Kedewasaan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Berkali-kali pesan terakhir dari Rayendra aku baca. Iya, benar. Semua harus terjadi seperti ini. Memang mau jadi apa jika anak itu terus mengejarku? Bahkan dari awal pun aku sudah melarangnya agar tidak berbuat hal nekat.

Dia mundur secara teratur bukan karena lelah untuk berjuang. Namun, karena sadar jika percuma saja memaksa hati yang tak membalas rasa untuknya. Selama ini Rayendra sudah menghabiskan banyak waktu demi mendapatkan perhatianku. Untuk segala tingkah konyol dan keberaniannya, dia patut diapresiasi. Terlebih juga tentang kedewasaan yang dia tunjukkan sekarang.

Kupikir dia akan kekeh mempertahankan perasaannya. Lalu berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkanku. Ya, tapi ini jelas lebih baik. Aku pun sebenarnya ingin membicarakan agar dia berhenti mengganggu. Ah, aku jadi tidak perlu menambah sakit hati Rayendra atas perkataanku. Cukup sudah semua dan berakhir ....

Akan tetapi, terasa masih ada yang mengganjal. Tentang ketidakjujuranku pada Mas Dewa, juga cincin dari Rayendra yang masih ada di lemari. Baiklah, mari selesaikan satu-satu.

Kembali aku menatap ponsel yang tanpa sadar layarnya sudah mati. Bengong, sih, dari tadi. Eh, pas buka kunci ternyata aku masih ada di kolom chat Rayendra dan anak itu baru saja off. Jadi pasti dia tahu aku sudah membaca pesannya.

Ini sudah jam sebelas malam, Rosa sudah tidur belum, ya? Ah, coba chat saja.

[Kak Ros, oh, Kak Ros ....]

Aku lalu berbaring sambil menunggu balasan guru berambut seleher itu.

[Ya, ada apa, Upin?]

Peak! Malah jadi kartun Upin Ipin kami.

[Mau curhat tentang Ray.]

[Kenapa dia?] Cepat dia membalas disertai emoticon mata mengeluarkan jantung merah.

[Semua udah berakhir. Dia sadar kalau selama ini salah.]

[Bagus itu. Harga dirimu sebagai guru juga nggak jatuh depan dia.]

[He'em. Cuma aku bingung, kayaknya dia tahu Mas Dewa selingkuh.]

[Suamimu selingkuh?] Rosa mengirimkan emoticon marah.

Dodol! Pakai keceplosan pula aku ngetik. Rosa memang belum tahu tentang ini. Kejadian kemarin itu rasanya begitu cepat dan memusingkan. Jangankan teman, orang tuaku dan Mas Dewa pun belum mendapat kabar.

[Besok-besok ajalah ceritanya.]

Malas sekali jika harus membicarakan tentang itu lagi.

[Oh, ya, An. Ada sepuluh kandidat yang bakal diseleksi untuk lomba housekeeping nanti. Rayendra masuk, loh. Tadi KaJur(Kepala Jurusan) ngumumin.]

Lah, apa pula ini? Tandanya sekarang aku dan anak itu akan sering berinteraksi. Ah, nggak kebayang deh, ya. Harapanku Rayendra tetap fokus selama pelatihan.

[Thanks infonya, Ros. Aku tidur dululah. Perut berasa nggak enak.]

[Awww awww. Jangan-jangan kamu hamil?]

Deg!

Wajahku seketika menghangat membaca balasan Rosa. Tangan pun langsung mengelus perut sendiri. Benarkah aku hamil? Jika iya ....

[Nggak tahu. Udah, ah. Night.]

Rosa lalu mengirimkan balasan emot peluk juga cium.

Dada berdebar-debar tak menentu membayangkan jika benar dalam perut ini ada kehidupan lain. Dih, kenapa aku jadi senyum-senyum gini, sih?

Mending kamu bobo, Anty. Ini udah malam.

🍃🍃🍃

Kembali bersama dengan orang yang pernah mengkhianati kita adalah suatu hal yang tak mudah. Bayang-bayang Mas Dewa bermesraan dengan gadis itu terus bermunculan di benak. Lalu ada satu tanya yang datang, apakah Mas Dewa akan marah jika tahu kelakuan Rayendra?

"Hei, mikirin apa, Sayang?"

Mas Dewa menyapaku yang tengah duduk di lantai teras. Menikmati angin sore di sini terasa nyaman. Dia datang membawa dua gelas jus di tangannya. Romantis. Kan kalau gini aku jadi bahagia.

"Nggak ada. Mengkhayal nggak jelas aja. He he he." Dia duduk di sebelahku dan menyerahkan satu gelas dengan tangan kanannya. Mata sedikit sipit itu mengerling manja. "Tumben rajin bikin jus. Biasanya beli kalau pengen," ucapku setelah menyedot jus apel ini.

"Layanin istri kan bagus. Siapa tahu hukuman jadi dikurangi." Jiah, ternyata ada maunya. "Nggak, Sayang, bercanda," lanjut Mas Dewa.

Tangan kokoh itu lalu meraih pingganggku dan membuat kami semakin dekat. Gelas yang tadi ada di tangan, sengaja aku letakkan di lantai. Kepala ini pun kini bersandar di dada bidang Mas Dewa. Detak jantungnya terdengar menenangkan. Pelan dia membelai rambut dan mencium pucuk kepalaku. Dekapannya semakin erat.

"Dia nggak ada hubungin kamu lagi?" tanyaku sambil mendongakkan wajah.

Lelaki ini hanya menggeleng dan sesaat mengecup bibirku. Cepat aku melepaskan diri darinya, karena rasa sakit itu kembali hadir. Argh!

"Maaf," ucapnya pelan dengan wajah tertunduk.

Kamu sebenarnya baik, Mas, termasuk penurut juga. Akan tetapi, kenapa tega kamu selingkuh, Mas?

"Kalau aku yang selingkuh, gimana?" tanyaku dengan senyum sinis.

"Anty!"

Nada suaranya cukup tinggi, disertai mata yang fokus menatapku. Terlihat dada Mas Dewa naik turun. Marah, mungkin dia merasakan itu.

"Sakit, ya, ngebayanginnya? Sama, aku juga sakit ngebayangin kamu ciuman sama cewek itu."

Hendak bangkit dan meraih gelas setelah berucap, tangan Mas Dewa menahanku. Lembut dia menyentuh wajahku dan mata ini pun terpejam. Tak terasa air mata mengalir dan kupegang jemari Mas Dewa yang masih di posisinya sejak tadi.

"Maafin aku. Aku terlalu bodoh untuk ngelakuin itu. Aku egois, Anty. Aku nggak rela kalau kamu selingkuh, tapi brengseknya aku malah selingkuh. Apa kita nggak bisa mulai semua dari awal?"

Lemah sekali suara Mas Dewa dan sudah dipastikan pasti sorot matanya pun penuh luka. Lalu aku harus bagaimana? Kenapa untuk melupakan itu terasa berat? Mungkinkah waktu mampu menghapus ingatan buruk itu?

Kemarin aku berhasil berdiri tanpa rasa takut di depan selingkuhan Mas Dewa. Namun, sekarang aku kembali lemah ketika ingat cara suamiku mematahkan hati ini. Apa ini tandanya aku tak bisa memaafkan dia? Akan tetapi, aku pun sudah egois ....

Oke, let's move on, Anty!

"Aku mau makan malam sama orang tua kita," ucapku sambil membuka mata. Mas Dewa terlihat tegang.

"Kamu mau ceritakan ini ke keluarga kita? Jangan, Anty! Kita selesaikan baik-baik dulu. Jangan libatkan mereka. Tolong, Sayang," pintanya. Tangan itu terus membelai wajahku, sementara raut muka Mas Dewa masih setia terlihat memohon.

"Aku cuma mumet di rumah, pengen jalan-jalan. Kamu yang telepon mereka. Ajakin ke Daeng Coffee aja."

Aku bangkit dan menuju kamar untuk berganti pakaian, tapi masih sempat kudengar Mas Dewa berkata, "Lega ...."

Dasar lelaki! Kemarin-kemarin berani selingkuh, tapi nyatanya takut saat keluarga tahu. Payah!

Saat membuka lemari, aku teringat pada cincin Rayendra yang berada di antara tumpukan baju. Ada niat untuk mengambilnya, tapi tidak! Besok saja sebelum pergi ke sekolah aku masukkan dalam tas.

Dress hitam selutut menjadi pilihanku kali ini. Entah mengapa rasanya ingin sekali memakai yang itu. Flat shoes navy menjadi penyempurna penampilan. Kupandangi diri sejenak di cermin. Meski hanya dengan riasan tipis, kenapa aku merasa wajah ini lebih cantik, ya? Ada-ada saja kamu, Anty, muji diri sendiri.

"Sayang ...."

Mas Dewa membuka pintu dan tersenyum memandangku. Tatapan kami bertemu lewat cermin. Dia lalu mendekat, satu tangannya melingkar di pinggangku, satunya lagi menyibak rambut yang menutupi leher ini. Argh! Sentuhannya itu benar-benar bikin hampir lupa diri. Kalau nggak lagi ngambek, udah aku kekepin dia sekarang!

"Kirain bakal luntur marahnya." Dia nyengir kuda setelah menggigit-gigit kecil leherku. Terlalu! Tahu aja gimana bikin wanita mau nyerah. "Orang tua kita lagi kondangan ke Klungkung. Kita pergi berdua aja, ya?"

"Okelah, tapi lepasin dulu ni pelukan!" sewotku.

"Mau sampai kapan marahnya, Sayang?"

Mas Dewa melepas pelukan dan membiarkanku mengambil tas. "Sampai kapan-kapan!"

"Yahh, puasa lama berarti aku," jawabnya lesu.

"Bomat! Kapok!" Aku lalu tersenyum ala iklan pasta gigi.

Siapa suruh main-main sama wanita? Kan memang judulnya juga lelaki selalu salah. Ha ha ha!

🍃🍃🍃

Jalanan tak terlalu macet, kami cepat sampai di sebuah kafe pinggir jalan. Pengunjung di sini pun belum ramai.

Di sini tempatku dan Mas Dewa sering menghabiskan waktu dulu. Minum kopi dan sekadar menyantap dessert bersama. Satu alasan mengapa aku ingin ke sini sekarang. Ya, untuk memasukkan kembali kenangan-kenangan indah kami. Juga agar tak tergantikan dengan kejadian pahit beberapa hari lalu.

Aku mengamati Mas Dewa yang sedang memberitahukan pesanan kepada seorang pelayan kafe. Lelaki yang sedang menggunakan kemeja satin maroon itu adalah pemilik raga ini. Sudah sepantasnya badai maupun tsunami kami hadapi bersama. Menyembuhkan luka hati dengan membuat kenangan baru yang indah, sepertinya pilihan bagus.

Bukankah setiap kehidupan mengalami kesenangan juga kesusahan? Ya, dan aku harus tetap berdiri demi apa yang sudah ada di genggaman selama ini. Karena untuk melepaskan cinta itu tak mudah. Meskipun hati sempat tersakiti dan lisan mengucap pisah.

"Baby, you're all that I want ....
When you're lying here in my arms ....
I'm finding it hard to believe ....
We're in heaven ...."

Bibirku tertarik sempurna ketika Mas Dewa menyanyikan lagu itu. Aku memangku dagu menggunakan tangan kiri. Mata berbinar menatap lelakiku yang sedang tersenyum.

"And love is all that I need ....
And I found it there in your heart ....
It isn't too hard to see ....
We're in heaven ...."

Kembali dia melantunkan penggalan lagu itu. Meski tak diiringi alat musik, suara Mas Dewa sudah mampu membuat debaran halus dalam dada terasa. Getar-getar yang sempat menghilang, kini sepenuhnya hadir lagi.

"Suka?" tanyanya sambil menggenggam tangan kananku. Aku mengangguk. "Mau lagu lain?" Aku mengangguk lagi. "Apa pun untukmu, Sayang." Dia lalu mengecup punggung tanganku. Ah, meleleh sudah jadinya.

"Cause we were just kids when we fell in love ....
Not knowing what it was ....
I will not give you up this time ....
But darling, just kiss me slow, your heart is all I own ....
And in your eyes you're holding mine ...."

Dia memang tahu bagaimana menyenangkan wanitanya. Ini sungguh Minggu sore yang manis.

"Baby, I'm dancing in the dark with you between my arms ....
Barefoot on the grass, listening to our favorite song ....
When you said you looked a mess, I whispered underneath my breath ....
But you heard it, darling, you look perfect tonight ...."

"Love you, Baby," ucapku.

"Love you more, Sweet Heart ...."

Tiada yang sempurna di dunia ini. Kita hanyalah manusia yang pasti pernah berbuat salah. Pernah mengecewakan seseorang. Pernah mematahkan hati dan membuat luka menganga di dada orang lain. Namun, terlepas dari itu semua, kita punya hak untuk mendapatkan kesempatan memperbaiki diri. Bukankah Tuhan pun memberi ampunan untuk hamba-Nya yang bersungguh-sungguh berubah?

Aku dan Mas Dewa terikat dalam sebuah hubungan mulia. Bukan sekadar main-main dan untuk itu, kami memang harus bersikap dewasa. Keputusan yang diambil secara terburu-buru, biasanya akan menyisakan penyesalan. Sebab emosi menguasai diri hingga tak sempat lagi berpikir jernih. Beruntung aku dapat menahan gejolak dalam dada atas kejadian kemarin. Jika tidak, mungkin tadi lelaki ini tak akan menyanyikan lagu untukku.

Tak selalu perpisahan itu membawa kebaikan. Banyak pula yang malah menyisakan trauma. Untuk kesabaran yang Allah beri, aku sangat berterima kasih.

Mas, aku pun pernah berbuat salah dan nanti akan kuceritakan padamu. Tak peduli bagaimana reaksimu. Karena kejujuran harus diungkapkan, walaupun kehancuran terjadi setelah itu. Sebab percuma saja berdiri di singgasana yang dibangun dengan kebohongan. Cepat atau lebih cepat pun pasti akan runtuh juga.

"Silakan, Pak, Bu," ucap sang pramusaji.

Dua cappucino, satu pizza large size, dan dua slice red velvet sudah ada di meja. Aku tersenyum puas. Tak sabar ingin memakan semua ini.

Cepat aku menggigit pizza yang ditaburi sosis juga daging itu. Entahlah, rasanya aku sangat lapar. Kulihat Mas Dewa yang baru saja memasukkan satu sendok red velvet ke mulutnya.

"Kenapa ngeliatin aku kayak gitu, Mas?" tanyaku masih asyik mengunyah pizza.

"Senang aja lihat kamu makan rakus gini. Jarang-jarang, sih," jawabnya dengan senyum.

Kalau dipikir-pikir iya juga. Nafsu makanku bertambah. Jangan-jangan ....

"Mau pizza lagi?" Mas Dewa bertanya saat melihat roti berisi daging itu tinggal sepotong. Sementara dia belum memakan satu pun. Ups! Ada apa denganmu, Anty?

"Udah kenyang, Mas."

"Yakin?"

"He he he. Mau lagi, deh. Kamu juga belum kebagian," jawabku sambil menyipitkan mata. Gigi pun ikut aku pamerkan.

Kenapa aku jadi yakin kalau sekarang dalam perut ini beneran ada dedek bayi? Ah ....

🍃🍃🍃

Hari Senin dan jadwal untuk membina kandidat lomba juga dimulai. Huft! Semangat, Anty!

Saat turun dari mobil Mas Dewa, Rayendra tampak baru sampai di gerbang sekolah. Dia menatap sebentar, lalu kembali melajukan motornya.  Semua sudah normal sekarang, sama seperti enam bulan lalu saat aku pertama menjadi guru di sini. Tidak ada murid yang memaksaku untuk pulang bersama, juga tak ada WhatsApp gombalan receh.

Pelan aku melangkah masuk setelah melambai pada Mas Dewa. Baru saja sampai di ruang guru, Rosa sudah menghampiri. Pasti mau nanyain yang kemarin.

"Ceritain, dong. Sekarang!" todongnya begitu saja. Dia berjongkok di bawahku. Kayak anak kecil minta dibeliin jajan ini.

"Nggak!"

"Ceritain, Anty!"

"Nggak!"

Ya, itulah yang terus kami lakukan hingga tiba jam pelajaran pertama. Rosa merengut kesal karena tak mendapat apa yang diinginkan. Ya, aku hanya tak mau saja mengumbar masalah itu. Aib suami, aib istri juga. Sepatutnya aku memang harus melindungi kehormatan kami berdua. Tanpa memikirkan siapa yang bersalah.

Kaki menuju kelas Rayendra. Suara gaduh yang tadi terdengar dari luar, kini senyap saat aku sudah di dalam.

"Selamat pagi," sapaku.

"Pagi, Bu." Serempak mereka menjawab.

Tas berserta buku aku letakkan di meja, lalu meraih spidol dan mulai menulis sesuatu di papan.

'Bahan Pembersih di Hotel.'

Aku membalik badan dan hendak menjelaskan materi hari ini. Namun, tertahan karena melihat ada yang aneh. Apa, ya? Oh, aku tahu ....

"Rayendra pindah duduk?" tanyaku. Remaja itu biasanya duduk di bangku paling depan. Kini dia ada di belakang. Entah apa maksudnya.

"Iya, Bu." Dia menjawab cepat, tanpa senyum.

"Ada masalah, Ray?" Lagi aku bertanya.

"Nggak ada, Bu. Saya cuma mau ganti suasana aja. Di bangku itu banyak kenangan. Biasanya saya suka ngeliatin seseorang dari bangku itu."

"Cieeee, Ray." Kompak anak-anak itu ber-cie.

Glek!

Sampai bunyi saat aku menelan ludah. Apa karena aku? Ya, dia beberapa kali menggoda kemarin-kemarin. Ketika aku menjelaskan, dia asyik bengong. Kadang juga mengerling nakal. Oke, stay cool, Anty.

"Ada beberapa jenis bahan pembersih yang biasa digunakan di hotel." Aku mulai menerangkan tanpa menjawab perkataan Rayendra tadi. "Ada yang sudah tahu apa saja itu?"

"Deterjen, Bu."

"Strippers."

"Sealers."

Bergantian mereka menyebutkan.

"Air termasuk kan, Bu?" tanya salah satu siswa.

"Termasuk. Air berfungsi sebagai pembilas. Bisa juga sebagai pelarut atau pencampur dari bahan pembersih lain. Seperti deterjen, multi purpose cleaner," terangku.

Kembali aku ke papan dan menuliskan jenis-jenis yang lainnya. Lalu salah satu siswa bertanya, "Metal cleaner fungsinya apa, Bu?"

"Metal cleaner berfungsi untuk menghilangkan noda atau kotoran pada permukaan logam. Biasanya di gagang pintu kamar mandi hotel bahannya besi. Banyak bagian lainnya juga."

"Kalau bersihin hati yang ternoda karena rasa nggak terbalas, bisa nggak pakai itu, Bu?" tanya Malik.

Jiah, ada aja cara anak-anak di sini bikin gaduh kelas.

"Emang mau bersihin hati siapa, Malik?"

"Hati Rayendra, Bu."

"Eaaaaaa," jawab anak-anak barengan.

Aku berdecak memerhatikan pecahnya tawa anak-anak ini. Sementara Rayendra, dia hanya menatapku. Datar, tanpa ekspresi. Membuat aku akhirnya mengalah agar tak melihat mata itu lagi selama jam pelajaran berlangsung.

🍃🍃🍃

Harusnya sekarang sudah bisa pulang karena jam sekolah sudah habis. Namun, masih ada tanggung jawab untuk membina anak-anak calon peserta lomba nanti.

Merasa lapar, aku lalu ke kantin bakso. Lagipula masih ada satu jam sebelum latihan dimulai. Eh, tak disangka, Rayendra juga ada di sini. Dia berdiri dekat tembok dengan kedua tangan memegang ujung jaket. Tatapan itu tak bisa kuartikan.

Sedikit canggung, aku duduk di meja tak jauh darinya. "Bu, bakso satu," kataku. Cepat penjaga kantin mengangguk.

"Bu ...."

Rayendra sekarang duduk tepat di depanku. Kantin sepi dan aku mendadak menjadi merinding jika kami terlibat obrolan berat.

"Saya harus balikin cincin kamu, Ray," kataku sambil merogoh tas. Mencari benda berkilauan itu.

"Biarin, Bu. Itu buat Ibu."

Sejenak aku terdiam saat bakso pesanan datang. Setelah si pengantar pergi, aku bertanya pada Rayendra, "Kamu dapat uang dari mana beli itu?"

"Saya DW untuk itu, Bu. Kemarin saya belinya pakai uang tabungan. Karena saya tanggung jawab dan nggak mau minta ke orang tua, makanya saya DW biar dapat uang lagi untuk jajan. Saya sempat nggak WA beberapa hari itu juga karena kecapekan over time terus." Begitu tenang dia menjelaskan, sedangkan aku merasa dada sedikit berdebar. "Tolong simpan, Bu. Kenang-kenangan pertama dan terakhir dari saya. Ya, siapa tahu suatu hari saya ada kesempatan buat masang di jari ibu." Dia kemudian tersenyum.

Sungguh aku merasa tak enak padanya. Dia begitu gigih dalam bekerja. "Baik, terima kasih, Ray. Tapi ada yang mau saya tanyakan sama kamu."

Hah, biarlah sudah bakso ini menjadi dingin dan perut keroncongan. Karena mungkin tidak ada lagi kesempatan untuk menuntaskan rasa penasaranku.

"Biar saya jelasin apa yang belum sempat saya bilang ke Ibu." Badannya tegap, dengan tatapan tak lepas dariku. Semakin berdebar dada ini menunggu apa yang akan dia katakan.

"Mungkin Ibu ingat status saya tentang brondong itu. Waktu itu saya udah tahu Pak Dewa selingkuh, karena saya DW di hotel dia. Saya shift siang. Saat pulang sering lihat Pak Dewa sama cewek di kafe dekat hotel."

Bahkan orang lain tahu lebih dulu tentang perselingkuhan itu. Sakit!

"Itu alasan saya berani ngejar-ngejar Ibu walaupun saya sadar, umur saya lebih muda dari Ibu." Rayendra terdengar menghela napas berat. "Kayak orang gila ya ngikutin Ibu ke mana aja?" Dia lalu tertawa kecil.

"Saya salut sama kamu, Ray. Kamu dewasa dan pasti akan ada jodoh yang lain untuk kamu. Terima kasih kamu sering membuat saya tertawa dengan gombalan receh juga kelakuan absurdmu itu."

Sekarang kami sama-sama tertawa dengan keadaan wajahku yang menghangat.

"Mungkin jodoh saya belum pisah sama penjaga sementaranya, Bu," jawabnya sambil nyengir.

Aku hanya tersenyum sambil menggeleng.

"Ibu tahu alasan saya nggak lelah untuk ngejar Ibu?"

"Kenapa, Ray?"

"Karena akan ada masanya perjuangan seseorang itu membuahkan hasil, Bu. Nggak tahu kapan. Bisa cepat atau lebih cepat."

Eh, itu kata-kata yang sering aku pakai.

"Saya berhenti bukan karena lelah, tapi sadar Ibu yang lelah dikejar brondong kayak saya. Saya nggak bilang bakal bahagia lihat Ibu sama Pak Dewa, munafik itu namanya, Bu. Tapi saya tetap senang kalau lihat Ibu senyum."

Ya ampun, Ray. Kenapa obrolan kita jadi bikin baper gini, sih?

"Bu, walaupun saya nggak akan pernah WA dan nganterin Ibu pulang lagi, tapi nama ibu masih ada dalam setiap sujud saya."

Allah, segitunya si Rayendra ini?

"Saya minta maaf selama ini udah gangguin istri orang. Dosa, ya, Bu."

Ya, Ray, dosa. Menginginkan dan berniat merebut milik orang lain tentu saja bukan perbuatan baik. Namun, caramu menyadari dan memperbaiki kesalahan itu jauh lebih baik.

"Saya maafkan kamu, Ray. Saya juga minta maaf untuk semua kata-kata saya yang pernah nyakitin kamu."

Setelah berucap, aku meraih sendok, dan hendak menyuap bakso yang sudah kupotong. Namun, tertahan karena Rayendra berkata, "Biarin sepertiga malam jadi teman saya buat nungguin Ibu. Jodoh itu mungkin nyangkut sementara, tapi nggak akan pernah tertukar. Ibu tenang aja, seterusnya saya akan jaga jarak. Tapi kalau Ibu perlu bantuan saya, saya bakal ada buat Ibu."

"Terima kasih, Ray."

Huft! Cepatlah akhiri obrolan ini, Ray. Lama-lama kemeja putih yang aku pakai berubah merah, karena rasanya makin panas di sini. Panas karena kata-katamu yang bikin suhu tubuh naik.

Dia tersenyum, mengerjap pelan, lalu berkata, "Hati yang setia akan tetap menyambut pulang cintanya yang habis menjelajah, Bu. Kayak gitulah Ibu yang setia sama Pak Dewa dan saya juga mau. Ibu boleh datang ke saya saat hati Ibu dilukai lagi."

Jangan sampai hati ini terluka lagi, karena saat itu terjadi, aku pun mungkin takkan kuat berdiri.

"Saya duluan ke ruang praktek, Bu."

Rayendra sedikit menunduk, kemudian berdiri, dan melangkah pelan. Aku memandangi tubuhnya yang perlahan kecil dari pandangan. Usia memang bukan tolak ukur untuk menyatakan seseorang itu dewasa atau tidak. Kedewasaan yang remaja itu tunjukkan membuatnya menjadi seorang pemenang. Ya, pemenang untuk dirinya sendiri karena sudah mampu mengontrol segala perasaan.

Karena ada jiwa tangguh di balik ego yang mampu ditahan. Salut, satu kata buatmu, Ray.

END
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

TAPI BO'ONG😂

TBC gaes

Repost: 15/03/2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro