Pamit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Wanita itu terus terisak di tempatnya. Tak berani mungkin menghampiriku yang sedang berjongkok dan memegang batu. Aku lalu bangkit sambil tersenyum dan melangkah menuju si pemilik iPhone layar hancur ini. Kutatap Mas Dewa yang masih memijat kepala, satu tangannya memegang kacamata. Pening mungkin dia melihat tingkahku. Ha ha ha!

"Kamu yang beliin iPhone ini, Mas?" Lembut suaraku bertanya sambil tersenyum kepada laki-laki itu.

"Bukan," jawabnya cepat.

"Demi apa?"

"Demi Allah, Anty. Bukan aku yang beliin."

Oke, sudah cukup jika dia membawa nama Allah. Ya, aku percaya. Kalaupun Mas Dewa berbohong, biarlah itu menjadi urusannya sendiri. Apa aku lemah? Bukan! Ini karena aku yakin kebaikan akan mengalahkan seberapa pun banyaknya keburukan. Kebohongan yang disimpan sangat rapi, cepat atau lebih cepat pasti akan terbongkar.

Hendak melanjutkan kata, seseorang datang membawa dua porsi pancake. Lalu dia meletakkannya di meja dan berkata, "Ada yang bisa saya bantu, Bu? Saya manager di sini."

Oh, pantas saja dia mengenakan kemeja dan celana yang berbeda dari lainnya. "Tidak, Pak. Tenang saja, saya tidak akan lepas kendali. Ya, anggap saja tadi hiburan gratis untuk pengunjung di sini."

Laki-laki berambut tipis dengan dasi hitam di lehernya tersenyum, kemudian pamit. Pandanganku kembali fokus pada gadis muda berpakaian seksi ini.

"Kalau orang tua kamu tanya kenapa HP-mu hancur, bilang aja saya yang ngancurin. Kalau orang tuamu minta ganti rugi, saya akan belikan yang baru. Tapi jika orang tuamu bertanya alasan mengapa saya melakukan ini, saya akan ceritakan perbuatanmu. Bagaimana?"

Aku lalu menyerahkan benda pipih itu dan semakin pecah tangisnya. Terisak-isak dia memandangku.

"Jadi, kamu akan jujur atau tidak pada orang tuamu? Atau perlu saya yang datang menemui mereka dan menceritakannya?"

"Ja-jangan, Kak. Hiks hik hiks ...," jawabnya lirih.

"Kamu pernah dikasih uang sama suami saya?"

Setelah bertanya, aku menatap Mas Dewa yang sedang menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Pernah, Kak."

"Mas!"

Tanganku melambai pada pelayan yang tengah membersihkan meja agak jauh dari posisiku kini. Cepat laki-laki berbaju merah berlogo nama kafe ini menghampiri.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Dia bertanya sangat ramah.

"Bungkus makanan di meja saya dan bawakan bill-nya. Nanti wanita ini yang akan membayar."

"Kakak ...." Lirih dia bersuara masih dalam keadaan menangis.

"Baik, Bu," jawab si pelayan kemudian melangkah pergi. Tak lupa dia pun membawa kembali piring berisi pancake.

Mas Dewa hanya diam. Sesekali kudengar napasnya terhela berat.

"Suami saya pernah kasih kamu uang, jadi nggak ada masalah kalau kamu bayarkan makanan saya hari ini. Oh, ya, saya harap kamu jera. Bisa aja saya jambak rambut kamu kemarin, tapi sayangnya cara saya nggak semurahan kamu," kataku kemudian kembali duduk. Memasukkan benda-benda yang masih berada di meja.

Tangisnya tak juga mereda, sementara banyak pasang mata terus memandangi kami. Sungguh aku tak merasa malu. Lagipula ini adalah cara elegan membasmi bibit pelakor. Tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga, wanita itu pun menangis karena sakit hati. Good job, Anty!

Masih tiada henti aku berpikir, apa alasan gadis semuda dia mau memacari pria beristri. Apa memang hal begitu tidak lagi tabu baginya? Atau sudah kebiasaan? Ah, entahlah.

Beberapa menit kemudian pelayan datang dengan nampan di tangannya. "Ini, Bu, makanannya," ucapnya sambil menyerahkan kantung plastik padaku.

"Makasih, Mas. Jangan lupa tagihannya kasih ke cewek itu."

Tanganku menunjuk gadis yang sedari tadi tak berpindah posisi. Dia berdiri dengan bahu yang masih naik turun.

"Baik, Bu," balas si pelayan.

Aku bangkit dan menarik tangan Mas Dewa, mengajaknya pergi dari sini. Kami lalu melewati gadis itu. Dia tak berkata apa-pun. Wajahnya menunduk, mungkin menahan malu. Heran, nyali ciut buat jadi pelakor, tapi masih nekad juga coba-coba. Ckckck!

Keluar dari kafe aku merasa seperti pemenang. Ya, seorang juara, karena sudah berhasil menahan emosi yang membuncah. Jangan kira aku tak marah melihat selingkuhan Mas Dewa, tapi orang juga dinilai dari apa yang dilakukannya. Jika aku memukul atau main fisik lainnya, bukankah sama saja aku seperti wanita yang tak punya harga diri?

Karena tak selamanya kekerasan harus dibalas kekerasan. Apa yang tadi aku lakukan pada gadis itu termasuk cara halus. Namun, aku yakin akan meninggalkan kesan mendalam untuknya.

Jemariku diremas pelan oleh Mas Dewa saat melintasi ramainya pejalan kaki di trotoar. Sesaat langkah kami terhenti demi saling pandang. Bibirnya yang menyunggingkan senyum seolah mampu membuat waktu melamban. Kerjapan mata itu pun kini seakan membuat segala aktivitas yang ada di sekitar berhenti.

Banyak tanya yang sebenarnya belum terjawab, Mas. Namun, aku sekarang hanya ingin melihat perubahanmu. Aku ingin tahu seberapa besar kesungguhanmu. Pun mau melihat, memang pantaskah kamu aku beri kesempatan.

"Aku mau ke pantai," kataku akhirnya.

Dia langsung mengangguk dan menarikku untuk menyebrang jalanan. Ya, sekarang kami ada di atas pasir menikmati senja yang selalu indah untuk dikagumi. Berdua duduk menyaksikan langit jingga, sementara jemari kami masih saling bertautan. Aku menyilangkan kaki dan Mas Dewa bersila. Pandangan lelaki ini naik turun, mulai dari kacamata hingga ke celana jenis high-rise jeans-ku.

"Kamu udah nggak cinta sama aku, Mas?"

Berat pertanyaan itu terlontar, tapi mungkin jawabannya nanti bisa menjadi penentu keputusan akhirku. Bertahan atau pergi dari kehidupan lelaki itu.

"Jelas aku masih cinta sama kamu, Anty. Apa kamu nggak bisa maafin aku?"

Lemah suaranya dan hanya sekilas saja kutatap wajah itu. Kini mengarahkan mata pada lautan yang diterpa sinar kemerahan lebih baik. Karena di dalam daging merah bernama hati sedang bergejolak. Rasanya ada sesuatu yang mau dimuntahkan.

"Kasi tahu apa kekuranganku sampai kamu berani selingkuh."

Semakin bergetar hati dan seluruh tubuh pun ikut merasa perih. Namun, aku coba menguatkan diri sendiri. Air mata ini tak boleh tumpah lagi.

"Nggak ada. Kamu sempurna, tapi mataku aja yang nakal."

"Pernah tidur sama dia?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan.

"Demi Allah nggak, Anty. Sumpah demi Allah."

"Pernah ciuman?" Dia diam. "Pernah ciuman?" tanyaku sekali lagi.

"Pernah, tapi nggak sering, Sayang."

Plak!

Plak!

"Itu nggak seberapa sama sakit hatiku, Mas!"

Mas Dewa mengusap kedua pipinya dan bersamaan dengan itu, kami kembali menjadi pusat perhatian. Para bule, tamu lokal, bahkan pedagang asongan yang ada di sini memerhatikan kami. Aku hanya tersenyum pada mereka sebagai tanda semua baik-baik saja. Ya, mungkin mereka juga ngerti kan kami lagi tengkar. Bodo amatlah.

"Keluarin kartu kredit dan ATM kamu, Mas." Seketika Mas Dewa membulatkan mata. Mulutnya sedikit menganga dengan ekspresi wajah yang sudah pasti bingung. "Turutin aku atau kita pisah?"

Dia lalu merogoh saku dan mengeluarkan dompet. Dua kartu yang kuminta pun diserahkannya. "Buat apa, Sayang?"

"Kamu nggak boleh pegang uang. Biar kamu nggak bisa ngasih uang dan HP baru ke cewek itu," jawabku santai. Wajah Mas Dewa seketika memucat. "Dompet kamu isi uang berapa?"

"Tujuh ratus, Sayang. Jangan bilang kamu mau ambil ini juga!" Dia mendekap dompet itu dan aku langsung tertawa.

"Iya! Siniin lima ratus. Kamu simpan dua ratus untuk jajan. Kalau perlu apa-apa, minta ke aku."

"Jangan, Sayang. Masa aku nggak pegang uang?"

"Kasi uangnya atau kita cerai? Baru juga uang yang aku minta kamu udah ogah ngasih. Apalagi nyawa, mana mau kamu," ucapku kemudian kembali memandang laut.

"Iya, aku pegang dua ratus ribu aja." Yes!

"Kita pisah ranjang sebulan."

"Sayang?"

"Mau atau kita pisah sekalian?" Kutatap dia kembali dengan senyum sinis.

"Oke, aku mau," jawabnya pelan.

Yes! Belum seberapa ini hukuman buat kamu, Mas! Banyak yang harus kamu tebus atas rasa sakitku.

🍃🍃🍃

Malam begitu pekat. Taburan bintang tampak menawan dari jendela kamar. Kuhela napas sambil memeluk diri sendiri. Pikiran berkelana pada kejadian kemarin hingga sore tadi. Semua yang terjadi pasti ada hikmahnya.

Perut rasanya nggak enak. Ini kenapa, ya? Minum air hangat mungkin enak. Pelan aku melangkah keluar, menuju dapur. Namun, saat melihat pintu kamar tamu yang terbuka, iseng saja masuk. Mas Dewa sudah terlelap. Aku lalu duduk di tepi ranjang sambil memerhatikan wajahnya. Dengkuran halus itu terdengar merdu.

Dia adalah lelaki yang begitu aku cinta. Memang setiap manusia pasti pernah berbuat khilaf dan kuharap, Mas Dewa tak akan mengulangnya. Karena jujur, untuk menata hati yang sempat berserakan itu susah. Mengumpulkan kepercayaan yang berceceran pun sulit. Di sini aku tengah berjuang untuk mempertahankan rasa agar tak ada yang berubah. Juga agar tak tergoda dengan perhatian lain. Ya, Rayendra. Perhatian dan tingkah konyolnya tak dipungkiri cukup membuat tersenyum.

Tiba-tiba aku teringat ponsel yang tak tersentuh sejak pagi. Cepat aku menuju dapur dan membuat air hangat. Lalu kembali ke kamar.

Syok kembali melanda setelah benda pipih itu kuambil dari dalam tas. Memikirkan tentang calon pelakor dan Mas Dewa seharian ini membuatku tak dapat banyak berpikir. Semua fokus hanya tertuju ke sana.

Rayendra, dia mengirimkan hampir empat ratus chat. Astaga! Mesti siapin jari nih buat manjat. Aku duduk bersandar di bahu ranjang.

Setelah dibaca-baca, hanya pesan tak penting. Kata-kata receh saja. Namun, saat aku sampai di beberapa chat terakhir, suasana hati langsung berubah. Pesan itu dia kirim sore tadi.

[Saya tadi DW pagi, makanya nggak bisa ketemu Ibu. Martabak manis yang saya bawa udah dimakan, Bu?]

Ah, aku belum sempat melihatnya. Mungkin Mas Dewa naruh di kulkas dan lupa bilang.

[Saya salut Ibu nggak ngacak-ngacak selingkuhan Pak Dewa. Nggak salah saya memang jatuhin hati ke Ibu.]

Jadi, dia tadi melihat kejadian itu?

[Pas saya selesai kerja dan ke rumah ibu, saya lihat Ibu dan Pak Dewa pergi. Jadi saya ikutin. Makanya saya tahu.]

Apa kamu nggak lelah ngikutin aku, Ray?

[Saya lihat semua kejadian di sana sampai di pantai, Bu.]

Aku menjeda sebentar untuk membaca pesan Rayendra, mengambil air dalam gelas dari nakas. Perut semakin nggak nyaman rasanya. Oke, balik baca lagi.

[Saya bisa lihat kalau Ibu emang cinta beneran sama Pak Dewa.]

Ya, iyalah, Ray! Dia kan suamiku.

[Ibu bisa maafin Pak Dewa bahkan setelah dia berselingkuh.]

Karena setiap orang patut diberi kesempatan kedua, Ray. Apalagi dia adalah orang pertama tempat hatiku berlabuh.

[Saya merasa bukan apa-apa sekarang, Bu. Saya merasa sia-sia ngejar Ibu selama ini.]

Ya, benar. Kamu hanya menghabiskan waktu saja, Ray.

[Untuk itu, saya mutusin berhenti ngejar Ibu. Maaf selama ini saya bikin Ibu susah. Semoga Ibu bahagia sama Pak Dewa.]

Rayendra? Ray? Oh, ini nyata atau nggak? Anak itu serius mau berhenti? Mataku langsung melebar sempurna. Dada berdetak tak menentu. Perut pun semakin mual rasanya.

Kenapa aku tidak merasa senang? Bukannya ini yang selalu aku inginkan?

[Saya berhenti bukan karena lelah, Bu. Tapi karena sadar kalau Ibu emang nggak ada perasaan sama saya. Dan hanya Pak Dewa yang Ibu sayang. Saya pamit, Bu.]

Ah, Rayendraaaa!

Tbc

Repost: 14/03/2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro