekarang! Wajah kuangkat dan terlihat dia sedang tersenyum lebar. "Rayendraaa!"

🍃🍃🍃

Tubuh bersandar pada sofa, satu tangan menggenggam ponsel. Tangan lainnya mengelus perut yang masih mules. Kaki lurus sambil digoyang-goyangin. Kalau kayak gini, enaknya tidur. Apalagi barusan habis mandi, segar rasanya, badan juga kerasa lebih nyaman. Ternyata aku datang bulan, sempat mengira kalau hamil. Jadi, nafsu makan besar dan emosi tidak stabil itu karena ini? Ha ha ha!

Justin Bieber menyanyi di ponsel, tak perlu dilihat siapa peneleponnya, karena sudah pasti Mas Dewa. Sengaja kuabaikan dan memejamkan mata. Ke mana saja dia seharian ini sampai baru menghubungi? Aku nggak perlu dia ngasih laporan rutin lagi di mana atau ngapain. Cuma pengen laki-laki itu ngabarin dua atau tiga kali. Ah, lupakan! Bikin kesal kalau ingat.

"Anty Sayang, itu telepon kenapa nggak diangkat?"

Suara itu membuatku membuka mata. Seorang wanita kurus dengan gamis rumahannya sudah duduk tepat di sebelahku. Mama mertua. Dari sekolah tadi aku memutuskan untuk datang ke sini.

"Anty kesal sama Mas Dewa, makanya malas angkat."

"Kenapa? Dewa bikin masalah sama kamu?"

Ragu aku menceritakan masalah perselingkuhan itu. Kalau mama tahu, nanti bakal panjang lagi pembahasannya. "Anty cuma ngerasa Mas Dewa terlalu sibuk, Ma. Pergi pagi, pulangnya malam. Alasan sama GM terus. Kenapa dia nggak nikah sama GM-nya aja?" Mama tertawa keras, lalu membelai rambutku yang basah. Pelan dikecupnya kening ini.

"Sabar. Komunikasi itu penting, Sayang. Jangan emosi dulu. Coba kamu ngomong baik-baik sama suamimu. Biar kamu lebih diperhatiin." Mama menjawab lembut dengan bibir berhias senyum.

Wanita ini selalu punya jawaban mendamaikan saat aku mengeluhkan anaknya. Untuk itu aku datang kemari, bukan ke rumah bunda. Karena kalau ada kejelekan pada suami, datangilah orang tuanya. Pun sebaliknya, ada keburukan pada istri, jangan ceritakan pada orang tua kita sendiri. Kenapa? Karena biasanya saat orang tua mendengar sang anak mendapat perlakuan tidak baik dari pasangannya, mereka akan marah. Tak jarang juga menjerumuskan dengan kata-kata, "Sudahlah, kamu pisah aja, daripada sakit hati terus."

"Udah, Ma, tapi Mas Dewa gitu. Berubahnya cuma sebentar, nanti balik cuek lagi."

"Nanti Mama yang bilangin ke dia. Biar istrinya yang cantik ini makin diperhatiin." Mata langsung berbinar dan mama mencubit gemas pipiku. Beruntunglah wanita yang rambutnya mulai beruban ini begitu menyayangiku. Bahkan sudah dianggap sebagai anak sendiri, bukan lagi menantu. "Itu di jemuran belakang jaket siapa, Anty? Mama baru lihat," katanya dengan wajah bingung.

Aku nyengir kuda sambil mikir ngasih alasan apa. Nggak mungkin kalau aku bilang itu punya Rayendra, 'kan? Ya, tadi dia minjamin, karena celanaku yang agak terang bikin warna merahnya kelihatan. Dia, Rayendra, tanpa ngomong apa pun langsung ngelepas jaket dan melingkarkan di pingganggku.

"Punya teman di sekolah, Ma," jawabku akhirnya.

Teman? Apakah ketika tak berani mengatakan yang sejujurnya, berarti dia adalah orang istimewa? Bukan, pasti tidak begitu artinya. Aku hanya nggak mau nanti obrolan jadi panjang. Ditanyain siapa Rayendra, kenapa baik sekali jadi murid, dan bla bla bla.

Mama hanya mengangguk, kemudian berpamitan ke kamarnya untuk menelpon Mas Dewa. Baru saja memejamkan mata, ponsel berbunyi. Ada rasa malas untuk mencari tahu siapa yang mengirimkan WhatsApp secara beruntun. Saat kulihat, tadaaa! Manik cokelat ini kini membulat sempurna. Rayendra sungguh kembali menghubungi.

[Ibu, Bu Anty. Lagi ngapain?
Udah makan, Bu?
Kebiasan, nih, saya WA nggak langsung dibalas.]

Jahh, emang kamu siapa mesti aku balas? Abaikan, An! Mending tidur lagi. Namun, mata gagal terpejam saat pesan lainnya kembali datang.

[Bu, tahu nggak bedanya Almeera sama Ibu?]

Nggak tahu, emang apaan?

[Kalau Almeera calon pengantin, kalau Ibu calon janda.
Ampun, Bu, ampun. Kabur saya abis ini.]

Dasar! Bisa-bisanya dia ngejek kayak gini. Emot-nya ngakak pula. Pengen kubalas pakai emot marah, hidung keluar asap, tapi ....

[Cieee, Ibu pasti lagi senyum-senyum baca WA saya, ya?]

Senyum-senyum apanya? Yang ada stress aku dapat WhatsApp dari brondong nekat kayak kamu ini.

[Bu, pizza kemarin, enak?]

Hah? Jadi dia yang ....

[Lain waktu tukang ojek akan ngetuk pintu lagi untuk ngantar makanan.]

Ada getar-getar halus yang timbul saat membaca pesan itu. Aku tak mengira jika dia yang mengirimkan makanan. Inikah bentuk perhatiannya yang lain untukku? Ah, Rayendra! Mengapa kamu bersikap begini? Kenyataan kita nggak bisa bersama bakal semakin nyiksa kamu.

Jemari menyentuh layar, hendak memberi balasan untuk Rayendra. Namun, ketukan pintu membuatku mengurungkan niat. Pelan kaki menuju benda yang terbuat dari jati itu. Tampak seorang laki-laki berjaket ojek on-line membawa kantung kresek di tangannya. Dia tersenyum ramah.

"Mbak Anty?" tanyanya.

"Ya, betul. Cari siapa, Pak?"

Tubuhku sedikit menyandar pada dinding, tangan masih memegang perut yang terbalut baju rumahan tosca. Si bapak memerhatikanku. Emang ada yang aneh, ya?

"Ini makanan untuk Mbak," katanya sambil menyerahkan kantung kresek itu. Melongo aku dibuatnya.

"Saya nggak ada order ini." Kuserahkan kembali, tapi dia menolak. "Siapa pengirimnya, Pak?"

"Cowok ganteng, Mbak. Masih muda, katanya ini untuk Anty, calon istrinya."

Memerah sudah wajah ini sekarang. Aku tahu siapa pengirimnya. Benar-benar dia ini suka sekali berbuat iseng. Apa lagi yang dia berikan padaku? Awas saja jika isinya aneh-aneh.

Si driver ojek berpamitan dan aku kembali masuk. Saat kubuka bungkusannya, ternyata ada minuman untuk mengurangi nyeri datang bulan. Tiga bungkus mie ayam pun ada. Aku terduduk dengan pandangan silih berganti menatap makanan di meja. Dia ... sangat perhatian. Rasa marah yang tadi sempat mampir, kini menghilang.

Ponsel yang ada di sofa kuraih dan menemukan beberapa pesan belum terbaca. Kupikir Mas Dewa salah satu pengirimnya, tapi ternyata hanya dari satu nama. Rayendra.

[Bu, diminum, ya. Siapa tahu mules perutnya bisa berkurang.
Mie ayam dua bungkus untuk Ibu, karena Ibu kan makannya banyak. Satu lagi untuk mertua  ibu. Selamat makan, Bu.

Oh, ya, Bu. Nggak usah kaget saya bisa tahu Ibu lagi di sana. Ya, namanya juga sayang. Jadi Ibu ngapain dan di mana aja bakal saya cari tahu.]

Dia berhasil membuatku tersenyum entah sudah untuk yang ke-berapa kali. Nyatanya hal-hal konyol yang dilakukan remaja berambut menutupi jidat itu, mampu membawa atmosfer baru. Suatu suasana yang mengubah hariku lebih berwarna. Kenekatannya memang sebuah kesalahan dan aku pun sungguh tak mengerti mengapa dia bertahan.

[Ray, makasih kamu repot-repot beliin saya ini. Besok saya ganti uangnya sekalian pizza kemarin.]

Kukirim pesan berisi emot senyum. Cukuplah sebagai tanda jika aku memang berterima kasih atas perhatiannya. Namun, hanya sebatas itu, tidak lebih. Karena aku masih ingat pada status. Juga hati yang sudah terpilih untuk kuajak menua bersama.

[Ganti aja dengan perasaan saya yang Ibu balas. Bisa, Bu?]

Nggak, Ray, nggak bisa. Kita sama-sama tahu itu dan herannya kamu masih kekeh bertahan. Memang apa yang istimewa dariku, sampai kamu ngejar istri orang kayak gini? Sayang, pertanyaan itu hanya mampu terkurung dalam hati.

[Ibu nggak mau balas nggak apa. Di-read aja saya udah senang.]

Anak kurang kerjaan memang kamu ini! Untung pintar dan kalem di kelas.

🍃🍃🍃

Isya sudah berlalu, aku berdiri dekat jendela. Tampak hujan deras membasahi bumi. Pikiran melayang ke mana-mana, karena sampai sekarang Mas Dewa belum juga datang. Sore tadi dia mengatakan akan menjemputku di sini. Namun, ternyata bohong!

Mama sedang duduk di sofa memandangku. Lalu mengisyaratkan agar aku mendekat. "Dewa belum ada telepon lagi?" tanyanya. Aku menggeleng. "Ke mana anak itu, ya?"

"Meeting sama GM paling, Ma. Entah GM yang mana." Aku kemudian mengempaskan tubuh kasar di sebelah mama. Kupeluk diri sendiri sambil memejamkan mata. Hati makin tak tenang karena tiada kabar dari suami tercinta. Dia sedang lembur atau bagaimana? Susah sekali untuknya memberi kabar.

"Sabar, Anty." Mama membelai rambutku, lalu memeluk. Rasanya aku ingin menangis sekarang. "Tidur sama Mama aja di sini, ya? Mama juga sendirian, papa kamu kan masih ngurusin penjualan tanah di jawa."

Hanya anggukan yang kuberi. Sebenarnya ingin pergi ke rumah bunda yang berjarak sekitar enam kilo meter saja dari sini. Namun, mengingat kondisi hati dan raut wajah berantakan, sepertinya mustahil. Aku tak mau mereka curiga terhadap kehidupan rumah tanggaku. Bagaimanapun, biarlah masalah yang ada antara kami menjadi rahasia berdua. Karena aku tidak ingin bunda dan ayah memiliki pandangan negatif terhadap Mas Dewa.

"Dewa sering pulang malam, ya?" Mama bertanya sambil mencium kepalaku. "Coba jujur sama Mama."

Rasanya ada luka yang sedang terkena perasan jeruk, perih hati ini. Kembali terbayang-bayang jika sebelumnya Mas Dewa sering menghabiskan waktu dengan wanita lain saat malam.

"Katanya lembur, Ma." Sudah sedikit bergetar suaraku menahan tangis.

"Nanti kalau udah datang, coba Mama yang ngomong sama Dewa."

Sesaat setelah mama berucap, pintu rumah terbuka. Mas Dewa berjalan menghampiri kami. Tatapannya datar, raut wajah pucat, tapi yang lebih aneh, tak ada sapaan darinya. Aku berdiri dengan ekspresi kesal setengah mati, berharap dia akan meminta maaf. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Dia duduk begitu saja di sofa seberang.

"Kamu ke mana aja, Dewa? Kasian istri kamu nungguin dari tadi." Mama memulai ucapan, tapi Mas Dewa hanya diam dengan tubuh bersandar. Pandangannya menghadap atas. Entah apa yang dia pikirkan. "Dewa! Mama lagi bicara, jawab!"

Kaget aku ketika mama membentak. Dia pun berdiri dan berkacak pinggang. Ditatapnya sang anak dengan napas yang mulai tak beraturan. Rahang wanita berambut sedada di sebelahku ini mengeras.

"Dewa!" bentaknya lagi.

"Dewa capek, Ma! Besok ajalah ngomongnya. Dewa mau tidur di sini aja. Malas nyetir. Capek, capek, capek!"

Terkejut tiada tara aku mendengar jawaban dari laki-laki yang selama ini selalu bertutur lembut. Mama pun kelihatan syok saat Mas Dewa pergi menaiki tangga begitu saja.

"Mas Dewa terlalu capek paling, Ma. Biar Anty susulin."

Pelan aku membantu mama duduk, lalu mengambilkan air sebelum menyusul Mas Dewa. Saat menaiki anak tangga, air mata ikut mengiringi. Rasanya pedih mengulang kembali reka adegan di sofa tadi. Jelas dia berubah, bahkan sangat. Aku seperti tak mengenalnya. Laki-laki yang dulu begitu menyayangiku, kini seakan benar-benar sudah pergi.

"Mas, kamu kenapa?" tanyaku ketika sampai di kamar. Dia sedang membuang pandangan ke luar jendela. Masih menggunakan kemeja pagi tadi dengan kondisi agak basah. "Mas ...." Kembali kupanggil, tapi tak ada jawaban.

Kali ini aku yang mengalah. Aku akan memeluknya dan berbicara lembut. Saat tubuh itu hanya berjarak beberapa inci dariku, tercium sesuatu. Wangi asing di hidung ini. Aku meradang dan langsung memutar tubuhnya.

"Wangi parfum siapa di kemeja kamu? Hah, jawab!"

Pecah emosi dan tangis ini sekaligus. Laki-laki itu menatapku dengan ekspresi datar. Lalu berkata, "Bukan siapa-siapa. Cuma pelukan sama clien tadi."

"Gampang banget kamu ngomong kayak gitu!"

"Terus mau kamu gimana?"

"Jawab yang jujur!"

Geram sekali aku mendengar jawabannya yang tak memuaskan. Tangan bahkan tanpa sadar sudah mengepal. Ingin memberi sapaan untuk rahang kokoh laki-laki ini.

"Aku capek. Jangan tanya yang macam-macam!"

Dia langsung menuju ranjang dan merebahkan tubuh. Sementara di sini aku merasakan gejolak yang luar biasa. Air mata terus menetes, karena amarah yang semakin meluap-luap. Namun, terpaksa tertahan. Gila, ini gila! Segampang itu dia bersikap.

Apakah aku dan pernikahan ini sudah tak berarti lagi untuknya?

Tbc gaes

Repost: 20/03/2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro