Luka tanpa darah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Ponsel segera kuletakkan setelah derap langkah itu terus mendekat.

"Kamu lagi apa?"

"Nonton TV aja," jawabku, lalu menghampirinya yang masih berdiri.

"Aku capek."

Dia mengembuskan napas kasar setelah berucap. Dua tanganku lalu melepas dasi bermotif garis putih-biru di leher Mas Dewa. Tak ketinggalan membuka tiga kancing kemejanya.

Kupeluk dia, tapi seperti biasa, pasti tak bertahan lama. Entah untuk alasan apa, dia tak terlalu suka jika kami melakukan banyak kontak fisik. Ya, seperti berpegangan, bersandar di bahunya, atau yang lain.

"Aku siapin makan, ya," ucapku sambil mengekorinya menuju kamar.

"Aku udah makan tadi sama teman-teman."

"Jadi, tadi sebelum pulang kamu ngelayap dulu?"

Pertanyaanku barusan terlontar dengan nada sangat kesal. Sepasang mata itu tampak biasa-biasa aja. Nggak merasa bersalah sepertinya atau apa pun itu.

"Biasa aja kali, Say," ucapnya santai. Lalu, berlalu ke kamar mandi, meninggalkan aku yang lagi dongkol setengah mati.

Terduduk lemas aku di ranjang. Benar-benar merasa tak berarti jika sudah seperti ini. Bukan hanya sekali, dua kali dia melakukan itu. Setiap kerja pasti jarang menyapa dari WhatsApp. Kalau sudah di rumah, dia bakal asyik sama sosmed-nya. Belum lagi kalau dia santai menghabiskan waktu dengan teman-temannya, tanpa mengabari.

Tiba-tiba kepala terasa sakit, pelan kupijat. Lalu kembali ke ruang tamu. Teringat ada chat yang belum sempat kubalas. Ada rasa ragu saat menyentuh benda pipih ini. Kirim pesan atau ....

[Iya, suami saya udah pulang.] Akhirnya kukirim juga sebuah balasan untuk Rayendra.

Berbalas pesan dengan murid sendiri? Entah ini tindakan benar atau tidak. Hemm ....

[Kenapa Ibu lama sekali balasnya? Jamuran saya nunggunya, Bu.] Dia juga mengirimkan emot dua mata yang melirik ke atas.

[Kamu kepo, deh. Sana tidur. Besok bukannya ada jam olahraga pagi?]

[Mau tidur sama Ibu.]

Dih, apa-apaan anak ini?

[Maaf, Bu, maksudnya kalau Ibu tidur, baru saya juga tidur.] Sungguh, dia pandai sekali ngeles sekaligus membuat tersenyum.

Hendak mengetik balasan, Dewa kini sudah duduk di sebelahku. Cepat chat dari Rayendra kulenyapkan dan meletakkan benda pipih itu di meja.

Mataku memandang kagum Mas Dewa yang tampak begitu segar setelah mandi. Hanya menggunakan celana kain selutut dan dada telanjang, sungguh itu adalah godaan. Mata yang agak sipit dan dihiasi kantung hitam di bawahnya itu, tetap saja tak memudarkan pesona lelakiku. Aku suka semua yang ada pada dirinya. Wajah tirus tanpa jenggot itu selalu berhasil membuatku terpana. Bahkan ... jatuh cinta berulangkali, meski hati ini dikecewakan.

"Sini," ucapnya pelan. Lalu tangan Mas Dewa menarikku agar semakin dekat dengannya. Pelan dia menciumi telingaku, membuat tengkuk seketika meremang. Namun, ini menyenangkan. "Kamu cantik." Setengah berbisik dia mengatakan itu, membuatku mengerti maksudnya.

Kusambut dengan riang undangan laki-laki itu untuk menghabiskan malam ini di lautan cinta. Menyelami kedalamannya yang indah. Lalu saling mereguk madu dengan kadar kemanisan sangat tinggi. Berdua kami merasakan terbang tinggi setelahnya.

🍃🍃🍃

Pagi datang bersama sinarnya yang hangat. Memberi semangat untuk jiwa yang dari semalam sudah terbakar cinta.

Aku mematut diri di depan cermin. Sesekali mendekatkan wajah, seperti close up. Tujuannya hanya untuk melihat apakah sudah ada kerutan di wajah ini dan jawabannya ... belum. Memang sudah sepantasnya begitu, aku kan masih muda.

Dua puluh dua tahun usiaku, bertubuh ramping dengan tinggi seratus enam puluh tiga senti. Memutuskan untuk menikah muda karena merasa yakin bahwa Mas Dewa adalah orang yang tepat.

"Sayang ...."

Sebuah panggilan datang bersamaan dengan lengan kokoh yang kini melingkari pingganggku. Aku sedikit memutar wajah, agar mata kami bisa saling bertemu. Juga untuk ... merasakan hangat itu di bibir.

Wangi parfum lembut dari Mas Dewa selalu memanjakan hidung. Membuatku ingin berlama-lama dalam dekapannya, sementara dia tidak. Sekarang saja laki-laki itu sudah melepas pelukannya dan sedang memakai sepatu. Aku membalik badan dan memerhatikannya yang sedang duduk di tepi ranjang.

Kembali aku dibuat kesal, padahal baru saja senang. Ini bukan masalah singkatnya waktu bersama di pagi hari, tapi dia memang seperti itu. Dengan tanganku bersidekap begini, dia harusnya mengerti apa yang istrinya sedang rasakan. Namun, memang kenyataan jika dia tidak peka. Ckckck!

"Aku berangkat duluan. Kamu naik gojek aja, ya," ucapnya sambil mengecup pelan keningku.

"Tapi aku sebentar lagi siap, Mas. Tunggu dululah."

"Nggak bisa. Aku telat nih."

"Mas ...."

Percuma saja memanggil, karena kakinya sudah tak tampak lagi di lantai kamar ini. Bibirku kini sedikit manyun. Benar-benar menyebalkan!

Lagi kupandangi diri di cermin. Memastikan kemeja hitam berlengan panjang dan rok abu-abu yang menempel pada tubuh sudah sempurna.

Melangkah keluar rumah, lalu mengunci pintu. Delapan jari tangan kemudian sibuk memegangi ponsel dan dua jempol menari di layar. Aku berdiri di depan gerbang sambil menunggu ada ojak on-line yang menerima orderanku. Namun, nahas! Sudah setengah jam aku menanti, bahkan berkali-kali melakukan permintaan ulang, tak satu pun orang berjaket hijau muncul.

Demi pelajaran fisika yang menguras otak, ini menyebalkan!

Aku mengentakkan kaki berkali-kali. Bayang-bayang terlambat tiba di sekolah rasanya semakin jelas. Lalu aku harus apa sekarang?

Merasa frustrasi, aku menggeleng, lalu meletakkan benda pipih di dalam tas. Tak ada pilihan lain, aku harus berjalan kaki. Napas terhela berat dan kaki kini mulai menyusuri aspal seorang diri. Sungguh kasihan diriku ini.

Tali tas yang tersangkut di pundak, kupegang erat. Merasa kesal atas nasib buruk pagi ini. Tetes-tetes keringat mulai berjatuhan, sementara tak satu pun ojek yang kutemui sepanjang jalan. Bemo atau kendaraan umum lainnya, sudah penuh ketika hendak kunaiki. Kenapa begini, sih?

Sudah beberapa kilo kutempuh, pantas saja merasa lelah. Sejenak berhenti dan memijat kaki yang pegal. Lalu terdengar suara motor berhenti tepat di sebelahku.

"Berangkat sama saya aja, Bu!"

"Rayendra?" Mataku membulat tak percaya menemukannya di sini.

"Iya, ini saya, calon masa depan Ibu," jawabnya sambil nyengir kuda.

"Dihhh, kamu ini!"

"Naik, Bu!"

"Nggak mau!"

"Oh, oke," jawabnya diriingi anggukan. Lalu motor itu kembali berjalan. Menjauhiku.

Eh, kenapa dia pergi? Aku kan ....

"Rayendra! Saya mau ikut sama kamu!" Berteriak aku sambil mengejarnya. Napas mulai tak beraturan kini dan motor itu akhirnya berhenti.

"Ciee ... Ibu mau naik motor saya tanpa dipaksa. Itu tandanya ... Ibu mulai suka saya."

Malu, malu, malu! Mengapa kejadian seperti ini harus menimpaku. Tak ada image bagus sudah di depan anak ini.

Wajah yang sejak tadi sudah panas karena keringat, sekarang terasa seperti mendidih. Ingin rasanya menenggelamkan diri di laut. Lalu termakan ikan hiu agar Rayendra tak bisa melihatku yang sedang malu setengah mati.

"Tolong anterin saya," ucapku dengan wajah tertunduk. Sempat kulirik tatapan serta senyum murid itu penuh kepuasan.

"Naik, Bu!"

Dia menarik tanganku dan langsung aku naik ke kendaraan kebanggaan Rayendra. Namun, kali ini posisi dudukku berbeda. Pose ala-ala wanita manja. Iya, menyamping dengan kaki menyilang, sementara tangan berpegangan kuat pada besi di belakang jok motor.

"Pelan-pelan," ucapku ketika motor mulai melaju.

Lalu Rayendra sedikit menoleh ke belakang dan berkata, "Tenang, Ibu pasti aman sama saya."

"Terserah!"

Dia kembali fokus ke jalanan dan aku pun mengalihkan pandangan ke segala arah. Melihat pohon di pinggir jalan, tukang sapu keliling, lalu tanpa sadar kembali menatap punggung Rayendra. Tersadar dia masih mengenakan setelan olahraga, juga rambut sedikit panjang tanpa pelindung.

"Kamu besok-besok harus pakai helm, bahaya kalau nggak. Kalau kecelakaan terus keluar banyak darah, gimana?" tanyaku.

Seketika Rayendra menghentikan motornya. Membuatku kebingungan dengan apa yang terjadi. Kini, dia memutar hampir setengah badannya, hingga dua pasang mata kami saling bertemu. Bibir itu sedikit tertarik. Menciptakan lengkung indah.

"Lebih sakit lagi ketika terluka nggak berdarah, Bu."

"Maksudnya?"

"Nungguin balasan chat dari orang yang lagi asyik sama suaminya itu sakit, Bu. Rasanya terluka, tapi nggak berdarah," ucapnya sambil memukul pelan dada sendiri.

"Rayendra ...." Kusebut namanya pelan disertai wajah yang menghangat.

"Saya semalam nungguin balasan dari depan rumah ibu."

Deg!
Deg!
Deg!

Jantungku bagai terhunjam sesuatu bersama detaknya yang makin tak beraturan.

Muridku menunggu seorang guru yang sedang bersama suaminya? Ya Tuhan ....

Tbc

Repost: 01/03/2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro