Terusik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rayendra tampak mengiba. Kerjapan dan sorot matanya penuh harap. Dibalut sinar kekuningan, pesona wajah itu tertelan. Aku lalu pergi bersama nyeri yang kian terasa. Tangan memegangi dada yang terobrak-abrik. Terdengar dia menggumamkan nama 'Bu Anty' berkali-kali. Namun, sekali lagi terlambat. Luka sudah hati ini atas perlakuannya yang membuat aku seakan tak punya harga diri.

Sampai di ruang guru, aku duduk dengan kasar. Menenggelamkan wajah di antara tangan yang menyentuh meja. Ingin sekali rasanya menangis untuk meluapkan kekecewaan ini. Kecewa pada Rayendra, juga pada sikapku tadi. Aku bersalah sudah menamparnya dan itu jelas bukan tindakan yang baik. Entah, aku tak mengerti bagaimana bisa diri ini lepas kendali. Bukankah mendidik itu tak perlu menyakiti?

“Anty ....”

Pelan aku mengangkat wajah dan berdirilah seorang laki-laki dengan senyum manisnya. Dia menarik kursi dari meja lain, lalu kami duduk berhadapan. Aku merapikan anak-anak rambut, juga sesekali mengusap wajah yang pasti tampak kacau. Malu sekali dipandangi guru lain dalam kondisi begini.

“Iya, Kak. Aku keterlaluan tadi, ya?”

Kak Sukayasa masih tersenyum. Aku lalu mengedarkan pandangan, hanya ada kami berdua di sini. Kursi-kursi lain kosong, tampak beberapa tumpukan map dan kertas di meja-meja itu. Sepi, hanya terdengar detakan jarum jam.

“Nanti biar Kakak yang ngomong sama Rayendra. Kakak juga heran, anak itu kenapa ngotot sekali dekatin kamu.”

“Biarlah, Kak. Nanti orang tua Rayendra datang ke sini. Semoga setelah itu aksi nekatnya berhenti. Pusing aku sama tingkah anak itu. Jadi ngerasa bersalah juga karena udah nampar dia tadi.”

Napasku terhela berat. Pikiran melayang ke detik-detik tubuhku dan Rayendra berdekatan, tepatnya berpelukan. Setelah itu sapaan kasar mendarat di wajah remaja itu. Argh! Siapa suruh mancing-mancing emosiku? Kan jadi kena deh dia. Untung saja aku tak ada jam pertama, sehingga mood mengajar dalam kelas tak perlu hancur.

“Kakak siap-siap ngajar dulu. Kamu jaga emosi nanti kalau di depan orang tua Rayendra. Dan jangan gengsi untuk minta maaf ... kalau merasa bersalah.”

Dia bangkit dari duduknya, lalu mengembalikan kursi itu ke tempat semula. Tangannya meraih tas dan buku dari meja. Sebelum melangkah pergi dari ruangan ini, pelan Kak Sukayasa berkata, “Satu lagi, jangan malu untuk mengakui kesalahan.” Berkedip penuh arti laki-laki yang sedang memakai kemeja biru dongker itu. Kaki panjangnya mengarah ke pintu dan mulai menghilang dari pandangan.

Sejenak aku terdiam dan menutup wajah menggunakan kedua telapak tangan. Lalu akhirnya memutuskan untuk melihat sosok itu masih ada atau tidak. Dia berteduh di bawah pohon, tepat berseberangan denganku yang berada di ambang pintu. Tangan kirinya menutup sebagian wajah dan bertumpu pada paha. Sementara tangan lainnya memegangi ponsel. Dia ... tampak kacau.

Tubuhku bersandar pada pintu, tangan terlipat di dada, dan kaki kanan menyilang ke depan. Mata fokus pada remaja yang kini sedang memukul-mukul kepalanya sendiri. Dodol apa gimana, sih, dia? Atau merasa frustrasi karena orang tuanya akan berhadapan denganku?

Hendak berbalik, karena jam pergantian pelajaran sudah berbunyi. Namun, tertahan saat muncul sosok wanita berhijab menghampiri Rayendra. Mereka berbincang beberapa saat, lalu tatapannya mengarah padaku. Ketahuan, kan, aku lagi merhatiin Rayendra. Ckckck!

Aku membenarkan posisi berdiri. Menunggu mereka yang kini berjalan mendekat. Sudah pasti wanita itu ibu Rayendra. Dari segi wajah, memang mirip. Diperkirakan dari umur pun, sepertinya cocok. Aih, Anty, kenapa beralih profesi jadi cenayang gini?

“Ibu Anty?” tanyanya sambil tersenyum. Dia sedikit menundukkan kepala setelah memberi ucapan selamat pagi. “Saya bundanya Rayendra, Rika.”

Benar tebakanku. “Iya, saya Anty, Bu. Mari masuk. Ada yang harus saya jelaskan.”

Raut wajah wanita itu tenang. Sipit matanya menyorotkan kedamaian. Ramping tubuh sekitar 165 sentimeter yang dibalut gamis motif bunga-bunga kecil, menambah kesan wibawanya. Sebelum melangkah, aku memerhatikan Rayendra di samping sang ibu. Berdiri dengan pandangan yang tetap tak mau mengalah ke arahku. Hanya saja kali ini, tampak tidak ada binar indah di manik cokelatnya. Tersirat kesedihan di sana dan sangat jelas terlihat.

Mereka duduk di sofa panjang yang berada dekat dinding setelah aku mempersilakan. Rayendra bersebelahan dengan ibunya, sementara aku dengan posisi bersimpangan. Beberapa kali aku menarik dan membuang napas, mengumpulkan kekuatan agar tak lemah saat berkata.

“Sebelumnya saya minta maaf kepada Ibu, juga Rayendra. Saya mengakui sudah berbuat keterlaluan dengan melayangkan tamparan pada anak didik sendiri.” Tuntas satu bagian dari percakapan ini.

Ibu Rayendra memandang anaknya yang juga balik menatap. Terdengar satu decakan dari bibir merah wanita ber-khimar pastel ini.

“Saya maafkan, Bu. Jika seorang guru melakukan tindakan tegas, pasti ada sebabnya. Jadi, apa yang sudah anak saya lakukan?”

Terkejut aku mendengar jawaban Bu Rika. Saat beberapa orang tua lain memaki guru sebab merasa anaknya diperlakukan tidak baik, tapi dia berbeda. Bahkan ketenangannya saat bertanya membuatku salut. Tadinya aku sudah mempersiapkan diri untuk menerima cacian, lalu berusaha membuatnya paham sebab aku melakukan kekerasan. Namun, ibu Rayendra mengubah keadaan menjadi lebih mudah.
 
“Rayendra berani memeluk saya dan itu keterlaluan, Bu. Saya yakin, di umur Rayendra ini bisa membedakan mana candaan atau bukan. Terlebih lagi saya gurunya dan seorang wanita bersuami.” Bahasan kedua selesai. Huft! Lega.

Wajah Bu Rika seketika memerah. Entah apa yang dirasakannya sekarang. Ditatapnya Rayendra dengan mata yang dia coba bulatkan. Namun, tetap saja sipit.

“Astagfirullah, Rayendra.” Dia mengusap dadanya. “Bunda pernah ngajarin kamu kayak gitu, Ray?” tanya Bu Rika lembut.

“Nggak, Bunda. Ampun, Bun, ampun. Ray cuma iseng.”

Iseng tanganmu nakal! Sudah jelas dengan sengaja memeluk, padahal tahu statusku.

“Kita bicarakan nanti di rumah, Ray. Sekarang, lakuin seperti biasa kalau kamu lagi salah.”

Terkejut untuk yang kedua kalinya aku, karena sekarang Rayendra menjewer telinganya sendiri. Perlu diacungi jempol, bahwa ternyata orang tua Rayendra pun tak main fisik. Aku yakin mereka tahu benar bagaimana cara mendidik anak. Buktinya, remaja ini berkata lembut pada sang ibu. Disuruh juga langsung menurut.

Jika seorang anak berbuat kesalahan atau nakal, memang tak mesti orang tuanya yang disalahkan. Bisa saja keluarga sudah memberi pemahaman tentang yang benar dan salah. Namun, tetap saja, isi kepala manusia tak bisa dikendalikan orang lain.

Beberapa guru berdatangan, duduk di meja masing-masing. Tertawa kecil mereka saat melihat tindakan Rayendra. Yang belum mengerti duduk perkara, pasti sedang kebingungan. Wajah-wajah itu tampak penasaran. Ketahuan dari cara mereka menatap dan alis yang hampir menyatu.

“Saya mohon maaf sekali atas tindakan Rayendra, Bu. Maaf, anak saya sudah membuat Ibu merasa kesal. Ibu tidak perlu meminta maaf karena menampar Rayendra. Ibu sudah betul melakukan itu, karena Ibu tidak dihargai. Dan saya sebagai orang tua dari siswa yang Ibu tampar, tidak keberatan.” Sedikit pun tak terdengar kemarahan pada kata-kata Bu Rika. Kalau begini, tentu saja aku tak akan memperpanjang masalah.

“Saya maafkan, Bu. Saya harap, setelah ini Rayendra tidak akan berulah lagi.” Selesai sudah maksud dari pertemuan ini.

“Terima kasih banyak, Bu Anty. Ibu begitu sabar. Rayendra masih bisa mengikuti pelajaran hari ini?” Heran, bagaimana bisa Bu Rika bersikap seramah ini?

“Masih, Bu.”

“Baiklah, saya pamit pulang dulu. Semoga pertemuan kita selanjutnya, bukan membahas kenakalan Rayendra ya, Bu Anty.” Dia tersenyum dan mengulurkan tangan.

Kami bertiga berdiri. Bu Rika mengelus-elus pundak anaknya, lalu berbisik sesuatu. Tak lama kemudian, Rayendra berjalan melewati meja dan berdiri tepat di sebelahku. Kami bertatapan, entah apa yang mau dia katakan sekarang.

“Saya minta maaf, Bu. Tolong jangan marah sama saya.” Tidak bisa, Fernando! Ups, Rayendra maksudnya. Aku masih marah denganmu. “Maafin saya, ya, Bu.” Rayendra seperti anak kucing sekarang. Lucu.

Tanpa bertanya, dia meraih tanganku dan menciumnya! Dia membuatku sedikit kaget, tapi hal seperti ini kan memang sering murid lain lakukan. Hanya saja ... Rayendra kali ini berbeda. Remaja tinggi ini mencium punggung tanganku bukan dengan hidung, tapi bibir. Lembut terasa sentuhannya dan aku kembali tegang. Lalu cepat-cepat menarik tangan.

Terbuat dari apa anak ini? Sedang dalam keadaan bersalah pun masih bisa mencuri kesempatan. Ya, jelas tadi itu dia sengaja cium tanganku penuh sayang. Eh, sayang? Tahu ah, terang!

Bibir Rayendra tertarik ke belakang, lalu berkedip pelan dan berkata, “Maafin saya, ya, Bu.”

“Saya maafkan. Tolong jangan ulangi lagi.”

“Ikhlas, Bu?” Aku diam, karena memang belum ikhlas. Tidak semudah itu merelakan, karena sekarang hati ini masih sakit.

Terdiam beberapa saat, seakan mengerti, Bu Rika berpamitan kepada kami semua yang ada di ruangan ini. Dia meraih tangan Rayendra, lalu melangkah pergi. Remaja berseragam itu sempat menoleh ke belakang. Bibirnya bergerak tanpa suara, tapi seperti mengucap kata maaf.

Mata-mata di sini menatapku penuh maksud. Berharap aku menceritakan mungkin. Oh, tidak bisa. Aib namanya ini dan harus dirahasiakan dari mereka yang kepo. Segera aku meraih tas dan menuju kelas.

Berjalan melewati halaman, reka adegan tadi kembali terputar. Aku melanjutkan langkah, hingga tiba di kelas. Anak-anak yang tadinya riuh, seketika diam.

“Selamat pagi,” sapaku. Lalu segera duduk. Mereka menjawab salam, tapi tampak kebingungan. “Kenapa kalian lihatin saya kayak gitu?” Aku bertanya sambil mengeluarkan buku dari tas.

“Ibu ngapain di sini?” tanya salah satu murid.

“Ya, ngajar kalian dong.” Pecah tawa anak-anak setelah mendengar jawabanku. Memang apa yang salah?

“Ibu oleng, ya?” tanya murid lain. Dih, apaan, sih? “Ibu salah masuk kelas,” lanjut anak tadi.

Hah? Aku langsung merhatiin anak-anak satu per satu. Ini kelas Rayendra dan harusnya aku ngajar di sebelah. Halah, malunya nggak ketulungan sekarang. Auto tutup wajah dan berdiri. Parahnya, Rayendra ngelihatin dengan senyum kecil. Dia menggeleng-geleng, lalu mengerling manja.

Demi blouse maroon yang sekarang aku pakai, wajahku pasti kayak tomat. Huaaa!

🍃🍃🍃

Berdiri menyandar pada dinding, aku memerhatikan Rayendra dan Almeera yang bercengkerama di sudut ruang praktik. Sepertinya mereka sudah dekat sekali. Tadi pagi pun ke sekolah bareng, padahal biasanya gadis kurus itu mengendarai sepeda motor sendiri. Aku kembali fokus pada seorang siswa yang sedang making room, sesekali mencuri pandang pada dua remaja itu. Lalu mengalihkan pandangan ketika mataku dan Rayendra bertemu.

Ponsel di saku bergetar, mata melebar ketika tahu siapa pengirimnya.

[Bu, belum ikhlas ya maafin saya?]

Aku melirik ke arah Rayendra. Dia memasang tampang biasa saja, masih mengobrol dengan Almeera. Sama sepertiku, dia pun sesekali mencuri pandang. Ignore, An!

[Saya nekat ya, Bu? Ya, gimana, Bu. Namanya juga sayang dan bingung gimana cara ngeyakinin Ibu.]

Heh, sadar nggak, sih? Kamu itu masih sekolah! Sayangnya, aku terlalu malas untuk menyampaikan kalimat tadi pada Rayendra.

[Bu, maafin dong. Jangan siksa saya begini.]

Bodo amat, Ray! Siapa suruh bikin masalah?

[Bu, kangen.]

Benar-benar nggak kapok ini anak. Oke, lihat apa yang akan aku lakukan. Aku memasukkan ponsel ke saku setelah selesai mengerjakan sesuatu di benda pipih itu. Kutatap Rayendra yang memicingkan mata, lalu senyum sinis dari bibir ini sebagai balasannya.

Satu per satu semua kandidat menyelesaikan tugas. Datanglah Bu Rima di detik-detik kami hampir pulang. Dia memanggilku, Rayendra, dan Almeera. Berdiskusi sejenak di ruang guru, memutuskan siapa yang bertahan dan menjalani pelatihan selanjutnya.

Kami silih berganti menyebutkan kelemahan dan keunggulan setiap peserta. Ada yang hasil praktiknya bagus, tapi sayang, attitude kurang. Dalam bidang apa pun, jelas sikap yang baik menjadi prioritas, karena untuk keahlian itu bisa dipelajari. Termasuk di dunia perhotelan, yang mana keramahan dan personal branding begitu diperhatikan. Berhadapan dengan tamu lokal maupun mancanegara, membuat seorang staff dituntut tampil semaksimal mungkin. Pun dalam perlombaan nanti. Mustahil mengikutkan siswa yang saat berbicara saja bisa membentak. Pada akhirnya, terpilih tiga orang dengan penilaian terbaik menurut kami berempat.

Sepanjang diskusi ini, Rayendra yang duduk berhadapan denganku terus menatap. Dia berbicara pada Bu Rima atau Almeera, tapi matanya tetap ke arahku. Aku tak tahu, apa alasan Rayendra bisa senekat itu. Jelas aku adalah wanita bersuami terlepas dari status sebagai gurunya. Ya, tak ada yang melarang cinta beda usia, tapi kalau sudah menikah?

Ingatan melayang ke saat-saat Rayendra memutuskan untuk berhenti mengejarku. Di wajah dengan tatapan sendu itu jelas ada keseriusan, kedewasaannya pun tampak. Namun, tak berapa lama kemudian remaja berwajah imut itu kembali mendekat. Seakan bukan Rayendra yang biasa menepati ucapan.

Sudahlah. Lupakan, An.

Bu Rima dan Almeera bangkit, lalu berjalan mendahuluiku dan Rayendra. Saat hendak menyusul mereka, panggilan lembut seseorang membuat tertahan.

“Bu ....”

“Iya.” Aku menjawab, tapi sengaja tak mau menatap wajah Rayendra.

“Kenapa WA saya diblokir?”

“Biar kamu nggak bisa gangguin saya lagi. Kamu juga udah ada Almeera. Fokus sama dia aja.”

“Ibu cemburu sama Almeera?”

“Nggak.”

“Nggak bohong maksudnya?”

“Terserahmu, Ray!”

“Kalau Pak Dewa yang berbuat salah dan minta maaf, apa Ibu akan maafin?”

Ada sesuatu yang menghunjam dada mendengar pertanyaan Rayendra. Teringat lagi apa yang Mas Dewa pernah lakukan. Ternyata memang sulit untuk melupakan alasan hati terluka. Meskipun itu sudah berlalu dan bibir berucap memaafkan. Apakah tandanya aku memang belum ikhlas memaafkan suami sendiri?

“Kasih saya kesempatan lagi, Bu.”

“Nggak ada pembenaran atas apa yang kamu lakukan, Ray. Jadi, emang nggak perlu ada kesempatan untuk kamu.”

Mata Rayendra memicing saat aku berdiri. Aku membuang wajah dan berjalan, tapi sentuhan lembut mencegahku untuk bergerak lagi. Rayendra langsung melepas gamitannya di jemari tangan kiriku.

“Saya beneran sayang sama Ibu. Bukan cuma gombalan nggak bermutu.” Dia berucap dari belakang. Untunglah tak ada siapa pun di ruangan ini.

“Kalau gitu, silakan menunggu. Mungkin di dunia lain kamu jodoh saya. Atau ... silakan tunggu jodohmu yang lain, Ray.”

“Jodoh saya itu ... Ibu.”

Aku hanya bisa menghela napas berat. Jika ada nominasi siswa nekat dan gelo, mungkin Rayendra yang akan menjadi juaranya. Abaikan!

🍃🍃🍃

Suara hujan menarik minatku untuk mengintip keadaan luar dari jendela. Tangan menempel pada kaca dan dingin langsung menyusup ke telapak. Tampak langit begitu gelap. Penglihatan hanya diwarnai pekat yang sedang menumpahkan air. Napas terembus, hingga embun terbentuk di benda bening ini. Jemariku lalu menulis sesuatu. DA. Namun, yang namanya sedang terpikirkan, masih sibuk mencari pundi rupiah.

Meringkuk aku kemudian di ranjang. Meraba  seprai bermotif daun tepat di bagian Mas Dewa biasanya tidur. Kangen itu memenuhi hati sekarang. Dada berdebar kala memejamkan mata dan mengkhayalkan lelakiku. Tanpa sadar, bibir ini tertarik seketika. Tak sabar rasanya menunggu dia pulang.

Kuraih ponsel dari nakas. Tepat ada WhatsApp masuk. Dahi mengkerut, karena nomornya tak tersimpan. Saat kubaca, semakin mengkerut ini dahi. Bagaimana tidak, pesannya mengatakan bahwa Mas Dewa sedang bersama perempuan lain. Ah, bukankah siapa saja bisa mengirimkan pesan iseng begini?

Sengaja kuabaikan dan memilih berselancar di dunia maya. Akan tetapi, pesan yang terus masuk begitu mengganggu. Dari orang yang sama. Kali ini ... disertai foto. Mataku melebar sempurna. Sesak! Siapakah wanita yang tengah dalam rangkulan lelaki itu? Argh!

TBC

Repost: 23/03/2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro