Janji

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sedikit gontai akibat lelah, aku melangkah ke gerbang sekolah. Meraih ponsel pintar dari dalam tas dan memesan ojek on-line, tapi tiba-tiba seseorang merebut benda itu.

"Udah saya batalkan, Bu!" serunya dengan ekspresi datar.

Seketika tatapan tajamku mengarah padanya. Dengan kesal aku berkata, "Kenapa kamu batalkan? Saya mau pulang."

"Biar saya yang anterin Ibu pulang." Matanya mengisyaratkan agar aku melihat motor besar yang kini ada di dekat kami. Itu milik Rayendra.

Wah, benar-benar nih anak. Nggak ngerti orang capek apa, ya, malah dikerjain gini aku.

"Jangan bercanda, Rayyy. Saya lelah ngajar seharian."

"Saya juga lelah nungguin Ibu."

Hah, sejak kapan dia nungguin aku?

"Yuk, pulang, Bu! Lagian, HP ibu masih di saya. Gimana cara pesan ojek coba?" tanyanya sambil tersenyum puas. Tangan itu bergerak pelan, memutar-mutar benda pipihku.

Bimbang! Kalau nggak nerima ajakannya, terus aku pulang naik apa? Kan HP masih dia pegang. Yasudahlah, biarkan saja jadi gosip seharian besok di sekolah.

"Yaudah, saya mau."

"Nah, gitu dong. Ibu jadi makin cantik!"

Gini nih, salah satu kebiasaan murid-murid di sini. Ngegombalin gurunya.

Aku hanya bisa menggeleng sambil mengikutinya mendekati motor. Sejenak terdiam, lalu berpikir gimana caranya naik. Ini motor tinggi banget, sedangkan aku pakai rok. Duh!

"Ibu injak aja itu pijakan kaki, terus pegang bahu saya biar bisa duduk," ucap Rayendra sambil menatapku dari motornya.

"Yakin? Nanti saya jatuh, gimana?"

Ragu aku mengikuti sarannya. Secara badan dia kurus, kalau tak kuat menahan motor gedenya ditambah tubuhku, gimana? Argh!

"Tenang, Bu. Biarpun saya kurus, gendong Ibu juga masih sanggup." Tiada lelah anak ini menggombal. "Ikutin aja saran saya, Bu," lanjutnya lagi diriingi bibir manis yang tersenyum.

Pelan aku memijakkan kaki di tempat yang dia suruh. Lalu, berhasil berdiri karena megang bahu Rayendra dan segera duduk. Huft! Aku bernapas lega karena tak jatuh saat mencoba duduk di motor ini.

"Udah, Bu? Pegangan, ntar jatuh!" Setelah berucap dia langsung melajukan kendaraannya pelan.

"Dih, ogah saya pegangan sama kamu!"

"Yakin? Oke, kalau Ibu tetap nggak mau."

"Yakin!"

Gengsi dong, ya. Masa guru sudah boncengan sama murid, terus pegangan juga. Ya Tuhan. Ini pasti bakal jadi berita heboh besok, karena tadi keadaan depan sekolah masih rame. Anty, mau saja kamu dikerjain bocah!

Sengaja meletakkan tas di tengah-tengah jok. Memberi jarak agar tak bersentuhan dengan laki-laki itu.

Mataku terpejam demi merasakan embusan angin sore yang menenangkan. Rasanya damai ketika sinar jingga menyentuh wajah, sampai ....

"Rayendra! Kamu jangan ngebut-ngebut! Nanti saya jatuh!"

Gila ini anak. Sudah bosan hidup atau apa? Bawa motor sesukanya, seakan lupa kalau dia lagi bawa satu nyawa cantik.

"Ibu makanya pegangan di pinggang saya, atau bahu boleh deh," jawabnya sedikit berteriak. Angin semakin terasa saat dia ngebut dan itu membuat suara Rayendra sedikit tertelan.

"Saya nggak mau! Kamu pelanin aja bawa motornya!"

"Saya juga nggak mau pelan, Bu. Maunya ngebut! Ibu pegangan deh biar nggak jatuh!"

Modus lagi modus lagi. Benar-benar anak zaman sekarang berlaku sesukanya saja.

Jika dia tetap kekeh, aku pun akan begitu. Tanganku segera memegang erat besi yang melingkari bagian jok belakang. Oke, ini cukup membantu, meskipun aku masih ketakutan kalau bakal jatuh. Rasa was-was itu terus ada, karena si pengemudi masih juga tak memperlambat kendaraannya.

"Ibu ini keras kepala!"

"Biarin!"

"Ibuuu!"

"Apa, sih, Ray?"

"Pegangan!"

"Ogah!"

Mungkin dia merasa kalah, hingga kini laju kendaraan mulai melambat. Aku tersenyum puas tanpa memindahkan tangan dari tempat tadi.

Berkilo-kilo aspal sudah tertempuh, sebentar lagi kami akan sampai di rumah. Keadaan hening di motor ini. Tak ada suara dariku, ataupun murid itu. Dia diam, entah sedang memikirkan cara untuk menggodaku lagi atau apa.

Decit motor terdengar jelas seiiring dengan roda yang berhenti, sedangkan aku kini tanpa sengaja tengah memeluk Rayendra. Ya Tuhan ...! Ini reflek yang ter-memalukan!

"Kamu apa-apaan, sih?" tanyaku kesal. Lalu, segera memperbaiki posisi dan bersiap turun, karena sudah sampai di depan rumah.

"Maaf, Bu, nggak sengaja," jawabnya sambil tertawa kecil.

"Makasih udah nganterin. HP saya mana?"

Cepat dia mengeluarkan benda pipih yang sejak tadi ada di sakunya dan memberikan padaku.

"Besok saya anterin pulang lagi, ya, Bu?"

"Nggak! Sana, kamu pulang."

Aku lalu berjalan memasuki pekarangan rumah. Namun, berhenti dan membalik badan ketika laki-laki remaja itu berkata, "Nanti balas WA saya, ya, Bu. Harus janji mau balas."

Ah, benar-benar dia ini. "Iya," jawabku cepat agar dia segera pergi.

Tanpa kata lagi, dia melaju. Masih sempat kulihat senyumnya sebelum berlalu. Entah, aku bingung mengapa dia dan beberapa murid yang lain suka sekali menggodaku. Mulai dari di kelas yang memplesetkan namaku, mengajak pulang, belum lagi di WhatsApp.

Apa aku terlalu memesona? Ah, dodol! Mikir apa sih kamu, Anty.

Sampai kamar, aku melepas pantofel krem dan meletakkan tas secara sembarang. Lalu, mengempaskan diri di ranjang. Sejenak memejamkan mata meresapi lelah ini. Tiba-tiba teringat sesuatu, aku segera membuka ponsel dan mengetik pesan untuk seseorang.

[Belum pulang? Aku udah sampai rumah.] Pesanku terkirim, tapi belum dibaca. Selalu saja begitu kalau sudah asyik kerja.

[Aku lembur.] Akhirnya datang juga balasannya, tapi tetap merasa kecewa.

[Oke,] balasku singkat.

Benda kesayangan itu kemudian kuletakkan pelan. Meskipun sedang kesal, tetap saja aku tak ingin barang itu rusak dengan melemparnya. Tekor bandar nanti kalau beli yang baru!

Sayup terdengar suara sholawat sebelum adzan Maghrib. Aku bergegas mandi dan menunaikan sholat ketika adzan selesai berkumandang.

Berdiri di depan kulkas yang terbuka, mencari-cari bahan makanan untuk malam ini. Hanya ada dada ayam dan wortel. Baiklah, mari memasak.

Jemari mulai mengiris bawang. Terdengar suara pisau yang beradu dengan talenan. Memang seperti inilah suasana rumah hampir setiap hari. Sunyi, karena jam segini hanya aku penghuni di sini.

Harum mulai tercium ketika bawang kutumis. Ayam dan wortel sudah masuk wajan. Tambahkan air, kecap ... dan tutup. Tunggu matang.

Ponsel yang sengaja kuletakkan di meja makan, terus berbunyi. Entah siapa yang mengirimi pesan beruntun. Segera kuraih dan kembali berdiri di dekat kompor. Berjaga-jaga agar tak gosong. Mata seketika membulat sempurna saat tahu siapa yang menghubungiku. Rayendra. Astaga, anak ini.

[Ibu lagi apa?]
[Ibu udah mandi?]
[Ibu udah makan?]
[Bu ....]
[Balas, Bu! Tadi kan udah janji.]

Sungguh, aku tak bisa menahan senyum ini ketika membaca pesan-pesan itu.

[Saya lagi masak.] Kubalas juga akhirnya.

[Masak apa, Bu?]

Apa dia ini tidak punya kerjaan sehingga cepat sekali menjawab pesanku? Tak langsung kujawab, ponsel kembali ke meja sebentar. Ada ayam yang sedang menunggu diberi garam.

Setelah masakan matang, perut pun meronta diberi jatah. Jadilah aku menunaikan hak anggota dalam tubuh ini, cacing-cacing yang kelaparan. Lalu kembali menunaikan sholat karena sudah waktunya.

Asyik merebahkan diri di ruang tamu berukuran sedang sambil menonton TV, aku teringat pada benda pipih. Pelupa! Sejak tadi aku belum menyentuhnya lagi. Bahkan chat terakhir dari remaja kurus itu hanya kubaca.

Segera aku menuju meja makan dan meraih benda itu. Seperti dugaan, chat menumpuk. Dengan keadaan di-silent saat aku memasak tadi, tentu saja mau sepuluh ribu pesan yang masuk pun aku tak akan tahu.

Kembali melangkah ke ruang tamu, sambil bersandar pada sofa dan men-scroll pesan WhatsApp. Kembali aku tersenyum ketika menemukan pesan dari seseorang.

[Ibu gitu deh, WA saya nggak dibalas.]
[Bu ....]
[Kok, jahat, sih, Ibu?]

Ya Tuhan, pipiku terasa sakit karena tersenyum lebar. Anak ini sungguh menciptakan suasana yang baik untuk hatiku. Lalu terdengar suara kaki mendekat setelah pintu rumah terbuka.

"Sayang ...," panggil seseorang, sementara satu pesan kembali datang di ponselku.

[Suami ibu udah pulang?]

Tbc

Repost

Fyi, cerita ini sudah terbit versi cetak dan ebook dengan beberapa revisi pada bagian yang pernah di-publish.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro