Benci

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Pernah berada dalam posisi dipermalukan, lalu harus menahan diri untuk menjaga citra? Rasanya sulit, bahkan sangat. Ketika aku menjadi bahan tertawaan, tapi umpatan atau cacian tak boleh aku lontarkan. Ini bukan sekadar tentang menjaga nama baik seorang Anty. Namun, lebih pada profesionalisme. Tak terbayang jika sekarang tangan ini menyapa kasar Rayendra, walau sebenarnya ingin. Kemudian, jelas ratusan siswa akan menganggap tindakanku adalah hal yang bisa dicontoh. Karena guru itu digugu dan ditiru. Gerak-geriknya akan dipantau, karena itu pula aku terkadang merasa malu didekati oleh murid sendiri.

Tubuhku berbalik, memandangi remaja yang jauhnya beberapa meter di sana. Tanpa rasa bersalah, dia malah tersenyum. Mengerling nakal dan menggoda. Kini rasa panas semakin menjalari wajah. Sekujur tubuh bergetar menahan amarah. Pandangan mengedar, mengingat wajah-wajah yang baru saja menjadi tim hore untuk Rayendra. Sudah kutandai mereka.

Aku menatap ke arah ruang guru. Dari pintu yang terbuka, terlihat orang-orang di dalamnya asik bercengkerama. Terlalu berisik mungkin hingga tak mendengar teriakan Rayendra tadi. Padahal jarak antara ruangan-ruangan itu tak jauh. Lalu mata berganti mengamati ruangan yang pintunya juga terbuka. Harap-harap cemas jika sosok wanita killer itu muncul dan ... ternyata tidak. Artinya Bu Darmi juga tak mendengar. Bisa bernapas lega sekarang. Hanya disaksikan para murid, setidaknya keburukan tidak terlalu jahat padaku kali ini.

“Ibu baik-baik aja?” tanya Rayendra sambil berjalan mendekat. Suara 'cie-cie' dan sorakan lainnya mengiringi pergerakan sepasang kaki panjang itu. Dia lalu melipat tangan di dada. Bibir tertarik ke belakang, menciptakan lengkungan indah yang sebenarnya tak bisa dibantah. “Ibu nantangin, saya terima.”

“Begitu, ya? Baik, kali ini saya akan menantang kamu lagi.” Berusaha sekuat tenaga aku agar nada ini terdengar biasa. Padahal sebenarnya, darah dalam dada sudah mendidih, siap untuk disiramkan pada wajah tanpa dosa Rayendra. "Lepas sepatu dan kaus kaki kamu."

“Buat apa, Bu?” Rayendra mengerutkan dahi, hingga lipatan-lipatan itu tampak. Kedua tangannya kini masuk ke saku celana.

“Saya tantang kamu, berani menerima hukuman dari saya atau tidak. Laki-laki sejati pantang mengingkari ucapan.”

“Saya terima,” jawab Rayendra tegas.

Senyum sinis muncul dari bibirku. Sekarang tanganku yang bersidekap, sementara anak-anak bungkam. Di bawah langit cerah, dua anak manusia sedang saling mempermainkan. Rayendra yang entah apa maksudnya berhasil mencoreng namaku, Anty Wulandari, gurunya. Lalu akibat hati yang terluka, aku ingin melihat bagaimana seseorang mempertahankan kata-katanya sendiri. Meskipun malu harus dia tanggung.

Ada masanya, sekuat apa pun prinsip, argumen, dan sejenisnya dipertahankan, akan menimbulkan masalah untuk diri sendiri.

Tanpa aku perintahkan lagi, tangan Rayendra berkerja. Bertelanjang kaki dia sekarang, bediri di paving yang mulai menghangat terkena sinar matahari. Wajahnya diterpa cahaya, hingga mata itu menyipit. Namun, sorot manik cokelatnya tajam. Tahu pasti dia sedang menunggu apa kata selanjutnya yang meluncur dari bibir ini.

“Kamu berdiri di bawah tiang sambil ngafalin UUD dan Pancasila. Setelah itu lanjut dengan menyanyikan sepuluh lagu wajib nasional.”

“Ibu serius?”

“Ya, serius. Tunggu aba-aba dari saya untuk memulainya.”

Rayendra sempat berdecak, tapi pada akhirnya melangkah menuju tiang bendera yang ada di belakangku. Dia melirik kala tubuh kami sejajar. Riuh anak-anak meneriaki nama remaja itu, sampai aku berteriak. Menyebutkan satu per satu murid yang sudah kutandai sebagai tim hore tadi. Mereka semua ... diam. Aku menghadap ke Rayendra yang kini berdiri dengan sepasang sepatu di sisi bawahnya. Wajah itu tak sedikit pun menampakkan ketakutan. Malah seperti orang yang sedang senang. Aneh.

“Kalian semua ke sini!”

Berjalan pelan murid yang terdiri dari tujuh laki-laki dan tiga perempuan mendekatiku. Entah gugup atau apa, mereka hanya menunduk sejak tadi. Tak ada yang berani menatapku. Padahal tadi suara sepuluh anak ini yang paling lantang memintaku untuk menjawab.

Tidak sedikit yang begitu. Berani berkoar-koar hanya saat tak berhadapan. Kemudian hanya bisa mengunci mulut rapat ketika bertemu langsung dengan yang dijadikan topik.

“Ada apa ini, Bu Anty?”

Sedikit kaget aku mendengar suara itu. Ya, siapa lagi kalau bukan Bu Darmi. Dia kini sudah berdiri di sebelahku, ikut menatap murid-murid yang sedang menunggu hukuman.

“Mereka harus diberi ketegasan supaya menjaga sikap di depan guru, Bu. Saya tadi dijadikan bahan candaan di sini,” jawabku sambil menatap Rayendra.

“Mau memberi mereka hukuman apa?”

“Sepuluh anak ini akan mengumpulkan sampah dari seluruh bagian sekolahan. Menyapu dan mengepel semua koridor di sini, sampai bersih. Rayendra saya suruh berdiri sebentar saja, Bu.”

Melongo mereka semua mendengar perkataanku. Ungkapan kekecewaan atas hukuman ini pun mulai terdengar. Bu Darmi mengangguk, lalu berkata, “Mereka semua tidak akan dianggap alfa hari ini dari setiap guru yang mengajar di kelasnya masing-masing. Lanjutkan, Bu. Saya permisi dulu.”

Aku tersenyum lega, guru menyeramkan itu tak ikut mendengar bagaimana Rayendra ... melamarku. Hah, melamar? Entahlah tadi itu apa namanya.

“Silakan, Bu,” jawabku dengan kepala agak tertunduk. Melenggang dia memasuki ruang guru yang di depannya kini berdiri beberapa orang. Termasuk Rosa dan Kak Sukayasa. Mereka berdua tersenyum-senyum ke arahku. Lihat saja, pasti nanti aku akan dicecar pertanyaan atas kejadian pagi ini.

“Kalian mulai bersih-bersihnya. Ada banyak orang, harusnya pekerjaan kalian cepat selesai. Jangan kebanyakan ngerumpi, karena yang saya lihat anak laki-laki juga nggak kalah dengan mulut perempuan.”

“Kurangin apa, Bu, hukumannya,” pinta salah satu dari mereka.

“Protes, saya tambahin.”

Ajaib, mereka langsung bergerak setelah aku menjawab. Mungkin tak mau mendapat tambahan sayang dariku, eh hukuman.

Bel berbunyi. Anak-anak yang lain masuk ke kelas, keadaan menjadi  sepi di sekitar. Kini aku berjalan mendekati Rayendra, hingga kami lebih dekat.

“Mulai, Ray.”

Rayendra memulai dari menyebutkan isi Pancasila, hingga sepuluh lagu wajib yang aku minta. Bibir itu terus menyunggingkan senyum. Apa dia tidak sadar bahwa aku benar-benar sedang marah? Namun, perlu diberi pujian kalau ternyata dia hafal UUD dengan baik. Di balik sikap usilnya padaku, ada pula sisi baik Rayendra. Jadi, dia seimbang. Jahil iya, pandai juga iya.

“Sudah, Bu. Ada lagi?” Bocah nantangin ini namanya.

“Ada.”

“Memproklamasikan hubungan kita, Bu?”

“Rayendraaa!” Dia tertawa sambil memegangi perutnya. Benar-benar anak nekat! Setelah dihukum pun dia tidak merasa bersalah. “Kamu nggak kapok juga?”

“Untuk apa, Bu? Saya nekat, karena saya serius. Ibu emangnya nggak bisa lihat itu? Dan Ibu kira rasa hangat di kaki saya bikin jera untuk ngejar Ibu? Nggak, Bu. Saya masih berdiri tegak untuk ... Ibu.”

“Ray, saya ini guru kamu! Dan saya semakin nggak suka dengan sikap kamu gini.”

“Kalau gitu, jadiin saya calon masa depan Ibu, biar Ibu suka sama sikap saya.”

Dia berjalan semakin dekat dan dekat. Tangan Rayendra meraih pinggangku, menarik hingga menempel pada tubuhnya. Wajahku seketika memerah dan ingin menelannya sekarang kalau bisa.

“Cerai aja sama Pak Dewa, Bu. Saya siap nerima Ibu walaupun janda,” bisiknya.

Plak!

“Cukup saya bersabar sama kamu, Ray! Panggil orang tua kamu sekarang juga untuk datang ke sekolah!” Rangkulan di pinggangku terlepas. Rayendra mengusap-usap pipinya yang merah akibat terkena tamparanku. “Saya berusaha agar tidak main fisik, tapi ternyata kamu tidak bisa diajak kompromi. Saya benci kamu, Ray! Sungguh, saya sangat benci kamu!”

“Bu, maaf ....”

“Terlambat, Ray. Saya benci kamu ... sampai kapan pun!”

Tbc

Pendek ya? Kentang? HAHAHAHAHAHHAAA

Repost: 22/03/2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro