Menunggu Jawaban

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejenak aku terdiam dengan pandangan mengarah pada Mas Dewa. Tangan tanpa sadar terkepal. Sungguh, rasanya ingin menghancurkan semua barang yang ada di ruangan ini. Namun, kesadaran diri masih ada. Lalu kuputuskan untuk duduk di kursi dekat jendela. Sambil mengusap air mata yang membasahi wajah, pandangan menatap ke luar. Memerhatikan beberapa motor yang lalu-lalang di perumahan ini. Para pengendaranya memakai mantel, karena hujan masih juga tak berhenti.

Keadaan di luar sana basah, tapi tidak dengan hati ini. Daging dalam dada terasa begitu kering, ingin dia yang tercinta menyirami dengan kasih. Aku ... hampa. Ada sesak yang kian tak tertahan, membayangkan kebenaran tentang Mas Dewa. Apa yang terjadi padanya tadi? Atau ... mungkinkah dia sudah tahu Rayendra mendekatiku? Bisa jadi itu alasannya. Argh!

Hawa dingin dari AC menyusup hingga ke tulang. Kedua tanganku mendekap tubuh sendiri, sementara pikiran tetap berkelana. Kebimbangan melanda. Haruskah menunggu dia mengatakan yang sejujurnya, atau aku saja yang memulai? Ah, tidak! Mengapa aku jadi resah begini?

Sesuatu yang dimulai dengan ketidakbenaran memang akan menciptakan rasa gelisah di kemudian hari. Rayendra bukan orang penting dalam hidupku, hubungan kami pun hanya sebatas guru dan siswa. Namun, caranya mendekatiku sebagai wanita bersuami kini memunculkan kekhawatiran. Tak terbayang jika benar kemarahan Mas Dewa sebab dia tahu tentang istrinya yang dikejar seorang brondong.

Kugigit bibir bawah, kuat. Mata terpejam hingga derit dari ranjang terdengar. Aku bangkit dan berdiri menghadap arah suara tadi. Lelakiku dengan wajah pucatnya berjalan mendekati. Sekarang, kami saling pandang. Tersisa beberapa centimeter antara kami. Dia memijat kepalanya, hendak kubantu, tapi tangan ini ditepis seketika.

"Maaf." Lirih suara Mas Dewa.

Wajah yang ketampanannya selalu kukagumi itu kini tertunduk. Mata Mas Dewa menatap lantai atau mungkin sepatu yang masih dia kenakan. Sekarang ... ada nyeri yang kian terasa. Maaf untuk apa?

"Ada apa?" Pelan aku bertanya, tapi hingga beberapa detik, jawaban tak kunjung kudapat. "Ada masalah apa?" Lagi, aku bertanya.

Berharap kali ini kebenaran akan terungkap. Jika memang tentang Rayendra, baiklah, hati ini sudah siap untuk menerima kemarahannya. Bersedia mendengar apa pun yang akan Mas Dewa katakan. Namun, jika tentang hatinya yang kembali mendua ... mungkin aku akan menjadi serpihan. Lalu benar-benar hancur, karena dia tak juga belajar dari kesalahan sebelumnya.

Kami masih diam diiringi deras hujan yang terdengar. Waktu seolah berhenti karena kebekuan yang kini tercipta. Tak ada pergerakan di sini, Mas Dewa masih setia  tertunduk tanpa kata. Pandanganku lalu mengedar ke seluruh sudut ruang. Kebersamaan yang pernah terjadi di sini, kembali terbayang. Harusnya saat ini kami meringkuk berdua di bawah selimut. Saling berbisik manja mengucap cinta. Lalu bibir dan anggota tubuh lainnya ikut bercengkerama mesra. Namun, sayangnya keadaan yang tengah kami hadapi sekarang membuatku tak mengerti.

Rasa dalam dada kian tak menentu. Berbagai pikiran tentang kemungkinan sikap Mas Dewa berkecamuk. Entah apa jawabannya, tapi ini mungkin terlalu sulit hingga dia tak mampu berkata. Aku ... penasaran sekaligus cemas!

"Mas, katakan!"

Habis sudah sabar menunggu jawaban dari laki-laki ini. Sedikit kuatur napas akibat menahan gejolak sedari tadi. Lalu pelan wajah di depanku terangkat. Hilang entah ke mana binar mata yang biasa dia hadirkan kala kami bertatapan. Hanya ada kekosongan di sana. Redup sorot manik cokelat itu menggambarkan, betapa Mas Dewa tengah dilanda kegundahan.

"Anty," panggilnya pelan. Kedua tangan itu meraih jemariku lalu mencium lembut. "Aku ... aku ... aku ...." Argh! Bikin makin penasaran kalau dia menjawab terputus-putus begitu.

"Katakan, Mas!"

Tanganku yang dia genggam, kini menyentuh dada bidangnya. Degup jantung yang tak beraturan itu dapat kurasa. Bicaralah, bicaralah! Bungkammu itu menyiksa!

"Aku harus mengganti uang hotel," katanya dengan wajah tertunduk.

"Emang kamu korupsi?"

"Nggak, Sayang."

"Terus?" Dia diam. "Jawab, Mas! Jangan bikin penasaran gini!" Tanpa aba-aba, dia langsung memelukku. Mengeratkan tangannya yang melingkar di pinggang ini. Terdengar isak Mas Dewa tertahan. "Aku menunggu penjelasanmu," kataku lagi. Namun, kali ini dengan nada lemah.

"Orang akunting yang aku masukin ke hotel bawa kabur uang. Terus aku disuruh tanggung jawab sampai dia ketemu. Uangnya lumayan, Sayang." Dia menjelaskan setengah berbisik. Dapat kurasakan bagaimana kesedihan tengah dirasakannya.

Ada kelegaan di sini. Tadinya kupikir dia akan mengakui sudah bermain hati lagi. Namun, ternyata bukan. Kubuang napas pelan sebelum berkata, lalu membalas pelukan laki-laki ini.

"Berapa uangnya?"

"Dua puluh," jawabnya pelan.

"Kamu kenal di mana sama orang itu? Kok, dia bisa kamu rekomendasiin ke hotel?"

"Teman lama aku dia, Sayang. Mana aku tahu dia kayak gitu. Baru tiga bulan di hotel."

Aku mengangguk. Tak mau lagi bertanya karena itu hanya akan semakin membuatku pusing. Menikmati hangat dekapan dari laki-laki ini lebih baik sekarang. Namun, masih ada sesuatu yang mengusik.

"Kamu kenapa marah-marah tadi?"

"Maaf. Aku pusing dan emosi dengar kabar kayak gitu. Aku kasar, ya?" Aku mengangguk. "Maaf. Maafin aku."

Entah sudah berapa maaf yang kamu katakan, Mas. Namun, nyatanya tetap saja hatiku menerimamu kembali. Selagi itu bukan kehancuran kesempatan kedua yang aku berikan padamu. Tentang cinta dan kesetiaan. Sebab akan aku pastikan, ketika kamu sekali lagi berkhianat, maka kebebasan menjadi milikmu selanjutnya. Kebebasan untuk menduakan hati terus-menerus, karena aku tak akan kamu miliki, lagi.

"Aku maafin, tapi tolong jangan gitu lagi. Sekarang temui mama kamu. Kasihan kamu bentak tadi. Masalah uang itu, nanti kita omongin lagi."

Mas Dewa melepas pelukan. Ada seulas senyum di bibir agak kemerahan itu. Matanya kini mulai sedikit berbinar. Aku ... suka wajah teduh itu. Terlebih lagi sentuhannya yang sedang kunikmati sekarang. Kecupan pelan di lengan telanjang ini juga begitu memabukkan. Sampai menahan napas aku dia buat. Ckckck! Anty, tadi kesal setengah mati, sekarang mulai terlena. Payah!

Kami lalu turun. Menuruni anak tangga bersama untuk menemui mama dan menjelaskan semuanya.

🍃🍃🍃

Pukul 01.00 dini hari, tapi mata tak bisa terpejam. Kulihat Mas Dewa sudah terlelap dengan selimut menutupi tubuhnya. Aku beringsut turun dari ranjang, lalu melangkah ke meja rias. Duduk dan sedikit merapikan rambut yang berantakan. Kemudian teringat ponsel tak tersentuh sejak beberapa jam yang lalu. Pelan aku membuka pintu kamar dan menuju ruang tamu. Keadaan rumah sepi, mama pasti sedang menyelami lautan mimpi.

Tangan meraih benda pipih dari meja. Lalu tubuh bersandar pada sofa empuk cokelat. Seperti biasa jika sudah begini, kaki diluruskan akan lebih nikmat. Waktunya scroll! Aplikasi pertama yang jadi pilihan adalah WhatsApp. Ada ratusan chat dari grup dan pesan pribadi. Lalu mataku terpaku pada satu nama. Rayendra. Niatnya begitu sungguh-sungguh untuk mendekatiku. Allah, dasar bocah. Aku menyiapkan diri untuk membaca kalimat-kalimatnya yang penuh kejutan. Oke, mulai.

[Bu, perutnya masih sakit, ya? Kenapa juga nggak balas WA saya?] Pesan dia kirim jam delapan tadi.

Udah nggak sakit, Ray. Kenapa nggak balas? Ya, pengen aja. Ha ha ha!

[Bu, godain saya dong. Masa saya terus yang godain Ibu.]

Dih, dasar bocah nakal!

[Tahu nggak, Bu, kenapa malam ini hujan?
Ya, karena takdir, Bu.
Ciee ... Ibu ngira saya mau ngegombal, ya?]

Jahh! Dia berhasil membuatku tersenyum dan menggeleng berulangkali membaca puluhan pesannya. Tiba-tiba di layar tertera dia sedang mengetik. Wah, belum tidur jam segini ternyata.

[Bu, belum tidur?]

Belumlah. Kalau udah, gimana caranya aku bisa read WhatsApp-mu? Aneh-aneh aja pertanyaannya.

[Balas kenapa, sih, Bu!]

Ogah!

[Yaudah, saya nanti bikin status tentang Ibu biar semua guru baca. Kalau Ibu balas, saya nggak jadi bikin.]

Coba aja kalau berani.

[Ibu beneran nggak mau balas? Yaudah.]

Yaudah, sana tidur! Udah malam masih aja kelayapan di dunia maya.

Benar, setelah itu Rayendra off. Aku kemudian melanjutkan membaca pesan lainnya. Ikut mengobrol di grup para guru. Sudah tak ada yang perlu dilihat, aku hendak meletakkan ponsel. Namun, satu WhatsApp kembali datang, dari Rosa. Dia mengirimkan satu foto dan saat kubuka ... glek! Bikin pengen gigit sandal!

Demi Pluto yang udah nggak masuk dalam tata surya, aku pengen lempar Rayendra ke sana! Gila! Masa iya dia beneran bikin tulisan tentang aku dan Rosa ngirimin screenshot-nya. Auto check di status, tapi kenapa tak ada pembaruan dari Rayendra? Jangan-jangan ... aku di-hidden! Parah anak ini.

[Naksir abis dia sama kamu, An. Sampai bikin status gitu. Semua guru lihat deh kayaknya.]

[Sumpah malu aku, Ros!] Rosa membalas emoticon ngakak hingga lima baris.

Jelaslah aku malu, karena Rayendra menulis, 'Ada rindu yang tersembunyi kala mata kita tak menatap. Ra-Anty.'

Tak terbayang kehebohan yang tercipta besok. Oh, Allah! Semoga Rayendra meng-hidden statusnya dari guru yang lain.

Ponsel kuletakkan di meja, lalu memejamkan mata sambil memeluk bantal kecil. Rayendra memang gila! Namun, dia mampu sedikit memeriahkan suasan hati ini. Kasus Mas Dewa di hotel itu cukup mengusik pikiran. Bukan karena jumlah dua puluh juta yang harus kami transfer besok, tapi .... Ah, sudahlah, Anty. Lupakan, mari tidur.

Aku bangkit, kemudian berjalan menuju kamar. Sepanjang dinding anak tangga, terpampang foto-foto keluarga. Sejenak aku menghentikan langkah, memandangi laki-laki yang tengah tersenyum melihat seorang wanita. Itu ... kami, aku dan Mas Dewa. Diambil sebelum pernikahan terjadi saat sedang berada di tengah danau menggunakan boat. Aku hanya berharap kebahagiaan dan kehangatan seperti itu tak akan pernah hilang dari kami. Karena sejujurnya, kini ada resah yanh mendiami hati. Entah untuk alasan apa aku juga belum tahu.

Foto itu aku raba, lalu tersenyum. Lidah berkata, "Semoga pernikahan kita selamanya, Mas."

Kaki melanjutkan langkah, menaiki anak tangga satu per satu hingga sampai di kamar Mas Dewa. Aku duduk di sebelahnya, mengamati mata yang sedang terpejam, lalu turun ke bibirnya dan mengecup pelan. Sekarang, rasa bersalah itu menyelinap. Bersalah atas ketidakjujuranku tentang Rayendra. Aku memang ingin mengatakan, tapi entah kapan waktu yang tepat. Haruskah menunggu sampai lelaki ini tahu dengan sendirinya? Lalu seperti apa reaksinya nanti?

Kamu egois, Anty! Saat suamimu selingkuh, kamu marah, tapi kamu sendiri digombalin sama murid!

🍃🍃🍃

Jalanan sudah dipadati oleh pengendara motor dan roda empat. Sejuknya hawa pagi dan hangat mentari memeluk dari kaca mobil yang terbuka. Di sebelahku ada lelaki tampan sedang fokus pada kemudinya. Sebelum ke sekolah, kami akan mampir ke ATM untuk mentransfer uang pada pihak hotel. Ya, selalu ada hikmah di balik kejadian. Buktinya sekarang Mas Dewa mengantarku, padahal biasanya beralasan sibuk.

Mobil terparkir di halaman sebuah mini market. Mas Dewa menatapku dan sudah tertebak apa yang mau dia katakan. Aku lalu mengeluarkan kartu dari dompet, menyerahkannya pada lelaki yang saat ini sedang tersenyum tipis. Diraihnya benda tipis itu, kemudian mengecup pelan keningku.

"Abis transfer, ambil lima ratus untuk jajan kamu dan beli bensin. Jangan coba-coba ambil lebih. Kemarin aku udah check saldo terakhirnya."

"Siap, Princess," jawabnya sambil mengelus punggung tanganku. Dia kemudian Membuka pintu dan menutupnya kembali.

Dari balik kaca depan mobil, aku memerhatikan kaki panjangnya memasuki mini market. Lalu mata terarah pada jalanan yang semakin ramai. Beberapa siswa sekolahku terlihat berboncengan. Namun, saat wajah tak asing itu nampak, ada sesuatu yang tak biasa terjadi dalam hati. Rayendra ... bersama Almeera. Mereka satu motor.

Tas yang berada di paha aku remas kuat. Terasa wajah memanas menyaksikan kemesraan itu. Detakan jantung pun kian tak beraturan dan aku tak mengerti kenapa. Mata memicing curiga tentang hubungan mereka. Pacaran? Entah! Selama ini yang aku tahu siswi berparas ayu itu tak suka mencari perhatian Rayendra. Namun, sejak pelatihan untuk lomba, mereka memang semakin dekat. Bahkan aku yakin sudah berlanjut pada chat WhatsApp. Ah, biarkan, Anty! Kenapa kamu sibuk mengurusi mereka?

Dasbor kupukul pelan, kesal. Namun, untuk alasan apa? Entah, entah, entah! Tiba-tiba aku tak mengerti apa yang tengah melanda diri. Pandanganku lalu teralih saat dua remaja itu tak tampak lagi. Di saat yang sama, Mas Dewa membuka pintu. Dahinya berkerut.

"Kamu kenapa, Sayang? Wajah nggak enak gitu. Baru ditinggal sebentar." Mas Dewa menyerahkan kembali kartu ATM-nya. Cepat aku menggeleng. "Benar nggak apa?" Dia lalu menghidupkan mesin mobil.

"Nggak, Mas. Kita ke sekolah aja sekarang."

Mobil meluncur, bergabung bersama kendaraan lain setelah tangan Mas Dewa membelai rambut ini sebentar. Mungkin dia menemukan keanehan dari ekspresiku, hingga berulangkali dipertanyakan. Percayalah, aku pun tak ingin begini.

Mas Dewa menyanyikan lagu Heaven kesukaanku. Sesekali dia melirik dan mengedipkan mata manja, kubalas dengan senyum lebar ala pasta gigi. Perjalanan sepuluh menit ke sekolah terasa begitu lama. Bosan, kuletakkan tangan kiri di pintu, lalu memangku kepala dengan tatapan lurus ke depan.

"Berarti udah beres urusan uang itu, Mas? Terus nanti kalau orangnya ketemu, bakal diganti?" Aku melirik Mas Dewa ketika bertanya. Raut wajahnya agak beda.

"Iya. Semoga cepat ketemu, Sayang. Uang kita masih ada, kamu tenang aja."

"Bukan masalah jumlah uang, Mas, tapi siapa yang salah harus bertanggung jawab. Bukan salah kamu sepenuhnya merekomendasikan dia untuk kerja di hotel. Yang nerima kan HRD," jawabku dengan nada diatur santai. Masih pagi, jangan ngegas.

"Iya, Sayang. Sabar aja dulu, yang penting urusan di hotel selesai. Aku juga kerjanya jadi nggak beban karena masalah ini."

Aku mengangguk, paham bahwa semua tanya dan penasaran tak bisa terjawab sekarang. Ada waktunya semua rasa haus untuk mengetahui terpuaskan.

Mas Dewa lalu menggenggam tangan kananku. Mata kami sempat bertemu beberapa detik dan di manik cokelat itu terlihat ada sesuatu. Hal yang tersembunyi, tak tahu apa. Terlihat jelas sejak semalam, hanya saja aku tidak mau membuat praduga sendiri. Semua harus dibuktikan, seperti kata-kata mama semalam saat anak lelakinya kembali ke kamar. "Mama ngerasa aneh sama kasus Dewa ini. Pelan-pelan nanti kita selediki tanpa Dewa tahu."

Beruntung aku memiliki mertua seperti mama. Yang tak memojokkan menantu dan memihak anak sendiri saja. Sikapnya begitu, karena dia mengerti bagaimana berat hati seorang wanita meninggalkan rumah orang tua. Tak tinggal serumah dengan mereka demi laki-laki yang kini mengambil tugas sang ayah.

Satu harapanku, semua wanita di mana pun berada akan mendapat mertua yang memperlakukannya seperti anak sendiri.

Sampai di sekolah, aku turun dari mobil. Lalu melambai pada Mas Dewa dari depan gerbang. Perlahan dia pun mulai hilang dari pandangan. Langkah kuteruskan menuju ruang guru sambil sesekali menjawab sapa dari murid. Sesampainya, beberapa guru tersenyum aneh kepadaku. Ada apa? Buat penasaran saja.

Meletakkan tas di meja, aku kemudian duduk. Memperhatikan sikap guru-guru yang masih mengundang tanya. Jangan-jangan ini karena yang semalam. Mati!

Aku menenggelamkan wajah di tas, kedua tangan ikut menutupi. Pikiran ke mana-mana membayangkan jika benar itu tentang Rayendra. Tawa-tawa kecil mulai terdengar. Habis sudah aku!

"Ehem. Bu Anty tolong ikut saya ke ruang kepala sekolah."

Wajahku terangkat dan wanita itu tengah berdiri. Tatapannya tajam, setajam silet. Eh, bukan, setajam elang. Tahu ah terang!

Sedikit gugup aku berdiri, lalu tersenyum ala-ala anak yang habis berbuat salah. Karena sepertinya obrolan ini adalah hal yang aku pikirkan sejak tadi. Pelan kuikuti dia menuju ruangan sebelah. Beberapa pasang mata guru dan murid memandangku. Mungkin ada rasa penasaran pada mereka. Guru cantik lagi mau disidang sepertinya. Eaaa! Malah bercanda, padahal kan lagi horor ini situasi.

Ada getar-getar tak biasa di dada ketika aku melihat siapa yang ada di ruangan kepala sekolah. Rayendra. Wajahnya tampak biasa saja, bahkan seperti tanpa beban dia menyunggingkan senyum.

"Duduk, Bu!" suruh Bu Darmi. Selain guru matematika, jabatannya memang wakil kepala sekolah. Tak heran jika dia bisa menggunakan ruang ini jika ada keperluan.

Ruangan yang lemari kacanya dipenuhi piala ini, sekarang tampak menyeramkan. Bukan karena ada hantu, tapi mata Bu Darmi yang membuat takut. Duduk berhadapan dengannya, sementara Rayendra di dekatku, terasa sedang menunggu vonis hukuman.

"Kalian tahu kenapa saya panggil ke sini?" Aku menggeleng, tapi Rayendra malah mengatakan 'tahu'. Remaja itu tidak gugup atau yang lainnya. "Status WhatsApp Rayendra," sambung Bu Darmi.

Kan, mati aku sekarang!

Pura-pura tak mengerti, aku hanya diam saja. Namun, jemari yang saling bergulat satu sama lain tentu menunjukkan bagaimana perasaan ini sesungguhnya.

"Kenapa kamu membuat status begitu, Rayendra?" Wanita yang tengah berpakaian khas PNS itu menatap tajam silih berganti. Sebentar Rayendra, sebentar padaku.

"Maslahnya apa, Bu?" Elah, ini bocah balik nanya.

"Kamu tahu Anty itu gurumu dan dia sudah bersuami."

"Tahu, Bu."

Lord, aku hanya bisa diam mendengarkan ucapan mereka. Tak ada celah untuk menyela, pun sepertinya bungkam lebih baik.

"Lalu kenapa kamu membuat status mesra begitu?"

"Pengen, Bu."

Astaga!

"Anty, kamu punya penjelasan apa untuk ini?" Jantungku sekarang berasa mau copot!

"Saya kurang tahu, Bu. Status Rayendra juga tidak muncul di HP saya." Jawabanku tak sepenuhnya bohong. Memang benar kan aku tak melihat pembaruan dari remaja itu di WhatsApp semalam.

"Anty itu calon istri saya di masa depan, Bu. Yang namanya Anty bukan cuma satu orang, Bu." Sumpah, ini anak bisa banget kalau ngeles.

"Jadi, status itu bukan untuk Anty guru kamu?" Wanita dengan rambut digulung harnet itu mulai tampak santai. Kalai tadi, keningnya berkerut, tubuh duduk tegap, dan mata yang seperti siap nusuk.

"Bukan, Bu," jawab Rayendra. Kali ini senyumannya lebih lebar.

"Baiklah, kalian boleh keluar. Untuk Rayendra, saya berharap kamu tidak membuat hal yanh mengundang kesalahpahaman lagi." Bu Darmi mengembuskan napas berat.

"Maaf, Bu. Saya pamit." Rayendra berdiri, begitu pun aku. Setelah mengucap salam untuk Bu Darmi, kami melangkah bersamaan. Namun, saat sudah di luar ruangan kepala sekolah, Rayendra meraih tanganku. Membuat kaki ini tak lagi bergerak.

Pandanganku mengedar, masih ramai murid di sini. Gawat kalau sampai jadi gunjingan lagi. Aku menatap Rayendra, lalu berkata, "Ada apa lagi? Saya nggak mau kita jadi bahan omongan. Udah cukup kamu membuat kehebohan dengan status itu."

Dia tertawa! Jadi pengen nelan mentah-mentah. Aku melipat kedua tangan di dada, menunggu jawabannya.

"Saya serius, tapi Ibu nggak tanggapi. Sebelum buat status itu saya bilang apa? Kalau Ibu balas, saya nggak akan buat, ta—"

"Oke! Saya paham." Aku memotong ucapannya. "Nggak ada yang perlu kita bicarakan. Saya mau ke ruangan."

"Tapi, status itu memang untuk Anty, calon istri saya di masa depan."

"Terserah!" Lalu aku melangkah pergi.

"Dan itu untuk Ibu!"

Aku memutar badan dan menemukan Rayendra menyisir rambutnya sendiri dengan tangan. Persis laki-laki yang sedang memperbaiki penampilan sebelum bertemu sang pujaan. Cepat aku dekati dia sambil menoleh kanan kiri, berharap tak ada yang mendengar ucapannya tadi. Aman, semua masih sibuk dengan aktivitas masing-masing. Berjalan, mengobrol, entah apa lagi.

"Kamu jangan keras-keras ngomongnya!" Geram aku kali ini.

"Kenyataan, Bu."

"Belum tentu!"

"Mau taruhan, Bu?"

"Dih, Rayendra! Apa-apaan kamu ini?" Kami tampak seperti bocah yang entah sedang berdebat perihal apa.

"Bu, tungguin saya lulus, ya? Abis itu kita nikah."

"Gila kamu, Ray!"

"Karena Ibu! Jawab, Bu! Atau saya bakal teriak biar semua orang di sekolah tahu." Dia kembali mengancamku! Ah, tapi mana berani dia melakukannya.

"Coba aja kalau berani!" tantangku, lalu memutar badan dan berjalan.

"Bu Antyyy! Saya mau nungguin Ibu! Kalau udah lulus kita nikah, yaaa!"

Mati, mati, mati! Rayendra berteriak sangat keras dan itu berhasil membuat orang-orang di sekitar menatapku. Tawa pun mulai terdengar, sementara aku sedang gemetaran.

"Bu, jawab, Bu! Mau nggak nikah sama saya nanti?" Kali ini ucapan Rayendra tak lebih keras dari tadi. Namun, kami sudah jadi pusat perhatian dan itu membuatku ingin pergi ke Sungai Amazon sekarang.

"Jawab, jawab, jawab!" Anak-anak pada kompak jadi kompor.

Mati sudah aku sekarang.

TBC

Repost: 21/03/2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro